12: Shadow Prince

***

Kelas tampak sepi, hal ini membuat para siswanya semakin nyaman dan tenang. Terlebih jika cuaca di luar yang sanga bersahabat, tidak panas dan tidak dingin. Namun, keheningan kelas mendadak berubah kacau saat pintu tempat Tea belajar di buka dengan tiba-tiba. Seorang gadis dengan tampilan yang selalu berbeda dari yang lain menampakkan dirinya dengan raut menyebalkan.

"Ada apa ini, Luvena? Kau masuk dengan tidak sopan."

Gadis dengan rambut pirang itu menghampiri wanita yang tengah mengajar di kelas Tea. Ia memberikan senyum terbaiknya. "Maafkan aku, Mrs. Vogel," ucapnya dengan sangat santai karena ia tahu jika guru itu adalah Mrs. Vogel, seorang wanita yang sangat ramah dan sangat baik. Sampai-sampai kebaikannya itu di manfaatkan dengan semena-mena.

Setelah kedatangan Luvena itu, seorang wanita berpakaian sangat rapi datang dengan gaya yang benar-benar angkuh. Tatapan matanya yang sinis mengarah langsung pada seluruh penghuni di kelas 2-2. Gaya berjalannya pun benar-benar terlalu lebay, ia mengarahkan pinggulnya ke kanan dan kiri bagaikan seorang model kelas atas. Dandanan yang terlihat lebih natural, tapi tidak dengan polesan di area bibir yang benar-benar tebal dan sedikit aneh.

"Ah, perkenalkan aku Cindy Lee Aerys, Mamanya Luvena," ujar wanita berdarah asia itu. Raut wajah dari gadis berambut pirang itu tampak lebih sombong dari sebelumnya. Seakan dialah satu satunya orang yang memiliki kekuasaan atas Atherty.

"Ada yang dapat kami bantu, Nyonya Aerys?" tanya Mrs. Vogel masih dengan wajah yang sangat ramah, entah kenapa wanita itu selalu menunjukkan raut kebahagiaan yang sangat jelas.

Si wanita dengan gaun yang sangat mencolok itu kemudian menatap putrinya sekilas dan mulai mengucapkan sebuah nama. "Latea Valerie Quinnzel."

Mendadak seluruh pandangan tertuju langsung pada gadis yang tengah sibuk menulis di mejanya. Anantha yang berada di sampingnya, pun menyenggol tangan Tea agar gadis itu sadar. Gadis bermanik biru itu mendongak, menatap sekitarnya dengan aneh.

"Oh, jadi ini gadis yang bernama Latea," celetuk Cindy. Ia berjalan mendekat ke arah Tea lengkap dengan tatapan sinisnya.

"Ya, itu namaku," ujar Tea dengan nada lirih, tapi masih dapat terdengar. Sungguh di posisinya sekarang ia sangat gugup sekaligus cemas, ia tidak bisa berada di situasi dengan tatapan yang langsung tertuju padanya.

Luvena yang tadinya berada di depan sana perlahan menghampiri tempat Tea. "Dialah gadis yang telah membunuh teman-temanku, Ma," ucapnya sembari menunjuk-nunjuk ke arah Tea.

Tea menggeleng dengan kuat-kuat. "Nyonya—"

Wanita yang menjadi Nyonya Aerys itu mengangkat tangannya di depan si gadis, ia memberi instruksi agar Tea terdiam. "Aku tidak membutuhkan ucapanmu, Gadis Kotor," ucapnya, dengan sangat santai dan tanpa beban ia mampu mengucapkan kalimat terakhir yang sangat menggores hati.

Aksi dari Mamanya itu membuat Luvena menarik sudut bibirnya, membentuk senyum miring yang terlihat jelas. "Baik, terkait dengan ulahmu, aku akan dengan mudah memasukkan dirimu yang hina ini ke dalam ruang dingin di Waverland, bagaimana?"

Merasa sedikit terganggu, Anantha bangkit dengan tatapan tajam dan dinginnya. "Atas bukti apa Anda memasukkan temanku ke dalam Waverland?" Ia tertawa kecil karena melihat reaksi dari Luvena yang mendadak berubah drastis.

"Aku dapat membuktikan dengan adanya kemahirannya terhadap bahan kimia yang mampu membunuh sahabatku ... Flysi!" tegas Luvena dengan sangat yakin dan sombong.

