11: Lie
***
Langkah kakinya menuntun si gadis untuk melangkah lebih jauh dari rumah bercorak biru berpadu abu-abu milik keluarga Gacfen. Sungguh, kini dirinya mengalami hal yang sangat berat, dengan teganya pemuda yang ia percaya melakukan hal semacam itu. Hal yang membuat siapa pun akan marah. Bagaimana tidak? Bayangkan jika kau sendiri mengalaminya, di saat kau mencoba mencari tahu banyak hal demi sebuah kasus dan temanmu yang kau percayai justru berbohong akan semuanya.
Pandangannya datar, seolah tidak ada lagi nyawa di dalam tubuh kurus dan kering milik gadis bernama Tea. Tangan kanannya masih ia gendong layaknya bayi, menahan rasa sakit yang datang di setiap detiknya. Tatapannya kini tertuju pada langit yang tampak mendung, perlahan tapi pasti sebuah buliran-buliran air menetes di sekitarnya. Entah kenapa hari itu menjadi sangat bagus untuk membantu Tea larut dalam amarahnya.
"Bahkan kalian ikut merasakannya," gumamnya.
Ia kembali menatap ke arah jalanan kota yang tampak basah, orang-orang bahkan berjalan dengan santainya tanpa payung atau pun mantel hujan. Ia mengernyit tak kala seorang wanita melewatinya, pandangan aneh di tunjukkan si wanita, merasa heran Tea juga menatapnya dengan raut penuh tanda tanya.
Tidak sampai di situ saat seorang anak kecil berlarian di tengah derasnya hujan, entah kenapa orang-orang ini seolah tidak dapat melihat suasana sedih milik bumi. "Mengapa orang-orang ini sangat aneh?" lirih si gadis. Karena tidak ada gunanya untuk memikirkan hal itu lagi akhirnya ia memilih meneruskan langkahnya untuk menemui seseorang.
Ia merogoh saku jasnya mencari-cari letak kartu yang diberikan Zack padanya saat di malam Bazaar. Karena tahu jika jalan itu cukup jauh dari tempatnya berada, akhirnya Tea memilih untuk menaiki taksi yang kebetulan lewat, dengan cekatan ia hentikan dan menaikinya sebelum seragam yang ia pakai benar-benar basah. Namun, entah mengapa si pengemudi sempat mengernyit keheranan dengan tingkah aneh Tea.
"Ada apa?" tanya si gadis yang merasa di perhatikan, pria tua itu menggeleng.
"Di mana tujuan Anda berikutnya?" tanya si pria.
Tea sempat memikirkan kembali apakah harus ke sana atau tidak. Tapi dengan segera ia memberikan kartu itu pada si sopir.
"Benarkah nona ingin ke sana?" tanya sopir taksi tersebut.
Si gadis langsung saja menganggukkan kepalanya tanpa ragu sedikit pun. "Ya, apakah ada masalah?"
Sopir taksi itu membenarkan duduknya dan mulai berbicara, "Gedung itu jauh dari pusat kota, suasana di sana sangat berbeda. Apa Anda benar-benar ingin ke sana atau saya antar ke tempat lain?"
Tea menatapnya dengan pandangan tidak yakin, lalu ia mengambil lagi kartu tersebut. "Tidak masalah, aku ada urusan di sana," tandas Tea. Terlihat raut berbeda di wajah si sopir. Namun, itu tidak menjadi hal yang perlu di pikirkan si gadis.
Perjalanan mereka berlangsung beberapa menit. Setelah sampai, Tea mengakui ucapan sopir itu tentang suasana di area gedung yang sangat berbeda. Entah kenapa, udara di sini sangat dingin dan mengerikan, padahal kita tahu jika Tea datang saat sore, belum tengah malam.
Gadis berambut kecokelatan itu menatap sekitarnya, begitu berantakan dan sepi. Rumput-rumput liar ada di mana-mana, lalu beberapa tong besar berdiri kokoh di depan gedung yang tampak sudah berumur banyak. Tea menoleh ke belakang, menghadap si pria tua yang menjadi sopir taksi. "Terima kasih," ucap Tea yang berusaha untuk ramah.
Sopir itu mengangguk dan tersenyum dengan sedikit paksa. Lalu si gadis memberikan imbalan berupa uang dan akhirnya pergilah si sopir itu bersama mobil taksinya.
Ia membalikkan badannya, menatap lagi gedung besar yang ada di hadapannya. "Tempat apa ini?" tanya Tea sedikit ngeri.
