14: New Suspicion

***

Di Atherty High School sekarang seluruh murid tengah sibuk mempersiapkan ujian mereka. Ya, ini ujian akhir semester mereka, sungguh, tidak terasa begitu cepatnya. Ketika ujian tiba itu berarti hari libur panjang akan segera tiba, dan hari-hari itulah yang selalu menjadi favorit setiap siswa, benar bukan?

Sekarang saat Tea baru saja datang bersama Anantha, keduanya sempat heran saat teman sekelasnya justru sibuk membicarakan sesuatu yang terlihat lebih penting dari pada membahas ujian di pagi hari. Karena penasaran akhirnya Anantha memangil salah satu siswi cukup dekat dengannya. "Meira!"

Merasa di panggil, si gadis bernama Meira itu menoleh dan mendekat. "Ya? Kau memanggilku?"

"Apakah ada sesuatu? Sampai-sampai pagi ini mereka sibuk mengobrol?"

Meira menatap ke arah Tea sekilas dan tersenyum, senyum yang terkesan paksa dan tidak ikhlas. "Ada orang tua dari salah satu murid dari Atherty yang datang dan meminta pertanggung jawaban karena anak mereka belum pulang selama dua hari," jelas Meira.

Anantha sempat terkejut akan hal itu, ia menoleh menatap Tea yang sama-sama tidak mengerti apa pun tentang hilangnya salah satu murid.

"Dia diculik," sahut salah satu siswi yang tidak lain adalah teman Meira, gadis berwajah manis itu melangkahkan kakinya mendekat.

"Benarkah? Siapa murid itu?" tanya Anantha yang masih sangat penasaran, pasalnya ia memang tidak tahu berita ini, terlebih lagi sekarang tidak ada sesuatu mencurigakan yang muncul.

Tatapa Meira masih saja tertuju pada gadis bermanik biru di sebelah Anantha. "Teman sekelas kita, Stiv," balasnya dengan raut yang benar-benar penuh akan kebencian.

Menyadari tatapan jahat dari Meira segera saja Anantha mengucapakan terima kasih atas penjelasannya panjangnya. "Terima kasih, kau memang baik," ucap gadis berambut hitam tersebut.

Meira dan geng kecilnya itu melangkah pergi dengan seulas senyum. Setelah Meira benar-benar pergi, Anantha baru mengubah posisi duduknya untuk menghadap langsung Tea yang duduk di sampingnya.

"Kau tahu maksudku, Tea?" tanyanya sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja yang menjadi tempatnya belajar.

"Tidak ada angka-angka apa pun atas kejadian ini," sela Tea.

Gadis berambut hitam itu mengangguk. "Ya, bagaimana bisa?" Ia mengerutkan keningnya heran. Tea teringat sesuatu tentang beberapa hal yang ia bahas beberapa waktu yang lalu, tentang hubungannya antara Atherty High School, Antraxs, Black Hold, dan V20X. Apakah kematian tak wajar dan menghilangnya siswa-siswi Atherty ada hubungannya dengan ketiganya?

Anantha yang melihat Tea diam, kemudian berucap, "Mungkinkan orang itu tahu kalau kita memecahkan kode ini?" Sepertinya ucapan dari Anantha ada benarnya, Tea juga hendak mengemukakan pikiran itu. Mungkinkah pembunuh itu tahu akan hal ini dan membunuh diam-diam mereka yang dirasa pantas?

"Kita harus segera cari tahu kebenarannya."

***

Apa kalian pernah jatuh cinta? Bagaimana rasanya? Apakah seperti jatuh ke dalam sebuah lingkaran yang dipenuhi dengan hati. Atau ... justru membuat kalian jatuh ke dalam lubang besar yang entah bagaimana caranya untuk keluar? Entahlah, bagi setiap orang cinta itu ada arti tersendiri.

Tea adalah tipe gadis yang sulit untuk jatuh cinta. Namun, entah kenapa sejak ia mengenal sosok Zack perasaannya seakan sulit untuk dijelaskan, antara iya dan tidak. Tea mengangumi sifat Zack yang begitu menawan dan menarik, tapi ia sendiri belum memahami sisi lain pemuda itu. Terlebih saat keduanya pulang bersama kemarin, apa itu bentuk dari sisi lain si pirang? Bagian gelap yang selama ini tertutupi kesempurnaanya?

