10: Second Death

***

Hmmm ... bagaimana jadinya jika sedang asiknya berjalan ke toilet tiba-tiba saja segerombol orang berlarian dengan berteriak histeris? Tea sendiri merasa heran sekaligus aneh, untuk apa mereka semua berlarian semacam itu? Karena penasaran akhirnya si gadis bertanya pada salah satu dari sekian banyak siswa yang ikut berlari.

"Hei, bisa kau beritahu aku apa yang kalian lakukan?" tanya Tea pada seorang gadis keturunan Afrika yang ia kenal saat masa orientasi dulu.

Gadis berwajah manis itu menunjuk ke depan sana. "Ada siswi yang bunuh diri," ujarnya.

Seketika Tea melotot kaget. Ia tatap sekali gadis di depannya ini dengan pandangan tidak percaya. "Apa itu sungguhan?"

Gadis itu mengangguk dengan sangat serius. "Ya, mereka semua berlarian guna memastikan." Sesaat setelah itu, gadis berkulit eksotis tersebut pergi bersama temannya.

Karena memang penasaran akhirnya Tea memilih berbalik arah dan ikut bersama para siswa lain, sebuah kerutan terpasang jelas di wajah si gadis. Kenapa? Karena mereka semua kini berkumpul di depan pintu masuk ruang laboratorium kelas sebelas. Tea berusaha mendesak. Namun, gagal karena ia tahu jika mereka tidak akan ada yang mau mengalah demi si Upik Abu seperti dirinya.

Dari arah yang berlawanan Anantha yang melihat temannya itu tengah celingak-celinguk pun memanggilnya, berharap jika Tea menoleh. Benar saja, si gadis yang merasa namanya terpanggil pun menoleh.

"Anantha!" seru Tea. Ia langsung saja menghampiri gadis yang datang bersama Dich. Kini raut Tea tampaknya sangat penasaran sekaligus takut. "Kau tahu itu?" Tea menoleh ke arah kerumunan. "Siapa gadis itu?" tanyanya.

Anantha menoleh ke arah pemuda yang ada di sebelahnya, seakan memberikan kode untuk memberitahukan pada Tea. "Anak keluarga Aditama," ujar Dich kemudian.

"Eh?! Flysi?" tanya Tea dengan raut yang benar-benar terkejut.

Anantha memandang sekilas kerumunan yang ada di hadapannya dan menghela napas berat. "Ya, gadis itu ditemukan dengan keadaan yang sangat mengenaskan," terang gadis berambut hitam legam tersebut.

"Kau yakin itu Flysi?"

Dich mengangguk dengan yakin dan menunjuk ke arah belakang Tea. "Dengan sangat yakin, aku dan K yang pertama kali melihatnya."

Tea ikut menoleh, tatapannya bertemu dengan manik hijau gelap yang tampak indah tersebut. Zack melangkahkan kakinya agar lebih dekat dengan mereka. "Itu benar, gadis itu tampak lebih mengerikan dari sebelumnya," ungkap Zack.

Tidak lama kemudian mobil Ambulans datang bersamaan dengan para polisi, semua siswa diminta tertib guna memudahkan tugas para pihak yang berwajib.

Mr. Trent menghampiri keempat remaja itu dan menatap dengan dingin ke arah mereka. "Kau dan kau, ikut bersama kami," ucap si pria sembari menunjuk ke arah Zack dan Dich.

"Baiklah," ucap Dich. Kedua pemuda itu akhirnya berlalu pergi bersama para pihak kepolisian.

Tea menatap Anantha sekilas lalu. "Laboratorium? Dan angka-angka?" gumam Tea.

Anantha menoleh saat mendengar gumaman dari gadis di sebelahnya. "Teror yang sesungguhnya," timpal gadis bermanik abu, kemudian ia menarik Tea untuk kembali ke dalam kelas sebelum akhirnya sebuah pengumuman dari speaker utama aktif.

"PERHATIAN SEMUANYA! DIHARAPKAN SEMUA SISWA MENUJU KE KELAS MASING-MASING!"

