13: Red Apple

***

Tampaknya masalah tentang keluarga Raltfoy masih saja terpikirkan dalam benak si gadis, belum lagi ada V20X yang semakin manambah rumitnya penelitian ini. Apakah jangan-jangan gangster pimpinan keluarga Raltfoy yaitu Antraxs ada hubungannya dengan V20X ini? Apakah sebenarnya Antraxs masih ada dan dipimpin oleh kerabat Raltfoy yang masih hidup. Namun, dengan menyamarkan nama mereka? Entah, mungkin saja ini masih menjadi tanda tanya yang besar.

Kini Tea terlihat tampak sedikit gelisah akan tempat tinggalnya kelak, belum lagi jika ia benar-benar dikeluarkan dari sekolah terkait masalahnya dengan keluarga Luvena. Sungguh, semua hal itu sangat rumit sampai-sampai ia tidak bisa fokus pada pembelajaran musik di siang ini.

"Kau kenapa, Tea?" tanya Mrs. Eucharist di tengah kegiatan mengajarnya.

Si gadis yang tersadar dari lamunannya, pun mendongak menatap wanita di hadapannya. "Eh ... tidak mengapa, hanya memikirkan ulang ujianku nanti."

"Baiklah, aku harap kau fokus dengan permainanmu saat ini," ujar wanita dengan balutan kain berwarna serba kuning tersebut.

Tea kemudian menganggukkan kepalanya dan tersenyum tipis, ia menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya. "Let's do it," lirihnya. Permainannya dimulai, ia memainkan alunan musik yang benar-benar memukau, menghayati setiap nada yang keluar dengan baik dan merasakan kelembutan dalam tuts-tuts piano yang ia sentuh.

Beberapa menit berselang permainan piano indah itu sudah selesai, para murid yang ada di sana menatap Tea dengan terkagum-kagum. Gadis berambut kecokelatan itu memang sangat menakjubkan jika menyangkut tentang music.

"Kau hebat, Tea!" puji Mrs. Eucharist disusul suara tepukan tangan yang menggema diseluruh ruangan.

Si gadis memberikan senyum lebarnya. "Terima kasih, Mrs. Eucharist," ucapnya.

Wanita bergaun serba kuning tersebut menatap seluruh anak didiknya. "Pelajaran hari ini selesai, aku harap besok kalian menyiapkan diri untuk seleksi," tutur Mrs. Eucharist dengan nada berwibawa.

Setelah itu seluruh murid berkemas, merapikan lagi alat musik mereka dan mulai meninggalkan ruang musik kecuali Tea, gadis itu masih setia duduk di tempatnya.

"Kau masih di sini, Tea? Ada apa?" tanya wanita yang tengah merapikan barangnya.

"Aku hanya butuh tempat untuk menenangkan diri, Mrs," ujar Tea seraya menatap gurunya.

Mrs. Eucharist menghentikan aktivitasnya dan berjalan mendekat. "Ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya berusaha mengerti akan perasaan si gadis yang tengah bersedih itu.

Tea hanya terdiam, ia menatap sekilas gurunya dan menggeleng."Tidak, aku hanya butuh sendiri," ucap kemudian.

Karena tidak ingin lagi menganggu akhirnya wanita itu memilih untuk berbalik arah dan mengambil tasnya. "Baiklah, kau bisa berada di sini sendiri dan aku akan pulang terlebih dahulu," ungkapnya. "Setelah kau selesai, jangan lupa kunci dan temui Mr. Levendor, ya?"

Tea mengangguk sebagai jawaban. "Sebelumnya maafkan aku Mrs. Eucharist," ujar si gadis merasa tidak enak jika dianggap mengusir gurunya sendiri.

"Untuk apa? Kau tidak bersalah." Keduanya saling menatap dan melempar senyum sebelum akhirnya wanita itu pergi.

Ruang musik yang sepi membuat si gadis lebih tenang, walaupun tidak sepenuhnya. Dilema yang ia rasakan menuntun Tea untuk mencurahkan seluruh emosinya ke dalam permainan bernada yang ada di hadapannya. Untuk yang kedua kalinya ia membiarkan jemarinya berlarian di atas tuts-tuts piano bercorak elegan itu, menikmati setiap nada yang keluar dan menenggelamkan dirinya di alam bawah sadar yang hanya dan akan menjadi miliknya sendiri.