Gadis itu berjalan dengan hati-hati menuju ke gedung besar dengan cat yang sudah pudar tersebut. Memang gedung ini besar dan sangat kokoh, sayangnya tidak terurus saja. Tapi ada hal yang sedikit menganggu Tea saat datang, tentang penempatan tong-tong besar yang ada di depan gedung. Tong itu mengeluarkan asap panas, seakan sebuah panci raksasa yang digunakan untuk merebus daging.
Dengan rasa takut yang kini ia sembunyikan jauh-jauh, ia berjalan memasuki gedung tersebut. Manik birunya menelusuri setiap jengkal isi bangunan, melihat betapa menyedihkannya tempat ini. Beberapa bagian di dalam gedung seakan digunakan untuk bertarung, entah untuk siapa dan mengapa. Terbukti dengan adanya beberapa bagian yang rusak karena senjata, lebih tepatnya senjata api.
Karena tidak ingin berlama-lama akhirnya si gadis melanjutkan langkahnya dan mendapati sebuah tanga penghubung, ia menoleh ke kanan dan kiri melihat sekitar jika ada seseorang yang mencurigakan. Dirasa aman Tea segera menaiki satu persatu anak tangan, rasanya sangat dingin saat tangannya tanpa sengaja menyentuh pembatas tangan yang terbuat dari besi yang sekarang ini tampak berkarat.
Sesampainya di lantai berikutnya si gadis sedikit terkejut dengan seseorang yang tengah berdiri di ujung bangunan. Sosok yang tengah membelakanginya dengan penampilan yang terlihat rapi.
"Selamat datang, Valerie," ujarnya.
Tea pun menghampiri pemuda yang kini memakai setelan jas rapi, bahkan terlihat sangat rapi jika untuk pertemuan semacam ini. Tea menunduk, melihat kembali seragam sekolahnya yang tampak berantakan dan basah akibat hujan.
"Ma ... maaf, aku kemari karena ucapanmu tadi," ujar Tea. Entah kenapa, ada sedikit rasa tak enak dalam hati kecilnya. Dibalik sana, Zack menarik sudut bibirnya, tersenyum mendengar pernyataan dari si gadis. Merasa tidak ada jawaban dari pemuda berambut pirang yang ada di depannya, akhirnya Tea membuka mulut lagi, "Zack, aku ingin menanyakan satu hal padamu."
Pemuda bermanik hijau itu membalikkan badannya menghadap langsung ke arah Tea. "Apa yang ingin kau ketahui?"
Si gadis sempat terdiam. "Mengapa kau ingin menemuiku di tempat seperti ini?" tanya Tea kemudian.
Pertanyaan dari Tea itu membuat Zack memberikan sebuah senyum yang sangat manis sekaligus mengerikan, karena senyum itu seakan mengisyaratkan sebuah misteri yang sampai sekarang belum bisa Tea pecahkan.
Terdiam sejenak, ia berdehem dan mulai membuka suara, "Jangan tanyakan ini padaku, justru ini tentang kau." Gadis bermanik biru itu mengernyit heran, tidak paham maksud dari ucapan Zack.
"Aku?" ulang Tea.
Zack menganggukkan kepalanya. "Ya, apa yang membuatmu datang kemari? Saat kau membutuhkan seseorang yang benar-benar bisa membantu, atau saat kau memiliki niat tersendiri?"
Pandangan mereka bertemu, entah kenapa perasaan Tea seakan tertusuk oleh tajamnya ucapan pemuda berambut pirang yang kini berdiri dengan jarak yang jauh dari dirinya.
"Oke, dengar. Aku memang salah, aku datang kemari di saat mereka mengecewakanku," ungkap Tea. Ia benar-benar merasa kecewa dengan perilaku Dich dan Anantha. Ya, mungkin gadis itu juga bekerja sama dengan Dich, mengingat keduanya memiliki hubungan yang cukup dekat.
Sekarang Zack perlahan menghampiri Tea, tatapannya berubah menjadi lebih dingin dan datar. "Sesuatu yang sangat menyakitkan, bukan? Kau sangat mempercayai mereka, tapi anehnya mereka menutupi semua informasi."
Tea yang tadinya menunduk kini mendongak, menatap kedua bola mata berwarna hijau yang selalu membuatnya bertanya-tanya tentang apa dibalik tatapan kelam itu, dan apa yang disembunyikan mata hijau yang sangat gelap seolah orang lain tidak diizinkan masuk begitu saja.
Si gadis segera tersadar, ia hanya memberikan senyum paksa dan menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya lagi.
"Aku tidak pernah mengira jika mereka seperti itu, kupikir Dich adalah pemuda kedua yang membuatku bisa percaya lagi pada seorang lelaki."
Zack mengikuti arah gerak Tea yang kini berada di tepian gedung, menatap langit malam yang begitu gelap dan sunyi. "Kedua?" ulang pemuda berambut pirang tersebut.
