2: Hurt
***
Apa kalian tahu bagaimana rasanya hidup tanpa kasih sayang seorang keluarga? Bagaimana rasanya jika harus menjalani kerasnya hidup? Sebagian dari manusia mengalami hal tersebut. Namun, mereka masih kuat dan diam menyembunyikan goresan menyedihkan itu. Karena yang mereka tahu, semakin di umbar maka akan semakin sakit. Benar begitu?
Dan itu yang dirasakan Tea. Dia ikut merasakan sesuatu yang di bilang menyakitkan dalam hidupnya. Hidup tanpa kasih sayang dan juga keluarga, meskipun ia memiliki seorang ayah, tapi tetap sama saja. Karena pria itu adalah pria pertama yang membuatnya merasakan kejamnya dunia.
Sama seperti yang pernah diceritakan oleh Laudya padanya, ia kira hal itu akan berlangsung saat dirinya dewasa. Tapi nyatanya, hal menyakitkan itu menghampiri lebih cepat dari apa yang ia pikirkan. Hal dewasa yang harus ia terima di umur yang belum cukup. Karena saat Tea menerima kenyataan pahit itu, umurnya masih 12 tahun. Cukup kecil untuk memahami hal hal berbau dewasa.
Membicarakan tentang Adilson, entah mengapa pria itu tidak menyukai Tea semenjak kematian istri sekaligus ibu bagi si gadis. Semenjak hari itu pula sifat dan kepribadian ayahnya seolah berubah drastis dari yang selama ini berlaku.
Adilson sering membanting benda benda kaca pada Tea, ia juga sering keluar malam dan pulang dengan keadaan mabuk berat. Sudahlah, membahas keluarga Tea cukup menguras emosi, jadi cukup.
Wajah letih Tea menggambarkan jelas jika ia benar-benar merasa di fase yang lelah dan ingin beristirahat. Tangan putihnya terulur untuk membuka pintu, seperti biasanya ia akan mengucapkan kalimat wajibnya.
"Aku pulang!" Dan hasilnya sama sekali tidak ada jawaban. Daripada memikirkan hal itu, Tea segera menuju ke kamarnya untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuknya membersihkan diri, kini gadis berambut panjang tersebut sedang berkutik di dapur guna membuat makan malam untuk dirinya dan sang ayah, Adilson.
Tea menatap ke arah meja makan, di sana masih terdapat nasi goreng yang ia siapkan tadi pagi. Dingin dan sama sekali tidak disentuh. "Aku tahu, itu hal yang sangat mustahil untukmu."
Beberapa menit kemudian makanan buatannya telah siap dan kini giliran gadis itu untuk menikmati makan malam di tengah hawa dingin yang ditimbulkan oleh hujan. Hingga pada kunyahan ketiga tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, bahwa ada kursus yang harus ia hadiri sekarang.
Maniknya segera melihat ke arah jam yang bertengger di tangan kirinya, tepat pukul 7 malam dan ia sudah berjanji jika tidak akan datang telat. "Astaga, bagaimana ini?"
Tea segera berlari ke lantai atas guna mengambil jaket tebalnya, dapat ia rasakan hawa dingin masuk ke celah-celah baju hangatnya. "Huh, bagaimana jika Nyonya Revelin marah padaku?" gumamnya saat menunggu bus di halte.
Tidak membutuhkan waktu lama dari arah selatan sebuah bus berjalan perlahan dan berhenti tepat di depan gadis manis yang tengah menantinya, segeralah Tea masuk dan mendudukkan dirinya pada kursi yang tepat.
Bus berhenti tepat di halte berikutnya, Tea segera turun dan kembali berjalan beberapa langkah ke sebuah rumah tua yang penuh dengan tumbuhan dan akar-akar menjalar ke seluruh dinding-dinding luar rumah. Tidak hanya itu, bagian taman tersebut memiliki beberapa boneka-boneka pengusir burung dengan tampang menyeramkan.
