1: The Opening
***
JUMAT, 25 MARET 2011
Malam itu adalah malam yang cerah ketika bulan bersinar dengan terangnya, seolah memberikan senyuman. Bahkan bulan merasakan apa yang dirasakan sang ibu di malam tersebut. Laudya duduk terdiam di kasur empuk milik putrinya, tatapan sendu itu tidak henti-hentinya menatap putri kecil kesayangannya yang tengah duduk di meja belajarnya.
Dalam benaknya ada rasa bersalah amat dalam, salah jika harus meninggalkan sang buah hati sendirian, walaupun ia tahu Adilson-suaminya-akan menjaganya. Namun, rasa mengganjal itu masih tidak bisa pudar begitu saja.
Hingga beberapa menit kemudian, si gadis kecil itu menoleh menatap sang ibu, di wajahnya terukir jelas senyuman manis layaknya putri di negeri dongeng. Kaki mungilnya menuruni kursi dengan susah payah, lalu berlari dan memberikan kertas yang baru ia coret-coret.
"Aku berhasil membuatnya," ucapnya dengan menggembungkan pipi chubby-nya.
Sebuah senyum terukir jelas di wajah sang ibu. "Wah ... ini sangat bagus!"
"Ini menara Eiffel," ujar Tea kecil. Mata biru indahnya menatap langit-langit kamar seolah ia dapat menggapai mimpi besarnya. "Jika besar, Tea ingin ke sana!" serunya dengan penuh semangat. Tubuh kecil itu ia baringkan di kasur empuk bergambar berlian yang tampak cantik, kini senyum yang seolah tidak pernah pudar itu tercetak jelas di bibirnya.
"Besok Ibu harus berangkat," lirih Laudya, ia membelai lembut rambut kecoklatan milik putrinya.
"Aku tidak ingin Ibu pergi." Mendengar itu Laudya menoleh dan menatap lekat mata biru yang sama seperti dirinya.
"Dengar, Ibu harus pergi jika kau menginginkan Menara Eiffel."
Tea mendudukkan kepalanya. "Ah, jika begitu aku tidak akan menghentikannya!" Perlahan senyuman manis sekaligus air mata haru terukir jelas di wajah wanita berhati malaikat itu.
Di tengah percakapan kecil keduanya, pintu cokelat yang tidak jauh dari tempat mereka duduk terbuka. Seorang pria dengan setelan baju santai tersenyum kala melihat dua orang yang teramat ia sayangi. Kakinya mulai melangkan, memeluk erat putri satu-satunya dan mencium pipi gembung milik Tea.
"Apa kau tidak mengantuk?"
Mendapatkan pertanyaan itu Tea menggeleng cepat. "Belum."
Laudya kembali tersenyum dan menepuk tempat di sampingnya. "Kemarilah, akan aku bacakan satu cerita," ucapnya.
Tea yang mendengar itu segera mengambil ancang-ancang dan memposisikan tidurnya.
"Cepat, Ibu. Aku akan mendengarkan," ungkapnya dengan penuh semangat.
Adilson mematikan beberapa lampu dan ikut mendampingi, ia mengambil selimut tebal berwarna merah kesukaan Tea dan menyelimuti sebagian tubuh putrinya itu. Suara halus milik Laudya berhasil membuat si gadis kecil itu terlelap dalam mimpi indah penuh warna, berharap jika gadis itu tidak akan pernah meninggalkan mimpi indahnya.
***
Pagi itu seolah menggambarkan keadaan keluarga kecil bermarga Burton. Pasalnya langit yang selalu terlihat cerah hari ini ia terlihat muram. Matahari yang biasanya muncul dan menyapa seluruh umat manusia, pagi ini entah kenapa ia menyembunyikan dirinya di balik awan gelap berwarna keabu-abuan. Seolah mereka ikut merasakan suasana hati dari keluarga kecil tersebut.
Suara lembut dari luar membuyarkan lamunan si gadis yang tengah duduk di meja makannya, ia menoleh melihat kepada sang ibu. "Ayo, bersiap. Lalu kita akan berangkat," ujarnya.
Tea mengangguk dan berjalan mengambil jaket musim dingin berwarna ungu dengan desain unik terukir di sana. Langkah kecil si gadis membuat Laudya semakin gemas, ia mengulurkan tangannya dan menggenggam erat gadis kecil miliknya.