Si gadis menunduk sekilas, memainkan tangannya dan mulai menjawab, "Ya, dia kedua karena yang pertama adalah sosok pemuda yang sampai saat ini menjadi luka."
Zack tersenyum, lebih tepatnya itu sebuah senyum bahagia yang mendengar ucapan dari gadis yang ada di sampingnya. Tea menoleh di saat senyum itu masih tergambar jelas di bibir Zack.
"Kau tersenyum? Apa itu bentuk rasa bahagia atas kesedihan?"
Mendengar ucapan dari Tea membuat si pemuda langsung menoleh. "Untuk apa kau bersedih atas hilangnya rasa cinta?"
Kerutan terlihat di wajah Tea. "Kau bisa mengucapkan hal itu sekarang, tapi tidak di saat kau benar benar kehilangannya," ujar si gadis.
Zack menghiraukan ucapan si gadis, ia berbalik pergi dan duduk di sebuah sofa yang entah sejak kapan ada di sana. Anehnya juga, kenapa ada sebuah sofa yang tampak baru di dalam gedung tua yang mirip seperti rumah hantu ini? Lupakan, mungkin saja Zack sengaja membawanya untuk sekadar melepas lelah.
Hawa dingin secara tiba-tiba datang, Tea memeluk erat tubuhnya yang sudah kedinginan sejak tadi. Tatapannya tertuju pada pemuda yang tengah duduk santai di seberang sana, menikmati sebuah minuman yang sedari tadi ia teguk, dan bersenderan dengan santainya.
Merasa di abaikan akhirnya si gadis berjalan menghampiri, mulutnya mendadak tertutup kembali saat suara Zack tiba-tiba saja terdengar, "Jangan berpikir aku mau menawarkan tempat duduk di sampingku."
Tea menatapnya dengan malas. "Tidak ada tawaran, maka kau memperbolehkan diriku untuk duduk?"
Zack menganggukkan kepalanya, ia menatap sekilas gadis itu dan kembali meneguk minuman yang memiliki warna gelap. "Akhirnya ada yang lebih pintar dari Dich," gumam Zack dengan sangat lirih, Tea sempat mendengarnya. Namun, tidak begitu jelas.
Keduanya sempat hening, Tea masih saja memeluk tubuhnya yang sudah kedinginan. Menyadari keanehan dari si gadis membuat Zack menoleh dan menatapnya heran. "Ada apa denganmu?" tanyanya.
Tea menoleh, ia menggeleng pelan. "Tidak, di sini terasa dingin," balasnya.
Pemuda bermanik hijau itu menunjuk minuman yang ada di hadapannya. "Minumlah, itu bisa membuatmu lebih nyaman."
Si gadis hanya menatap minuman itu dengan pandangan kosong. "Apa itu semacam alkohol?" tanyanya tanpa sadar, sungguh ia akan sangat kesal jika benar itu alkohol. Karena minuman itu juga yang membuatnya kehilangan sosok ayah, minuman itu yang kini menjadi pilihan utama Adilson daripada dirinya.
Dari samping terdengar suara tawa yang kemungkinan besar itu suara Zack. "Kau berpikir semacam itu? Cobalah, ini hanya jus," ucapnya.
Tawaran tak diterima oleh si gadis, ia tak begitu yakin jika minuman itu jus. Terlebih Zack mengucapkannya dengan tawa jahil.
"Valerie ," panggil Zack di tengah sunyinya malam. Si pemilik nama menoleh, menunggu ucapan selanjutnya dari Zack. "Di laboratorium, aku sempat menawarkan bantuan padamu, apa kau menerimanya?"
Tea masih menatapnya, belum ada jawaban sama sekali yang terucap di bibir yang pucat itu. Tangannya masih ia gosok-gosokkan agar merasa lebih hangat. "Tawaran? Berbentuk apa?" tanyanya dengan dahi berkerut.
Zack mengubah posisi menghadap Tea. "Tawaran berbentuk kerjasama, aku bisa membantumu akan hal ini, sebaliknya kau juga harus membantuku akan hal lain, bagaimana?"
Gadis berambut kecokelatan itu mengalihkan pandangannya, melihat ke sekelilingnya yang tampak gelap gulita. "Bantuan apa yang bisa aku lakukan padamu?" tanya Tea, ia menoleh kembali ke arah Zack yang masih menatapnya dengan aneh.
"Entahlah, aku akan memikirkannya nanti," balas si pemuda. Ia kembali mengubah posisinya semula.
Tea akhirnya menganggukkan kepala setelah sekian lama berpikir, entah apa yang membuatnya dengan mudah mempercayai Zack begitu saja. Terlebih kita tahu jika pertemuan Zack dan Tea itu relatif singkat, Zack yang jarang terlihat dan Tea yang sibuk dengan penelitiannya.