Anantha menangapi itu dengan sebuah tawa meremehkan. "Benarkah? Hanya itu yang kau punya sebagai bukti atas tuduhan konyolmu? Aku rasa itu bukan bukti, melainkan rasa iri yang ada pada dirimu, Luvena Aerys," pungkas si gadis berambut hitam tersebut.

Merasa tidak terima akhirnya Luvena menarik rambut Anantha, kedua gadis dengan marga yang sama-sama terkenal itu berkelahi untuk yang kesekian kalianya.

Di tengah perkelahian mereka seorang guru dengan raut tegas datang bersama beberapa guru lain. "CUKUP!" teriak Mrs. Mezlher dengan nada yang benar-benar emosi. Kedua gadis yang tengah melakukan adu kekuatan itu mendadak menghentikan aksi mereka. "Tidakkah kalian tahu jika ini tempat untuk belajar?! Bukan tempat untuk beradu gaya ataupun beradu kekuatan!" tegas wanita yang menjabat sebagai guru Bimbingan Konseling itu.

Luvena dan Anantha sama-sama terdiam, sesekali mereka melempar pandangan dengan sangat tajam. Kebencian membara di masing-masing diri mereka, ada perasaan muak dan ada perasaan marah akan keterlibatan itu di dalam masalahnya.

"Baik, kalian ikut bersamaku!" tandasnya dengan tegas. Ia juga menatap Tea yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berada. "Begitu juga denganmu, Ms. Quinnzel," ujar wanita berpakaian kebesaran tersebut.

Guru wanita yang terkenal tegas dan sangat bijaksana itu pun mulai meninggalkan ruangan dengan meminta maaf terlebih dahulu pada guru kimia yang tengah mengajar di sana. Namun, beberapa saat kemudian Mrs. Mezlher mendadak menghentikan langkahnya dan menatap kembali pada seorang wanita yang sedari tadi berdiri di sebelah Luvena.

"Aku baru sadar jika Anda berada di sana, Nyonya Aerys. Bisakah Anda ikut bersama kami?" tanyanya kemudian.

Cindy Aerys tampaknya memberikan senyum paksa dan menganggukkan kepalanya. "Baiklah, Mrs. Mezlher."

Kini mereka berada di ruang sidang milik Atherty. Luvena, Anantha dan Tea, ketiganya tengah berhadapan langsung dengan wanita bernama Mrs. Mezlher itu. Sedangkan Nyonya Aerys sendiri masih berada di ruang lain.

Beberapa detik di lalui dengan keheningan di antara mereka, wanita itu masih memberikan tatapan yang sangat intens dan dingin pada ketiga gadis yang duduk di depannya. "Jadi? Apa yang mendasari perkelahian di antara kalian?" tanyanya setelah sekian lama hening. Mrs. Mezlher mengangkat tangannya, mencoba menghentikan perdebatan mereka. "Anantha, silakan ucapkan sesuatu," tunjuk wanita itu pada gadis yang sedari tadi terlihat lebih santai dan tenang.

"Luvena datang dan mengacaukan semuanya, ia menuduh Tea membunuh Flysi dengan alasan Tea ahli dalam bidang kimia," terang gadis bermarga Gacfen tersebut.

Mrs. Mezlher mengangguki ucapan si gadis dan beralih menatap Luvena yang masih berlagak seperti seorang ratu. "Apa yang akan kau ucapkan, Luvena?" tanyanya.

"Mereka penipu, karena merekalah dalang dibalik kematian Vica dan Flysi, mereka juga merencanakan ini sejak awal. Aku tahu jika mereka sengaja membuat teka-teki ini agar semua orang teralihkan dan fokus pada petunjuk berikutnya, mereka menjiplak permainan dari Hans Raltfoy saat Death Day," jelas Luvena dengan sangat panjang dan terperinci.

Kedua gadis itu sempat terkejut dengan pernyataan aneh dari Luvena. Bahkan, seakan Luvena bisa membuat alasan sekuat itu.

Tampaknya tidak hanya kedua gadis itu, Mrs. Mezlher selaku orang yang lebih tahu tentang kejadian di masa lampau itu bahkan sempat terkejut. "Luvena, bagaimana bisa kau tahu tentang Death Day?" tanyanya dengan raut benar-benar serius.

Luvena terlihat lebih tegang dari sebelumnya. Ia memutar matanya, bingung harus menjawab apa. Entah itu kebetulan atau memang takdir saat seorang wanita masuk dengan tiba-tiba dan menghampiri putrinya. "Aku yang memberitahunya," ujar Cindy dengan tegasnya.