Kedua gadis yang tadinya menghentikan langkah mereka kini kembali saling menatap dan segera berlari ke dalam kelas. Untung saja seluruh siswa mampu di kondisikan dengan baik, terlihat jelas jika mereka kini tengah berada di kelas masing-masing, walaupun masih ada sebagian dari mereka yang berada di luar sana

Kelas Tea menjadi kelas yang cukup, ya cukup baik dalam menerima perintah. Kebisingan di kelas mendadak hilang saat seorang wanita bergaun kebesaran datang dengan langkah terburu-buru.

"Baik, selamat siang anak-anak," sapa guru itu dengan ramah. Ia menatap keseluruhan siswa di kelas Tea dan menemukkan sosok yang tidak ada di dalam kelas. Bisa ditebak? Yap, Hillen dan anak buahnya. Lupakan soal pemuda itu! Kini fokus saja pada masalah dan kondisi terkini di siang yang mencekam ini.

"Selamat siang."

Wanita bernama Mezlher itu menunjukkan senyum manis. Ia melangkahkan kakinya perlahan dan memejamkan mata sekilas. "Baiklah kita mulai. Mungkin kalian sudah melihat kejadian beberapa menit yang lalu, saya harap kalian tidak perlu memikirkan hal itu dan saya harap juga kalian tidak perlu khawatir akan hal ini," ujar Mrs. Mezlher. Ia menghela napas berat, tatapannya mengisyaratkan kesedihan.

Seorang gadis berwajah Eropa mengacungkan tangannya. "Maafkan saya, Mrs. Mezlher. Tapi ini untuk yang kedua kalinya sekolah kita kehilangan dua murid," sela seorang siswa bernama Meira.

"Ya, aku tahu, Ms. Graham. Kalian tetap tenang saja, kami pihak sekolah akan menangani kasus ini," jelas Mrs. Mezlher, berusaha meyakinkan akan hal tersebut.

Tiba-tiba Anantha ikut mengangkat tangannya, wanita bertubuh tinggi itu menoleh ke arah Anantha. "Ya, Ms. Gacfen?" tanyanya.

"Kenapa pihak sekolah seakan menutupi akan hal besar ini? Bukankah ini perlu diselidiki?" Mendadak guru itu terdiam, ia membuka mulutnya hendak bicara, tetapi kembali lagi tertutup seolah bingung harus menjawab apa.

"Kau benar, tapi kami tidak menemukan bukti apa pun. Kalau pun kami tahu siapa pembunuh Vica, itu akan lebih mudah," terang Mrs. Mezlher. Ia kemudian maju selangkah lagi dan menatap satu persatu murid yang ada di hadapannya. "Aku janji pada kalian, tidak akan ada lagi kasus ini untuk yang ketiga kalinya," tandasnya, kemudian wanita itu berbalik dan mendudukkan dirinya di tempat guru.

Gadis berambut kecokelatan yang berada di samping Anantha tampaknya lebih memiliki banyak pikiran dari sebelumnya. "Aku merasa Flysi dibunuh dengan cara diracuni, kau tahu bukan, aneh saja jika ia bunuh diri," ungkap Tea pada Anantha yang tengah sama-sama memikirkan hal itu.

"Tampaknya memang begitu, Dich dan K menemukkan gadis itu dengan posisi tergeletak di bawah meja praktek dan badan yang sudah pucat," terang Anantha.

"Kenapa selalu melibatkan angka misterius? Ini menambah opiniku tentang keberadaan Hans Raltfoy yang masih hidup," imbuh Tea. Rautnya mendadak berubah saat ia menatap sekitarnya, mereka semua menatap ke arah Tea dengan pandangan aneh. "Hei, jangan membuat diriku berpikir jika mereka menuduhku akan hal ini," lirih si gadis bermanik biru tersebut.

Anantha memperhatikan mereka. "Aku rasa memang benar, kau tahu jika pembunuhan ini melibatkan dua gadis yang selalu mengganggu dirimu di kelas."

Merasa aneh akhirnya Tea memilih mengabaikan hal itu, toh ia juga tidak bersalah. "Anehnya, kenapa setiap angka itu muncul, keesokan harinya ada yang tewas."

Gadis yang tengah menulis sesuatu di bukunya dengan perlahan menoleh, memperhatikkan Tea sekilas lalu memandang langit di luar sana. "Ini bukan lagi pembunuhan berantai yang acak, tapi melibatkan balas dendam dan teka-teki," imbuh Anantha.