"Bagaimana jika Tea rindu?" tanya Tea kecil. Ia menatap sekilas wajah ibunya dan kembali memainkan jarinya, membentuk beberapa pola dengan bentuk-bentuk hewan.
"Tea bisa menelpon, Ayah akan mengajarimu," balas Laudya.
Dari kursi kemudi Adilson tersenyum menatap putri kecilnya melalui Rear-view mirror. "Ya, kita akan menelpon nanti."
Alasan apa yang mendasari Laudya untuk pergi keluar negeri dan rela meninggalkan rumah, keluarga terutama Tea karena ia ingin melihat putri semata wayangnya itu bisa merasakan kehidupan yang jauh lebih baik.
Melihat betapa besarnya dunia ini, betapa mirisnya dunia ini dan betapa kejamnya dunia yang ia tinggali. Mengingat semua itu membuat hati kecil Laudya merasa tergores, ia mengharapkan agar Tea tumbuh dengan kebutuhan yang cukup. Ia juga sadar jika keluarga kecilnya ini mengalami hambatan ekonomi, oleh karena itu, mau tidak mau Laudya harus rela meninggalkan keluarganya.
Hingga tanpa sadar ketiganya telah sampai di Bedlam International Airport. Bandara besar yang menjadi salah satu pusat penerbangan utama di dunia maupun nasional. Hal tersebut karena bandar udara ini sudah melakukan pendaratan dan lepas landas sebanyak 555.555 di Kota Vai, Lierre-sebuah negara maju yang terletak di kawasan benua Asia.
Bedlam International Airport memiliki beberapa fasilitas yang bisa dinikmati pengunjungnya, seperti area bermain PS3, shower room, nursery, area akses internet, pusat kesehatan dan apotek, ruang doa, tempat penitipan bagasi dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, para penumpang juga bisa menemukan beberapa kafe, restoran ala Alyssum siap saji, tempat penukaran uang, hingga toko-toko pakaian dan perhiasan high-end. Bandara ini juga menawarkan berbagai macam lounge eksklusif yang dapat dinikmati oleh pengunjung kelas utama dan kelas bisnis.
"Mama berangkat, jaga diri baik-baik," ucap Laudya. Air matanya menggenang, tidak kuasa lagi menahan kesedihan. Adilson memeluk istrinya dan mengecup kening sebagai tanda perpisahan.
Sedangkan Tea, ia berdiri di sana tanpa air mata sedikit pun, karena yang ia tahu jika mengikhlaskan kepergian seseorang jangan pernah menggunakan air mata, karena itu hanya akan membuat mereka semakin sedih. Gunakan senyum sebagai tanda terakhir, agar mereka tahu bahwa kau baik-baik saja dengan keadaan.
"Hati-hati," ujar Adilson kepada istrinya. Laudya mengangguk dan tersenyum.
Dan semenjak saat itu Tea tidak pernah bertemu dengan sang ibu. Yang ia lakukan hanya berbicara melalui telpon di saat kerinduan itu datang.
***
SELASA, 26 SEPTEMBER 2016
Hari ini, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh Tea. Ia yang baru saja bangun dari mimpi indahnya segera turun dan mengambil gagang telepon. Ia diam di sana sembari menunggu telepon dari sang ibu. Hingga beberapa menit berlalu dan suara dering telepon terdengar, dengan lekas ia mengangkatnya dan mengucapkan "hallo" dengan nada yang kelewat bahagia.
"Ibu?! Bagaimana kabarmu?" Sebuah kerutan samar terlihat di dahinya.
"Oh, maaf Nyonya Revelin, aku tidak tahu jika ini kau." Tea tersenyum canggung, walaupun ia tahu jika wanita di telepon itu tidak mengetahuinya.
"Tea, bisa beritahu Ayahmu jika dia melupakan pekerjaannya hari ini?"
Gadis itu mengangguk. "Baik, akan kuberitahu setelah dia kembali."
"Terima kasih, semoga harimu menyenangkan!"
"Ya, kau juga."
Sambungan telepon ia putuskan secara sepihak, helaan napas terdengar dari mulutnya. Mata biru itu mencari cari sesuatu yang pantas untuk ganjal perut, hingga dari samping terdengar suara decitan pintu yang dibuka.
Adilson membawa kantong plastik besar dan tersenyum lebar menyambut putri kecilnya. "Pagi, My Princess." Sambutan kecil itu di balas dengan sebuah anggukan kecil dari si pemilik nama.