Kini gadis berambut coklat itu berjalan sendiri di koridor sekolah yang sepi, ia baru saja selesai dengan tugasnya di ruang musik dan sudah waktunya untuk gadis itu pulang. Karena terus saja menunduk dan mengangumi lagu barunya sampai-sampai Tea tak sadar telah menabrak seseorang. Alhasil beberapa buku yang ada di tangannya harus jatuh berserakan di lantai.

"Kau sebenarnya punya mata atau tidak?!" kesal orang tersebut.

"Maafkan aku, tolong maafkan aku," ucap Tea yang kini mendongak menatap orang yang ia tabrak.

"Larva," gumam pemuda itu amat lirih. Hillen, ia hanya berdiri di sana sembari melihat Tea yang sibuk memunguti bukunya, manik matanya yang berwarna biru persis seperti milik Tea menatap si gadis dengan pandangan yang sedikit melembut.

Selesai dengan kegiatannya segera si gadis berdiri. "Sekali lagi maafkan aku, aku tidak sengaja," ucap si gadis yang masih sibuk mengalihkan pandangannya dari tatapan Hillen yang terkesan aneh.

"Apa kau dibalik pembunuhan kejam ini?" tanya Hillen tiba-tiba. Nada bicara pemuda itu kini terkesan berbeda dari biasanya.

Mendengar ucapan dari Hillen membuat si gadis bermanik biru tersebut mendongak. "Apa?! Kenapa kau menuduhku seperti itu?" Tea menatap pemuda di hadapannya dengan raut tidak percaya.

Pemuda berambut cokelat kemerahan itu tersenyum, ia lalu menatap Tea dengan serius. "Dulu Flysi dan Vica mati, semua orang tahu kalau mereka berdua suka menindasmu. Apakah hilangnya Stiv itu karena kau benci dengannya?" tanya Hillen dengan menekankan kata benci.

Si gadis menautkan kedua alisnya. "Aku sama sekali tidak mengerti dengan ucapanmu," tandasnya yang hendak pergi dari tempatnya. Namun, sebelum itu Hillen menggapai tangan Tea dengan cepat.

"Apa setelah Stiv itu berarti giliranku?" tanya Hillen, di dalam manic biru itu seolah mengisyaratkan perasaan terpendam yang selama ini selalu menghantuinya.

"Kau bicara apa?" Gadis berambut kecokelatan itu mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Hillen, tapi entah kenapa itu tidak berhasil, justru Hillen semakin membuatnya kesakitan dengan cekalan nya yang sangat kuat.

"Jawab, Larva! Kau pasti telah menyuruh orang untuk membunuh dan menculik mereka, bukan!" ujar Hillen dengan mata yang memerah.

Merasa tidak nyaman dengan kondisinya sekarang, si gadis dengan sekuat tenaga melepas genggaman tangan Hillen. "Cukup! Aku sama sekali tidak ada urusannya dengan kematian mereka!" tegasnya dengan sorot mata yang sudah geram.

Keduanya beradu pandang selama beberapa detik sampai akhirnya Hillen bergumam lirih, gumaman yang berhasil membuat Tea tersadar jika pemuda ini adalah orang yang selalu menindasnya. "Kau memang pembunuh yang sebenarnya."

Napas si gadis masih belum stabil, ledakan emosi itu berhasil membuatnya hampir kehilangan kontrol akan dirinya sendiri. Mereka masih dalam posisi sama, Hillen mengurung si gadis dalam cekremannya, seakan tak mengizinkan untuk Tea kabur.

"Aku akan mengungkap semua tentang dirimu, Larva," bisik Hillen yang kini berada dekat dengan gadis itu, ia tersenyum miring. "Dua tuntutan akan membuatmu langsung di keluarkan dari Atherty, ingat!"

Tea terdiam membisu, ia tidak bisa lagi mengelak jika memang harus di keluarkan dari Atherty hanya karena tuduhan dari keluarga Aerys dan Hillen. Si gadis berusaha menatap lawannya dan mengangguk. "Baik, jika aku memang harus di keluarkan. Karena aku akan terjauh darimu untuk selamanya."

Hillen Andrew Gordon, ia tersenyum paksa melihat reaksi dari gadis di hadapannya. Namun, dengan terpaksa pemuda itu mengurungkan niatnya untuk berucap, saat sebuah suara berasal dari samping. Keduanya menoleh, mendapati sosok pemuda lain yang memiliki rambut pirang khas miliknya.