"Bagaimana bisa Anda memberitahu hal jahat itu pada putri Anda, Nyonya Aerys?" Mrs. Mezlher merekahkan senyum dan menatap wanita dengan pakaian mencolok itu dengan pandangan serius sekaligus menenangkan.

"Keluarga Aerys memiliki keyakinan mereka tersendiri, kami selalu memberikan pengetahuan dari masa lalu agar bisa menyaring informasi yang salah," pungkas Nyonya Aerys dengan gayanya yang kelewatan narsis. "Kami keluarga terhormat, ingat itu," lanjutnya kemudian.

Anantha yang mendengar itu sempat memutar bola matanya malas, lagi-lagi menonjolkan harta dan marga. Lain halnya dengan Tea yang sedari tadi masih terdiam di tempatnya, bahkan ia tidak terlalu peduli dengan mereka.

Tidak lama setelah itu beberapa orang datang, mereka adalah si kepala sekolah, Mr. Trent, Mrs. Vanessa dan Mrs. Vogel. Si kepala sekolah yaitu Mohan Gordon mengambil tempat duduk di seberang sana dan memandangi satu persatu orang yang ada di dalam ruangan.

"Aku tidak ingin tahu, Latea harus di masukkan ke dalam penjara!" tandas Cindy dengan menaikkan kepalanya dengan sangat angkuh dan terlalu percaya bahwa dirinya adalah salah satu penyumbang dana terbesar di sekolah ini.

Karena merasa berat hati, Anantha ikut menyuarakan pendapatnya. "Aku sama sekali tidak setuju akan hal itu, maaf."

"Why, Ms. Gacfen?" tanya wanita itu. Pandangan mereka bertemu untuk beberapa saat, Cindy tampak lebih bisa lembut dengan gadis tunggal milik Gacfen itu dibandingkan dengan tatapannya pada Latea yang benar-benar penuh kebencian.

"Pertama, kau sama sekali tidak ada bukti untuk memberatkan Tea. Lalu kedua, kau sama sekali tidak berhak untuk memberikan keputusan sepihak padanya."

Mendengar ucapan dari sosok Anantha Gacfen itu membuat wanita berdarah campuran Asia tersebut mengepalkan tangannya geram, tapi ia menahannya dan tetap tersenyum. "Apa aku tidak salah dengar, Ms. Gacfen? Kita sama-sama dari keluarga terpandang, tapi kau tidak mengetahui akan hal ini?"

"Kita sama sekali tidak sama," ujar si gadis dengan menekankan setiap kata. "Kau adalah keluarga yang mementingkan popularitas, sedangkan aku berasal dari keluarga yang mementingkan pendidikan." Ia menarik napasnya dalam-dalam. "Kami diajari sopan santun dan cara menjaga sikap dengan baik, tapi kemungkinan besar itu tidak berlaku di keluarga Aerys," lanjutnya.

Anantha menatap sekilas Tea yang duduk di belakangnya. Betapa bangganya Tea melihat keberanian dan ketegasan dari sosok Anantha.

Yang sedari tadi diam akhirnya Mohan Gordon membuka mulutnya untuk mengutarakan apa yang menurutnya benar. "Saya rasa ucapan dari putri Gacfen benar tentang tidak adanya bukti yang memberatkan Latea dengan kasus ini."

Mendengar itu, Cindy menoleh dengan pandangan tidak percaya. "Begitu? Baik, jika Anda memang membelanya, itu bukan masalah besar jika pihak Aerys memutuskan hubungan dengan Atherty High School."

Mohan tampaknya lebih santai menanggapi hal itu, ia memberikan senyum menenangkan yang sangat manipulative. "Nyonya Aerys, kenapa harus memperpanjang masalah ini dengan memutuskan hubungan kita?" Pria itu tampak bersikap setenang mungkin, walaupun di dalam benaknya tersimpan sebuah emosi yang kapan saja siap meledak-ledak.

"Cukup, ada dua pilihan yang akan Anda pilih, memutuskan hubungan dengan keluarga kami atau mengeluarkan gadis tidak berguna itu dari Atherty." Wanita bermarga asli Lee itu menatap penuh benci pada Tea. "Lagi pula dia hanya mendapatkan beasiswa, aku yakin keluarganya tidak akan mampu membayar seluruh biaya sekolah."