Gadis bermanik biru itu mengetuk pintu dan tidak lama kemudian pintu tersebut dibuka oleh seorang wanita yang selalu ditemani kacamatanya.
"Akhirnya kau datang."
Tea tersenyum kecil. "Bagaimana bisa aku melupakan janjiku," ucapnya. Manik birunya melihat ke sekeliling berharap menemukan sesuatu. Menyadari ada gelagat aneh dari Tea, Nyonya Revelin mengangkat sudut bibirnya membentuk sebuah senyum indah.
"Kau mencari dia?"
"Eh ... ya, kurasa," balas si gadis yang tampak tersenyum malu-malu.
Nyonya Revelin mengangguk-anggukan kepalanya dan kembali bersuara. "Baru saja ia pergi, kurasa beberapa tahun ke depan ia akan kembali lagi."
Ucapan wanita itu berhasil membuat hati kecil Tea merasa kecewa sekaligus sedih. Ia menundukkan kepalanya menahan agar air mata miliknya tidak turun di saat seperti ini.
"Jangan sedih, aku pasti akan mempertemukan kalian kembali." Wanita itu menepuk pundak Tea agar gadis itu tidak lagi merasakan kehilangan, si gadis tersenyum paksa dan kembali fokus pada tujuannya kali ini.
Lagi pula, ia juga tidak sekali kehilangan sosok penting dalam hidupnya sebelum pemuda itu. Jadi perasaan seperti itu hanya Tea anggap seperti sebuah kesempatan kecil yang akan hilang pada waktu yang telah ditentukan.
"Sekarang masuklah!" Ajakan Nyonya Revelin dibalas dengan anggukan samar dari Tea.
Kini keduanya saling duduk berhadapan di meja budar tempat wanita itu selalu menyeduh tehnya. Tea meminum teh yang disajikan wanita itu, cukup untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya malam.
Terlihat jelas jika wanita yang memiliki nama Revelin selalu memperlakukan Tea dengan amat sangat baik. Bahkan bagi gadis bermanik biru itu, rumah Nyonya Revelin adalah tempat nyaman yang mampu membuatnya merasakan keheningan dari dunia. Terlebih, suasana rumah itu persis seperti rumah penyihir yang bernuansa gelap. Namun, tentram.
Setiap malamnya, Tea akan selalu datang ke tempat Nyonya Revelin untuk berlatih piano. Kediaman wanita itu adalah rumah kedua tempatnya berpulang dari segala kepedihan dunia, rumah yang memiliki desain minimalis dengan paduan corak kuno. Hanya ada beberapa lampu tamaram yang menyinari bagian bagian kecil dari sisi rumah.
Keheningan membuat wanita berkacamata itu beranjak dari duduknya dan memposisikan diri di depan piano bercorak elegan khas zaman dahulu. Ia menoleh sekilas ke arah Tea dan tersenyum manis. "Bisa kita mulai?" tanyanya, gadis bermanik biru itu mengangguk.
Alunan nada indah mengalun ke seluruh ruangan, benar-benar mengangumkan. Jemari lentik wanita itu seolah tahu jika mereka adalah dunianya, dengan kelihaiannya ia berlarian di atas tuts-tuts piano yang menjadi tempatnya berpijak. Melodi kehampaan membawa Tea ke dalam dunia yang ia impikan, jauh dari orang orang jahat.
Sampai pada menit berikutnya alunan itu diakhiri oleh Nyonya Revelin, tatapan sendu itu tertuju langsung pada si gadis. "Aku tidak ingin membuatmu terlelap dalam melodiku, sekarang giliran dirimu," ujarnya disertai lengkungan kecil di bibirnya.
Tea berjalan mendekat dan mengambil alih kursi itu, ia terdiam sejenak mencoba fokus pada latihannya. "Let's do it," gumamnya.
Perlahan demi perlahan tangan ramping dan putih itu bergerak, membentuk melodi yang membuat siapa pun merasa hampir menangis. Seolah alunan itu menggambarkan keadaan sesungguhnya dari kehidupan milik si gadis. Sampai-sampai Nyonya Revelin ikut merasakan betapa besarnya rasa menyakitkan itu.
