15: Sezer Family

***

Pembagian nilai telah di lakukan, kini saatnya liburan panjang dimulai. Waktu yang paling di tunggu-tunggu oleh setiap siswa, karena di hari libur mereka akan melakukan kegiatan-kegiatan menyenangkan yang sempat tertunda pasca masa sekolah.

Sebelum masa libur tiba. Hari ini, sebagai hari terakhir Thea dan Anantha bertemu, keduanya sempat berlama-lama di taman sekolah yang terletak di sebelah kanan gedung utama. Tampak sekali, keduanya saling berbicara banyak tentang beberapa hal yang akan dilakukan di hari libur nanti.

"Bagaimana jika di tanggal cantik ini kita pergi ke ... Manamu? Kota yang cantik untuk di kunjungi," ungkapnya sembari menunjukkan sebuah peta yang ia bawa.

Thea menggelengkan kepalanya. "Kota itu memang bagus, tapi aku tak bisa pergi untuk saat ini. Aku takut selepas pulang rumahku kacau, kau tahu sendiri ayahku bagaimana."

Anantha mengerucutkan bibirnya dan mengangguk setuju. Kini maniknya kembali mencari-cari tempat yang cocok untuk melepas penat. Di saat Anantha sibuk dengan peta dan tempat libur yang ia cari, Thea justru sibuk mencari-cari sosok pemuda yang hari ini sama sekali belum ia temui.

Gadis berambut hitam itu menyengol lengan Thea dan menunjukkan sebuah tempat menarik. "Bagaimana jika pergi ke Letania? Kota kecil yang sangat bersih dan indah, aku dengar di sana akan ada pertunjukkan dari penyanyi-penyanyi terkenal—"

Thea menatapnya sekilas. "Benarkah? Memang siapa yang akan datang? Dengar, aku tidak ingin pergi kemana pun."

Lagi-lagi jawaban itu membuat Anantha kesal dan menghela napas gusar. "Aku sempat berharap akan menginap dan jalan-jalan di sana, menikmati senja dan pemandangan di pagi hari. Ah! Betapa indahnya dunia, terlebih jika konser itu benar-benar di gelar, aku pasti akan mendapat meja VIP." Gadis itu terus saja berbicara, seolah stok kata yang ia keluarkan itu benar-benar banyak. "Ibu pastinya akan datang, secara dia desainer, menyenangkan jika memiliki seorang ibu yang memiliki teman dekat para selebriti terkenal."

Thea masih terdiam, ia enggan menanggapi apa pun yang di ucapkan Anantha. Kini perhatiannya masih tertuju pada pintu masuk utama Atherty, menunggu seseorang yang keluar dari sana.

Sembari menunggu, lamunanya mulai terbang ke mana-mana, pikirannya hanya fokus pada satu masalah yang beberapa hari terakhir ini mengganggunya. Benar! Ini tentang bagaimana dan di mana ia akan tinggal nanti, terlebih kini waktu yang diberikan tinggal satu minggu.

Lebih parahnya, ia sama sekali tidak menceritakan hal ini pada teman-temannya, bahkan ia juga tidak memberitahu Mrs. Revelin, selaku orang yang sangat dekat dengannya. Entah, beberapa minggu terakhir ia jarang mengunjungi wanita itu, mungkin ia masih memiliki seseorang yang bisa mendengar segala keluh kesahnya, Venic. Akhir-akhir ini memang Thea selalu menceritakan segala macam masalah pada Venic, ia juga memberitahu tentang masalahnya dengan keluarga Aerys dan tentang masa sewa rumah.

Venic sempat menawarkan tempat tinggal bersamanya, tapi tentu saja Thea menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan. Jadi, ia masih dilanda rasa cemas, bimbang antara memilih bersama Venic atau tinggal di jalanan kota yang tercemar? Ah, memikirkan hal itu hanya akan membuat otaknya hampir terbakar.

Anantha tiba-tiba saja menepuk pundak Thea dan membuat si gadis menatapnya dengan raut terkejut. "Astaga! Seminggu lagi kau berulang tahun, bukan?!"

Gadis berambut cokelat itu menoleh dan mengernyit. Bagaimana bisa Anantha tahu perihal ulang tahun menyebalkan itu? Ah, mungkin saja dari data kelas.