"Pagi, Ayah." Tea membantu melepaskan jaket sang ayah dan membersihkan debu-debunya. "Aku mendapatkan pesan dari Nyonya Revelin, ia berkata jika Ayah harus menyelesaikan pekerjaan."
Adilson menaruh kantong plastik tersebut dan mengeluarkan beberapa roti lengkap dengan selai dan susu segar yang terlihat nikmat. "Bilang padanya jika aku akan ke sana beberapa jam lagi."
Perhatian mereka teralihkan dengan suara dering telepon yang mendadak terdengar, Tea segera mengangkat dan betapa bahagianya saat sebuah suara halus terdengar dari sana. "Hai" Hanya kata itu yang mampu ia ucapkan sebagai sambutan.
"Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik baik saja, bagaimana dengan Ibu?"
"Jauh lebih baik saat mendengar suaramu, Tea."
"Kapan Ibu akan pulang?"
"Aku ada di bandara, kurasa besok akan sampai di Bedlam."
Dibalik telepon itu ada seulas senyum dan harapan, senyuman dan harapan milik Tea yang seolah tidak pernah hilang. Adilson dari tempatnya duduk hanya bisa menyimak dan ikut tersenyum tipis.
"Tea aku harap kau bisa menunggu Ibu, sekarang pesawat akan lepas landas. See you!"
Tea segera menutup telepon dan menatap Adilson yang masih menatapnya.
"Aku sangat merindukannya," lirih pria itu dengan sebuah senyum.
Tapi, apakah harapan indah itu akan menjadi kenyataan? Jika di pagi hari saat Tea terbangun dari mimpi indahnya, seketika semua berubah menjadi mimpi buruk di dunia nyata. Kabar yang harusnya menjadi kehadiran sang ibu berubah menjadi kabar buruk bagi dirinya dan sang ayah.
"Dilaporkan dari tempat kejadian, pesawat Lierreyn 09 yang mengangkut 90 orang mengalami kecelakaan saat melintasi hutan Greenland, Forrens ...."
Ketika takdir berkata lain, semuanya tidak dapat di ubah lagi. Baik oleh mereka, kau ataupun aku, karena ketika Sang Pencipta telah menuliskan takdirnya, seluruh umat manusia hanya bisa menerima dan memahami arti di balik sebuah kejadian.
Kabar menyedihkan yang tersiar melalui televisi berhasil membuat Tea dan Adilson berduka. Tertulis jelas jika pesawat Lierreyn 09-pesawat yang sama-yang ditumpangi oleh Laudya mengalami kecelakaan fatal. Diketahui jika pesawat itu mengalami gagal fungsi dan menyebabkan beberapa nyawa tidak dapat diselamatkan.
***
SENIN, 6 SEPTEMBER 2022.
Dengan keringat dingin ia bangun dari mimpi buruknya lagi. Tea segera beranjak dari tempat tidur dan mejalani aktivitas pagi seperti biasanya. Setelah siap dengan seragamnya gadis itu bergegas menuruni tangga, mengambil sepotong roti dan membuat susu hangat untuk dirinya.
Tak lupa Tea akan atau bahkan selalu membuat sarapan untuk ayahnya, meskipun ia tahu jika itu sia-sia saja. Sejak kejadian 5 tahun yang lalu, sikap sang ayah ikut berubah. Ia enggan menyentuh makanan yang dibuat oleh Tea, entah apa alasannya.
"Tea berangkat!" serunya.
Namun, hening. Tidak ada jawaban sama sekali dari lantai atas. Helaan napas terdengar, daripada memikirkan hal itu ia memilih untuk berangkat sebelum terlambat.
Tea, dirinya berangkat menggunakan bus sekolah, ia memilih dan selalu duduk sendiri karena ... tidak seorang pun mau bersamanya. Penyebabnya adalah rumor-rumor jahat yang selalu bertebaran di mana-mana.
Lamunannya buyar ketika sebuah pertanyaan terlontar padanya. "Bolehkah aku duduk di sampingmu?" tanya seorang pemuda yang tampak asing.
Gadis itu terdiam sebentar dan mengangguk dengan kaku.
Dalam benak kecilnya itu penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Apakah pemuda ini tidak mengetahui rumor yang beredar? Atau mungkin pemuda ini anak baru? Entahlah, ia tidak menghiraukannya.