"Aku tahu apa isi hati kecilmu itu, Latea."
Beberapa menit berikutnya, alunan itu perlahan berhenti digantikan dengan suara tepuk tangan dari Nyonya Revelin, ia mengangguk anggukan kepala, bangga dengan gadis di depannya.
"Kenapa kau begitu menghayatinya, kau sangat sempurna malam ini," puji wanita itu.
Tea hanya tersenyum canggung, ia membenarkan rambutnya dan kembali duduk di hadapan gurunya tersebut. "Terima kasih, semua ini juga berkat pelatihan yang kau berikan padaku."
"Hari ini kau tampak lebih bersinar, Latea," ungkap wanita itu disertai senyum hangatnya.
"Ya, mungkin ada yang membuatku seperti ini," balas Tea, kini gadis itu menyibukkan diri dengan menulis lagu baru untuk ujiannya bulan depan.
Wanita berambut hitam yang tampak di sanggul rapi itu sesekali menyeruput tehnya, ia membenarkan kacamata dan kembali bertanya, "Kau bertemu dengan siapa saja hari ini?" tanyanya saat mengetahui bahwa ada sesuatu yang di sembunyikan Tea, pasalnya ada raut cemas sekaligus kebahagiaan di dalam diri si gadis.
Tea menundukkan kepalanya, membenarkan posisi kacamata besarnya dan memberanikan diri menatap wanita yang tengah duduk di hadapannya. "Seperti biasanya, orang-orang yang selalu menindasku dan ... ada seorang pemuda misterius," terang Tea. Setelah mengungkapkan itu ia kembali melanjutkan tulisannya.
"Mengagumkan," gumam Nyonya Revelin.
"Apa yang mengagumkan?" tanya Tea dengan raut bingung.
"Pianonya," ujar si wanita tua.
Dari tempat Tea duduk, ia hanya mengangguk-angguk sebagai tanda setuju dan memulai kembali kegiatannya yang tertunda. Hingga detik berikutnya wanita berparas cantik nan elegan itu bangkit dari duduknya dan berjalan mengambil sebuah album lagu miliknya.
"Kau tahu, Latea?" Tea menoleh ke arah Nyonya Revelin yang sudah duduk di depannya. Wanita itu memandang Tea dengan pandangan serius. "Jika kau ingin mengubah takdirmu, buat skenario kisahmu serta ending-nya."
Tea mengernyit bingung, ditatapnya manik abu-abu buram milik si wanita itu dengan pandangan penuh tanya.
"Pikirkan itu, Latea" lanjut wanita bernama lengkap Revelin Groud tersebut, ia menatap Tea sekilas kemudian mengambil kertas lagu milik gadis yang masih memikirkan ucapan gurunya. Manik abu-abu buram itu menelusuri setiap jengkal dari nada-nada indah berlatar kehampaan milik Tea, hingga akhirnya ia tersenyum. "Lagumu bagus! Kau beri judul apa?"
Pertanyaan itu membuat Tea berpikir keras, lalu sebuah ide muncul begitu saja dalam kilatan petir yang entah keberapa. "Black Angel."
***
"Aku pulang!" serunya. Ia menatap sekitarnya dan menemukan seorang pria tengah duduk bersandar di sofa panjang yang terletak di ruang tamu utama.
"Bagus! Kau pulang selarut ini," sinis Adilson dengan tatapan tajamnya bagai elang yang mengincar mangsanya.
Si gadis menatap malas pria itu dan menghela napas pasrah. "Ada kursus piano yang harus aku hadiri," balas Tea dengan nada dingin dan datar. Tatapan dingin itu ia lontarkan balik kepada sang Ayah.
"Terus saja kau beralasan!" ketus Adilson. Ia bangkit dari tempatnya duduk dan menatap putrinya dengan mata memerah.
