6. City of Purusha
Sejak awal petualanganku di Permukaan, ada sebuah kata yang senantiasa diperbincangkan oleh para Yaksha berakal, baik di dalam kota mereka maupun di alam liar.
Purusha.
Kata itu selalu didengungkan dari lidah mereka yang bisa saling berkomunikasi. Bahkan beberapa Yaksha yang hanya bisa bicara beberapa kata pun akan langsung terdiam dan tunduk ketika kata itu disebutkan.
Ibukota para Yaksha. Kota terbesar dari peradaban Yaksha setelah mereka menguasai seluruh permukaan bumi. Banyak transaksi berlangsung di sana dan jalur lalu lintas dipenuhi oleh kabar Yaksha yang keluar dan masuk kota itu.
Bersamaan dengan kabar yang berseliweran, muncullah kabar bahwa perbudakan Manusia lancar dan berkembang pesat di sana. Jadi ketika aku mendengar ada seorang anak laki-laki manusia yang ditangkap di permukaan saat sedang berjalan sendirian, seluruh energi dan usahaku terpusat ke kota itu.
Sekarang setelah aku sampai di kota yang dimaksud, aku bisa paham kenapa semua Yaksha membicarakan kota ini dengan sangat antusias.
Mereka tidak main-main pada julukan ibukota.
Ini adalah kota Yaksha terbesar yang pernah aku singgahi. Bahkan dengan kesadaran setengah, aku bisa tahu kota ini sangat besar.
Di bawah langit yang telah selamanya menjadi kelabu, Kota Purusha berdiri megah. Seperti kota Yaksha yang lain, Purusha dibangun dengan mengukir gunung dan bukit berbatu. Tapi dari ukurannya, jelas aku tidak ingat pernah ada gunung sebesar ini di dekat sini.
Ah, bicara apa aku?
Setelah semua yang terjadi, sudah bukan barang heran aku menjadi yang paling kecil di sini. Para penduduk dunia ini juga, sudah bertambah besar. Tidak mengherankan jika alam mengikuti bentuk para penghuninya, kan?
Karena Manusia bukan lagi penguasa bumi ini.
Aku melirik ke luar jeruji kandang, menyaksikan bentuk rumah dan bagaimana pemukiman berjalan, semua mengikuti kontur alam tanpa pernah merusaknya. Pilar demi pilar batu diukir dan rumah-rumah dibangun tanpa mengikis sedikit pun pepohonan yang ada.
Di mana-mana, pepohonan tumbuh raksasa, menaungi setiap celah rumah dan jalan. Kristal api menjadi sumber penerangan dalam kandelir-kandelir besi yang berkilauan. Dari balik dedaunan dan akarnya, bintang-bintang kecil yang hidup terbang melintas.
Ah, bukan, mereka bukan bintang.
Itu kunang-kunang.
Sekumpulan kunang-kunang berbagai cahaya melintas menuju sebuah patung yang besar, berdiri tegap di tempat terbuka yang aku kira adalah alun-alun kota.
Di tanah terbuka bermandikan cahaya rembulan itu, berdiri patung seorang dengan jubah, empat tangan—sepasang tangan raksasa bercakar dan sepasang tangan mungil seperti Manusia—berdiri kokoh dengan pedang di tangannya. Semakin kami berjalan, semakin aku bisa melihat wajahnya yang tadi tertutup atap kerangkeng.
Wajah patung itu tertutup topeng iblis bertanduk, membuat sosok anehnya yang sudah menakutkan, jadi dua ratus kali lebih mengerikan.
Tanpa perlu diberitahu, aku langsung yakin patung siapa itu. Meski dibangun dengan cara berbeda, berisikan kaum yang berbeda, dan punya variasi kepadatan berbeda, kota para Yaksha dinamai berdasarkan satu pola yang sama: nama penguasa.
Nama pendirinya selama ia masih hidup.
Jadi patung itu, tidak lain dan tidak bukan adalah patung pendiri kota ini sekaligus penguasanya. "Purusha...."