"Bagaimana kalau kita merayakannya bersama? Akan sangat menyenangkan jika kita membuat pesta dan melakukan rencana tour ke berbagai kota."

Thea menggeleng pelan. "Tidak perlu," ucapnya dengan nada yang sedikit lirih. Anantha memutar bola matanya malas, mulutnya hendak berbicara sebelum akhirnya Thea kembali menyela. "Aku tidak menyukai pesta!" tandasnya dengan sangat tegas dan jelas.

Gadis bermanik abu itu langsung terdiam dan mengedipkan matanya berkali-kali. "Sungguh? Padahal aku sudah berharap jika pesta ini akan di hadiri orang-orang terkemuka," lirih Anantha yang merasa sangat kecewa.

Thea menoleh. "Aku tidak membutuhkan kehadiran orang orang terkemuka, bahkan jika pestaku di hadiri oleh Harry Eostre sekalipun."

Ucapan dan Thea itu membuat Anantha membuka matanya lebar-lebar. "Harry? Harry Eostre? Kau mengidolakannya juga, Thea?"

Gadis itu menatap temannya ini dengan sangat malas dan jengkel. "Lupakan itu!" geramnnya sembari mengalihkan pandangannya dari sifat Anantha yang kembali berubah seperti dulu lagi, menyebalkan, sangat menyebalkan.

Sekarang, tampaknya penantian dari Thea membuahkan hasil dengan munculnya sosok yang ia cari selama beberapa menit terakhir. Gadis berambut cokelat itu hendak membuka mulutnya, tapi tertahan karena teriakan mendadak dari Anantha.

"Dich!" panggilnya pada seorang pemuda yang kebetulan berjalan bersama Zack. Pemuda yang merasa di panggil itu segera berjalan mendekat, ia juga menarik paksa Zack yang terlihat enggan sekali untuk bergabung.

"Halo, senang bisa bertemu lagi di hari terakhir," ujar Dich saat dirinya sampai di tempat Thea dan Anantha duduk. Dengan wajah penuh kegembiraan Anantha menarik Dich untuk duduk di sebelahnya dan bercerita banyak hal termasuk rencana-rencannya untuk pergi berlibur ke luar kota.

Sementara itu, Thea masih mengabaikan sosok Zack yang sedari tadi bersenderan di bawah pohon yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Si gadis beranjak dan menghampirinya setelah beberapa menit ia memberanikan diri.

Si gadis tersenyum tipis dan duduk di sebelah Zack. Keduanya sempat hening, sebelum akhirnya Thea memberanikan diri untuk membuka pembicaraan, "Apa yang akan kau lakukan?"

Si pemuda menoleh dan menatapnya sekilas. "Melakukan apa? Tugas? Atau hanya untuk bersenang-senang?" tanya Zack yang justru membuat Thea mengernyit, ke mana arah pembicaraan pemuda itu?

Karena enggan menanyakan lebih lanjut, Thea hanya terdiam dalam pikirannya saja. Lain halnya dengan pasangan yang entah bagaimana status hubungan mereka, keduanya tampak sangat bahagia dengan candaan-candaan kecil dan kisah-kisah acak yang saling melengkapi. Semua itu sepertinya tidak akan berlaku pada Thea dan Zack yang terkesan kaku dan dingin.

"Baiklah, mari aku antar pulang? Bagaimana?" tanya Zack secara tiba-tiba.

Mendadak Thea menoleh dan terdiam sejenak, rasa yang aneh menyelimuti seluruh tubuhnya. Tatapan mata hijau itu mampu menghipnotis si gadis untuk merasakan betapa kelamnya kehidupan yang ada di balik manik hijau tersebut.

Zack kembali bertanya, "Kau menyetujuinya atau tidak?"

Tidak ingin melewatkan hal itu Thea mengangguk saja sebagai jawaban. Setelah itu keduanya memilih pamit pada Anantha dan Dich yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Di tengah perjalanan sempat sebuah ide baik muncul di otak Thea, hari ini ia akan mengajak pemuda di sampingnya untuk menikmati rasanya cokelat panas buatan Venic. Walaupun ia tidak yakin jika pemuda itu mau menerima ajakannya.