Memikirkan hal yang membuat marah hanya akan menambah beban dalam pikiran, untuk itu Tea memilih untuk mengabaikannya dan mulai melangkahkan kakinya menaiki satu persatu anak tangga, sampai pada anak ke-3 ia menoleh. "Terserah apa yang Anda pikirkan."
Mendengar itu Adilson yang tampak murka melemparkan pisau ke arah Tea, beruntung pisau tersebut tidak mengenainya.
Tatapan tajam mengarah langsung pada pria di depannya. "Ingin membunuhku? Silakan, aku justru bahagia karena aku ... akan berjumpa dengan ibu! Tidak peduli itu surga atau neraka, karena aku telah memasuki neraka sejak umur 12 tahun"
"Jangan pernah menyebut-nyebut tentangnya! Kau jugalah penyebab kematiannya!"
"Mengapa harus aku?!"
Adilson menoleh dengan tatapan mata yang memerah. "Enyahlah anak durhaka! Kau memang pantas untuk itu!"
Perlahan air matanya turun mebasahi pipinya, gadis itu mengusapnya, mencoba agar tidak terlihat lemah di hadapan sang ayah. Perkataan menyakitkan itu seakan menghancurkan seluruh tembok kuat yang membendung air matanya.
"Kau benar-benar bukan ayah yang aku kenal," lirih si gadis sembari menahan rasa yang teramat sakit dalam hati kecilnya.
"Anak tidak tahu diri!" Adilson menampar pipi Tea hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah. Giginya terkatup rapat menahan emosi yang kapan saja bisa meledak, kini yang Tea lihat hanya sebuah kebencian dari manik kecoklatan yang indah itu, bukan lagi sebuah rasa sayang dan rindu.
Gadis berkacamata itu menyentuh sudut bibirnya yang sakit. "Sejak kapan menganggapku sebagai anak?" tanya Tea dengan tatapan menusuk.
Tidak kuat lagi, gadis itu berlari ke arah kamarnya dan segera mengunci pintu kamar dengan rapat, ia hanya bisa menangis. Tolong, untuk malam ini saja biarkan gadis itu menghabiskan stok air matanya, karena ia tidak ingin lagi menangis di lain waktu.
***
Pagi ini, Tea yang telah terbangun dari mimpi indahnya segera bersiap dan tidak lupa juga untuk mengobati sudut bibirnya yang terluka kemarin. Si gadis melihat pantulan dirinya dari cermin, terlihat lebih baik dibandingkan kemarin malam.
Selesai dengan semua itu, si gadis mengambil tas ransel hitam miliknya dan sekotak bekal yang sengaja ia bawa untuk makan siang nanti. Sengaja ia membawanya, karena sepulang sekolah gadis itu akan menghadiri ekstrakurikuler.
Saat pintu terbuka rautnya mendadak berubah saat mendapati seorang gadis yang selalu ingin ia hindari secara tiba-tiba berdiri dengan senyum lebarnya. "Pagi, Latea!" sapa Anantha masih dengan senyuman yang tidak pernah luntur sedetik pun.
"Apa yang kau lakukan di sini?!" tanya Tea dengan ketus, anggap saja Tea itu gadis yang sangat sangat sombong. Karena faktanya memang begitu, sikapnya dengan Anantha telah membuktikan jika gadis berambut cokelat itu adalah gadis yang tidak bisa menghargai Anantha sebagai orang yang paling peduli terhadapnya.
"Aku hanya ingin berangkat bersamamu," jawab Anantha dengan wajah penuh semangat, tangannya terulur mencoba menggapai tangan Tea. Namun, dengan cepat Tea menepisnya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam jas almamater miliknya.
"You know, I hate you."
"Yes, I know! But I just wanna be your friend." Anantha menekankan katanya agar Tea sadar jika dirinya selalu ada di sampingnya.