Matanya terbuka saat lagu yang ia mainkan akhirnya selesai, bersamaan dengan itu sebuah suara tepuk tangan terdengar dari belakang. Dengan raut terkejut ia menoleh dan mendapati seorang pemuda berambut pirang yang kini berjalan mengarah padanya.

"Zack? Sejak kapan kau berada di sana?" tanya Tea.

Bukannya menjawab, pemuda itu justru sibuk memainkan buah apel yang ia bawa. "Sejak kau memulainya." Ia sekarang berada tepat di depan gadis yang masih menatap kosong ke arah lain. "Berapa banyak masalah yang kau pikirkan, sampai membuatmu seperti itu?"

Tea menoleh dan tersenyum paksa. "Tidak ada, aku hanya ...." Ia menghentikan ucapannya dan terdiam dalam pikirannya sendiri. Sampai pada akhirnya ia menatap ke arah si pemuda. "Aku tidak tahu, rasanya banyak sekali beban yang ada di dalam otakku, sampai-sampai semuanya kacau."

"Semua orang memiliki beban mereka sendiri, tidak ada yang sulit jika kau sudah tidak lagi merasakan kehidupan."

Si gadis menoleh dengan raut heran. "Maksudmu kematian?"

Tawa kecilnya terdengar, ia menatap sekilas gadisnya dan menempatkan diri di samping Tea, keduanya duduk secara berlawanan. "Bukan, tapi melupakan, melupakan masa lalu dan menggantinya dengan jiwa yang baru."

Kerutan terlihat di wajah Tea. "Apa maksudmu? Apa itu semacam terlahir kembali atau bagaimana?" tanya Tea yang tidak lagi paham ucapan dari Zack.

"Semacam perubahan, melahirkan sosok lain dari dalam tubuh dan membunuh dirimu yang lama," jelas si pemuda.

Hening, Tea kemudian kembali membuka pertanyaan untuk pemuda itu. "Apa yang kau lakukan di sini, Zack? Maksudku ... bukankah hari ini hanya ada ekstra yang melibatkan musik saja?" tanya si gadis kala tahu bahwa Zack tidak ikut ekstra apa pun, dia hanya mengikuti kelas tambahan dan itu untuk keunggulannya dalam bidang akademik.

Mendapati pertanyaan semacam itu membuat si pemuda tersenyum miring. "Aku sedang menunggu seseorang," jawabnya sesaat kemudian.

Tea mengangguk-angguk, walupun hal itu sedikit menganggu untuk hatinya. Ia pikir pemuda ini menunggu seseorang yang lebih menarik darinya, mungkin itu benar. Tea tersenyum dan kembali menunduk. "Seseorang? Siapa? Pasti salah satu gadis pemandu sorak? Atau gadis dari Drumband?" tanyanya dengan berusaha keras, sesekali tangannya juga menekan-nekan tuts piano dengan acak.

Zack menoleh ke arahnya sekilas. "Seberapa besar rasa penasaran itu?" tanyanya.

Tea menatapnya malas. "Baiklah, terserah kau saja," tandasnya, lalu dengan kasarnya ia menekan tuts piano yang ada di hadapannya dan menimbulkan suara yang cukup nyaring di dengar.

Reaksi dari Tea membuat Zack menatapnya dengan senyum tipis, manik hijau itu tersirat sesuatu yang nyata. "Kenapa kau terlihat kesal?" lirih Zack bertanya.

Gadis berkacamata kusam itu membenarkan letak kacamatanya dan menggeleng. "Nothing," balasnya yang masih enggan untuk menoleh ke arah si pemuda berambut pirang di sampingnya.

"Kau mau tahu siapa yang aku tunggu?" Tidak ada jawaban sama sekali dari si gadis. Zack tersenyum tipis, melihat lekukan sempurna dari wajah gadis di sampingnya. "Aku menunggumu," ungkap Zack. Setelah mengucapkan itu ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Tea mendadak menoleh dan merasakan sesuatu yang ganjal dalam dirinya. "Apa? Apa aku tidak salah dengar?"

Zack menggeleng dan tersenyum jahil. "Entahlah." Ia mengendikkan bahunya dan tertawa. Melihat itu membuat Tea kembali menghela napas kasar dan memukul bahu Zack mengunakan buku pelajaran miliknya.

Keduanya sama-sama tertawa dan berakhir dengan sebuah keheningan. "Oh, iya, tujuanku kemari ingin memberikan satu informasi padamu, Val." Kerutan terlihat jelas di dahi si gadis. "Jadi, aku menemukan sebuah kecocokan antara V20X dengan Antraxs, keduanya sama-sama memiliki tujuan untuk menjatuhkan musuh utama, Black Hold."