Atherty High School adalah sekolah menengah atas yang terletak di pusat kota Bedlam. Sekolah ini menawarkan pendidikan yang berkompeten dalam meraih impian para muridnya. Atherty High School biasanya akan menerima sekitar 200 murid di tahun ajaran baru, selain biayanya yang cukup di atas rata-rata, bisa di bilang ini adalah sekolah terbaik dan selalu menjanjikan alumni terkenal. Contohnya saja kepala sekolah, Mohan Gordon dan para sahabatnya Front Bailey, Adrian Saint dan Arthur Raltfoy. Keempat murid yang sama-sama dikenal banyak orang.
Atherty High School memiliki lahan yang sangat luas, terbukti ada sekitar lima lapangan tenis, dua lapangan golf dan sebuah kolam renang ukuran olimpiade. Atherty menawarkan pelatihan memanah yang dilatih secara khusus.
Selain itu ada sebagian muridnya yang berasal dari kurang lebih 40 negara yang tersebar secara acak, inilah yang menawarkan perbedaan tapi tetap sama. Namun, dibalik semua itu hanya orang-orang pilihan yang bisa sekolah di sana. Tea menjadi salah satunya, ia beruntung karena bisa masuk ke sekolah itu karena prestasi yang ia raih.
"Hei! Menyingkirlah dari situ!" seru seorang pemuda berambut coklat kemerahan pada Tea, ditatapnya pemuda itu dengan pandangan penuh kekesalan.
"Huh!"
Hari ini adalah hari pertama untuk Tea kembali ke sekolah sebagai kakak kelas. Namun, itu semua mungkin percuma saja, kehidupannya tetap datar. Sama sekali tidak ada perubahan apa pun, layaknya sebuah air di danau yang tenang.
Yang lain sibuk turun ke bawah guna melihat para siswa yang notabenenya masih baru. Ada yang ingin mencari kekasih untuk kencan dan ada juga yang mencari bahan untuk di bully, miris.
Semua memang turun ke bawah menyambut mereka, tidak dengan Tea yang hanya berdiri diam dibalik jendela besar kelasnya. Manik birunya menyorot seorang pemuda yang tengah duduk bersama dua orang pemuda lainnya, dari yang lihat sebuah pin tertempel di almamater hitam yang dipakainya. Pin abu-abu menandakan jika murid itu seorang senior, atau murid yang tahun ini akan mendapatkan upacara kelulusannya.
"Dia orang yang duduk di sebelahku tadi, kan?" tanyanya pada diri sendiri. Kacamata besar itu ia benarkan posisinya dan menatap kembali subjek yang berusaha ia ketahui. "Sempat aku mengira dia juniorku, ternyata kakak senior," gumam Tea.
"Tapi, kenapa aku tidak pernah melihatnya?" Pertanyaan itu terlintas begitu saja, hingga suara dari belakang membuatnya menoleh.
"Karena dia aneh."
Gadis itu, dia adalah teman sekelasnya. Seorang gadis berparas cantik yang memiliki rambut hitam panjang dan lurus, manik berwarna cokelat indah membawa kesan elegan pada diri gadis bernama lengkap Anantha Urbi Gacfen.
Anantha adalah putri satu-satunya dari keluarga Gacfen yang bisa dibilang kaya, ayahnya seorang pebisnis hebat, sedangkan sang ibu adalah seorang desainer yang rancangan tidak pernah mengecewakan.
"Aku tidak membutuhkan jawaban darimu," balas Tea, nada bicaranya mengisyaratkan jika ia tidak menyukai Anantha. Gadis itu memilih duduk dan kembali disibukan dengan buku-buku di depannya.
"Aku tahu, sebenarnya kau bosan dengan buku-buku itu." Tea diam dan sama sekali tidak menghiraukannya. "Aku pun tahu jika kau juga butuh teman untuk bicara. Aku bisa menjadi temanmu."
Kali ini Tea menatap tajam ke arah Anantha. "Yang harus kau tahu, aku sama sekali tidak mempercayaimu," tandas gadis itu. Ia bangkit dan berjalan keluar kelas.
Anantha yang menyadari akan hal itu segera berlari menyusul. "Hei! Tidakkah cukup satu tahun aku membuktikannya padamu?"
Tea menghentikan langkahnya secara mendadak dan menatap gadis itu. "Tidak!" tegasnya. Sorot tajamnya itu menyembunyikan ketakutan terbesar yang berusaha ia tutupi.