Tea yang mendengar ucapan Anantha itu hanya bisa termenung untuk beberapa detik. "Terserah kau saja." Ia menghela napas panjang dan segera masuk ke dalam bus demi menghindar dari gadis yang menurutnya sangat menyebalkan.
Pagi ini mungkin menjadi pagi yang sangat berat bagi Tea, karena harus diikuti oleh Anantha. Sedangkan Anantha, gadis itu selalu merasa nyaman saat berada di sisi Tea. Bahkan, Anantha sesekali melirik ke sampingnya, melihat setiap gerak-gerik yang dilakukan oleh Tea.
Merasa tidak nyaman, Tea yang sadar akan hal itu pun membalas lirikan itu dengan pandangan tajam. "Jangan melihatku seperti itu!" tegasnya masih dengan raut galak yang terpampang jelas.
Beberapa menit setelah semua hal menyebalkan itu, kini bus berhenti tepat di depan gerbang sekolah mereka. Tea segera beranjak turun untuk menjauh dari sosok Anantha, mengetahui hal itu segeralah gadis berrambut hitam tersebut berlari mengejar.
"Kau meninggalkanku?!" tanya Anantha dengan nada sedikit meninggi, napasnya bahkan tampak tak teratur karena mengejar gadis berambut cokelat itu.
"Karena itu yang aku mau," balas Tea tanpa menoleh sedikit pun.
Tidak kehabisan akal, Anantha langsung mengekor di belakang Tea yang tengah berjalan menuju ruang kelas mereka. Hingga sebuah pertanyaan terlintas di otak Anantha. "Kenapa kau tidak menerimaku sebagai temanmu?" tanya Anantha masih dengan wajah berseri-seri, seolah tidak pantang mundur dengan usahanya.
"Aku tidak perlu menjawabnya, karena kau tahu sendiri apa jawabannya," ujar gadis bermanik biru cerah tersebut.
"Tentu saja, kau membenciku dan menganggap jika aku ini jahat," terang Anantha di sertai gerakan-gerakan aneh. Melihat tingkah dari gadis berrambut hitam itu membuat Tea memijit-mijit pelipisnya, mencoba tidak mengenalnya adalah jalan yang baik.
"Yeah, lakukan saja tingkah anehmu itu," ucapnya sebelum akhirnya Tea memutuskan untuk melanjutkan langkahnya menuju ruang kelas.
Anantha tersenyum tipis dan menyusul gadis itu untuk kedua kalinya. "Oh, come on! Aku sudah menunjukkan seberapa setiaku padamu selama setahun," jelas Anantha.
"Lalu?"
Matanya berputar 360°, tidak habis pikir dengan pemikiran dari gadis di hadapannya. "Seharusnya kau menerimaku, Tea!" tegas gadis berambut hitam itu.
Tea yang sama sekali tidak merespon memilih pergi meninggalkan Anantha dengan pikirannya yang kosong.
"Huh, oke Anantha kau harus semangat!" gumamnya untuk menyemangati diri sendiri. Tatapan sendu itu masih mengamati Tea dari kejauhan, berharap jika suatu saat nanti ia mampu melindungi dan memahami gadis itu.
Beralih ke tempat Tea sekarang yang sudah berada di dalam kelas, kini dirinya disibukan dengan beberapa buku-buku tebal. Mengingat jika hari ini akan ada ujian biologi, salah satu pelajaran favoritnya. Selain menyukainya, hal yang bisa diperlajari dari bidang itu adalah mahkluk hidup dan dunianya.
Meskipun Tea seorang gadis yang pendiam, tak memiliki teman dan selalu menjadi objek bullying, tapi dia adalah salah satu murid paling pintar di sekolah. Latea Valerie Quinnzel, nama itu yang selalu berada dalam urutan kedua di setiap ujian, entah itu di dalam kelas maupun di luar kelas. Tidak heran jika banyak yang iri dengannya, terutama Luvena Minessa Aerys. Gadis yang satu angkatan dengannya, nama itu adalah nama yang terletak paling atas.