Gadis bermanik biru itu menarik napasnya dalam-dalam, meyakinkan hatinya untuk lebih berani. "Zack ... apa kau mau menikmati sore ini dengan secangkir cokelat panas?" tanya Thea sembari berharap cemas.

Si pemuda menoleh sekilas dan akhirnya menjawab, "Tentu saja." Dengan senyum mengembang akhirnya Thea menuntun pemuda berambut pirang itu untuk ikut dengannya.

Di Grillsy Kafe. Suasana di sore itu tampaknya lebih kondusif dari beberapa hari terakhir yang terkesan ramai pengunjung. Bisa tebak kenapa? Karena cuaca yang akhir-akhir ini lumayan berubah, karena mendekati akhir tahun dan itu berarti musim dingin akan datang.

"Hai, Venic," sapa si gadis pada wanita yang tengah berjalan melewati meja mereka.

Venic menghentikan langkahnya dan menatap Thea dengan pandangan yang luar biasa terkejut. "Thea? Kau ...." Ia menatap ke arah Zack yang kini mengalihkan pandangannya, pura-pura tidak mendengar percakapan antara kedua perempuan itu. "Apa dia kekasih barumu setelah Light?"

Gadis berambut cokelat itu menggeleng keras. "Sudahlah, Venic. Aku tidak ada hubungan apa pun dengan Light, begitu pula dengannya," bisik Thea.

Akhirnya Venic mengerucutkan bibirnya merasa kecewa. "Baik, kalian ingin memesan apa? Satu paket ala Quinnzel atau hanya cokelat panas? Oh, atau menu lainnya?" tanya wanita berambut blonde tersebut.

Zack menoleh dan sempat mengernyit. "Paket Quinnzel?"

Venic mengangguk dan mulai menjelaskan artinya, "Menu itu buatan Thea, isinya ada satu cangkir cokelat panas, sebuah sandwich telur dan sebuah permen cokelat dengan bentuk beruang."

Thea sempat hampir tertawa saat teringat akan hal itu, masa di mana ia memaksa Venic untuk menambahkan menu hemat ala dirinya di dalam list Paket Hemat.

"Baik, kami akan memesannya," ujar Zack pada akhirnya.

Venic mengangguk paham dan pergi bersama catatannya. Kini giliran Zack menatap gadis di hadapannya ini dengan raut sedikit terkesan dingin dan datar. Si gadis yang merasa aneh pun berbalik menatapnya dengan raut penuh tanya, seakan mempersilakan Zack untuk mengungkapkan isi hatinya.

"Light, siapa dia?"

Deg! seketika rasa aneh Thea rasakan di seluruh tubuhnya. Perasaan kecewa, sesal, kemarahan dan ... semua seakan bercampur aduk ketika nama itu disebutkan. Si gadis sempat bingung harus menjawab apa. Bagaimana cara Thea menjelaskan tentang pemuda itu? Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menghela napas panjang dan mencoba membuat dirinya lebih tenang.

"Light? Ya, dia pemuda yang baik, dia ... dia itu keponakan dari Nyonya Revelin, guru pianoku," ucapannya sembari memainkan jemarinya yang sudah berkeringat.

"Benarkah? Jadi kalian sempat dekat atau bagaimana?" tanya Zack.

"Kami sebenarnya hanya teman biasa, kami bertemu dan berlatih bersama. Tapi dia sekarang telah—"

Belum sempat si gadis menyelesaikan ucapannya, Zack sudah menyela pembicaraan dengan berkata, "Dia sudah pergi, pergi untuk melanjutkan sekolahnya, benar kan?"

Tampaknya si gadis lebih heran dari sebelumnya. "Bagaimana kau tahu hal itu?" tanya Thea dengan raut bingungnya.

"Aku tahu semua tentangmu, semuanya," tandas pemuda berambut pirang khas miliknya.

Kedatangan Venic membuat Thea kembali terdiam, karena ia sendiri tidak ingin membuat Venic kembali berceloteh panjang tentang pemuda bermakna 'cahaya' yang sempat menjadi bagian dari hidupnya yang gelap.

Thea sempat menatap wanita blonde itu, kemudian memiliki sebuah pertanyaan yang kemungkinan besar mampu dijawab oleh Venic. "Aku ingin bertanya suatu hal padamu, Venic," ucap Thea, "Apa kau mengenal mereka?" tanya si gadis sembari mengeluarkan sebuah foto kusam yang sempat ia temukan beberapa minggu bahkan bulan yang lalu.