"Zack?" gumam Tea dengan penuh rasa syukur saat pemuda itu datang, entah kenapa Zack baginya adalah sosok penyelamat yang datang di waktu yang tepat.

Zack memberikan senyum tipis dan menatap Hillen. "Hai, Hillen. Kalian berdiskusi? Atau membicarakan hal lain?"

Tidak ada jawaban dari Tea, sedangkan pemuda dengan manik biru yang berada di sebelah kiri Tea mulai berucap, "Tidak ada hubungannya denganmu, K!" sinis Hillen sembari tersenyum miring yang terkesan meremehkan, entah kenapa senyum itu selalu menjadi senyum andalan milik Hillen.

Zack kemudian mengandeng tangan Tea. "Baiklah, aku akan membawanya pulang jika memang tidak ada yang di bicarakan," tandas si pirang.

Hillen bertepuk tangan, ia tersenyum lebar, sangat lebar bahkan. "Wah, wah, ternyata ini pelindungmu, Larva. Pemuda pirang yang suka tebar pesona?!"

Zack menolehkan wajahnya, menatap lekat lekat sosok Hillen yang masih tersenyum dengan lebarnya. "Sedangkan kau? Yang suka memamerkan kekuasaan ayahmu?" balas Zack yang masih terlihat santai. Hillen terdiam, ia tidak bisa lagi membalas ucapan menohok dari sosok Zack. "Kenapa? Kehabisan kata-kata?" tanya pemuda berambut pirang dengan senyum miring.

Karena geram akhirnya Hillen membuka mulut lagi, "Aku akan membuatmu di keluarkan dari Atherty sama seperti dia!" ancamnya dengan nada tajam.

Zack mengendikkan bahunya dan menunjukkan sikap tak acuh. "Terserah kau saja, Hillen Andrew Gordon," balas pemuda bermanik hijau kelam yang menjadi perisai bagi Tea.

Pemuda berambut pirang itu kemudian menatap ke arah Tea, mengenggam erat tangannya dan melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar pergi ia menghentikan langkahnya lagi dan menoleh. "Valerie kini berada dalam jangkauanku, kau tidak akan bisa lagi menganggu bahkan mengambilnya," tandasnya sebelum akhirnya ia pergi bersama dengan si gadis.

Hillen yang masih di tempatnya berada kini tampak mengepalkan tangannya menahan emosi. "Aku akan membuatmu di depak dari Atherty, ingat itu Kleyfan Zack!" lirihnya. Rautnya benar-benar menunjukkan sebuah kebencian yang mendalam.

***

Beberapa minggu setelah ujian dan perdebatan sengit antara Zack dan Hillen. Kini tampaknya sekolah menjadi lebih santai karena semua murid hanya akan menunggu hasil dan mendapat libur panjang sampai musim dingin berakhir. Tampaknya hari-hari sebelum libur panjang tiba, Zack harus mendapatkan panggilan dari kepala sekolah terkait masalahnya dengan Hillen seminggu yang lalu. Mungkin baru akan di bahas hari ini karena Mr. Mohan tidak ingin mengganggu proses ujian, terlebih Zack adalah siswa kelas akhir.

Pemuda yang tengah menunggu di ruang besar dan bersih itu menoleh tatkala seorang pria masuk bersama putra semata wayangnya. "Selamat siang, Kleyfan," sapa Mr. Mohan dengan senyum yang terkesan ramah.

"Selamat siang, Kepala Sekolah Gordon," balas Zack seraya menatap Hillen dengan tersenyum lebar. Lain hal dengan pemuda berambut kemerahan itu, ia menunjukkan senyum muak sekaligus kebencian.

"Hari-hari yang melelahkan, benarkan, K?" tanyanya berbasa-basi.

Zack membalas dengan sebuah tawa kecil. "Kau benar," balasnya sebaik mungkin.

Mr. Mohan kini duduk di kursinya sembari memandang lebih dalam ke arah Zack, dalam benaknya ada sebuah rasa mengganjal setiap bertemu dengan pemuda berambut pirang tersebut, seolah mengingatkan ia dengan sosok di masa lalu yang selalu menghantuinya.

Karena tidak nyaman dengan tatapan itu akhirnya Zack membuka suara, "Ada apa, Kepala Sekolah Gordon? Adakah sesuatu yang aneh?" tanya si pemuda.