Kenapa bisa? Jawaban karena selain pintar, orang tua gadis itu tentunya menjadi salah satu orang-orang berjas dengan kekuasaan tinggi. Memiliki hak dengan cara mendonasikan dana pada pihak sekolah, walaupun tidak semua orang tahu itu benar atau tidak.
Baru saja dibicarakan, seorang gadis dengan rambut pirang berkilau datang bersama dua orang gadis lain. "Hai, Gadis Cupu!" sapa Luvena dengan nada mengejek, langkahnya yang anggun menuju ke arah Tea. Sebuah senyuman licik terukir di bibir merahnya itu. "Hari ini ujian? Oh, astaga, semoga berhasil!" Luvena merebut buku di tangan Tea dan melemparkan pada Vica-temannya.
"Kau mau ini?" tanya Vica dengan senyuman mengejek. Tea berusaha merebut. Namun, buku itu lagi-lagi dilempar ke arah Flysi. Mereka bertiga yang melihat raut panik Tea tampak tertawa tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
"Tolong kembalikan," pinta Tea dengan suara memelan.
Luvena menghentikan aksinya dan menatap Tea dengan tersenyum miring. "Akan aku kembalikan, tapi setelah aku merusaknya," ujar Luvena. Ketiganya tertawa puas melihat betapa menderitanya Tea yang sekarang.
Gadis-gadis itu menyobek dan merusak semua buku catatan milik Tea, bahkan buku penting untuk persiapan ujian akhirnya pun ikut menjadi korban. Aksi itu cukup berlangsung lama, hingga sebuah dobrakan dari arah pintu berhasil mengalihkan perhatian mereka tidak terkecuali Tea dengan wajah sedihnya.
"Luvena!" teriak seseorang dari arah pintu. Suara berat dan terdengar familier itu menjadi sorotan tersendiri, karena si pemilik suara yang tak lain dan tak bukan adalah Hillen.
Pemuda itu menatap tajam ke arah Luvena, menghampirinya dan menyeret gadis itu untuk pergi. Luvena yang merasa kesal pun memberontak sebisa mungkin. "Lepaskan aku, Hillen!" teriak Luvena yang tidak dihiraukan oleh sang pemuda.
Setelah kepergian Luvena dan kedua temannya, Anantha yang baru saja datang terlihat berlari dan langsung menghampiri Tea. Tergambar jelas raut panik di wajahnya, entah itu sungguhan atau hanya sebuah empati palsu. "Apa mereka melukaimu?" tanya gadis berambut hitam panjang tersebut.
"Tidak," balas Tea sembari memunguti ceceran buku catatannya yang kini sudah rusak dan sobek.
"Syukurlah, mulai sekarang aku akan selalu ada di sampingmu," ucap Anantha dengan tegas yang seolah tidak terbantahkan. Tanpa sadar, Tea yang mendengar itu tersenyum tipis, sangat tipis sampai semua orang tidak menyadari jika itu sebuah senyuman.
***
Siang ini cuaca sangat mendukung, terbukti matahari bersinar dengan sangat terang, awan putih menyelimuti langit berwarna biru cerah. Suasana itu berhasil membuat Tea semakin nyaman berada di perpustakaan. Namun, suasana itu tidak ia rasakan untuk hari ini, karena di sampingnya ada seorang gadis yang selalu mengikutinya, Anantha Gacfen.
"Kulihat kau selalu membaca, apa tidak bosan?" tanya Anantha. Gadis itu menutup bukunya dan menunggu jawaban dari Tea.
"Semua informasi berasal dari buku."
Balasan singkat itu berhasil membuat Anantha termenung beberapa detik. "Jadi, apa kau benar-benar menerimaku sebagai teman?!" tanyanya dengan penuh semangat.
Tea meneruskan kegiatan membacanya dan menjawab dengan singkat. "Entah."
"Jadi, masih ada harapan untuk jadi temanmu?!" tanya Anantha dengan nada sedikit keras. Melihat Anantha yang kembali bersuara keras membuat Tea meletakkan telunjuknya di depan bibir.