"Sebuah keluarga terpandang di kota Bedlam, si pria adalah bos mafia, Antraxs. Dan kau tentunya tahu siapa dia," jelas Venic dengan nada yang sedikit lirih. "Sedangkan wanita ini, dia anak dari walikota kita yang menjabat enam tahun lalu, namanya Zalira Lloyd atau Zalira Raltfoy." Venic menunjuk seorang wanita dengan balutan dress merah maroon yang tampak pas di tubuhnya.

Si gadis mengangguk paham, sedangkan pemuda yang ada di hadapannya tampak lebih diam dari sebelumnya, entah kenapa sikapnya sedikit berubah hari ini. Bahkan tanpa disadari, pemuda itu mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Venic kembali melihat foto itu. "Ini anak mereka, putra satu-satunya yang seharusnya menjadi penerus dari kekayaan dan kejayaan The Raltfoy. Namun, sayang sekali dia telah tiada karena kejadian itu," ungkap si wanita sembari menunjukkan raut sendu.

Tea mengamati lebih teliti foto itu, ada yang aneh dari keluarga kecil ini. "Apa seluruh keluarga Raltfoy itu memiliki keturunan dengan rambutnya yang berwarna pirang salju?"

Pertanyaan itu langsung saja di setujui oleh Venic. "Ya, sejak Raltfoy mulai berkuasa, mereka memang memiliki keturunan semacam itu, jadi sangat dengan mudah untuk mengetahui siapa keturunannya," terangnya sebagai bentuk penjelasan. "Tapi rasanya itu tidak berlaku untuk sekarang ini. Karena kau tahu sendiri, banyak orang yang memiliki ciri rambut seperti itu, terlebih mereka dengan mudah mewarnainya agar mirip," lanjut wanita berambut blonde tersebut.

Kini pandangan si gadis tertuju pada Zack yang sama-sama menatapnya. "Rambutmu juga mirip seperti mereka, Zack," ungkap Tea kemudian.

Pemuda itu menyentuh rambut pirang miliknya. "Aku baru menyadarinya," ucapnya masih dengan raut datar, seakan enggan bergabung dengan pembicaraan mereka.

Akhirnya setelah keheningan di dalam kafe itu, Zack dan Tea memilih untuk pulang. Sesuai ucapan si pemuda, ia mengantarkan gadisnya itu sampai di depan rumahnya. Tapi mendadak Tea terdiam di tempatnya saat sebuah mobil merah menyala terparkir rapi di depan rumahnya. Gadis itu pun menoleh ke arah Zack dan bertanya-tanya.

"Coba kau masuk saja, jika tidak ada ancaman aku akan pulang," ujar Zack.

Si gadis menuruti ucapannya dan beranjak masuk. Maniknya menemukan seorang wanita dengan dandanan rapi tengah duduk di atas sofa ruang tengah. Dengan rasa penasaran ia mendekat, untuk Zack ia masih menunggu di depan pintu utama tanpa ada niatan untuk masuk.

Tea masih menatapnya dengan raut bingung. "Siapa kau? Bagaimana bisa kau masuk tanpa izin?" tanyanya.

"Oh, kau Latea Valerie Burton?" Orang itu bertanya balik pada Tea, kemudian ia mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. "Perkenalkan, aku Lavina Sezer," ucap wanita itu dengan gaya anggun bak putri bangsawan.

Si gadis menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti. "Lalu?" Wanita itu menghela napas panjang dan mendudukkan dirinnya lagi. "Aku adalah kakak dari ibumu, Laudya Sezer," terangnya.

Mendengar itu membuat si gadis menggeleng tidak percaya. "Tunggu, apa aku salah dengar?"

Lavina giliran menggelengkan kepalanya. "Tidak, kau mendengarnya dengan sangat jelas. Aku adalah kakak dari ibumu yang telah tiada karena kecelakaan pesawat," lanjutnya menjelaskan. Lavina menatap ke arah pintu dan kembali menatap Tea. "Siapa yang kau ajak? Teman lelaki?" tanyanya sembari tertawa kecil.