Tea mengangguk-anggukan kepalanya sebagai bentuk rasa peduli.

"Tujuan mereka adalah menjatuhkan Black Hold? Lalu kenapa murid Atherty menjadi korbannya?" tanya si gadis berambut cokelat itu yang sedikit heran akan keterkaitan semua ini.

Zack menatapnya dengan pandangan serius. "Apa kau tahu jika pembunuh para penindasmu itu adalah anggota V20X? Adakah sesuatu yang mengarah pada mereka?"

Si gadis mengangguk dengan sangat mantap dan mengingat kembali malam di mana ia mendapatkan pesan misterius. "Beberapa minggu yang lalu aku mendapatkan pesan misterius entah dari mana, ia mengetahui penyelidikanku, lalu ia memberiku petunjuk tentang V20X," terang Tea.

Zack terdiam sejenak, seperti tengah memikirkan sesuatu. "Ini memungkinkan jika Antraxs memiliki generasi baru dengan mengubah nama, aku yakin jika pimpinan dari generasi baru ini adalah bagian dari keluarga Raltfoy, terlebih cara mereka menggunakan strategi sangat sama persis."

Tea sangat menyetujui akan hal itu. "Mungkinkah jika pimpinannya adalah Hans? Atau justru anak dari Arthur?" tebaknya dengan sedikit menerka-nerka siapa sebenarnya di balik kepemimpinan gangster baru ini.

"Ini masih misteri, terlebih kita tidak bisa mendapatkan informasi yang pasti tentang kematian Hans. Mereka bilang pria itu telah mati beberapa tahun yang lalu. Namun, ada yang bilang jika ia masih hidup dan memimpin sebuah organisasi rahasia yang siap untuk balas dendam." Helaan napas terdengar, keduanya sama-sama bingung akan hal ini.

"Apa hubungannya Black Hold dengan murid Atherty?" celetuk Tea.

Zack menatap gadis di sebelahnya. "Aku rasa ada hubungan spesial di antara mereka," lirihnya dengan nada yang sedikit berbeda, jauh lebih dingin dan tajam.

Keduanya hening karena tidak ada lagi hal yang harus di bicarakan, keheningan itu sampai membawa masing-masing dari mereka berada dalam pikirannya, melayang jauh dan memiliki tujuan tersendiri. Si gadis kemudian menatap pianonya dan memainkan lagi alunan yang teramat pelan.

Zack pun menoleh, mengulurkan tangannya yang tengah memegang apel. "Kau mau memakannya?"

Tentu saja Tea ikut menoleh untuk menatap langsung manic hijau gelap itu. "Bukankah itu milikmu?" tanyanya sembari menunjuk raut bingung.

Angin berhembus pelan, menerbangkan helaian rambut cokelat yang dimiliki sang gadis, maniknya yang biru memantulkan cahaya sore yang tampak menenangkan, wajah manisnya itu memberikan sebuah senyum sendu yang seolah tidak dapat menghilang.

"Tidak lagi, ini milik kita berdua." Balasan dari si pemuda membuat Tea tersenyum lebar dan mengangguk-anggukan kepalanya.

"Oke, kau makan terlebih dahulu lalu giliranku.

Zack menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Siapa yang mengatakan seperti itu?" Tidak paham akan maksud Zack, si gadis pun mengerutkan keningnya, mencoba menanyakan maksud dari si pemuda. Zack mengangkat apel itu di tengah-tengah mereka dan tersenyum. "Kita akan memakannya berdua, baik?"

Tampaknya Tea benar-benar terkejut dengan pernyataan dari pemuda itu, tergambar jelas di wajah bulatnya itu jika ia tidak pernah menyangkanya. "Tidak, ini tidak akan terjadi Zack."

Pemuda bermanik hijau itu menaikkan sebelah alisnya dan menatap dingin ke arah Tea."Aku tidak ingin ada penolakan dari siapa pun, terutama darimu," lirihnya.

Si gadis sempat terdiam mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut Zack. Dengan sedikit aneh ia memajukan kepalanya lebih dekat dengan apel yang menjadi pusat keduanya bertemu, pandangan mereka terpaku satu sama lain, membentuk sebuah ikatan yang sangat amat tipis.

Di tengah pemandangan itu, perlahan tangan kiri Zack terulur dan sebuah jarum kecil terselip di antara jemarinya, tanpa sepengetahuan Tea ia suntikan jarum itu pada si gadis bermanik biru tersebut.