"Ada apa denganmu?" Anantha menarik tangan Tea dan berusaha menenangkannya. Namun, itu tidak membuahkan hasil karena Tea menariknya secara paksa.
"Kau ingin tahu kenapa?" Gadis itu terdiam sejenak. "Aku membenci kalian." Ia menekankan setiap kata yang diucapkan, berharap jika gadis di hadapannya ini mampu mencerna setiap kata yang terucap.
"Why?"
Sebelum Tea dapat menjawabnya, seruan dari arah samping membuat kedua gadis itu menoleh dengan serentak. Dari ujung lorong terdapat tiga orang pemuda yang tengah berjalan kemari, hingga salah seorang pemuda yang berada di tengah mulai berjalan maju mendahului yang lain. Dapat ditebak lagi jika dialah pemimpinnya.
"Hei! Gadis buku!" Pemuda itu tersenyum miring menatap Tea, sebuah kebahagiaan terukir di sana.
Pemuda itu, dia adalah anak dari keluarga Gordon dan memiliki nama lengkap Hillen Andrew Gordon. Pemuda tampan yang memiliki manik abu-abu cerah, rambut coklat kemerahan yang terlihat rapi, sebuah senyum indah yang membuat siapa pun merasa iri.
Namun, dibalik keindahan itu ada sifat yang tidak pantas ia miliki. Hillen adalah seorang pemuda yang jahil dan sedikit berandalan. Ia suka menindas orang-orang yang dianggapnya remeh.
"Tidakkah kau tahu jika dia gadis bodoh yang hanya berperilaku seperti anjing yang tersesat?!"
Tawa dari kedua teman Hillen membuat Anantha merasa kesal, ia mengambil buku yang dibawa oleh Tea dan memukuli kedua pemuda itu. Sedangkan Hillen yang tidak menjadi korban ikut tertawa.
"Kenapa putri Gacfen menjadi gadis tersesat." celetuk Hillen.
"Tersesat, hah?!"
Pemuda itu mengendikkan bahunya. "Lihat kedudukanmu, bahkan gadis ini saja tidak pantas bersekolah di sini," sindirnya. Tatapan tajamnya itu mengarah langsung pada Tea yang kini ikut menatap Hillen dengan pandangan malas.
Karena jengah, Anantha menarik tangan Tea untuk pergi. Namun, lagi-lagi gadis itu terdiam di tempatnya. Perlahan tangan ramping itu melepaskan cekalan dari gadis berambut hitam lurus nan legam tersebut.
"Kau bukan orang yang aku kenal," tandas Tea. Mendengar pernyataan itu dari Tea membuat ketiga pemuda yang ada di sana ikut tersenyum miring dan merasa puas.
"Kau dengar itu, Putri Gacfen," sahut Stiv. Salah satu geng Hillen.
Stiv mengeluarkan sebotol air dingin dari dalam tasnya dan memberikan itu pada pemuda bermata abu-abu cerah tersebut. Menyadari apa yang akan dilakukan Hillen, Anantha segera berdiri menghalangi mereka.
"Tidakkah kau lelah menganggu Tea?!" Anantha berucap dengan kesal.
Hillen yang melihat tatapan tajam itu langsung menarik tangan Anantha dengan kasar dan mendekatkannya pada tubuh sang pemuda. "Diamlah, gadis ... bodoh! Atau kau mau menjadi yang selanjutnya?" tanya Hillen dengan nada lirih, tapi terkesan tajam.
"Kau bilang apa? Bodoh? Bukankah itu kau?!" Hillen menoleh ke arah Anantha, pandangan mereka beradu dengan sengit.
"Jadi kau mau melindunginya?" tanya Hillen sembari menunjuk ke arah Tea.
"Ya!"
"Tidak!"
Hillen tersenyum miring dan menatap kedua temannya yang berada di belakang. "Jadi mana yang benar?"
Tea menggeleng cepat. "Tidak, aku tidak mengenalnya," ujar Tea. Tatapan dingin tertuju pada gadis berambut hitam di hadapannya.
"Baguslah!" Hillen menuangkan air dingin yang ada di tangannya ke rambut kecoklatan milik Tea, kemudian ketiga pemuda itu berjalan pergi dengan tawa bahagia tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Ayo, kita ganti bajumu," ajak Anantha, tangannya terulur untuk menuntun Tea. Namun, gadis itu menepisnya dan sebuah sorot tajam ia lontarkan pada Anantha.
