26. Doomsday
Kegelapan di sekelilingku mengingatkanku pada kondisi Liang tempatku tinggal dahulu. Sunyi dan dingin, liang tempatku tinggal tidak ubahnya lubang tikus untuk bersembunyi. Tapi Liang ini berbeda. Aku mencium aroma debu yang mirip aroma miasma yang diiringi aroma semerbak yang menginatkanku pada kuntum bunga melati.
Dan aroma lumut yang pekat.
Aku membuka mata, menyadari kegelapan ada di sekeliling kami. Kepalaku menoleh ke berbagai sisi, mencari cahaya, tapi aku yang sembarangan menggerakkan tangan, menyentuh sebuah pilar yang basah di sampingku. Aku mengarahkan ujung jari yang basah ke hidung dan seketika itu juga aku mengenali baunya.
Ini aroma darah Yaksha.
Kemudian ingatanku kembali. Ingatan sebelum semuanya reruntuhan jatuh menimpa kami. Purusha mengamuk, Suvia mati, dan Rakyan melindungiku.
Pikiran terakhir itu langsung membuatku mencari-cari sosok raksasa yang sebelumnya ada tepat di atasku. Tanganku meraba-raba, tapi tidak menemukan apa pun selain dinding batu yang mengimpit di atas kepala.
"Rakyan?" panggilku hati-hati, meski tengah panik setengah mati. Aku tidak mau yang menjawab panggilanku justru Purusha yang mungkin sedang mendengarkan entah di mana. "Rakyan, di mana kau?"
Aku terus meraba-raba hingga menyentuh bagian basah yang terasa aneh. Geraman marah terdengar setelahnya. Geraman marah yang familier, tapi tidak begitu mirip Rakyan. Asalnya dari dekatku.
Tanganku meraba ke balik kegelapan. Mencoba menyentuh apa pun yang mungkin masuk jangkauan. "Rakyan?"
Terdengar suara mengaduh ketika tanganku menyentuh sesuatu yang berlendir. "Kulihat kau selamat, Manusia."
Rintihan itu terdengar tidak biasa, jadi aku meraba lebih jauh dan menyadari, ada sebuah pasak, mungkin pecahan dari langit-langit, tertancap di sesuatu ... sesuatu yang terasa seperti tubuh. Pikiran horror itu segera menyerangku.
"Rakyan ... kau terluka?" tanyaku.
Tidak ada jawaban, tapi aku mengingat dengan betul suara yang ditimbulkan Rakyan sebelumnya. Sebongkah reruntuhan jatuh di belakang kami. Aku menoleh dengan kaget, tapi rupanya reruntuhan itu memang jatuh sendiri, mempersilakan sepetak sinar samar-samar jatuh di antara kami. Menerangi mataku yang mulai terbiasa.
Sosok Rakyan tergeletak duduk tepat di hadapanku. Bukan dalam sosok Yaksha raksasa yang aku ingat, melainkan sosok manusianya. Luka-lukanya bertambah parah. Luka di perutnya yang sebelumnya aku obati, kini terbuka dua kali lebih lebar dari sebelumnya. Dan ada sebuah luka menganga persis di sebelahnya. Sebuah puing masih menancap di pundaknya dan sesuatu sepertinya menghantam kepalanya dengan kuat hingga dia berdarah. Sebelah tanduknya patah. Mungkin dari sanalah cairan ungu gelap itu berasal dan menetes ke lantai tanpa henti.
Aku langsung menunduk, menyaksikan tangan kananku yang hanya tinggal separuh. Bunga-bunga dan ranting itu masih ada di sana, tapi tanganku mulai dari siku sampai ke bawah, lenyap. Jantungku rasanya melorot melihat pemandangan itu, tapi lebih aneh lagi saat aku menyadari tidak ada rasa sakit yang datang menyusul. Tidak ada darah.
Apa semua infeksi seperti ini? Tidak terasa sakit? Kalau begitu ... saat itu mungkinkah Irsyad juga....?
"Kelihatannya kau juga tidak seberapa baik," Rakyan terkekeh, meski terdengar kepayahan.
Aku menggenggam lengan itu erat-erat. Menghancurkan salah satu bunga itu dalam satu pelukan erat. "Kau sudah tahu risikonya, tapi kenapa ... kau menolongku?"
"Entahlah," Rakyan mendebas. "Mungkin bukan alasan yang ingin kau dengar."