Si gadis yang baru sadar pun menggeleng dan keluar guna memberikan jawaban pada Zack. "Ah, maaf jika lama. Tampaknya aku memang baik-baik saja, hanya kerabat lama," ucap si gadis.

"Sungguh? Baiklah." Zack mengubah posisinya untuk menghadap langsung si gadis dan tanpa basa-basi langsung mengecup begitu saja kening Tea. "Sampai jumpa, Valerie."

Tea sempat membeku di tempat, tak ada kata yang bisa terucap setelah perlakuan tiba-tiba dari Zack. Bahkan ketika pemuda itu mulai berjalan menjauh, dirinya masih di sana, menatap dengan pandangan kaget.

Sampai detik berikutnya Tea pun tersadar dan segera masuk ke dalam untuk mengetahui lebih dalam tentang asal keluarganya. Kini ia berhadapan dengan wanita berpakaian rapi itu. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Lavina berdiri dan memberikan secarik kertas pada Tea. Kerutan samar terlihat di wajah si gadis, ia menatap wanita itu dengan pandangan tidak percaya. "Rumah sakit jiwa?" ulangnya.

Wanita itu memberikan sebuah senyum manis dan menganggukan kepala, ia berjalan mendekati Tea. "Ya, kau tahu jika keadaan Adilson sangatlah buruk. Aku tidak ingin dia merugikanmu dan orang disekitarnya," tutur Lavina yang berusaha membujuk si gadis untuk menyetujui hal ini. "Dan untuk dirimu, aku sudah mencarikan tempat yang cukup baik dan nyaman untukmu," lanjutnya, ia menatap sekitar ruangan yang menjadi tempatnya berada. "Besok aku akan datang dan memandu dirimu untuk berkeliling ke rumah baru, bagaimana?" tawar si wanita sembari menepuk pundak Tea.

Si gadis manis memegang kertas itu, ada sebuah perasaan tak enak dalam dirinya ketika harus menempatkan sang ayah di rumah sakit jiwa.

"Lalu nantinya kau akan pindah pada hari yang ditetapkan, lebih tepatnya saat ulang tahunmu," lanjut Lavina.

Tidak ada jawaban sama sekali dari gadis berambut cokelat itu. Pikirannya seakan melayan jauh, ia tidak lagi bisa memikirkan hal ini.

Karena merasa selesai dengan tugasnya akhirnya Lavina memilih mengambil tasnya dan menatap lekat anak dari adiknya itu. "Baik, aku rasa kau harus membersihkan diri dan bergegas tidur, aku tidak ingin ada yang kurang darimu saat aku menjemput di keesokan hari," ucapnya sembari mengusap pelan puncak kepala si gadis. "Ingat itu Latea Burton."

Tea menatapnya dengan pandangan tajam. "Latea Valerie Quinnzel, itu namaku," gumamnya yang terkesan sangat lirih. Mungkin Lavina tidak mendengarnya karena ia telah berjalan keluar.

Langsung saja si gadis membuang kertas itu dan berlari menuju kamarnya. Apa-apaan ini? Saudara dari ibunya? Kenapa ia tidak pernah tahu bahwa selama ini dirinya mempunyai kerabat? Dan ke mana mereka saat ibunya meninggal? Kenapa baru sekarang?

Semua pertanyaan itu seakan meluap begitu saja, ia tidak lagi bisa memikirkannya. Kenapa ibunya tidak pernah menceritakan latar belakang keluarganya yang asli. Lalu, kenapa mereka sama sekali tidak pernah menjenguknya atau bahkan sekedar menjaga hubungan baik. Semuanya menjadi sangat kacau, benar-benar kacau dan rumit.

Biarkan malam menjadi penenang untuk Tea, biarkan malam yang melarutkan seluruh keluh kesah dan kesedihannya. Dan izinkan tubuh yang rapuh ini membuka gerbang mimpi, memasukinya lebih dalam agar bisa melupakan apa pun yang ada di dunia. Biarkan saja semuanya hanya seperti angin yang berlalu, hanya sekadar lewat tanpa menyakiti.

***

Pagi ini Tea berada di dalam mobil milik wanita yang kemarin datang dengan memperkenalkan diri sebagai bibi nya. Ia tengah duduk diam sembari menatap jalanan beraspal yang mereka lewati, tidak ada pembicaraan sama sekali kecuali alunan musik ringan yang mengiringi perjalanan mereka.