Si gadis mendongak, menatapnya dengan tatapan dingin, lagi-lagi orang selalu meremehkan keluarganya, mereka selalu merendahkan dan menginjak-injak harga diri keluarganya.

Luvena tersenyum miring. "Ma, dia tidak memiliki seorang ibu, hanya ada seorang ayah yang selalu mabuk-mabukan,"

Begitu ucapan itu keluarga dari mulut jahat Luvena, Tea mengepalkan tangannya, menahan gejolak emosi yang sudah membara. Perasaan benci itu terpendam di dalam sana, membentuk sebuah kesatuan untuk membalasnya, tapi ia juga sadar bahwa rasa dendam hanya akan membunuh diri sendiri. Untuk itu Tea hanya bisa menyimak setiap perilaku Luvena, mencatatnya sebagai bukti atas tindakan jahat yang di lakukan gadis itu selama ini.

"Baik, kami mendiskusikan hal ini dengan beberapa guru yang ada, sebab mengeluarkan gadis emas seperti Latea adalah hal yang sangat sulit," tandas Mohan Gordon pada akhirnya. Ia bangkit dan berlalu pergi disusul beberapa guru yang ada.

Berikutnya Luvena dan sang Ibu hanya memberikan pandangan sinis pada Tea dan Anantha. "Nantikan rumah barumu di Waverland," ujar Cindy sebelum akhirnya ia melangkah pergi bersama sang anak.

Di tempat itu hanya tinggal Tea bersama dengan Anantha, keduanya saling menatap. Tea menghela napasnya. "Terima kasih atas semuanya," ungkap si gadis dengan senyum yang tercetak jelas di bibirnya.

Mendapati ucapan dari Tea membuat Anantha merasa sangat bahagia. "Tea!" Keduanya saling memeluk erat, melepas rasa rindu yang mereka rasakan beberapa hari terakhir. Betapa besarnya kekuatan persahabatan, walaupun ada sebuah konflik. Namun, itu tidak akan berlangsung lama, bukan begitu?

Selesai dengan masalah terkait dikeluarkannya Tea dari sekolah, kini tampaknya ia lebih menikmati waktu dengan bersenandung kecil di tepian danau yang terletak tidak jauh dari area sekolah. Sebuah bangku beton menjadi tempatnya untuk duduk menikmati keindahan alam yang masih terlihat asri dan sejuk. Sesekali ia menulis setiap kata yang terlintas di otaknya, membentuk satu persatu rangkaian hingga menjadi puisi dan lagu.

"Hai, Tea!"

Ia menolehkan kepalanya menatap siapa orang yang memanggil, mendapati seorang yang ia kenal lantas Tea memberikan sebuah senyum tipis yang terukir indah di sana. "Apa yang membuatmu datang kemari?" tanyanya saat gadis berambut hitam itu mendudukkan dirinya di samping Tea.

Gadis itu Anantha, ia tersenyum tipis dan menjawab, "Secara tidak sengaja aku menemukanmu, ini tempat yang jarang di kunjungi, kupikir bisa melepas kesedihan di sini."

Tea menepuk-pundak Anantha, "Kesedihan apa yang membuatmu datang kemari?" tanya Tea yang berusaha untuk memberikan semangat pada gadis itu.

"Jelas ini tentang dirimu, aku sempat berpikir untuk menghadirkan Ayahku dalam kasus ini, tapi—" Ia memandang ke arah Tea yang ada di sampingnya. "Mereka selalu saja sibuk, aku membencinya, sangat membencinya," lirih Anantha.

"Jangan selalu menyalahkan mereka, untung bagi dirimu yang masih memiliki seorang ibu dan ayah." Anantha terdiam, sebuah jawaban yang berhasil membuatnya merasa tertusuk dan bersalah.

Suasana di sana tampak sangat sejuk. Angin berembus menerpa wajah kedua gadis itu, Tea menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi matanya dan menatap kembali Anantha dengan seulas senyum.

"Baik, ini salahku karena membuatmu kembali mengenang masa lalu," ucap Anantha saat menyadari perubahan nada bicara dari gadis di sebelahnya. Sebelum suasana hening menerpa mereka, Anantha kembali menanyakan satu hal. "Apa yang sedang kau lakukan?"

Si gadis berambut kecokelatan itu menoleh. "Merangkai lagu?" balasnya.

Anantha sempat merasa terkejut karena kemahiran Tea yang senang sekali merangkai berbagai macam puisi dan lagu-lagu indah. "Bukankah itu sulit? Maksudku ... tidak mudah rasanya menyusun kata demi kata menjadi sebuah kalimat yang memiliki makna."