"Cukup! Jangan pura-pura lagi!"
Ada sebuah kerutan samar di dahi Anantha. "Maksudmu apa?"
Tea tersenyum miring dan menatap lekat mata coklat milik Anantha. "Kau sama saja seperti mereka! Dalam benakmu itu, aku yakin kau tertawa puas melihat keadaanku sekarang!"
Anantha yang mendengar itu menatap tidak percaya. "Kau bicara apa? Aku selalu berusaha melindungi dirimu, kau tahu itu."
Gadis itu tertawa hambar. Ia menyisihkan sebagian rambutnya yang jatuh dan menatap Anantha kembali. "Aku membencimu! Dan menjauhlah dariku!" tegasnya sebelum akhirnya gadis itu berlari menjauh menuju kamar mandi.
***
Akhirnya jam istirahat tiba. Semua siswa menuju ke arah kantin guna membeli makanan. Tapi tidak dengan gadis kutu buku yang terlihat membosankan bernama Tea, ia selalu terlihat di kelas sepanjang hari. Entah bagaimana caranya gadis itu bisa bertahan dengan suasana kelas dan buku-buku tebal yang menghiasi meja di hadapannya. Bahkan Anantha yang tempatnya duduknya dekat dengan Tea, ia sedikit bosan melihat berapa banyak buku itu.
"Hei, Anantha! Ayo ikut bersama kami!" Suara ajakan dari salah seorang murid bernama Meira itu membuat Anantha menoleh, ia tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya.
"Kurasa tidak untuk kali ini, Girls. Maaf," tolak Anantha.
Gadis gadis itu mengangguk mengerti. "Baiklah."
Setelah kepergian para gadis tadi, barulah Anantha menghela napas dan menoleh ke samping, menatap teman sebangkunya, Latea Valerie Quinnzel. Yeah! Anantha memang satu bangku dengan si gadis kutu buku itu. Namun, Tea sama sekali tidak pernah berbicara atau berkerjasama dengannya.
"Kenapa kau tidak mempercayaiku?" tanya Anantha secara langsung.
Tea menghentikan kegiatan menuliskannya, ia tolehkan kepalanya sekilas dan menjawab pertanyaan itu dengan mudah. "Kau tau jawabannya."
Sebuah tatapan tidak percaya terpancar dari wajah Anantha, benar dugaannya selama ini.
"Jadi selama ini kau berpikir aku dan Hillen itu sama?" Tidak ada jawaban dari Tea itulah yang membuat Anantha yakin jika jawaban. Tea membenci semua orang tak terkecuali Anantha sendiri.
"Oh, no! Kau salah, aku sama sekali tidak sama dengannya. Dia pemuda kejam yang pernah aku temui. And me? Am I the same?" Anantha melihat ke arah Tea, ia berusaha membuat gadis itu menatapnya. "Jawab, Tea."
Gadis berambut kecokelatan itu hanya menoleh sekilas tanpa ada niatan untuk menjawab hal tersebut.
"Apa aku pernah menyakitimu?" tanya Anantha. Tidak adanya jawaban lagi dari gadis di sampingnya membuat Anantha mengubah posisinya, ia bangkit dan mendudukkan dirinya di kursi yang ada di depan. "Apa ... apa aku pernah mempermalukan mu?"
"Hentikan," lirih Tea yang merasa sedikit terganggu.
"Apa aku pernah menghina dan mengejekmu?"
Pertanyaan beruntun dari Anantha membuat Tea sadar, ia hanya bisa diam tanpa tahu bagaimana caranya menjawab. Memang benar jika selama ini Anantha tidak pernah menyakitinya. Namun, ada hal lain yang membuatnya enggan untuk berteman dengan siapa pun.
Sampai akhirnya, rasa enggan itu membuatnya semakin terbiasa dan mungkin tidak pernah membutuhkan siapa pun. Sebenarnya, dibalik semua itu, Tea tidak ingin membuat orang lain merasakan apa yang selama ini ia rasakan. Ia tidak ingin Anantha ikut menjadi objek penindasan yang dilakukan oleh Hillen dan kawan-kawannya. Hanya itu, hanya itu saja yang ia takutkan.
Tea akhirnya bangkit dari tempatnya duduk. "Pikirkan semua itu sendiri," tandasnya sebelum akhirnya gadis bertubuh ramping itu berjalan pergi meninggalkan ruang kelas yang hanya dihuni oleh Anantha.