Dapat ia lihat dengan jelas mobil yang mereka tumpangi memasuki area yang cukup luas dan juga sepi, mereka kini tengah berada di sebuah perumahan yang letaknya cukup jauh dari rumahnya yang dulu. "Perumahan?" tanya Tea.

"Ya, kau akan menempati salah satu rumah yang ada di sini pastinya," balas Lavina sembari menepikan mobilnya di salah satu halaman rumah yang ada di sana.

Keduanya turun, Tea masih tidak tahu harus mengungkapkan apa, ia masih bingung, kecewa sekaligus bahagia. Lavina berjalan ke arah pintu sembari berucap, "Walaupun sebenarnya aku tidak peduli dengan dirimu, tapi walau bagaimanapun ibumu pernah berpesan agar aku membawamu ke rumah ini."

Gadis itu kini berdiri di ambang pintu sembari melihat sekelilingnya yang tampak asing dan berbeda. Ia baru sadar jika rumah ini sudah di isi dengan berbagai macam perabotan unik dan antik. Berbagai macam lukisan tergantung rapi di tembok berwarna putih mengkilap itu, sebuah lemari kaca yang sangat panjang terletak di ruang utama dengan berbagai macam benda-benda yang sangat menakjubkan.

"Kau pasti bingung, kan?" Wanita itu duduk di sofa panjang yang ada di sebelahnya. "Sebenarnya rumah ini di rancang khusus untuk setiap anak di keluarga Sezer. Jadi nantinya ketika seorang anak yang sudah berusia 17 tahun, mereka harus tinggal di rumah tersebut. Alasannya sebagai bentuk sikap mandiri dan bertangung jawab."

Ia menatap sekitar dan membelai sofa lembut yang ia duduki. Tea pun juga tampak memandangi suasana di sekitarnya. Tempat yang nyaman dan sepi, sunyi.

"Keluarga kami menerapkan sistem ini, karena ini adalah salah satu sikap terpenting. Terlebih jika anak perempuan, mereka nantinya pasti berkeluarga dan memiliki tanggung jawab tersendiri, maka dengan ini di bentuklah sistem ini.," lanjutnya.

Tea mengangguk dan bertanya, "Apa itu juga berlaku pada anak laki-laki?"

Lavina tersenyum manis dan mengangguk sebagai jawaban. Wanita berambut hitam pendek itu menepuk tempat di sebelahnya, Tea yang paham segera mendudukkan dirinya di sana dan menunggu penjelasan dari Lavina.

"Seluruh anak yang lahir di keluarga Sezer memiliki peraturan ketat. Anak laki-laki maupun perempuan akan di perlakukan sama. Derajat mereka sama, jadi tidak akan ada yang namanya perempuan jauh lebih sengsara." Lavina menjeda ucapannya sejenak. "Anak laki laki akan memiliki rumah mereka, tapi dengan satu syarat, ia tidak boleh menyalahgunakan bentuk kemandirian tersebut. Karena kebayakan anak lelaki suka memberontak dengan melakukan aksi mereka sendiri, tapi di Sezer kami akan melakukan pengawasan yang jauh lebih baik," lanjutnya.

Tea sekarang mulai paham dengan apa yang di ucapakan Bibinya ini. "Sistem bentuk apa itu? Apakan pembatasan waktu atau bagaimana?"

Tersenyum tipis, Lavina kembali berucap, "Mereka memiliki jam tersendiri. Sungguh, ini peraturan yang sangat panjang, kau bisa menanyakan hal ini pada Chris jika ingin memahaminya lebih jauh. Oh, atau nanti aku akan tunjukkan daftarnya padamu."

"Baiklah, tak masalah."

Lavina bangkit dari duduknya dan menyentuh beberapa barang yang menarik perhatian. Kenangan lama muncul begitu saja, membangkitkan kisah lama yang berusaha ia kubur.

"Sebenarnya dahulu Laudya akan diusir dan dicoret dari keluarga Sezer. Namun, karena aku merasa kasihan maka dari itu ibumu masih tetap menjadi keluarga Sezer, walaupun dengan sedikit pengecualian."