"Tidak, jika kau benar-benar memahami dan menguasainya," ujar Tea tidak lupa dengan senyuman kecil yang tampak manis.

"Apa akan ada pentas atau lomba?"

Tea kembali menoleh dan menutup buku yang ada di pangkuannya. "Lagu ini nantinya akan ditunjukkan pada Mrs. Eucharist sebagai tugas individu. Ia bilang ini juga sebagai ujian kami untuk mencapai kompetisi antar sekolah," jelasnya.

Anantha mengangguki ucapan Tea dengan sangat baik, ia kemudian menundukkan kepalanya dan mulai bercerita. "Aku jadi teringat akan kisah Dich yang ia ceritakan beberapa minggu lalu." Ia terdiam sejenak, Tea juga sama sekali tidak ada niatan untuk mengucapkan apa pun. Sampai akhirnya gadis bermanik biru itu menoleh ke arah Anantha.

"Kau bisa menceritakannya jika memang menginginkannya."

Gadis bermanik abu itu menghela napas dan mulai bercerita. "Dia adalah satu-satunya pemuda yang sangat baik yang pernah aku temui. Dich hanyalah seorang anak lelaki yang berusaha mengejar impiannya menjadi seorang musisi, menciptakan lagu favoritnya dan bersenang-senang dengan alat musik." Ia menjeda ucapannnya dan menoleh sekilas ke arah Tea, begitu juga sebaliknya. "Tapi, apalah daya ketika impian itu harus benar-benar hancur," lanjutnya.

Tea mengerutkan keningnya. "Hancur? Kenapa?" tanyanya dengan raut penasaran.

"Orang tua Dich membenci dunia musik. Ada sebuah kejadian di masa lalu yang mendasari kebencian mereka terhadapa musik, salah satu penyebabnya adalah kakak perempuan Dich yang bernama Caitlin. Dari namanya kita tahu jika gadis itu sangat cantik dan mengangumkan, sayangnya ia harus berakhir tragis di akhir hayatnya."

Mendengar ucapan Anantha yang terakhir membuat Tea membuka matanya, ia benar-benar terkejut akan hal itu. "Meninggal? Apa penyebabnya?" tanya gadis berambut panjang yang selalu di cempol tersebut.

"Menjadi seorang pemain biola yang terkenal bukanlah hal yang mudah, banyak sekali orang yang iri dengan kesuksesannya, tidak terkecuali teman dekatnya sendiri."

Sekali lagi Tea dibuat terkejut akan hal yang benar-benar ia dengar untuk yang pertama kalinya. "Jadi, dia dibunuh oleh temannya sendiri? Sungguh, itu sangat mengerikan," sahut Tea, ia benar-benar tidak menyangka ada teman sejahat itu. Ia juga tidak menyangka banyak hal yang dilalui Dich selama ini. "Aku menjadi tidak enak setelah mendengar cerita darimu, begitu banyaknya masalah yang dilalui Dich selama ini."

Anantha hanya menarik sudut bibirnya dengan tipis, memberikan senyum itu pada Tea yang masih menatap ke arahnya. "Itu menyakitkan," gumam Anantha.

Di tengah keheningan sore, dari arah samping seorang gadis dengan bandana besarnya berjalan ke arah mereka bertiga dengan raut wajah yang sedikit takut dan malu. Ia hanya menunduk sembari memainkan jemari tanganya. "Selamat siang menjelang sore, maaf jika aku menganggu kalian. Mrs. Mezlher memintaku untuk memanggil Ms. Gacfen, ia kini menunggumu di ruangnya," ujar gadis kecil berbandana tersebut, ia hanya melihat sekilas ke arah Tea dan Anantha kemudian menundukkan kepalanya lagi.

Anantha sempat menatap ke arah Tea, mereka saling memandang dengan heran. "Benarkah? Baiklah, aku akan segera ke sana," balas Anantha dengan senyuman lebarnya, ia kemudian pamit pada Tea untuk pergi. "Aku harus pergi, Tea. Sampai jumpa lagi nanti." Setelah itu ia berlalu pergi bersama gadis yang sudah bisa di tebak sebagai juniornya.

Karena hari semakin sore akhirnya Tea memilih untuk beranjak pergi daripada harus pulang larut malam. Rasanya begitu sepi saat melewati koridor panjang yang tampak lebih sunyi dibandingkan saat pagi hari, tapi keheningan yang dirasakan Tea mendadak berubah mencekam saat sebuah suara teriakan yang terdengar berat datang entah dari mana.