Jawaban dari si gadis diangguki oleh Zack. Dari tempatnya berada, si pemuda memberikan senyum. Bukan! Lebih ke seringai.
Akhirnya Tea mengambil gelas kosong yang ada di depannya, mengisi dengan minuman yang sama seperti yang diminum Zack dan mulai meneguknya begitu saja. Tea menoleh. "Ini lumayan, aku menyukainya," ungkap si gadis dengan raut yang sedikit bahagia.
"Aku sudah menduganya," lirih Zack, ia menoleh sekilas dan menahan senyum.
Tersadar akan hal lain membuat Tea menegakkan tubuhnya, melihat jam yang ada di pergelangan tangan dan melihat ke arah Zack dengan pandangan terkejut. "Aku melewatkan banyak hal hari ini," ujar Tea sembari beranjak untuk berdiri.
Zack menariknya kembali untuk duduk dan memanjukan tubuhnya. "Siapa yang mengizinkanmu untuk pergi?" tanya si pemuda setengah berbisik. Nada bicaranya mendadak berubah, lebih rendah.
Raut Tea mendadak berubah sedikit cemas. "Aku tahu sekarang kita terikat dengan tawaranmu, tapi ini sudah waktunya untuk aku pulang," jelasnya dengan wajah memohon.
Zack tersenyum miring dan melepaskan cekalannya. "Tidak, kita belum terikat selama kau tidak memberikan apa pun informasi yang kau ketahui."
Si gadis tersenyum kecut dan menoleh sekilas. "Apa yang harus aku katakan padamu?"
Zack kembali merilekskan tubuhnya. "Apa yang kau ketahui tentang keluarga Raltfoy?" Pertanyaan itu sempat membuat Tea kebingungan, tapi itu tidak berlangsung lama saat ia menemukan jawaban yang tepat.
"Aku hanya mengetahui beberapa hal. Kau tahu, mereka keluarga yang selalu terlibat dengan kriminal, mereka juga memiliki gangster yang diberi nama Antraxs, lalu tentang pembantaian keluarga itu pada 2016 yang lalu," jelas si gadis dengan cukup panjang.
"Hanya itu?"
Ia menoleh dan menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Aku rasa hanya itu yang aku ketahui. Memang ada hal lain?" tanya Tea kemudian.
Zack hanya terdiam, ia mengetuk-ngetukkan jarinya di atas sofa dan membuka mulut, "Sayang sekali jika keluarga itu telah tiada, padahal kita tahu jika kekayaannya benar-benar melimpah." Si gadis menyetujui akan hal itu.
"Ya, aku yakin jika anak dari Arthur masih hidup dia akan seumuran dengan kita, bersekolah di Atherty dan menjadi pusat perhatian seluruh siswi."
Tatapan mereka bertemu, untuk kali ini Zack yang memutuskan kontak mata mereka. "Bagaimana jika itu benar-benar ada? Apa kau akan menyukainya?"
Mendadak si gadis menatap heran dan menghembuskan napasnya. "Jika pun aku menyukainya apakah akan terbalas? Lagi pula sekarang ini fokusku hanya untuk satu orang."
Pemuda berambut pirang itu mengendikkan bahunya. "Siapa tahu kau dan dia ditakdirkan bersama."
Tea tertawa hambar, ia menundukkan kepalanya, menatap kakinya yang hanya terbalut rok pendek berwarna cokelat tua dengan kaus kaki sekolah yang mencapai bawah lutut. Zack ikut menatap penampilan Tea saat ini yang masih memakai seragam sekolahnya. "Aku baru sadar jika kau masih menggunakan seragam itu."
Gadis itu membenarkan kacamatanya dan menatap kembali dirinya yang tampak kusam dan kuno. "Penampilanku tidak semenarik mereka, aku hanyalah seorang gadis kuno yang sangat membosankan. Jangankan memperhatikan, mereka bahkan tidak ingin melihatku walau sekilas."
Ungkapan dari si gadis itu membuat Zack terdiam dan meresapi semuanya. "Siapa yang akan berpikir seperti itu? Kau memangnya tahu isi pikiran mereka?"
Oke, itu sebuah tamparan keras untuk Tea. Entah apa dan bagaimana Tea selalu tertarik dengan ucapan, tatapan dan tingkah laku dari pemuda bernama Zack ini. Ucapannya yang selalu berkharisma, tatapan mata yang membuat siapa pun terhipnotis dan tingkah laku Zack yang selalu terlihat sopan dan menarik. Bagaimana bisa sosok seperti Zack ada di Bumi? Bagaimana bisa ia dengan mudahnya mengenal dan duduk bersama pemuda berambut pirang yang selalu menjadi icon di setiap langkahnya.