Mr. Mohan menggeleng dan menyadarkan lamunannya. "Tidak, hanya saja, kau selalu mengingatkanku pada seseorang di masa lalu," ujar pria itu sembari tertawa kecil.

Mendengar itu Zack tampaknya sedikit penasaran dengan mengajukan sebuah pertanyaan. "Benarkah? Boleh aku tahu siapa dia?"

Mr. Mohan terdiam sejenak, ia mengalihkan pandangannya dan mulai menjawab, "Ah, dia hanya teman lamaku," balasnya.

Si pemuda menganggukkan kepalanya, ia menunduk sembari tersenyum miris dan sempat bergumam pelan, "Teman lama."

Pria berpangkat tinggi dalam struktur sekolah itu memberikan senyum yang terkesan paksa dan kembali menatap salah satu murid yang menjadi kebanggaannya itu. "Ya, kau benar, dia teman lamaku dulu," balas Mr. Mohan yang tampak lebih kaku dari sebelumnya.

Karena merasa diabaikan, Hillen memajukan tubuhnya menghadap langsung pria di hadapannya. "Ayah!" panggil Hillen mengingatkan apa tujuan mereka di sini.

Mr. Mohan seketika menoleh dan tertawa kecil. "Oh, iya. Maafkan aku, Hillen," ujarnya dengan seulas senyum yang tampak bersalah. "Kita bisa menunggu Mrs. Mezlher terlebih dahulu sebagai guru pendamping siswa," lanjut pria itu.

Tidak lama setelah ucapan Mr. Mohan selesai seorang wanita dengan setelah rapi masuk dan memberikan seulas senyum elegan. "Selamat siang, Mr. Mohan. Maafkan saya karena sedikit terlambat," ucap wanita dengan gulungan besar di kepalanya.

Pria itu menggeleng pelan. "Tidak masalah," ucapnya.

Zack kemudian menatap kembali ke arah Mr. Mohan dan mengusulkan sesuatu, "Permisi, bolehkan aku mengundang seseorang untuk ke sini, sebagai pendamping?"

Sempat saja Hillen hendak berteriak marah dan tak sabar melihat Zack langsung di keluarkan, tapi Mr. Mohan dengan baik hati mengizinkan hal itu. "Dia ini orang yang suka mengulur waktu, huh!" gumam Hillen dengan tawa kecil mengejek.

Beberapa menit berlalu kini datanglah seorang gadis yang selalu mencepol rambut cokelatnya dan sebuah kacamata besar kusam yang setia melapisi mata yang sama sekali tidak bermasalah.

Mr. Mohan menyapa gadis itu dengan senyum yang sangat lebar. "Oh, Latea Quinnzel?!" seru si pria menyambut kedatangan murid kebanggaannya. Tea tersenyum sebagai balasan dan mengalihkan pandangannya pada Zack yang tengah duduk santai di tempatnya.

"Bisa kita mulai?" sela Hillen yang sudah tidak sabar.

Mohan mengangguk setuju dan mulai menatap serius pada pemuda yang ada di hadapannya. "K, apa kau membuat masalah dengan Hillen? Maksudku jika kau memiliki sedikit masalah dan mengganggu ketenangan Hillen."

Tampaknya suasana serius itu tidak berlaku bagi Zack, ia hanya menatap sekilas pada Hillen yang duduk di sebelahnya. "Masalah? Aku tidak pernah ada masalah dengannya, benar kan, Hillen?"

Hillen memandangnya dengan tajam. "Jangan coba berbohong, Pirang!" sinis Hillen.

"Apa yang kau katakan, Merah? Aku tidak tahu apa pun, bukankah kita berjanji untuk menyelesaikan hal ini dengan cara sehat?" balas Zack yang seolah-olah tidak tahu kejadian seminggu yang lalu. Tea yang duduk di sebelah Zack sempat mengernyit heran dengan penyataan dari pemuda bermanik hijau tersebut.

"Kau—"

Mungkin karena geram Mr. Mohan menyela ucapan putranya dengan nada yang sedikit tinggi. "Cukup!" Ia menatap ke arah Zack dengan pandangan penuh tanda tanya. "K, aku harap kau jujur dengan kami." Ia menjeda ucapannya dan menghela napas. "Hillen mengatakan padaku bahwa kau menghina dirinya, kau juga pernah ikut campur dalam urusannya, benar begitu?"