Si gadis menghentikan langkahnya dan berusaha mendengar dengan baik, karena siapa tahu ia hanya salah dengar saja. Namun, sepertinya itu bukan hanya halusinasi si gadis saja karena teriakan itu terdengar kembali dan disusul sebuah suara gaduh seperti suara barang-barang yang jatuh dan terlempar.

Rasa penasaran menuntun si gadis untuk mencari sumber suara, ia pun melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju lantai atas tempat kelasnya dan kelas senior berada. Dengan sangat hati-hati ia menapakkan kakinya di koridor yang sangat sepi, bahkan jauh lebih sepi dari sebelumnya, lorong panjang itu hanya disinari cahaya mentari senja yang tampak menawan. Namun, mencekam.

Entah kenapa sesuatu menuntun Tea untuk menghampiri gudang penyimpanan kelas tiga yang berada di perbatasan gedung bagian kiri. Kini ia berdiri di depan ruang berpintu besi yang tampak dingin dan berat itu. Tea sempat merasa takut, ia takut jika ada sesuatu yang tidak terduga ada di dalam sana.

Gadis berambut cokelat itu meneguk ludahnya sendiri sebelum akhirnya memegang gagang pintu besi yang terasa dingin, ia hendak membukanya. Namun, usahanya gagal karena secara mendadak seseorang menepuk pundaknya. "Hei! Kau sedang apa?"

Si gadis menoleh dengan kaget, ditatapnya pemuda dengan seragam yang sudah berantakan dan rambut pirang khasnya yang tidak tertata rapi seperti biasanya. Tea mengusap dada untuk menetralkan napasnya yang memburu karena terkejut. "Aa ... aku sedang—" Ia menunjuk ke sembarang arah mencoba mencari alasan yang tepat. "Tadinya aku hendak pulang tapi—" ucapannya terjeda karena merasa aneh dengan pemuda di hadapannya. "Kau sendiri sedang apa di sini?" tanya Tea yang bingung dan curiga.

Zack menunjuk dirinya sendiri dan menjawab, "Aku? Ini lantai kelas tiga, wajar jika aku berada di sini. Terlebih sekarang ini ada tugas kelas yang harus aku kumpulkan." Ia menunjukkan beberapa buku yang tersusun rapi di tangannya.

Karena merasa terpojok akhirnya si gadis memilih pamit. "Oh ... oke. Aku akan pulang." Tea menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dan berjalan pergi.

"Tunggu, apakah kau tidak ingin membantuku?"

Tea menghentikan langkahnya dan berbalik, pandangan mereka bertemu seperkian detik, sampai akhirnya si gadis mengangguk guna menghilangkan rasa gugupnya.

"Baiklah, akan aku bantu." Gadis itu segera mengambil beberapa buku dari tangan Zack. Kemudian keduanya berjalan bersama di lorong yang gelap itu menuju ruang yang hendak dituju si pemuda.

Di tengah langkah mereka Zack menoleh. "Terima kasih," ucap Zack dengan senyum yang terlihat sangat ... manis? Astaga! Itu hanya akan membuat Tea semakin tertarik dengannya.

Keduanya berhenti tepat di sebuah pintu cokelat bergagang gold yang tampak elegan dan berkelas. Di sana juga terpasang sebuah label nama bertulis Mr. Devron's, seorang guru dengan pesona yang luar biasa. Pria yang mengajar pelajaran sejarah untuk kelas tiga itu memiliki sebuah daya tarik tersendiri. Ucapan dan gayanya yang sangat baik, bahkan ia terkesan seperti seorang keturunan bangsawan. Satu hal yang disayangkan darinya, ia tidak memiliki seorang istri jangankan istri kekasih saja tidak ada.

Zack menatap gadis di sebelahnya. "Baiklah, terima kasih."

Tea memberikan seulas senyum manis, kemudian segera memberikan kembali buku yang ia bawa kepada Zack. Keduanya sempat saling bertukar pandangan, sampai akhirnya Zack tertawa.

"Kau boleh pulang, Valerie ," ujar Zack, "Atau kau mau menungguku?" Belum sempat Tea menjawab, pemuda itu sudah masuk ke dalam.