"Aku hampir lupa, sebenarnya aku ingin menanyakan satu hal padamu," ucap Tea setelah pikirannya sempat melayang. "Jadi ... aku rasa kau memang tahu banyak hal, aku ingin mendiskusikan satu hal tentang ... ya, ini aneh tapi aku rasa memang kau yang tahu ...."
Pemuda bermanik hijau gelap itu menatap Tea dengan pandangan dingin dan sedikit kesal, menyadari tatapan itu membuat si gadis menghentikan ucapannya.
"Cukup, kau berbicara dengan sangat rumit, bisakah langsung pada intinya."
Baiklah ini memang salah Tea yang terlalu bingung untuk mengucapkan sesuatu. Tea terdiam sejenak, menatap Zack dan berusaha meyakinkan dirinya dengan pertanyaan semacam ini. "Ini tentang V20X," ungkapnya pada akhirnya, ia bernapas lega saat berhasil mengucapkan satu hal itu.
Lain halnya dengan Zack yang mendadak terdiam, ia hening dalam pikirannya sendiri, sampai pada akhirnya ia mengucapkan sesuatu, "Kelompok rahasia? Entahlah, kau bisa mencarinya di situs web," balas Zack.
Basalan Zack itu berhasil membuat Tea kecewa. "Mirip dengan Antraxs?" tanya si gadis lagi.
"Ya, mereka memiliki pasukan tersendiri, menjalankan misinya untuk perbuatan illegal."
Tunggu, kenapa pemuda ini tahu? Tea sempat ragu jika Zack adalah orang yang benar-benar memiliki wawasan yang sangat luas, ia bilang harus mencari di web, tapi buktinya pemuda itu menjelaskan banyak hal tentang V20X.
"Kau berucap seolah tidak tahu, sedangkan kenyataannya kau mengetahui banyak hal tentang kasus ini."
"Baik, kita bisa mendiskusikan hal ini lagi di keesokan hari," ujar si pemuda yang secara tidak langsung menyuruh Tea untuk pulang. Tea mendadak tersenyum kecut.
"Di luar hujan, ini sangat dingin, terlebih lagi tempat ini jauh dari kota," ungkapnya yang sedari tadi ia tahan, sungguh Tea benar benar merasa terjebak di sini dengan keadaan yang kedinginan.
Zack menatap keluar, ia mengerutkan keningnya merasa aneh dengan Tea. "Hujan?" tanyanya lagi, apa ia salah dengar atau memang Tea mengucapkan hal itu. Tapi gadis dengan rambut di cempol itu menganggukkan kepalanya, itu berarti Zack tidak salah dengar. "Tapi—" Ucapannya terhenti saat ia menyadari maksud dari si gadis. Ia mengerti apa yang dirasakan gadis itu sampai bisa melihat keadaan yang jauh berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya.
Karena merasa sedikit kasihan ia akhirnya bangkit dari duduknya dan menatap Tea.
"Aku akan mengantarmu," pungkasnya.
Si gadis sempat menggeleng karena merasa merepotkan. "Tidak perlu, aku akan menunggu lebih lama lagi sampai hujan benar-benar berhenti," ujar si gadis. Entah kenapa ucapan dari Tea membuat Zack menemukan ide agar si gadis mau pergi.
"Jadi? Kau mau di sini berdua bersamaku?"
Pemuda mulai melangkah mendekat, Tea yang merasa sedikit aneh pun sadar akan tatapan yang berbeda dari Zack, ia melangkah mundur demi menghindar dari pemuda bermanik hijau itu.
Tea menatapnya sekilas. "Zack," lirihnya, rasa takut mulai menjalar ke seluruh tubuh.
Pemuda itu masih dalam posisinya. "Ya?"
Kali ini Tea sudah tidak bisa bergerak sama sekali, pemuda itu tepat berada di depannya dan jarak mereka sudah sangat dekat. Memejamkan mata sekilas dan berusaha berucap dengan tegas. "Baiklah, antar aku pulang sekarang juga," tandas Tea.
Secara tiba-tiba Zack menjauhkan tubuhnya, ia menatap si gadis dengan datar dan mengambil kunci mobil yang tergelak di atas meja entah sejak kapan. Akhirnya keduanya berjalan turun, melewati pintu masuk yang diapit dua tong besar dan menemukan sebuah tempat yang tertutup dengan pintu otomatis.