"Awww!" Tea langsung menyentuh bagian leher belakangnya yang terasa seperti tertusuk. "Barusan?" Ia menoleh ke kanan dan kiri mencari sesuatu yang membuatnya sedikit kesakitan.

"Aku rasa itu hanya lebah atau mungkin semacam hewan kecil yang ada di dalam tubuh," celetuk Zack yang ikut melihat ke sisi belakang dari si gadis.

"Tapi, rasanya seperti jarum, aku merasakannya, Zack."

Zack mengembalikan apelnya ke dalam tas dan menghela napas. "Jadi, dari mana asal jarum itu?"

Si gadis hanya menggelengkan kepalanya tidak yakin. "Tapi ...." Ia menghentikan ucapannya dan ikut menghela napas. Benar juga ucapan Zack, mungkin saja itu hanya perasaannya atau justru karena ia digigit hewan yang tak terlihat? Semacam kuman?

Perhatian mereka teralihkan saat dua orang datang bersamaan. "Hai, aku rasa ada yang sedang menikmati waktu bersama di sore ini," ucap gadis berambut hitam yang tengah bergandengan tangan dengan pemuda yang masih belum mendapatkan maaf dari Tea.

Kehadiran keduanya membuat Tea sedikit canggung, masalahnya ia masih tidak bisa berbicara pada Dich semenjak saat itu.

"Aku rasa ucapanmu terbalik, Ms. Gacfen," ujar Zack membalas.

Anantha menatap pemuda yang ada di sampingnya dan tersenyum. "Baik, baik. Aku rasa itu ada benarnya," lirih gadis itu, tatapannya masih saja terpaku pada Dich, pemuda yang berhasil meluluhkan hatinya.

Di sisi lain, Tea bangkit dari duduknya dan mengambil tas ransel hitam miliknya lalu menatap Zack yang masih setia duduk di sampingnya. "Aku pamit, Zack," lirihnya.

Pemuda berambut pirang itu tentu saja tidak membiarkan Tea untuk pulang, ia mencekal tangan si gadis dan memaksanya untuk duduk kembali. "Ingat apa yang aku ucapkan tadi."

Tatapan Zack itu seolah menghipnotis Tea, menusuk dalam-dalam ke bagian terdalam matanya, mengubah beberapa sistem dan membuat si gadis benar-benar terikat padanya. Zack tersenyum, senyum yang terkesan aneh dan menyeramkan.

"Aku belum memberimu perintah untuk pergi, Valerie," lirihnya. Bahkan ucapannya hanya dapat di dengar oleh Tea. "Aku tidak ingin ada penolakan dari siapa pun, terutama darimu," lanjut Zack masih yang masih mempertahankan suaranya yang nyaris tidak didengar oleh Anantha dan Dich.

Tea mengangguk. "Ya, aku tahu." ucapnya secara otomatis.

Mendengarnya membuat Zack merekahkan senyum puas dan melepaskan cekalan tangannya. Ia kemudian menatap dua orang yang masih berdiri di tempatnya. "Apa yang membuat kalian berada di sini? Sebuah obrolan kecil atau diskusi tentang keluarga Raltfoy lagi?"

Pertanyaan itu membuat Dich mendekat, tatapannya tertuju pada Tea yang masih enggan untuk berbalik badan.

"Ada yang ingin aku ucapkan pada gadis di sampingmu," ucap Dich.

Tea yang mendengar itu lebih tegang dari sebelumnya, ia masih saja menghadap pianonya dan terdiam di sana dengan pikirannya yang sedikit cemas dan kesal.

"Tolong maafkan aku, aku tahu jika kesalahanku membuatmu seperti ini, ada alasan kenapa aku harus menutupi jika aku dan keluargaku mengenal mereka." Ia menundukkan kepalanya dan kembali menatap Tea dan Zack yang masih duduk berdua di tempatnya.

"Raltfoy adalah keluarga yang sangat di kenal banyak orang, mereka benar-benar kaya karena kegiatan ilegalnya, banyak yang tahu tentang itu. Itu kenapa aku sebagai keluarga yang dulunya bekerja pada Raltfoy harus benar hati-hati tentang ini," lanjut Dich kemudian.

Anehnya tatapan Dich seolah memberi petunjuk pada Tea, tapi sayangnya si gadis sama sekali tidak ada niatan untuk memecahkan ataupun melihatnya lebih jelas.