Jelas sosok itu berbeda dari makhluk bernama Rakyan yang aku temui tadi. Dari patungnya saja, Purusha tampak lebih berkuasa. Kunang-kunang yang berseliweran di patung itu pun tidak memberi kesan lebih baik. Malahan, mereka tampak seperti ratusan mata yang mengawasi. Seolah memperingatkanku untuk jangan harap untuk mengalahkannya, lari darinya pun mustahil.
Aku menelan ludah dengan getir, berharap jangan sampai bertemu atau berurusan dengannya di dalam kota ini.
Tapi siapa yang sedang aku tipu? Aku datang bukan dengan niat damai—tidak mungkin aku datang dengan niat damai ke kota para Yaksha—jadi tidak mungkin aku tidak akan berurusan dengan penguasa kota.
Aku selalu berurusan dengan penguasa kota sebelum ini.
Tapi sesuatu mengatakan kepadaku untuk tidak berurusan dengan Purusha. Entah maladies di dalam tubuhku yang bicara atau memang akal sehatku yang mencium adanya bahaya. Purusha ini, dari kota yang ia bangun, sama sekali berbeda dari Yaksha lain yang aku temui.
Tidak pernah ada Yaksha yang bisa membangun kota sebesar ini. Maksimal hanya terdiri dari puluhan rumah. Sementara kota ini, setidaknya aku sudah melihat seratus rumah di satu kali perjalanan dan terus semakin padat ke puncak alun-alun yang tinggi, tempat pohon tertinggi berada.
Kami berbelok di sebuah jalanan padat. Penuh dengan para Yaksha yang berjongkok dengan segudang barang di kanan dan kiri mereka. Aroma aneh dari berbagai barang yang dijajakan tercium pekat. Aku mengernyit pada bau amis dan tanah yang bercampur. Aroma yang sudah bias ajika sudah berkaitan dengan para Yaksha.
Suara-suara bersahutan di sekelilingku. Bahasa Yaksha dalam berbagai aksen diserukan. Beberapa aku kenali, beberapa lagi tidak aku kenali saking terlalu asing atau terdengar terlalu kuno. Tapi semuanya diucapkan dengan penuh semangat dan keramahan, bukan semangat membabi buta yang haus darah.
Sesuatu yang hanya akan aku temui jika berada di dekat satu pekerjaan: para pedagang.
Kami tiba di pasar.
Sayangnya, seperti di semua kota sebelum ini, di pasar Yaksha, tidak ada barang yang bisa digunakan oleh manusia sejauh mata memandang. Barang-barang mereka kebanyakan merupakan organ atau bagian tubuh dari makhluk-makhluk buas yang berkeliaran di Permukaan yang telah diubah jadi makanan atau benda yang berguna seperti senjata. Aku mengernyit ketika melihat mayat beberapa anak kecil dijual dalam bentuk kaca sebagai hidangan utuh atau dipajang anggota badannya yang termutilasi di dalam botol-botol kaca. Beberapa anggota tubuh Manusia yang lebih malang nasibnya, tubuh-tubuh sepertiku yang sudah terinfeksi Maladies, dipajang di kait gantungan daging.
Melewati pemandangan mengerikan itu, Yaksha yang membawaku berdiri di sebuah bangunan yang mencolok di tengah pasar, dengan banyak tulisan dipajang di pilar dana tap bangunan.
Yaksha berjenis raksasa berdiri di kanan dan kirinya. Seperti penjaga. Sebagai Raksasa, bentuk fisik mereka nyaris sama seperti manusia dengan badan kurus tanpa rambut, tapi kulit mereka penuh borok dan hidung mereka terlalu mancung. Mereka menguarkan aroma busuk yang mirip lender yang keluar dari bangkai ikan.
Kedua Raksasa itu mendelik menatapku dan kandang di sisiku. Yaksha sebelah kiri memperdengarkan suara mencebik yang aneh. Tapi mereka membiarkanku lewat, masuk ke dalam bangunan itu.