Zack menoleh, tersenyum saat melihat reaksi aneh dari Tea. "Jangan selalu melihat tampilan dan umurnya," celetuk si pemuda. Gadis bermanik biru tersebut hanya menatapnya sekilas dan kembali terkejut saat melihat sebuah mobil hitam mengkilap terparkir rapi di dalamnya. "Naik, sebelum aku meninggalkanmu." Kembali lagi ucapan Zack itu membuat Tea menghela napas kesal.
Mobil hitam itu akhirnya melaju, membelah heningnya malam yang sangat dingin dan menyeramkan. Keduanya tidak ada pembicaraan sama sekali, Zack hanya fokus menyetir sedangkan Tea hanya menatap jalanan yang sepi itu dengan pandangan kosong.
Sampai akhirnya mobil itu berhenti tepat di depan rumah Tea. Tunggu! Rumah Tea? Si gadis segera turun. "Terima kasih," ungkapnya.
"Ya, tidak masalah selama kau masih ada," ucap Zack.
Si gadis membuka pintu mobil dan turun. Zack sempat menurunkan kaca mobilnya dan mengucapkan satu hal, "Sampai jumpa, semoga kau segera berubah, Valerie." Belum sempat si gadis membalas, Zack sudah melajukan mobilnya, pergi meninggalkan Tea yang masih menatap kepergiannya dengan pandangan kesal.
Ia berbalik, sampai sesuatu yang janggal mengingatkannya. "Hei, bagaimana bisa ia mengetahui letak rumahku? Sedangkan aku belum memberitahunya?" tanya Tea pada diri sendiri.
***
Siang ini di sekolah saat jam istirahat, Tea dan Anantha masih sama-sama diam. Keduanya tidak ada pembicaraan sama sekali terkait masalah kemarin, sebenarnya Anantha sudah mulai bertanya- tanya tapi Tea masih saja bersikap dingin seolah tidak mengenalnya.
Sampai di menit yang entah ke berapa Tea bangkit dari duduknya hendak pergi untuk sekadar melepas penat. Mendadak saat dirinya sampai di pintu seseorang dengan kasar mendorongnya hingga Tea kembali terdorong ke belakang.
"Kau?! Kau yang sudah membuat temanku meninggal!" teriak Luvena dengan nada ketus, tatapannya yang tajam mengarah langsung pada sosok Tea yang masih terdiam tidak mengerti maksud dari gadis dihadapannya ini. Luvena kembali mendorong Tea. "Asal kau tahu saja, aku telah membuat laporan atas dirimu!" tandasnya dengan wajah yang sudah memerah karena marah.
"Apa maksudmu?!" Anantha yang merasa tidak terima pun mulai maju, ia mendekati Luvena dan berhadapan langsung dengan gadis yang suka mencari gara-gara itu. "Jangan asal menuduh jika tidak ada bukti yang kuat!" tegas gadis bermanik abu-abu tersebut.
Luvena yang sudah emosi dan kesal pun mendorong Anantha dengan gaya bak preman. Tak lama setelah itu ia juga menarik rambut Anantha dengan kencang hingga gadis itu terjungkal ke belakang.
Karena tidak tahan dengan perilaku Luvena yang sudah melewati batas akhirnya Tea memilih membuka suara, "Hentikan! Hentikan semua perilaku jahatmu, Luvena. Kau benar-benar keterlaluan," ujarnya.
Luvena mendadak menatap gadis berambut kecokelatan itu dengan pandangan sinis, ia memberikan sebuah senyum meremehkan. "Kau bisa bicara? Aku kira selama ini kau bisu!"
Mendengar ungkapan jahat dari gadis di hadapannya itu membuat Anantha semakin naik pitam. "HEI! BERANI BERANINYA KAU!" murka Anantha. Ia bangkit dan menerkam Luvena seperti singa yang tengah menemukan mangsanya. Kedua gadis itu beradu kekuatan satu sama lain. "Ucapan mu sudah keterlaluan, cacing! Aku bisa melaporkan itu pada pihak sekolah!" sela Anantha di tengah perkelahian mereka.
Melihat kondisi yang semakin memanas ini membuat Tea berusaha memisahkan mereka. Namun, rasanya itu percuma karena kedua gadis itu sama-sama kuat dan tidak ada yang ingin mengalah. Luvena masih sesekali menarik narik rambut hitam milik Anantha dan memberikan ancaman-ancaman yang sama.
"Kau akan di keluarkan dari Atherty, ingat itu!" pungkas si gadis. Mereka akhirnya terpisah saat seorang pemuda yang di benci oleh Tea datang.
"Apakah bertengkar seperti ini bisa membuat temanmu kembali hidup, Luvena?"
Mendapatkan pertanyaan semacam itu membuat si gadis berambut pirang itu menatap tajam ke arah Dich yang tengah memeluk erat Anantha. "Huh! Kau membelanya karena dia kekasihmu? Dasar bodoh!"