Dirasa sudah tidak diperlukan lagi Tea memilih untuk pulang, kakinya kembali melangkah di tengah lorong yang sunyi, sampai akhirnya ia berhenti tepat di tangga yang menghubungkan antara lantai tempat Tea berada dengan lantai dasar. Helaan napas terdengar sebelum akhirnya ia kembali turun dan menapakkan kakinya di koridor, sendirian. Gadis bermata biru itu menggeleng, menghilangkan pikiran anehnya.

"Hei! Aku tidak berpikir untuk pulang bersamanya!" bantah Tea pada pikirannya sendiri.

Tepat di depan gerbang besar Atherty High School, gadis itu berhenti sejenak dan menoleh ke belakang, entahlah kenapa pikirannya selalu mengharapkan agar pemuda bernama Zack itu berdiri di sana. Namun, seakan Tuhan dengan cepat mengabulkan doanya, pemuda berambut pirang yang tampak acak itu berjalan keluar dari pintu masuk sekolah yang menjadi tempatnya menuntut ilmu. Langkahnya yang sangat santai dan berwibawa tampak menambah nilai plus bagi pemuda itu.

Karena tidak ingin dianggap menunggu oleh Zack, akhirnya Tea membalikkan tubuhnya dan bergegas pergi, tapi rasanya itu tidak akan berhasil saat seruan dari arah belakang berhasil menghentikan langkahnya.

"Hei!" Pemuda itu menghampiri Tea yang masih diam di tempatnya. Kini keduanya bertemu untuk yang kedua kalinya dalam sehari. "Aku pikir kau pulang terlebih dahulu, tapi nyatanya kau menungguku," ucapnya dengan tawa kecil yang terdengar.

Tea mengerutkan keningnya. "Aku tidak menunggumu!" bantah si gadis, rautnya masih menunjukkan sikap tidak terima atas ucapan Zack tadi. Pemuda di samping Tea menaikkan sebelah alisnya. "Aku ... aku hanya menunggu bus," lanjut Tea kemudian.

Zack mengendikkan bahunya dan melihat ke arah jam tangan yang ada di pergelangan tangannya. "Benarkah? Bukanya bus terakhir seharusnya sudah ada sejak 10 menit yang lalu?" tanya Zack.

"Kenapa kau menghitung-hitung seperti itu, lagi pula itu salah!" sahut si gadis dengan tegasnya, ia mencoba membela agar dirinya tidak benar-benar di anggap sebagai seorang yang suka menunggu. Tapi nyatanya memang itu benar.

"Jam kepulangan sekolah pukul 15.00 dan kau bertemu denganku di pukul 15.15, lalu lama perjalanan kita ke ruang guru 2 menit," jelas Zack.

Mendengar ucapan dari pemuda di sampingnya itu membuat Tea bingung harus berbuat apa. "Lalu?" tanyanya sembari memainkan jemarinya, kini ia mulai panik jika Zack benar-benar memperhitungkan semuanya.

"Seharusnya kau pulang pada saat itu juga, 15.17. Tapi kau masih di sini di pukul 15.30." ungkapnya. "Kau menunggu selama 10 menit lebih, Valerie?"

Tea membuka mulutnya tidak percaya. "Teori macam apa itu? Aku tidak menunggumu, meskipun aku tau kau pintar dalam pelajaran matematika, tapi jangan memperhitungkan semuanya, Zack," ujar Tea seraya berjalan menjauh.

"Begitu? Jadi apa aku bisa menghitung jumlah hari yang dibutuhkan agar dirimu berada dalam lingkaranku, Valerie?" tanya Zack.

Mendadak suasana di sore itu hening, keduanya sama-sama terdiam. Tea tak mengerti harus bersikap apa atas ucapan itu, ada sebuat sengatan aneh menjalar di tubuhnya. Seakan ucapan itu membuatnya tak berdaya.

Hingga akhirnya Zack berjalan menggapai tangan gadis di sebelahnya. "Baiklah, aku akan selalu menunggumu, Valerie," bisiknya. Zack menghentikan langkahnya, hal ini membuat si gadis menoleh. Senyum si pemuda terlihat jelas. "Sampai jumpa di akhir tahun kelulusan." Ia melepaskan tangannya dan melambaikan tangan.

"Zack."

Pemuda itu tersenyum kecil dan melangkah mundur. Tea masih saja tidak mengerti apa yang dilakukan oleh pemuda itu, ia hanya bisa memberikan senyuman dan senyuman, tanpa tahu makna yang sesungguhnya.