"Mengapa? Apa yang dilakukan ibuku sampai harus dicoret dari keluarga Sezer?" tanya si gadis yang tak paham.

Lavina hanya menatapnya dengan sedih, tak sanggup jika harus menjelaskan penyebab dari diusirnya sang ibu dari gadis di depannya. "Sebenarnya itu masalah yang cukup rumit, terkadang ada beberapa perbedaat pendapat."

Wanita berambut bergelombang pendek itu tersenyum lebar dan menyentuh kedua pundak si gadis. "Ah! Mau ikut denganku, Latea?" Tea menatapnya dan menunjukkan wajah bertanya. "Sezer's Mansion, kita akan ke sana," ujar Lavina ketika tahu maksud dari tatapan si gadis.

Karena tidak ada pilihan akhirnya Tea memilih ikut saja, toh hari ini dirinya tidak ada janji dengan siapa pun. Mobil merah mereka melaju kembali ke sebuah rumah besar yang tidak jauh dari tempat pertama. Gerbang dengan warna hitam berlogo S itu terbuka dan menampilkan sebuah rumah besar dan elegan.

"Welcome back, Latea Sezer," bisik Lavina. Ia tersenyum menatap gadis di sampingnya.

Kedua perempuan itu turun dari kendaraan yang membawa mereka, tatapan kagum terlihat pada wajah Tea. Rumah bercorak mewah dengan cat putih yang mewarnai seluruh sisi rumah, bagian atap di dominasi dengan warna biru laut yang tampak serasi dan selaras. Halaman yang luas di tumbuhi dengan rumput-rumput hias yang di potong secara rapi, lalu bagian kanan dari halaman terdapat sebuah kolam air mancur yang memiliki inisial S.

Lavina menggenggam erat tangan gadis manis itu dan menuntunnya ke dala. "Good morning!" seru wanita yang tengah menggengam tangan Tea.

Di hadapan mereka seorang gadis kecil dengan rambut kemerahan datang dengan senyum lebar. "Hello, Latea! Welcome back!" Ia memeluk erat pinggang Tea dan memberikan senyum semanis mungkin.

"Hai, boleh aku tahu namamu?" tanya Tea. Terlihat jelas jika ia tampak tertarik dengan gadis cantik dan mengemaskan itu. Gadis kecil dengan wajah mengemaskan, kulit putih bersihnya, manic berwarna biru tenang yang indah dan bibir mungil yang menambah kesan bagaikan putri bangsawan.

"Daisy Venez Sezer, you call me Daisy," balasnya dengan aksen Inggris yang sangat fasih dan baik.

Tea menarik sudut bibirnya. "You so beautiful," ucapnya lirih. Tea menatap Lavina sekilas, wanita itu tampak memberikan intruksi agar putrinya itu segera masuk.

"Thank you," ucap Daisy sebelum akhirnya ia berlari menaiki satu persatu anak tangga yang menghubungkan antara dua lantai. Kini tinggalah dua perempuan yang sama-sama memakai dress elegan selutut khas keluarga Sezer.

"Ayo, temui kakekmu!" ajak Lavina.

Sepanjang jalan yang ia lewati, semuanya dihiasi furniture-furniture bercorak gold dengan gaya elegan dan mewah. Sebuah perasaan aneh muncul dalam benak Tea, ada rasa pedih yang tersembunyi jauh. Entah kenapa setiap melihat sudut rumah ini rasanya tidak adil saja ketika ia dan ibunya harus merasakan hidup yang jauh dari kata bahagia.

Perjalanan mereka terhenti pada sebuah pintu besar yang memiliki lambang S. Ketika pintu itu terbuka, di depannya tersuguh sebuah meja makan panjang, meja itu dihuni oleh seorang pria yang cukup tua—tapi masih telihat bugar—dengan tampilan rapi bagaikan seorang bangsawan yang tengah menyantap makanannya.

Di sisi kanannya ada seorang pemuda berambut hitam dengan tatapan dingin menatap ke arah pintu tempat Tea masuk. Dan ada beberapa anggota keluarga yang lain tengah menikmati sarapan mereka.

"Good morning," ucap Lavina.