Anantha menggeleng tidak percaya, bisa-bisanya gadis itu masih dengan wajah menyebalkannya berucap hal semacam itu.
Karena merasa tidak lagi berurusan dengan mereka dan juga tak ingin lagi membuang waktu sia sia, akhirnya Tea memilih meninggalkan tempat itu. Menyadari bahwa Tea hendak pergi, segera Luvena menghentikan gadis itu dengan membuka kembali suaranya, "Kau ingin kabur, Pembunuh?"
Tea menoleh, menatap Luvena dengan malas dan datar. Sempat beberapa detik manik biru Tea bertemu dengan manik abu-abu milik Dich dan Anantha. Namun, itu hanya sekilas saja. Tea membalikkan badannya. "Untuk apa berurusan denganmu," lirih si gadis sembari terus berjalan pergi.
Di dalam ruang kelas itu kini hanya tinggal kedua Dich, Anantha dan Luvena. "Kau akan menerima akibat dari ucapanmu, Cacing!" ketus gadis berambut hitam legam yang tampak terurai ke belakang.
Luvena tersenyum miring dan membalas, "Sebuah ancaman, huh?!"
Anantha menggelengkan kepalanya, "Itu bukan ancaman, tapi peringatan!" tandas si gadis, kemudian ia dan Dich memilih pergi.
Tampaknya Dich dan Anantha kini berusaha untuk meminta maaf pada Tea. Terbukti dengan usaha mereka yang kini tengah mengawasi si gadis berkacamata besar tersebut, berjaga-jaga jikalau Tea mendapatkan penghinaan atau perbuatan jahat dari Luvena lagi. Namun, seperti yang kita tahu jika sekarang Tea sama sekali tidak peduli lagi dengan Anantha maupun Dich. Bahkan, gadis itu bersikap seperti beberapa tahun yang lalu, cuek, dingin dan datar.
"Tea, apa ak—"
Anantha mendadak menghentikan ucapannya saat gadis berkacamata itu berbalik, meninggalkan Anantha yang terdiam di tempatnya berada. Ia hendak menghampirinya lagi sebelum seorang pemuda dengan seragam yang lumayan rapi datang dan berbincang-bincang dengan Tea, mereka tampak akrab, bahkan lebih akrab dari sebelumnya. Karena tidak ingin mengganggu, akhirnya Anantha memilih pergi.
Kini tersisa Tea yang tengah berbicara bersama Zack. Pemuda itu sempat mengungkapkan satu hal pada Tea tentang pertemuan mereka semalam, lalu Zack juga memberikan sebuah kertas yang berisi tentang V20X. Entah kenapa Tea sedikit kecewa lagi karena Zack hanya memberikan secarik kertas, ya, hanya secarik. Si gadis menatap pemuda yang sudah berbalik pergi meninggalkannya.
"Mengapa kau selalu membuatku semakin penasaran dengan arti dibalik manik hijau kelam itu?"
***
Berhubung Tea dan Anantha tengah berdiam-diam, terpaksa juga Tea harus berpergian sendiri. Kini di sore yang cukup cerah itu, si gadis tampak tengah duduk bersantai di bangku taman yang tidak jauh dari rumahnya. Burung merpati berterbangan di depannya, beberapa orang berlalu lalang dengan santainya, suara kendaraan juga terlihat tidak terlalu bising. Itu sebabnya taman ini menjadi favorit setiap orang.
Gadis dengan setelan kasual itu sesekali melemparkan jagung yang sempat ia beli hanya untuk para merpati itu, sebuah senyum terukir jelas di sudut bibirnya, manik biru itu tampak menatap dengan penuh kebahagiaan. Di pangkuannya ada sebuah buku catatan yang selalu ia bawa, lalu tas ransel hitam kecil dan sebuah kopi panas yang terbungkus cup, Tea sempat memesannya di Grillsy Café—milik Venic.
"Halo, selamat siang!" Sapaan dari seseorang membuatnya menoleh, melihat siapa gerangan yang memanggil.
"Ya, selamat siang," balas Tea. Ia seketika menghela napasnya saat menyadari sosok itu ternyata adalah Zack. Sempat si gadis merasa heran dengan tampilan pemuda itu yang sangat rapi, meskipun ia tidak lagi memakai setelan jasnya tapi entah kenapa kesan yang ditimbulkannya oleh Zack itu selalu berbeda dengan orang lain. Dengan celana jeans hitam, sebuah kaos polos berwarna hitam dan jaket jeans yang tampak senada, jangan lupakan sepatu hitam dengan sedikit corak putih.