Zack menghela napasnya dan memajukan tubuhnya. "Do you have proof?" tanya pemuda bermanik hijau, maniknya itu seakan membuat Mr. Mohan larut dalam peristiwa memilukan yang terjadi enam tahun yang lalu.

Pria berambut yang sama seperti milik Hillen itu kemudian menjawab, "Memang aku tidak memiliki bukti, tapi menghina seseorang itu adalah hal yang buruk," tuturnya.

"Benarkah? Apa kau tidak pernah bertanya pada anakmu? Bahwa dia juga pernah menghina orang lain?" tanya Zack memutar balikkan kata-kata.

Pemuda yang ada di sebelah Zack itu seketika menoleh dan mengamuk. "Apa yang kau bicarakan?!" Ia kemudian berdiri dari tempatnya duduk dan menunjuk-nunjuk ke arah musuhnya. "Ayah, aku sudah bilang padamu, dia harus dikeluarkan dari sekolah!"

Mendengar ucapan dari Hillen membuat Mrs. Mezlher ikut mengeluarkan pendapatnya. "Mengeluarkan murid itu bukanlah hal yang mudah, tidak benar jika kesalahan kecil saja siswa harus keluar dari sekolah." Hillen terdiam menahan semua emosinya, sedangkan Zack malah asik memainkan peran sebagai orang yang tersakiti.

Zack pun menyetujui akan hal itu. "Kau benar, Mrs. Mezlher," imbuhnya sembari menatap gurunya tersebut dengan pandangan sendu.

"Ini mungkin hanya kesalahan pahaman saja, Mr. Mohan," ujar wanita dengan gelungan besar di kepalanya.

Mr. Mohan tampak menyetujui hal itu, walau sedikit berat hati jika harus menyalahkan putranya. Tapi dirinya sendiri harus tetap adil dan bijak dalam hal ini. "Ya, kurasa begitu. Jadi tidak akan ada yang dikeluarkan dari sekolah!" tegasnya pada akhirnya.

Karena tugasnya selesai Mrs. Mezlher memilih untuk pamit keluar karena masih ada urusan lainya. Hillen yang tidak bisa berbuat apa-apa langsung pergi dari sana dengan kekesalan yang memuncak. Sedangkan gadis berkacamata yang dari tadi duduk di samping Zack masih tidak percaya akan apa yang terjadi.

Zack menoleh dan menatapnya dengan senyum kemenangan. "Thank you, Valerie," bisik si pemuda. Tea membalas dengan tatapan penuh tanda tanya, tapi belum sampai si gadis menanyakan perihal lain, Zack sudah mengalihkan perhatiannya dan memanggil Kepala sekolah. "Mr. Mohan."

Yang dipanggil pun langsung menoleh dan menunggu ucapan selanjutnya dari si pemuda. "Ada yang ingin kau bicarakan lagi, Kleyfan?"

Tanpa e membalas terlebih dahulu, pemuda itu meletakkan sebuah kotak perekam suara di atas meja tempat kerja si pria. "Aku ingin memberikan ini padamu."

"Apa ini?" tanya Mr. Mohan dengan raut kebingungan.

"Putar saja, sesuatu yang penting ada di sana," balas Zack.

Mohan menuruti ucapan si pemuda, ia menekan tombol on dan dari sana terdengar sebuah percakapan di antara Zack, Hillen dan Tea seminggu yang lalu. Tampaknya pria dengan balutan jas rapi itu sedikit terkejut dengan apa yang ia dengar sekarang ini.

"Putra Anda sendiri yang suka menuduh orang lain, dengan mudahnya menuduh Ms. Quinnzel sebagai pelaku atas pembunuhan yang terjadi di sekolah akhir-akhir ini," kata Zack sembari menatap Tea yang ada di sebelahnya.

Mr. Mohan ikut menatap ke arah Tea, ada sebuah tatapan sedih dalam kedua bola matanya. "Tapi, aku masih tidak bisa menyelamatkanmu dari tuntutan Nyonya Aerys, Latea. Aku benar-benar minta maaf," ujarnya dengan tatapan yang mengisyaratkan kesedihan.

"Aku tahu itu, terima kasih atas usahanya, Mr. Mohan," balas si gadis sembari menunjukkan senyumnya yang mengandung kekecewaan mendalam.