Keduanya mulai melangkah. Seorang wanita dengan wajah cantiknya tersenyum manis ke arah Tea, dengan senang hati si gadis membalas senyuman itu. Lavina dan Tea berhenti tepat di hadapan seorang pria berkumis yang sudah memutih.

Lavina kembali bersuara, "Ini Latea Valerie Sezer," ujarnya memperkenalkan gadis yang ia bawa. Semuanya terdiam, tidak ada yang merespon kehadirannya.

Wanita yang tengah duduk tadi bangkit dan memberikan respon positif untuk menyambut keluarga barunya. "Duduklah, Latea." Tatapan sendunya sangat mirip dengan sang ibu, tatapan menangkan dan lembut.

Tea masih terdiam kaku, tidak tahu harus berbuat apa di depan keluarga yang memiliki gaya seperti keluarga kerajaan. "Eumm ... ya, terima kasih," ucap si gadis yang hendak menarik kursi itu.

Keheningan mereka mendadak berubah saat sebuah suara nyaring berasal dari ujung meja, ketika sendok dan piring saling bertabrakan. Semuanya menatap ke arah pria yang memiliki tampang dingin dan tegas itu.

Kini si pria menatap Tea. "Latea Valerie Sezer?" Itu suaranya, ia tersenyum miring dan mengambil segelas air untuk di minum. "Siapa yang memberimu marga Sezer?" tanyanya masih dengan tatapan menusuk.

Tea masih saja terdiam, ia sedikit takut untuk menjawabnya.

"Adilson Burton, pria gila yang datang dengan cara tidak sopan dan membawa pergi putri kesayanganku. Kau putrinya, bukan?"

Lavina menggenggam erat tangan Tea. Si gadis sempat menoleh sekilas menatap Bibinya itu. Wanita itu sepertinya bisa menebak bagaimana respon ayahnya itu, terlebih seja awal si pria tak pernah menerima ayah dari Tea.

Wanita yang ada di depan Tea tadi tampak menghentikan aktivitasnya dan menoleh. "Ayah," panggil dengan suara yang benar-benar lembut. "Saya mohon, jangan."

"Jangan ikut campur, Laura. Biarkan dia tahu jika ayahnya adalah seorang pria yang sangat sangat menjijikkan dan hina!" cela pria bermarga Sezer tersebut. "Bagaimana bisa gadis seperti dirimu menjadi bagian keluarga Sezer?! Tidak punya etika dan penampilan kuno!"

Tea mengepalkan tangannya, rasanya ingin sekali mencakar-cakar pria itu.

Pria itu terdiam sejenak, tangannya meraih sebuah anggur dan memasukkanya ke dalam mulut. "Bahkan orang seperti dirimu tidak pantas hidup!" tandasnya disertai tatapan sinis pada si gadis bermanik biru.

"Cukup," lirih Tea. Ia bangkit dan menatap pria yang menjadi kakeknya itu. "Anda sama sekali tidak pantas mengucapkan hal itu, sekalipun Anda berasal dari keluarga terhormat," ucapnya.

Tea melepaskan genggaman Lavina dari tangannya, tatapan matanya yang sendu menatap pria itu. Sedangkan si pia tak berhenti menatap cucunya dengan tajam dan penuh dendam.

"Aku masih beruntung memiliki dia, meskipun ia memperlakukanku dengan kasar." Tea menahan air matanya agar tidak jatuh. "Yang aku sesali sekarang adalah, aku memiliki darah Sezer!" tandas si gadis.

Ia segera berlari keluar dengan perasaan penuh penyesalan. Tea benar-benar menyesal karena telah datang, terlebih lagi kedatangannya hanya menjadi sasaran hinaan dari pria tua itu.

Hatinya terasa seperti di remas-remas oleh sesuatu yang kasar, hingga rasanya sangat sakit. Bahkan saking sakitnya, ia tidak lagi bisa membedakan suatu kasih sayang dan kebencian. Keduanya sama, sama-sama menyakitkan dan menghancurkan.

Di hari yang seharusnya menjadi hari paling bahagia, kini berubah menjadi hari paling menyakitkan yang pernah ada. Andai saja ia bisa terlahir kembali di dalam keluarga yang jauh dari orang-orang munafik, dari orang-orang yang gila akan kedudukan dan dari orang-orang yang hanya mementingkan harta.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top