"Diam! Atau kau akan dimarahi oleh Mr. Yefers," peringatnya.
"Baiklah, maafkan aku," lirih Anantha. Ia tersemyum geli karena kelakuan konyolnya sendiri.
Baik, untuk hari ini saja Tea mau tidak mau harus menghabiskan waktu istirahatnya bersama orang yang selalu ia jauhi selama ini. Walaupun sulit, tapi Tea sedikit bersyukur karena secara tak langsung tidak terlalu bosan jika sendirian di dalam perpustakaan.
Tea bangkit dari duduknya guna mencari beberapa buku keperluannya, saat sedang sibuk mencari-cari tanpa sengaja ia melihat seseorang yang tidak asing di matanya, di seberang sana dari tempatnya sekarang seorang pemuda tengah asik membaca buku dengan posisi berdiri.
Tea sempat terkagum dengan pemuda itu, lalu beberapa detik setelahnya ia tersadar akan perbuatan anehnya. "Bukankah dia pemuda yang kemarin?" lirihnya. Gadis itu hendak menghampirinya. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seseorang menepuk pundak si pemuda misterius itu.
"Hei, kita harus pergi!"
Baiklah, kali ini Tea gagal mengetahui namanya untuk yang kedua. Atau mungkin belum waktunya ia mengenal si pemua misterius itu. Tea melanjutkan kegiatannya kembali sampai seseorang menepuk pundaknya dengan pelan.
"Aku mencarimu kemana-mana, ternyata ada di sini," ujar Anantha.
Tea menoleh dan tersenyum kecil. "Aku baru saja mencari buku," balas Tea.
Gadis bermanik abu-abu itu tersenyum dan kembali bertanya. "Buku apa yang kau cari?" Mendapat pertanyaaan itu membuat Tea berpikir sejenak, karena ia mendadak lupa dengan yang ia cari.
"Three Guidelines," balas Tea dengan spontan.
Anantha mengernyit bingung. "Kenapa kau mencarinya? Bukankah itu buku kuno yang sudah waktunya dikemas."
Tea yang tersadar akan ucapanya kembali mengoreksi. "Ah ... maksudku buku Biopsikologi."
Anantha memberikan sebuah buku tebal dengan sampul bening yang tampak bersih kepada Tea. "Oh! Aku tadi menemukannya untukmu. Ini!"
Bel berbunyi dengan nyaring, itu artinya mereka berdua harus segera kembali sebelum guru berikutnya datang dengan membawa rentetan pertanyaan. Suasana kelas yang tadinya ramai kini mendadak sunyi ketika kedatangan Tea dan Anantha, entah ada apa dengan mereka sampai-sampai seluruh siswa mendadak hening.
"Ada apa dengan mereka?" tanya Anantha sedikit mengernyit tidak mengerti.
Tea menyadari jika tatapan mereka bukan ke arahnya ataupun Anantha. Namun ... pintu? Gadis berkacamata bundar itu mengintip keluar dan mendapati sosok wanita dengan tampang sinis berjalan ke arah kelas mereka.
"Kurasa akan ada seseorang yang datang," ungkap Tea sembari menyengol lengan Anantha yang ada di sampingnya.
"Ms. Venessa?!" tanya Anantha dengan raut sedikit terkejut. Keduanya pun segera menuju bangku mereka dan menyambut kedatangan wanita berwajah sinis tersebut.
Benar saja, wanita itu datang dan langsung menempati tempat duduk mulianya. "Baiklah, kali ini aku minta pada kalian untuk belajar tentang tumbuhan! Besok kita akan praktek!" tegas Ms. Vanessa, guru Biologi mereka yang sangat tegas, sinis dan sedikit kejam.
Wanita itu tidak pernah main-main jika ada siswa yang dirasa buruk dalam pelajarannya. Hukuman yang selalu ia terapkan pun memiliki tingkat berbeda dari yang lain, bahkan ia tidak pernah memandang baik itu anak biasa atau anak konglomerat sekalipun, jikalau anak itu memang buruk.