Langit-langit interior di dalamnya rupanya jauh tinggi menjulang di atas kepalaku. Dinding dan pilarnya diukir dari batu dan diterangi cahaya dari Kristal api di berbagai sudut.
Saat kami sampai di dalam, yang menyambut hanyalah cahaya remang-remang dari luar. Ruangan itu gelap gulita. Tidak ada lampu yang menyala. Mataku yang payah dan seluruh inderaku yang tidak lagi peka karena Kamboja Merah di tanganku hanya bisa menangkap beberapa sosok di hadapan kami.
Namun hidungku mampu mencium aroma miasma.
Paling pekat yang pernah aku cium.
Hidungku mati rasa dan paru-paruku sesak karena ditekan berbagai arah.
"Rapuh sekali....." Aku mendengar suara mengalun merdu di dekatku. Suara seorang perempuan. Sangat dekat dengan telingaku.
Kepalaku bergerak, berusaha menoleh, dan menyadari ada sepasang mata merah mengawasi dari balik kegelapan. Tepat di luar jeruji kandang. Mata merah itu berpendar, lalu menghilang.
"Raksasa kecil ini berusaha menipu kita...." Suara itu kini datang dari depan. Ketika aku mengembalikan pandangan ke depan, sepasang mata merah tadi sudah berpindah.
Dia sekarang ada di hadapanku.
Bagaimana bisa?
"Benarkah itu, Rumya? Roksa?" Sebuah suara yang dalam tapi ringan dan berwibara, bergema di udara dalam bunyi yang anehnya terdengar ganda. "Kalian menipu kami, partner paling terpercaya kalian dalam berdagang?"
"Te-tentu saja, tidak Tuan," Dalam bahasa Yaksha, raksasa yang ternyata bernama Roksha itu tergagap. "Kami tidak akan berani menipu anda."
"Apa kalian baru saja menentang kata-kataku?"
"T-tidak, Tuan...."
"Pembohong kecil yang licik sekali." Sosok bermata merah itu tertawa. Sosok yang kemudian aku sadari tampak tidak benar. Wujudnya seperti tidak konkrit dan selalu berganti. Sosok bermata merah itu memiliki tubuh seperti asap yang tidak tetap, bergoyang mengikuti arah angin. "Jika kalian jujur, katakan kenapa kalian membawa makhluk yang sudah hampir basi itu kemari?"
"T-Tidak itu tidak benar, Tuan."
Suara desisan pelan bergaung lemah di sepenjuru ruangan. Lemah, tapi sudah cukup untuk membuat dua raksasa di kanan dan kiriku ini terdiam seribu bahasa. Selama satu detik, paru-paruku sepertihendak diremukkan dari dalam oleh tenaga internal yang menyusup ke tubuhku. Tenaga yang sangat kuat. Aku tidak sanggup menghentikannya.
Aku akan hancur.
Saat aku sedang berpikiran seperti itu, tiba-tiba saja tenaga yang menghancurkan itu lenyap.
"Tuan-tuan, kita tidak mau membuat tamu kita di sini mati ketakutan, bukan? Jika tidak, dia tidak akan ada nilainya." Sosok di sebelah sang wanita asap bergerak. "Tolong jangan buat aku marah dan merugi lebih besar lagi hari ini."
Bunyi gemeretak yang aneh terdengar.
"Kita tentunya tidak mau ada yang menanggung konsekuensi lebih besar hari ini, bukan?"
"T-tentu tidak, Tuan." Dua Raksasa di dekatku bersujud. Kedua kepala mereka menempel di tanah.
"Nah, sekarang kita lihat," Sosok itu bergerak semakin dekat. "Mungkin kita tidak begitu rugi seperti yang aku kira sebelumnya."