Tea berbalik, menatap Anantha sekilas yang berada di belakang dan kini berfokus pada pemuda berambut hitam legam dengan tampilan yang masih rapi. "Aku tahu akan hal itu, tapi setidaknya kau harus memberiku sedikit saja kejelasan tentang masa lalu dan kehidupanmu," balasnya, di akhir kata ia memberikan sebuah senyum yang terlihat sangat tulus dan berarti.

Mendapati reaksi dari gadis bermanik biru itu membuat Dich dan Anantha sangat bahagia, Dich bahkan dengan tanpa ragu memeluk Tea, ia benar-benar merasa senang jika gadis itu sekarang mengerti apa yang ia rasakan. Tea dengan senang hati membalas pelukan yang datang secara tiba-tiba itu, ia tersenyum lebar.

"Aku tahu posisimu sangat berat, Dich," bisiknya.

Sedangkan di balik pelukan itu, Dich otomatis berhadapan langsung dengan Zack yang kini menatapnya dengan pandangan tajam dan datar. Tatapan kedua pemuda itu memang bertemu, Dich hanya membalasnya dengan senyum mengejek.

"Jangan harap kau bisa melihat matahari di keesokan hari," gumam Zack.

Ucapan itu berhasil membuat pemuda berambut hitam itu tersenyum paksa lalu melepaskan pelukannya. "Baik, aku rasa ada sesuatu yang menganggu," ucapnya sembari sesekali melihat ke arah Zack. "Anantha, kemarilah!" panggilnya pada gadis yang menjadi pather-nya.

Anantha dengan senyum manisnya berjalan mendekat dan menepuk-nepuk pundak Dich. "Kerja bagus," bisiknya sebagai bentuk rasa bahagia.

Tea yang ada di tempatnya melirik ke arah jam yang ada di pergelangan tangannya. "Aku rasa sebentar lagi Mr. Levendor tidak akan membiarkan kita berada di sini dan ... kita telah melewatkan bus terakhir beberapa detik yang lalu," ucapnya di tengah keheningan mereka.

Zack dari tempatnya segera mengambil tasnya dan bangkit dari duduknya, ia dengan santai berjalan pergi meninggalkan ketiga manusia itu. Kemudian, tak lama Tea pun ikut menyusul dan meninggalkan sepasang kekasih itu.

"Apa temanmu itu tercipta dari batu?" celetuk Anantha yang mengarah langsung pada Dich.

Pemuda itu tertawa kecil dan membalas, "Semua keluarganya terlihat dingin dan kaku, sayangnya mereka telah tiada," lirih Dich. Sempat Anantha merasa terkejut, tapi dengan cepat Dich menariknya untuk segera menyusul kepergian Zack dan Tea yang sudah berada di lantai bawah.

Kini kedua remaja itu—Tea dan Zack—memilih untuk pulang bersama dengan berjalan kaki, menyaksikan dengan seksama proses pergantian waktu antara sore dan malam. Langit oranye, matahari yang tenggelam, orang-orang berlalu lalang pulang dari tempatnya kerjanya, dan burung-burung yang terbang untuk kembali ke sangkarnya. Mereka hampir sama setiap sore tiba, kembali dan pulang di rumah masing-masing setelah seharian berada di luar guna mencari sesuatu untuk bekal hidup.

Di tengah perjalan pulang, mereka yang sekarang melintas di kawasan rumah-rumah penduduk secara tidak sengaja melihat seorang anak kecil yang sedang bermain tembak-tembakan, sedetik kemudian seekor burung yang tengah terbang terjatuh karena peluru yang di hasilkan si bocah.

Tea yang melihat itu segera menghampiri burung yang terjatuh tidak jauh dari si anak. "Astaga, kau melukainya," gumam Tea dengan pandangan sendu.

"Apa yang akan kau lakukan padanya?" tanya Zack yang berada di belakang.

Si gadis melihatnya sekilas. "Kita bisa mengobati burung ini, Zack. Apa kau memiliki sesuatu yang bisa digunakan untuk menghentikan pendarahannya sejenak?" tanya si gadis yang masih menenangkan burung yang sudah kesakitan itu.

"Dia tidak akan pulih, lihat saja lukanya," tunjuk si pemuda.

Tea memang tahu jika keadaan hewan bersayap itu sudah sangat kesakitan. "Lalu? Kita harus apa? Kau memiliki solusi?" tanya Tea yang sudah cemas.