"Kita bisa membicarakan akan hal ini pada Dich dan Zack, bagaimana?" Tea yang merasa aneh dengan tatapan Anantha pun kembali mengoreksi apa yang baru saja ia ucapkan tadi. "Ada apa? Apa aku mengatakkan hal aneh?"

Gadis di hadapan Tea menggeleng. "Tidak, hanya saja siapa Zack?"

Tersadar akan hal itu ia mengedipkan matanya berkali-kali. "Kleyfan Zack, maksudku K," ralatnya sejelas mungkin. Untuk Anantha sendiri ia hanya memahami hal itu dengan anggukan samar yang ia lontarkan.

***

Di sisi lain, Dich bersama dengan Zack tengah berada di ruang interogasi bersama seorang pria bernama Baron. Kedua pemuda itu tampaknya lebih santai dan tenang, entah karena memang bawaan diri mereka atau sikap yang seharusnya ada agar tidak di curigai oleh pihak kepolisian.

Baron yang tadinya bersenderan kini tampak lebih memajukan badannya dan menatap kedua pemuda di hadapannya dengan serius. "Jadi, aku hanya ingin menanyakan satu hal pada kalian." Ia menjeda ucapannya lalu mengeluarkan sebuah catatan kecil yang ada di sakunya. "Siapa gadis itu?"

Dich menatap pria di hadapannya dengan pandangan datar. "Flysi, putri dari keluarga Aditama," balas si pemuda dengan yakin.

Baron mengangguk-anggukan kepalanya dan menatap Zack yang masih terdiam memainkan tangannya. "Bagaimana keadaannya saat kalian temukan?" tanya Baron lagi.

"Aku berada pada urutan kedua setelah dia datang, kami hanya melihat gadis itu tergeletak di sana, membawa sebuah tabung kimia dan wajah pucatnya," terang Dich.

Kembali lagi pria itu menatap pemuda yang berada di samping Dich. Ia hanya memperhatikan sekilas sebelum akhirnya mengeluarkan pertanyaan lagi, "Adakah hubungan antara Flysi dengan siswa lain?"

Zack mendongak. menatapnya dengan pandangan dingin. Namun, tidak ada niatan untuk menjawab. Karena temannya itu tidak menjawab sama sekali, kini Dich menoleh sekilas. "Aku tidak tahu, kami siswa kelas akhir. Hubungan antara kelas sebelas hanyalah sekadar melewati dan menyapa, tidak ada yang tahu akan hal itu," tutur pemuda bermanik abu gelap tersebut.

Baron kemudian menunjuk ke arah Zack. "Apa temanmu ini tahu sesuatu?"

Dich menarik sudut bibirnya. "Mengapa menanyakan hal itu padaku, Sir? Anda bisa menanyakannya secara langsung, kan?"

Pemuda berambut pirang itu menatap pria yang menjabat sebagai kepala kepolisian tersebut dan membuka mulut setelah sekian lama terdiam. "Aku hanya tahu jika gadis itu terlibat kasus penindasan pada gadis lain yang sama-sama kelas sebelas. Flysi seorang penindas."

Mendengar ucapan Zack, Baron terlihat menuliskan sesuatu di atas buku catatan kecil miliknya. "Siapa gadis itu?"

Dua pemuda yang masih mengenakkan seragam mereka tampak saling memandang satu sama lain. "Gadis yang selalu mendapatkan peringkat kedua dalam sekolah," balas Zack setelah beberapa saat terdiam.

Pria berseragam lengkap itu menganggukkan kepalanya dan bangkit. "Baiklah, terima kasih atas bantuan kalian," ujarnya sembari menjabat tangan kedua pemuda itu.

Setelah kedua pemuda itu beranjak dari Kantor Polisi mereka berencana kembali ke sekolah guna menemui Tea dan Anantha. Entah apa yang akan mereka rencanakan yang pasti itu bukan kemauan dari Zack, melainkan Dich. Setelah turun dari bus yang membawa mereka kini kedua pemuda itu segera saja melangkahkan kakinya melewati gerbang besar Atherty High School, di jam terakhir seperti ini rasanya sedikit berbeda terlebih setelah kejadian beberapa jam yang lalu.