Karena sudah tidak lagi ada kaitannya dengan pria di depannya, akhirnya Zack memilih bangkit dan pamit. "Baiklah, karena tidak ada lagi yang dibicarakan, aku dan Valerie akan pamit."

Mr. Mohan mengangguk, tapi tak lama kemudian ia mengernyit heran. "Valerie?" ulangnya.

Pemuda bermanik hijau itu mengangguk. "Latea Valerie Quinnzel," balasnya sebagai penjelasan atas kebingungan si pria. Setelah itu keduanya akhirnya keluar meninggalkan ruangan besar milik si kepala sekolah.

Tea yang masih tidak percaya dengan pemuda di sebelahnya, pun segera menghentikan langkahnya saat keduanya telah sedikit jauh dari ruang kepala sekolah. "Hei!" seru Tea dengan nada agak tinggi.

Pemuda itu menoleh dan menatap Tea heran. "Ada apa, Valerie?" tanyanya.

"Kau? Kau ini sebenarnya bagaimana?"

Zack mengernyit bingung dengan pertanyaan gadis di sebelahnya, sampai akhirnya tatapan penuh tuntutan dari Tea membuatnya paham. "Oh, kotak perekam? Mudah saja." Ia mengalihkan pandangannya dan membuka suara lagi. "Aku memang sudah ada di sana saat kau dan si merah itu berdebat," lanjutnya.

Tea menatapnya tidak percaya. "Hebat, pantas saja kau tampak lebih santai saat sidang berlangsung," pungkasnya, sebelum akhirnya keduanya memilih kembali ke kelas mereka masing-masing.

Tapi di tengah perjalanan mereka Zack kembali membuka pembicaraan mengenai sesuatu yang di bicarakan Mohan tadi. "Tuntutan apa yang diberikan istri Aerys padamu?" tanyanya yang pandangannya masih lurus ke depan.

"Ah, itu. Sebenarnya itu hanya tuduhan tanpa bukti yang ditunjukkan padaku, Nyonya Aerys secara tiba-tiba datang ke dalam kelas dan menuntutku perihal pembunuhan beberapa waktu yang lalu."

"Dan anehnya, kau diam," lirih Zack yang sudah bisa menebak.

"Zack, aku tahu jika ini bukan salahku, tapi mau bagaimana? Dia berasal dari keluarga terhormat, mereka bahkan termasuk penyumbang dana terbesar di Atherty. Nyonya Aerys juga mengancam kepala sekolah, jika aku tidak di keluarkan saat semester berikutnya dimulai, maka pihak Aerys akan mencabut seluruh kerjasama dengan Atherty."

Zack menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Tea yang ikut berhenti karenanya. "Jadi, kau akan pergi dari sekolah setelah masa libur berakhir? Valerie, itu sangat menyedihkan."

Si gadis pun tahu jika ini sangat menyakitkan, terlebih sekolah ini adalah satu-satunya yang bisa menampungnya. "Aku tahu, ini sangat memalukan, tapi aku sendiri juga tak ingin membuat dampak buruk pada Atherty. Dan untuk sekolah nanti ... entahlah." Ia mendongak menatap Zack. "Terlebih, aku tidak lagi memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah, jadi kemungkinan besar akan bekerja bersama Venic," lanjut Tea

Di balik manik biru dan indah itu ternyata menyimpan banyak sekali luka mendalam yang bahkan tidak diketahui oleh orang lain. Zack mengetahuinya, ia dapat merasakan hal itu. "Tidak, kau tidak akan keluar dari Atherty selama ada aku di sampingmu," tegas si pemuda sembari memberikan senyum lebarnya.

Mendengar ucapan dari Zack membuat si gadis kembali merasa tidak enak, ia menyejajari langkah si pemuda tampak lebih cepat. "Zack, aku tahu kita memang ... berteman, tapi jangan seperti ini," ucap Tea sembari terus mengikuti langkah si pemuda yang memang dasarnya lebih cepat. "Dengar, aku tidak ingin merepotkan dirimu atas perbuatanku, jadi cukup," lanjutnya dengan nada yang terkesan tegas.

Pemuda berambut pirang itu menoleh, hendak mengucapkan sepatah kata sebelum akhirnya ia kembali terdiam tatkala Tea pergi meninggalkan dirinya dengan keadaan yang sedikit kacau. Zack menatap kepergiannya dengan seulas senyum tipis yang sangat berarti.