Zakc berbalik dan menghela napas panjang. "Sebelum kelulusan, aku janji itu," gumamnya dengan memejamkan mata sejenak.

Kepergian pemuda itu membuat Tea kembali berjalan pulang sendiri, angin senja yang tampak menenangkan menjadi teman bagi si gadis, walaupun ia tahu jarak antara rumah dengan sekolah cukup jauh.

Beberapa jam kemudian setelah perjalanan panjang itu, akhirnya sampailah si gadis di depan rumah kecil berpintu cokelat tersebut. "Aku pulang," ucap Tea dengan nada lesu. Sungguh, sore yang sangat melelahkan.

"Baguslah kau sudah pulang, lihat!" Adilson bangkit dari duduknya dan memberikan sebuah surat dengan amplop cokelat yang tampak rapi dengan sangat gusar dan tampak menahan emosi.

Tea menerimanya dan mengamati surat tersebut. "Surat dari siapa?" tanya Tea dengan raut bingung.

"Kau punya mata, kan?" sinis sang ayah.

Tea memilih diam dan tidak menghiraukan ucapan dari pria itu, segera saja ia bergegas naik ke atas guna membersihkan diri. Butuh waktu bermenit-menit sampai si gadis akhirnya keluar dan berganti pakaian santainya.

Merasa sudah selesai dengan kepentingan pribadinya, kini di ambilah amplop tersebut dan membukanya. Sebuah judul bercetak tebal tertera di bagian atas surat. "Pemberitahuan mengenai sewa rumah?" tanya Tea, "Astaga! Bulan depan?"

Mendadak ia teringat tentang hal itu, gadis berambut cokelat itu pun langsung bangkit dan berjalan keluar untuk menemui ayahnya.

"Bulan depan kita harus pergi dari sini," ujar Tea.

"Hah! Kau bilang apa?" tanya Adilson yang sedang di bawah pengaruh alkohol. Padahal baru beberapa saat yang lalu ia melihat ayahnya itu tersadar, tapi lihatlah sekarang ini, ia lebih mementingkan alkohol dan dirinya sendiri.

Tea memejamkan mata sejenak menahan segala macam emosi. "Masa sewa rumah ini sudah habis dan bulan depan kita harus pindah," ujar Tea yang kemudian kembali lagi ke kamarnya.

Memang benar rumah ini adalah rumah yang di sewa Laudya untuk keluarga kecilnya. Niat Laudya dulu adalah memberikan rumah ini sebagai tempat tinggal sementara untuk keluarganya, agar kelak saat Tea berumur 17 tahun mereka bisa pindah lagi di rumah baru yang rencananya di bangun beberapa tahun yang lalu. Namun, tentu saja itu hanya angan-angan yang tidak akan pernah tergapai karena kematian Laudya yang tanpa disangka-sangka.

Tepat bulan depan adalah hari ulang tahun Tea yang ke 17. Hari yang seharusnya ia mendapatkan banyak kasih sayang dan perhatian dari keluarganya. Entahlah, gadis itu akan mendapatkannya atau tidak, yang pasti Tea tidak pernah berharap banyak, karena ia enggan merasa kecewa lagi.

***

Beralih di sebuah gedung kuno yang masih terlihat kokoh dengan beberapa tanaman merambat tumbuh di sekitar bangunan. Di lantai atas tengah berdiri dua orang yang terlihat membicarakan sesuatu dengan sangat serius.

"Aku menemukannya," ucap pemuda berambut hitam legam.

"Bagaimana keadaannya?" tanya pemuda berambut pirang yang selama ini selalu tertutup bayangan kegelapan di gedung besar dan tampak mengerikan itu, siapa jika bukan Zack.

"Cukup baik, walaupun aku tahu itu cukup kejam," ujar Dich.

Zack hanya tersenyum sembari membelakangi Dich. "Bukankah itu bagus? Dia bisa mendapatkan pelajaran berharga atas semua yang telah dilakukannya?"

Sebagai seorang teman yang baik, Dich hanya bisa menyetujui hal itu dan mengangguk. "Aku tahu semua yang terbaik bagimu, meskipun itu tampak berbeda," sahut si pemuda bermanik abu itu.

Keduanya saling memandang dengan senyuman yang memilik banyak arti. "Baiklah, aku mempercayakan tugas ini padamu, Dich," tandas Zack sebelum akhirnya ia memilih pergi. Meninggalkan gedung tua itu untuk menuju lokasi lain demi mendapatkan apa yang ia inginkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top