"Hei! Bagaimana? Apa kalian baik-baik saja?" tanya seorang siswa laki-laki yang di ketahui sebagai teman sekelas dari kedua pemuda yang baru saja mendaratkan kakinya di atas keramik putih bersih milik sekolah tersebut.

Dich menganggukan kepala, menepuk pundak temannya itu. "Kami baik-baik saja, bagaimana dengan sekolah setelah kepergian kami?" tanyanya berbalik. Pemuda yang di ketahui bernama Felix itu tampak mengalihkan pandangannya, menyadari ada yang aneh Dich kembali bertanya, "Ada apa? Apakah ada hal besar yang terjadi?"

Felix hanya terdiam, lalu beberapa saat kemudian ia menatap pemuda yang berada di samping Dich yaitu Zack. "Aku rasa ini lebih buruk, kau tahu saat ini Luvena tengah kehilangan dua sahabatnya." Dich menoleh ke belakang tepatnya ke arah Zack.

"Valerie," gumam Zack.

Pemuda berambut hitam tersebut kembali menatap Felix. "Apa yang ia lakukan?" tanya Dich yang ikut cemas.

Felix hanya mengendikkan bahunya. "Kau lihat saja, dia ada di ruang kesehatan sekarang ini." Karena cemas akan hal itu, akhirnya keduanya memilih pergi untuk melihat sendiri keadaan dua gadis yang menjadi tanggung jawab mereka untuk saat ini.

Ruang kesehatan sekolah berada di bagian barat gedung utama, itu berarti mereka berdua harus melewati ruang guru yang kemungkinan besar akan ada berbagai pertanyaan. Karena Zack tidak ingin mendapatkan hal semacam itu akhirnya Dich mengikuti saran pemuda berambut pirang itu untuk memutar balik haluan dan memilih mengambil jalan yang lebih jauh.

Beberapa menit dilalui begitu saja, Dich dan Zack telah tiba, walaupun harus berjalan cukup jauh. Benar ucapan Felix tadi, gadis berambut kecokelatan itu tampak tengah terbaring di ranjang dengan Anantha yang tengah duduk di sampingnya.

Saat kedua pemuda itu datang, Anantha berdiri dan menyambutnya dengan raut gembira sekaligus sedih karena keadaan Tea saat ini.

Dich menghampiri Anantha, memeluknya dengan erat seolah takut jika ada sesuatu yang membuatnya terluka. Menyadari kondisi mereka saat ini, Anantha melepaskan pelukannya dan menatap kedua pemuda itu secara bergantian.

"Apa kalian baik-baik saja? Bagiamana? Apa ada sesuatu yang bisa membuktikan kasus ini?" tanya si gadis dengan nada yang lumayan cepat.

Dich menggeleng dan tersenyum. "Tidak ada yang perlu di khawatirkan."

Ketika kedua pasangan itu tampak bersama, lain halnya dengan Zack yang kini hanya berdiri di samping tempat Tea terbaring, menatapnya sendu dan tidak ada niatan untuk melakukan hal lain. Gadis berambut kecokelatan itu tampak memejamkan matanya, seperti menikmati waktu sesaat hanya untuk ketenangan. Wajahnya terlihat lebih tenang, polos dan cantik. Tergambar jelas jika dirinya hanya menginginkan hidup tanpa ada beban sekalipun.

"Dia lebih tenang saat memejamkan mata," cetus Anantha yang kini berada di seberang tempat Zack berdiri.

Mendengar ucapan dari Anantha membuat pemuda itu tersadar dari lamunanya. "Aku rasa harus pergi sebentar," ujar Zack. Ia berbalik dan melangkahkan kakinya untuk keluar. Namun, sebelum itu terjadi sebuah ungkapan dari Anantha membuatnya menghentikan langkahnya.

Gadis yang tadinya berbaring dengan wajah tenang itu kini telah membuka kelopak matanya, menunjukkan manik biru cerahnya yang kini menatap Zack. Keduanya menatap satu sama lain walaupun terbatas oleh jarak, hanya keheningan di antara keduanya, bahkan si pemuda saja enggan untuk melangkahkan kakinya agar lebih dekat dengan Tea.