Dengan sedikit ragu ia mempersilakan pemuda itu untuk duduk di sebelahnya. "Aku ingin membicarakan tentang V20X," ujar Zack yang langsung to the point. Tea menoleh dan mengangguk kepalanya. "Baik, pertama aku telah menunjukkan kertas itu padamu, itu tentang mereka, tentang aktivitas mereka selama ini dan juga apa pun yang ada di dalam sana," terang Zack sembari menunjuk kertas yang kini ada di tangan si gadis.
"Selanjutnya, aku mendapatkan sebuah petunjuk atas teka-teki itu. Namun, ini tidak akan membuktikan banyak karena hanya pemikiran yang tidak sempurna," jelas si gadis sembari menoleh menatap wajah Zack secara langsung.
"Baiklah, simpan saja itu."
Tidak ada pembicaraan lagi di antara keduanya karena Tea masih sibuk membaca kertas yang ada di tangannya. Zack hanya terdiam, ia menoleh ke kanan dan kiri lalu mulai menanyakan satu hal.
"Apa kau hanya akan di sini?" tanya Zack.
Tea terdiam sejenak dan membalas dengan singkat. "Tentu."
Setelah selesai dengan aktivitasnya, kini si gadis bermanik biru tersebut kembali menoleh. Ada beberapa pertanyaan yang bersarang di kepala sejak semalam, dan itu tentu saja tentang bagaimana Zack bisa tahu rumahnya, sedangkan Tea sama sekali tak memberitahu.
"Sekarang, jelaskan bagaimana bisa kau mengetahui rumahku?" tanyanya yang sedikit melenceng dari pembicaraan mereka di sore hari ini.
Pemuda itu hanya menarik sudut bibirnya. "Mengapa? Kau terkejut? Aku tahu banyak tentangmu."
Si gadis menggeleng tidak percaya, ia kemudian memberikan kertas itu dan menyeruput kopinya yang sudah sedikit hangat. "Itu menakutkan," lirih Tea yang masih bisa didengar oleh sang pemuda.
Mereka hening untuk beberapa saat. Tea kembali melempari jagung-jagung itu ke depan sana, berharap masih ada beberapa burung merpati yang datang untuk sekadar memakannya.
"Tanganmu? Apa sudah sembuh?" tanya Zack memecah keheningan di antara mereka.
Tea mengangkat tangan kanannya yang masih terbungkus perban. "Hanya sedikit nyeri, aku yakin akan sembuh dalam waktu dekat," ujarnya.
Zack mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya dan memberikan pada gadis di sebelahnya. "Aku rasa kau lebih membutuhkan ini," ujar Zack.
Tea menerimannya dan membolak-balikkan kemasan itu. "Apa ini?"
"Itu salep, kau bisa mengoleskanya saat terasa benar-benar nyeri. Ini tidak akan menyembuhkan, hanya meredakan rasa sakitnya," terang Zack, "Oh iya, sebenarnya lukamu itu tidak bisa sembuh, maksudku nanti pasti akan membekas, jadi jangan mengerutu jika tanganmu sedikit berbeda," lanjut si pemuda.
Tea hanya menganggukan kepalanya paham dan memasukkan benda itu ke dalam tas kecil dengan gantungan berbentuk kelinci yang manis.
Zack melihat ke arah Tea yang tengah menuliskan sesuatu di dalam buku kecilnya. "Diary? Kau suka menulis cerita di dalam sana?" tanyanya.
"Ya, bukankah setiap manusia memilikinya? Diary menjadi tempat bercerita yang menarik."
Tampaknya Zack tidak menyetujui akan hal itu, ia malah menunjukkan sikap yang sedikit aneh ketika mendengar kata diary atau buku catatan. "Black note," gumam Zack.
"Kenapa harus hitam?" tanya si gadis saat masih mendengar ucapan dari Zack.
Pemuda berambut pirang tersebut mengalihkan perhatian, mengambil wadah berisi jagung milik Tea dan melemparkan pada burung merpati yang tengah berjalan-jalan dan berterbangan di sekitarnya. "Itu sesuai, Valerie," balas si pemuda sesaat kemudian.
"Jika kau berkenan, bisa menceritakan segalanya, aku akan ... mendengarnya," tawar si gadis saat menyadari raut wajah Zack yang tampak berbeda saat mereka mambahas tentang buku catatan.
"Tidak ada yang di ceritakan tentangku, kau sudah mengetahui semuanya, kan?"
Tea hanya bisa diam dan meresapi kalimat itu dengan baik, walaupun ia berusaha meresapinya. Namun, tetap saja itu sulit untuk ia pahami dengan baik dan benar. Dan itulah kesalahan yang Tea perbuat saat itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top