Bayangan maupun sosok makhluk itu tidak setinggi yang aku bayangkan. Tidak seperti suara dan keberadaannya yang mengintimidasi. Malahan, dia tampak seperti Manusia. Tubuhnya kurus, tinggi, dengan pakaian berupa jas hitam yang mengilap di tengah keremangan cahaya kunang-kunang yang mengitarinya. Tidak hanya jas, dia mengenakan sarung tangan kulit hitam yang membungkus tangannya dan sepatu hitam.
Setiap langkahnya pelan, penuh perhitungan, dan hati-hati. Tapi anehnya, langkahnya yang penuh kehati-hatian itu malah menimbulkan dentuman yang sanggup membuat kerangkengku berguncang. Ketika aku sedang bertanya-tanya, sadarlah aku akan sesuatu. Apa yang aku kira sarung tangan ternyata adalah tangan sungguhan tanpa ada yang menutupinya dengan ujung jari jemari berbentuk cakar panjang.
Apa yang aku kira sebagai sepatu rupanya adalah cakar kakinya. Anggota tubuh itu membelah menjadi dua ketika sosok di hadapanku berdiri tegap. Apa yang aku kira sebagai pakaiannya rupanya adalah asap hitam pekat yang tampak ganjil, timbul tenggelam seperti gumpalan asap.
Saat aku tengah bergidik, sebuah tangan yang kecil, tangan yang menyerupai tangan perempuan, keluar dari balik jasnya dan masuk menyusup ke kandangku. Tapi tentu saja tangan itu bukan tangan Manusia.
Tidak ada tangan Manusia yang hitam pekat, punya empat jari, dengan cakar panjang di ujung-ujung jarinya.
Dia bukan manusia. Dia sama sekali bukan manusia!
Tidak ada tangan manusia yang bisa mengerut dan menjangkau pipiku dari celah jeruji. Dan dari caranya menjangkau ke dalam kandangku yang terlalu sempit untuk dimasuki tangan anak kecil sekalipun, dia benar-benar ... seperti tidak terhentikan.
"Kau sudah melalui banyak hal." Sosok itu—pria itu, apa pun dia—menyeringai, memamerkan deretan gigi setajam pisau di balik bibirnya yang menyeringai begitu lebar. "Selayaknya barang bagus yang sudah ditempa."
Tanpa bisa aku hentikan, tanganya berhasil menyentuh pipiku.
Sentuhannya dingin sekali. Seperti terbuat dari es. Rasanya sakit. Dinginnya menggigit dan menyengat pipi, menyadarkanku sepenuhnya dari bius Bunga Kamboja Merah di tangan. Saat aku tengah terkesiap seperti itu, tangan yang lain malah ikut menyentuhku dari balik kandang.
"Tapi apa tempaanmu itu sudah menghancurkanmu perlahan, Manusia?"
Tiba-tiba, jantungku berdetak kuat dan dalam. Seperti dicengkam oleh kekuatan dari luar. Tangan kananku kebas dan kesemutan. Aroma miasma menguar kuat di antara kami. Napasku semakin sesak. Kepalaku pusing.
"Aku sarankan kau jangan melawan." Suara gadis asap itu kembali terdengar. "Tuan Purusha tidak suka sesuatu yang melawan balik."
Purusha?
Aku terlonjak sekali lagi.
Mataku mendelik ke arah pria yang berdiri di hadapanku.
Dia ... adalah Purusha? Tapi wujudnya ... dia berbeda dari patung yang dipajang di depan sana. Biasanya....
Aku tidak bisa meneruskan kalimat itu. Pandanganku keburu berkunang-kunang dan kepalaku pun tertunduk. Kenangan-kenangan yang sudah aku lalui, dipaksa untuk muncul sekali lagi di hadapanku. Dengan cara yang kejam seolah aku mengalaminya kembali.
Dimulai dari rasa sakit dan kepedihan yang merenggut segalanya dariku. Kebodohanku yang tidak bisa mengucapkan salam perpisahan pada Azka.
Tanpa aku inginkan, air mataku pun mulai mengalir, menahan kesakitan, miasma, dan kenangan yang secara kejam dialirkan kembali ke alam sadarku.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top