Sampai pada akhirnya. "Apa yang terjadi sampai kau seperti ini?" tanya Dich di tengah keheningan mereka.

Anantha menatap pemuda yang menjadi pelindungnya itu dan menatap sekilas Tea. "Setelah Mrs. Mezlher pergi kami berencana menemui kalian, tapi secara tiba-tiba Luvena datang dan menumpahkan sebuah cairan. Refleks Tea bangkit dan mencegahnya, walaupun begitu sebagian dari cairan itu mengenai tangan kanannya," terang Anantha sembari menjeda ucapannya.

Mereka menatap Tea, merasa prihatin dengan keadannya sekarang. "Tangannya tidak mengapa, hanya saja nantinya akan membekas di sana. Kami sendiri tidak tahu cairan apa yang dibawa oleh Luvena. Namun, menurut Mrs. Vogel itu sebuah racun, semacam cairan kimia yang bisa merusak kulit dengan cara perlahan tapi menyakitkan," lanjut si gadis berambut hitam tersebut.

"Bagaimana bisa ada sebuah cairan semacam itu di laboratorium?" tanya Dich heran.

Pemuda itu juga menatap Zack yang kini telah berada di sampingnya. Zack kemudian membalas, "Aku rasa ada yang membuat atau menaruhnya di sana," ucapnya setelah seperkian detik hanya diam.

Dich kembali dibuat heran oleh balasan dari temannya itu. Ia menatap lekat pemuda berambut pirang yang berada di hadapannya. "Memang siapa yang akan membuat hal semacam itu di dalam sekolah? Kau tahu itu ilegal."

Senyum tipis dari Zack seperti memberikan pernyataan yang tidak setuju, manik hijaunya mengarah pada Tea yang masih terdiam. "Mengapa kau tidak menanyakan langsung pada orang yang sering mengunjungi laboratorium?" Mendengar ucapan dari Zack itu membuat Tea mendadak mendongak dengan tatapan terkejut,

"Maksudmu?" tanya Dich yang merasa bingung.

Zack menunjuk ke arah gadis bermanik biru itu. "Valerie, aku rasa dia tahu siapa yang membuatnya, terlebih lagi dia selalu paham akan hal semacam itu, benar kan?"

Merasa tersebut akhirnya Tea membuka mulut dengan berucap, "Aku tidak terlalu tahu semua itu, lagi pula aku bahkan tidak menghitung apa pun bahan yang hilang atau dibutuhkan dalam meramunya."

Anantha mendadak mengerutkan keningnya. "Meramunya? Jadi, kau tahu bagaimana cara meramu bahan kimia itu?" tanya si gadis memastikan.

Tea terdiam sejenak meruntuki apa pun yang ia ucapkan barusan. "Aku ... aku hanya tahu beberapa darinya," ujar si gadis bermanik biru itu yang berusaha meyakinkan.

Terlepas dari pembicaraan mereka tadi, kini masuklah seorang guru bergaun serban kuning dengan dandanan elegan bak bangsawan. Ia menatap ketiga orang yang tengah berdiri di samping tempat Tea berada.

"Baiklah, aku rasa Tea sudah bisa pulang, lagi pula sekarang sudah hampir malam," ucap Mrs. Eucharist dengan nada lembut dan menenangkan. Anantha pun mengangguk dan membantu Tea untuk mengambil tasnya.

Wanita itu sempat menghentikan kedua pemuda yang berada di belakang Tea dan Anantha. "Tunggu, aku sangat bangga dengan ucapan dan keberanianmu," ungkapnya.

Zack sama sekali tidak ada niatan untuk menjawab atau hanya sekedar tersenyum, ia berlalu begitu saja menyusul kedua gadis yang sudah berjalan terlebih dahulu. Lain halnya dengan Dich yang masih berdiri di sana. "Terima kasih atas pujiannya," balas pemuda itu.

Keempat remaja itu tampaknya tengah menikmati waktu bersama untuk berjalan kaki di atas trotoar kota yang terlihat sepi. "Aku ingin membicarakan satu hal pada kalian," cetus Anantha di tengah keheningan mereka.

Tea menoleh sekilas dan kembali mengamati jalan beraspal yang terletak di sebelah kirinya. Dich pun menyahut, "Kita bisa mencari tempat yang nyaman." Ia mengamati sekitar, berharap menemukan tempat yang cocok untuk pembicaraan kali ini.