Ketika wanita itu memberikan sedikit materi, Anantha sebagai murid yang membenci Ms. Vanessa beberapa kali mengguap dan menoleh ke arah Tea yang ada di sebelahnya. "Aku selalu berpikir cara agar wanita menor itu di singkirkan dari Atherty," bisik Anantha pada Tea.
Ucapan Anantha barusan membuat gadis bermanik biru menggeleng pelan. "Diam."
"Kau tidak setuju dengan rencanaku, Tea?" tanya gadis berrambut hitam panjang itu. "Padahal itu sebuah rencana yang sudah kupikirkan matang-matang beberapa tahun terakhir," lanjut Anantha ketika melihat gadis di sebelahnya yang menggeleng lagi.
"Aku harap di pelajaranku tidak ada yang bercerita!" gertak Ms. Vanessa dengan nada tinggi dan sorot matanya yang tajam tertuju pada Anantha.
Mendapat tatapan mengerikan dari Ms. Vanessa membuat gadis bermarga Gacfen itu menundukkan kepalanya.
"Kau mau mendongeng, Ms. Gacfen?" tanya wanita dengan pakaian super ketat yang tengah berdiri itu, ia berjalan mendekat dan menatap sinis kedua gadis yang tengah duduk berdampingan tersebut.
"Tidak," lirih Anantha.
Wanita itu menoleh ke arah Tea. "Dan kau? Ms. Quinnzel?" Latea hanya menunduk dan melanjutkan membacanya. "Dasar anak-anak yang tidak tahu sopan santun," gumam Ms. Vanessa sembari berjalan menuju mejanya. Ia kembali membuka bukunya dan membacakan lagi rangkuman yang harus mereka catat untuk persiapan ujian di hari esok.
Tea kembali fokus dan mulai mencatat lagi, tidak dengan gadis di sampingnya yang sibuk mencoret-coret buku catatannya dengan gambar-gambar aneh. Anantha juga sesekali menoleh sampai akhirnya ia buka suara lagi, "Bagaimana? Kau mau membantuku, kan?"
Tea yang mendapat pertanyaan itu akhirnya menjawab, "Suatu hari nanti mereka akan hilang."
Gadis bermanik abu-abu itu tersenyum mendengar ucapan Tea dan menepuk pundaknya berkali-kali. "Kau memang yang-" Belum sempat kalimat itu terselesaikan sebuah teriakan dari depan membuat mereka semua yang ada di kelas itu tersentak kaget.
"Keluar! Kalian berdua pergi dari kelasku!"
Mendadak Hillen dan kawan-kawannya tertawa kecil melihat kemarahan Miss Vanessa pada dua gadis itu. Kini tatapan semua murid mengarah ke Tea dan Anantha, dua gadis itu hanya terdiam kaku dan akhirnya memilih berjalan keluar dari kelas.
"Nah, ini harapanku!" sorak Anantha dengan penuh bahagia.
Hal ini berbanding balik dengan Tea yang merasa menyesal sekaligus geram dengan ulah gadis di depannya. "Kau sudah membuatku dikeluarkan oleh Ms. Vanessa! Kau puas?!" kesal Tea dengan raut yang benar-benar tajam.
"Hanya sekali, Tea." Ia menyengol bahu Tea agar kembali tersenyum. Namun, itu percuma saja karena Tea benar-benar dalam perasaan marah.
"Aku yakin sekali besok Ms. Vanessa tidak akan mengizinkan kita untuk mengikuti prakteknya," ungkap Tea dengan nada penuh sesal dan takut.
"Lupakan, aku akan mengajakmu ke suatu tempat!"ajak Anantha sembari menyeret gadis itu untuk mengikutinya. Kini keduanya pergimelangkahkan kakinya ke suatu tempat yang menjadi awal dari kedekatan keduanya.
***
Selalu dukung dengan memberikan vote dan komen ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top