"Jalan masih sangat panjang, untukmu dan untuk mereka," gumamnya.

***

Berhubung hari ini ada sedikit waktu luang untuk para siswa, hal ini di manfaatkan Tea dan Anantha untuk menjadi waktu bertukar pikiran di antara mereka. Bukan lagi perpustakaan yang mereka pilih, tapi taman yang ada di perbatasan antara sekolah dan lapangan golf.

Anantha masih saja terdiam, memandang ke arah danau yang terlihat tampak menenangkan, sedangkan gadis yang satunya lagi tengah sibuk menulis beberapa kata dan informasi-informasi kecil tentang penyelidikannya.

Anantha menoleh. "Bagaimana? Apa beberapa hari terakhir ini kau mendapatkan sesuatu?" tanyanya.

Tea menoleh sekilas dan membenarkan letak kacamatanya yang sedikit miring. "Beberapa hal belum aku temukan, tapi ada sesuatu yang membuatku semakin yakin jika ini benar," ungkapnya sembari menunjukkan catatannya yang penuh dengan coretan-coretan.

"Jadi, aku sibuk mencari makna angka 21. Beberapa minggu yang lalu aku fokus padanya, aku merasa jika angka 21 itu memiliki dua arti, maksudku antara 2 dan 1." Ia menjeda ucapan dan menatap sekilas pada catatannya. "Angka 2 memiliki arti tingkatan kelas, kita tahu jika Flysi dan Vica sekarang berada di kelas 2, sama seperti kita," lanjut si gadis.

Anantha mengangguk-angguk kepalanya mencoba memahami lebih dalam.

"Sedangkan angka 1 memiliki arti tempat di mana Flysi dan Vica berada, ini merujuk pada kelas mereka. Luvena, Flysi dan Vica berada di kelas 2-1, kelas pertama." Ucapan dari Tea itu berhasil membuat Anantha mengernyit heran karena hasil pemikiran Tea yang sangat jenius.

"Sungguh, kau sangat teliti dan serius akan hal ini," ungkap gadis berambut hitam legam tersebut yang merasa sangat yakin dengan pemikiran Tea.

Tea membalasnya dengan menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyum tipis. "Aku hanya bisa memecahkan ini saja, selebihnya aku tidak yakin dengan hasil penyelidikanku," ujar Tea.

Anantha mengangguk saja dan kembali melihat isi catatan gadis di sebelahnya ini. "Baik, kita akan membahasnya nanti. Aku akan mencari lagi tentang ini," ucap Anantha sembari memberikan buku catatan pada Tea.

"Sebenarnya hari ini aku ingin membicarakan perihal hilangnya Stiv, kau tahu jika kemarin tidak ada yang aneh pada pemuda itu, tapi dengan tiba-tiba dia dinyatakan hilang? Bagaimana bisa?"

Tea sendiri merasa heran dengan hal itu. Sampai akhirnya gadis dengan kacamata kusamnya kembali teringat kejadian beberapa hari yang lalu. "Sebenarnya sepulang dari sini beberapa hari yang lalu aku mendengar sebuah suara dari lantai atas."

Anantha menatap Tea dan ikut menyimaknya dengan pandangan serius.

"Aku menghampirinya dan sangat yakin jika suara itu berasal dari ruang penyimpanan kelas 3, tapi saat aku hendak melihatnya, Zack tiba-tiba datang dan akhirnya rencanaku gagal." Gadis bermanik abu itu mengernyit heran.

"Zack? Dia ada di sana? Kenapa?"

Gadis bermanik biru itu menghela napas dan membalas. "Ada tugas dari Mr. Devron's dan aku membantunya."

Anantha tampak menaruh curiga akan pernyataan yang diberikan Tea. Terlebih fakta yang aneh tentang kedatangan Zack dan mengapa pemuda itu bisa ada di sana di jam yang melebihi waktu kepulangan?

Anantha jujur saja masih tidak percaya dengan Zack. Sungguh, meskipun ia dan Dich ada hubungan dekat, tapi ia sama sekali tidak yakin tentang sosok Kleyfan Zack yang sedikit misterius dan aneh. "Kau tidak curiga dengannya, Tea?" tanya si gadis.

"Tidak, sama sekali tidak." balas Tea dengan sangat santai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top