"Aku tidak bisa ikut bersama kalian," ujar Zack yang berada paling pojok. Tatapan ketiganya langsung tertuju pada pemuda itu.

"Why?" tanya Dich yang sedikit bingung.

Pemuda bermanik hijau gelap itu hanya terdiam dan melihat sebuah bus yang kebetulan berhenti di halte yang berada tidak jauh dari letak mereka saat ini. "Tidak ada apa pun yang bisa dibicarakan kecuali pengakuan dan bukti," ujar Zack sebelum akhirnya ia berjalan pergi dengan raut dinginnya.

Sempat Anantha heran, ia berbalik menatap kepergian Zack. "Hei, Pirang! Dengar! Kau tidak bisa pergi, ini juga menyangkut tentangmu!" teriaknya.

Namun, Zack tetaplah seorang pemuda yang bisa di bilang sangat cuek dan tidak ingin berurusan dengan siapa pun. Secara mendadak pemuda berambut pirang itu menghentikan langkahnya tepat di samping pintu bus dan menoleh. "Ingat, aku selalu menunggu di tempat yang menjadi milik kita," ujarnya, lebih tepatnya ucapan itu tertuju langsung pada Tea.

Si gadis masih tidak mengerti apa pun yang ia lewati hari ini, entah bagaimana jalan pikiran pemuda itu sampai-sampai begitu rumit untuk memahaminya.

Lupakan pasal itu karena sekarang ini Tea dan Dich tengah berada di sebuah rumah dengan desain minimalis yang tampak memukau. Rumah satu-satunya dari sekian banyak untuk keluarga Gacfen berpusat. Memang benar jika menyebut rumah cukup besar, tapi di balik besarnya rumah itu ada satu hal yang membuat calon pewaris tahta Gacfen merasa sedih.

"Kalian lihat kan, aku selalu kesepian berada di sini," gumam Anantha dengan raut yang tergambar jelas rasa kesepian dan kesedihan.

Dua orang pelayan datang dengan mendorong troli berisi banyaknya cemilan yang cukup enak. "Mereka asik dengan pekerjaan dan melupakan aku, itu sebabnya aku ingin sekali mempunyai teman," lanjutnya sembari mengambil beberapa cemilan.

Ucapan dari Anantha berhasil membuat Tea merasa tersentuh, ia memberikan senyum ketulusan dan berusaha membuat gadis itu merasa nyaman di antara mereka. "Tenang, sekarang kita telah menjadi satu kelompok, kan?"

Dich mengangguk dengan penuh semangat. "Ya, kita satu kelompok sekarang," sahutnya, nadanya terlihat jelas memancarkan kebahagian.

"Oke, sekarang kita fokuskan pada pembicaraan hari ini," ucap Tea mengawali.

Kedua remaja yang lain tampak menyetujuinya dan mulai fokus. "Baik, jadi kita akan diskusikan apa?" tanya Dich.

Anantha sempat menoleh dengan raut kesal. "Kita akan pecahkan angka itu, Dich."

Si pemuda menatap dua gadis di hadapannya dengan bergantian dan mengerutkan keningnya. Menghela napas dan kembali membuka suara, "Memang apa yang harus dicari? Kau tahu petunjuknya?" tanya Dich.

Mereka terdiam, memang belum ada satu pun petunjuk yang ada untuk saat ini.

"Tidak, itu mengapa aku selalu mencegah pencarian ini, kau tahu kenapa? Karena ini sia-sia saja." Ucapan dari Dich itu seolah menyadarkan Tea akan hal yang sesungguhnya, benar jika sampai sekarang pun ia belum menemukan satu pun petunjuk yang pasti.

"Dich, aku menemukan seorang teman yang bisa membantu kita memecahkan semua ini. Dulunya dia mempunyai seorang teman seorang detektif yang menangani kasus ini, tapi hal yang sama tejadi, ia menghilang," tutur Tea, "Tapi, ada satu hal yang harus aku tunjukkan pada kalian." Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku bersampul kuno dan satu lagi buku berlapis hitam dengan paduan gold.