Perpustakaan memang tempat yang cocok untuk menenangkan pikiran, sama halnya yang dilakukan oleh Tea. Kini ia tengah tengelam dalam dunia yang menjadi kehidupannya, membaca adalah kegemaran dari gadis cantik bermarga Burton itu.
Ya! Marga Burton, sayangnya sejak kematian Laudya, Tea enggan menyelipkan marga Burton itu di akhir namannya. Malahan untuk sekarang ia menggantinya dengan Quinnzel. Walaupun ia tahu jika sulit untuk mengubah identitasnya, tapi akhirnya ia berhasil dan terbebas dari nama keluarganya.
Di tengah kegiatan membacanya itu, ia dikagetkan dengan kehadiran seseorang yang secara tiba-tiba duduk di hadapannya. Tea terdiam kaku dan bingung harus melakukan apa, kemudian suara dari si pemuda membuat Tea menepis pikiran macam-macam di kepalanya.
"Aku tidak akan mengganggumu," ujar si pemuda dengan nada pelan.
Tea yang sedikit lega kembali membaca bukunya, kemudian ia tersadar sesuatu. Bukankah dia orang yang sama, orang yang duduk di sebelahnya saat di bus sekolah tadi pagi. Pemuda yang menjadi objek barunya?
Menyadari tatapan aneh dari Tea, pemuda itu mengajukan pertanyaan yang tambah membuat si gadis merasa curiga. "Apakah namamu Valerie Quinnzel?"
"Latea Valerie Quinnzel," ucapnya dengan nada lirih, tatapan Tea masih terpaku pada mata hijau kelam milik pemuda itu. Seolah di dalam sana terdapat suatu tempat yang kosong tidak berpenghuni. Andai, andai saja Tea mengetahui apa makna di balik mata kelam itu.
Pemuda itu melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Tea. "Ada yang aneh denganku?"
Gadis bermanik biru bulat itu tersadar dan menundukkan kepalanya, sungguh ia merasa bersalah dan tentu saja malu. "No, nothing."
Sang pemuda tersenyum tipis dan kembali bersuara. "Tapi tatapanmu menunjukkan hal lain," ungkapnya.
Tea menggeleng pelan, ada rasa tak enak ketika dirinya harus tepergok oleh si objeknya sendiri. "Sorry."
Pemuda yang diketahui namanya itu hanya tersenyum, kemudian mengalihkan topik mereka. "Aku mendengar banyak hal tentang dirimu, siswi yang cerdas dan mengagumkan," ungkap pemuda bermanik hijau gelap itu.
Perasaan aneh menjalar di tubuh Tea, ia tersenyum manis sebagai sebuah jawaban. "Terima kasih."
Dapat dilihat jika orang di hadapannya ini sesekali membaca buku yang ia bawa dan beberapa detik kemudian ia kembali bersuara, "Aku dengar kau pandai membuat berbagai macam cairan kimia?"
Tea mengalihkan pandangannya menatap lawan bicaranya. "Hanya sedikit."
"Kita bisa melakukan pengujian bersama. Itu pun jika kau setuju."
Tanpa ditanya pun mungkin Tea telah menyetujuinya. "Tentu saja. Tentu saja aku setuju," balasnya tanpa ada rasa curiga sedikit pun.
Beberapa menit kemudian hening, rasanya tidak ada percakapan yang terjadi di beberapa menit ke depan, sebab kini keduanya sama-sama menikmati dunia mereka. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga tanpa di sadari sebuah garis takdir tercipta di antara mereka berdua. Sebuah skenario baru telah di tulis oleh sang pencipta alur, dan keduanya hanya akan menjalankannya.
Sampai akhirnya Tea memikirkan sebuah pertanyaan yang baru saja terlintas di benaknya. Namun, semua itu mendadak hilang saat suara bel sudah berbunyi dengan sangat kerasnya. Hal ini mengharuskannya untuk segera kembali ke kelas, karena sebentar lagi adalah pelajaran kesukaan Tea dan tentu saja ia tidak akan mau jika harus melewatkannya.
Tanpa perkataan apa pun ia memilih pergi,sedangkan pemuda berambut pirang itu tersenyum miring sembari menatap ke arahkursi di depannya yang kosong. "Masa depan selalu menunggumu ... Valerie."
***
Selalu dukung dengan memberi vote dan komen ya teman-teman :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top