"Akhiri penderitaannya," balas pemuda bermanik hijau gelap tersebut. Ia melihat ke sekeliling dan menemukan sebuah batu berukuran sedikit besar. Zack mengambilnya dan memberikan pada Tea.

"Kau? Mau kau apakan dia?!"

Tanpa aba-aba pemuda itu langsung saja memukul makhluk kecil bersayap itu. "Aku akan membuatnya tenang di surga."

Tea memejamkan matanya tidak kuasa melihat sesuatu yang mengerikan di depan matanya sendiri. Ia menatap pemuda yang tengah tersenyum puas itu. "Apa-apaan kau ini, Zack?! Kau ... kau benar-benar jahat!" ungkapnya sebelum akhirnya Tea memilih pergi meninggalkan Zack sendiri di tempatnya berada

***

Malam ini entah kenapa bulan menampakan wujudnya dengan penuh cahaya, indah dan menarik. Dan Zack kini berdiri di ujung sebuah gedung seraya memandang bulan yang berada di atas sana.

"Kau masih mengaguminya?" tanya seorang pemuda yang baru saja tiba.

Pemuda bermata hijau gelap itu menoleh dan membalas, "Aku tidak akan pernah bisa melupakan hari terakhir kami," ungkapnya. Dari nada bicaranya tergambar jelas sebuah kesedihan yang nyata.

Keheningan sejenak membuat Dich kembali mengutarakan tujuannya. "Zack, aku rasa kita harus bergerak lebih cepat."

Zack menoleh menghadap langsung pada pemuda berambut hitam itu. "Untuk apa? Aku ingin menikmati bagaimana dia menjalani kehidupannya yang terakhir," ucapnya seraya meneguk segelas minuman yang sedari tadi ada di tangannya.

Dich menggeleng tidak percaya. "Kau sudah membuat bencana besar, ingat itu."

Ia terkekeh dan menunjukkan senyum miring yang sangat khas. "Ya, ya, ya. Aku tahu Dich, kau tenang saja." Zack berjalan menghampiri temannya itu dan menatap ke arah belakang si pemuda. "Kau sudah menjalankan apa yang aku mau?"

Dich mengangguk paham akan ucapan pemuda di depannya, dan berlalu pergi ke sisi lain ruangan yang tampak lebih gelap untuk menjalankan tugasnya.

Tak lama kemudian Dich datang kembali bersama seorang pemuda yang tengah diseret oleh kedua orang berbadan besar. "Kau? K?"

Pemuda yang di panggil dengan nama K adalah Zack, ia hanya memberikan sebuah senyum licik dan jahat. "Hai, apa kabar? Senang bisa mengenalmu lebih dekat," ujarnya

"Kenapa kau harus melakukan hal ini, hah?!"

Zack mengabaikan pertanyaan itu dan berjalan menjauh dan menatap ke bawah gedung tempatnya berpijak. "Apa yang membuatmu takut?" tanya si pemuda kemudian. "Dich," panggil Zack.

Seolah tahu apa yang di maksud, Dich segera memberikan sebuah pisau lipat. Pemuda berambut pirang itu menoleh dan tatapan dingin itu langsung tertuju pada sosok pemuda yang menjadi adik kelasnya.

"Tebak apa yang membuatmu bisa berada di sini?"

Pemuda yang tengah diikta itu menggelengkan kepalanya. Mendapat jawaban itu membuat senyum manis Zack terbentuk. Suasana tegang menyelimuti gedung tempat mereka berada, Zack kemudian berjalan mendekat dan melipat kedua lututnya, berhadapan langsung dengan sosok itu.

"Bagaimana kalau kita buat tanda agar kau selalu mengingatku?" tawar si pemuda bermanik hijau kelam tersebut.

Sedangkan orang yang tengah menjadi tawanan itu hanya menatapnya dengan pandangan memohon dan ketakutan. "Kenapa kau berbuat seperti ini?! Apa salahku!"

Seakan ucapan itu hanyalah angin berlalu, Dich memerintahkan dua orang penjaga untuk menahanya agar tidak bergerak. "Nikmati malam indah ini, pewaris tunggal Trisakti," gumam pemuda bermanik hijau yang tampak menyala di tengahnya malam berkabut nan kelam.

Apa yang dilakukan Zack di malam itu adalah bentuk rasa sakit yang selama ini ia pendam, teriakan pilu dari orang itu adalah gambaran tentang tokoh utama kita, Zack. Semuanya masih kelabu, tidak ada yang tahu tentang Kleyfan Zack.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top