Anantha menatap tidak percaya pada Tea. "Apa?! Kau mencurinya, Tea?" Ia meraih buku itu dan mengamati lebih lanjut jika memang benar buku itu adalah buku yang sama yang nantinya akan di kemas oleh Mr. Yefers.

"Aku tidak mencurinya, aku hanya—"

Belum sempat si gadis menyelesaikan ucapannya, Anantha kembali menyahut dengan berkata seperti ini, "Sama saja, buku itu tidak ada hak pinjam karena akan di kemas dan kau mengambilnya tanpa seizin Mr. Yefers!" omel Anantha.

"Baik, aku mengaku jika ini salah," tandas Tea kemudian.

Kini giliran Dich yang sempat terdiam membeku, manik abu-abunya terpaku pada buku bersampul hitam berpadukan gold tersebut. "Tea, dari mana kau mendapatkan buku semacam ini?" tanya si pemuda pada akhirnya.

Gadis berambut kecokelatan itu menoleh dan sempat bingung harus menjelaskan dari mana. "Venic memberiku buku itu, tentang keluarga Raltfoy dan struktur kepemimpinannya," terang Tea.

"Kau tahu jika ini buku terlarang, kan? Ini buku ilegal yang sangat sensitif."

Tea menyetujui akan hal itu dengan anggukan. Ia mengambilnya. "Aku tahu, di sini memang memuat masa masa kriminal dari pemimpin Antraxs," ucapnya.

Dari tempatnya berada, Anantha mengerutkan kening. "Antraxs? Apa lagi ini?" Raut kebingungan dari Anantha akhirnya di jawab dengan sebuah penjelasan panjang dari Tea.

"Antraxs adalah sebuah gangster mafia yang pertama kali di bentuk oleh Raltfoy. Sebuah gangster dengan kepemimpinan yang kejam dan mengerikan, di buku bilang masa-masa kejayaan Raltfoy menjadi masa kelam bagi penduduk Bedlam karena kepemimpinannya yang sangat brutal."

"Raltfoy bukanlah manusia, kau tahu jika dia itu seorang pria tua dengan tampang menyeramkan yang mempunyai masa lalu tak kalah menyedihkan," sahut Dich. Rautnya berubah drastis yang awalanya bahagia menjadi cukup tegang dan cemas.

Tea menatapnya dengan aneh. "Kau tahu tentang ini, Dich? Dan ada apa dengan dirimu yang tampak tegang?" tanya gadis bermanik biru itu.

Dich mengalihkan pandangannya. "Satu hal yang akan aku beritahu pada kalian, ini tentang kebenaran yang sesungguhnya." Ia menunduk dan memejamkan matanya sekilas. "Aku mengenal mereka, aku mengenal sosok Adrian Saint dan orang yang terlibat dengan keluarga Raltfoy. Ini memang gila, tapi keluargaku dulu bekerja untuk keluarga Raltfoy," ungkap Dich pada akhirnya.

Anantha menoleh tidak percaya, begitu juga dengan Tea yang sempat menghembuskan napas. "Dich, kau bersungguh-sungguh tentang ini? Tapi kenapa selama ini kau hanya diam?" tanya Anantha yang sedikit menahan emosinya.

Tea menggeleng tidak percaya, selama ini ia bersikeras mencari tahu sedangkan orang yang sangat mengenal keluarga itu justru terdiam. "You stupid!" gadis bermanik biru itu segera mengambil buku yang ada di tangan Dich dan buku satunya, mengemasi ke dalam dan berdiri.

Menyadari kekesalan dari Tea, Anantha segera mencegahnya. "Tea, tunggu!"

Ia terhenti oleh cekalan tangan Anantha, dengan tatapan dingin Tea melepaskannya begitu saja. Tatapan tajam dan dingin itu mengarah pada dua orang yang ada di hadapannya. "Baik, kalian menutupi ini semua dariku. Tidak ada gunanya memiliki sebuah kelompok!" tandasnya kemudian. Ia berlalu pergi dengan rasa kecewa.

Anantha berteriak, berusaha memanggilnya, tapi Dich mencegah. "Biarkan dia menenangkan dirinya," ujarnya.

Si gadis menggeleng tidak yakin. "Tidak, Dich."

"Aku tahu dia akan menemukan cara untuk menenangkan diri dengan baik."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top