Kepala Rakyan menggantung dengan lesu. Tidak ada lagi suara yang keluar darinya. Aku langsung panik dan berdiri. Kepalaku terbentur puing yang mengepung kami dari atas, tapi rasa sakitnya bahkan tidak aku rasakan. Aku merangsek mendekati sosok manusia itu. Tanganku terulur, tapi tiba-tiba tangan hitam Rakyan meraih tanganku.
Ketika aku mengira dia akan melakukan hal buruk, aku tersentak ketika dia justru membawa tanganku dekat ke kepalanya. Menyentuh rambutnya, dan turun ke wajahnya yang berdarah.
"Kenapa ... berulang kali aku melakukan hal buruk kepadamu ... kau tidak juga menjauh, Manusia?" ujarnya. "Dan kenapa ... kau membuatku semakin aneh?"
Sesuatu berdentam di dalam dadaku. Bukan dalam perasaan yang pernah aku rasakan untuk Irsyad. Bukan dalam ketakutan. Aku merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu itu berkata ada yang salah di sini. Aku memberontak, mencoba lepas dari tangan Rakyan dan berhasil. Rakyan tidak menahan tanganku.
"Tetaplah di sini," ujarnya dengan suara yang semakin lemah. "Jika aku harus mati ... setidaknya aku tidak disaksikan oleh siapa pun selain dirimu...."
Tidak, benakku menjerit. Bayangan kematian Suvia masih begitu jelas dan meninggalkan luka yang anehnya terasa sakit dalam diriku. Pertama, Irsyad, lalu aku kehilangan Kala, dan kehilangan musuh aneh yang malah mati menolongku.
"Tidak."
Rakyan mendongak dan tangan kiriku menyentuh pundak Rakyan. Sama seperti saat aku menyentuh Kala dulu.
Aku mengucapkan dengan penuh tekad. "Tidak boleh lagi ada yang mati di hadapanku."
Maladies di tubuhku tiba-tiba kembali berdentam. Aku mengernyit menahan sakit dan merasakan denyut itu menjalar ke tangan kiriku sekarang. Aku tertegun menyaksikan di tangan kiriku, ada bercak kehitaman yang mulai menjalar. Aku menarik tanganku perlahan dan melihat sebuah luka gores di sana. Sudah tercemari oleh miasma.
"Ucapan yang terlalu besar untuk orang yang terinfeksi semakin parah...." Ujarnya. "Pasti karena kau ada di sini ... bersamaku...."
Aku hendak memprotes ucapan itu, tapi Maladies dalam tubuhku kembali berdenyut.
"A-apa....?" Aku mendongak mendengar keterkejutan Rakyan dan ikut membelalak.
Darahku yang menempel di tubuh Rakyan terserap kembali ke dalam luka yang ada di pundaknya. Perlahan, luka itu menutup, bahkan tidak berbekas.
"Lukanya ... pulih?" Aku menirukan ucapannya, kekagetannya. Kemudian aku melihat Maladis yang semakin menyebar di tangan, menjalar perlahan. "Tapi kekuatan ini ... bukannya sedari tadi dia hanya menghancurkan....? Kenapa sekarang....?"
Aku dan Rakyan bertukar pandang dalam kebingungan yang sama. Kami berdua sama-sama menyaksikan bagaimana kekuatanku mempengaruhinya dan mempengaruhi Purusha. Kekuatanku menghancurkan mereka. Tapi kenapa darahku ... malah menyembuhkan luka Rakyan?
Ah, tidak, bukan begitu. Aku memang memusnahkan kekuatan Purusha, tapi Rakyan ... dia masih hidup dan hanya terluka karena puing-puing. Tidak hancur atau kehilangan kekuatannya seperti bangunan ini.
Dia hanya ... berubah menjadi sosoknya yang ini: sosok rapuh yang selalu ia sembunyikan dari semua orang.
Dan darahku bisa memulihkan luka-lukanya....
"Kau mungkin bukan manusia murni yang akan menghentikan semua kekuasaan kami,"
Suvia ... apa maksud kata-katamu itu sebenarnya?
"Tapi kau jelas adalah bukti bahwa manusia itu memang ada."
Perjanjian, Manusia, anomaly dari diriku, semuanya tampaknya mengarah ke satu titik yang sama. Tapi Rakyan ... dia jelas bukan Yaksha yang biasa, kan?
"Rakyan ... kau manusia yang terinfeksi?" tanyaku langsung.
Rakyan tidak menjawab. Dia memalingkan wajah. "Aku tidak tahu."
Tidak tahu?
"Aku tidak ingat apa pun sebelum Purusha menyelamatkanku di pinggiran kota," ujarnya. "Satu tahun lalu."
Mataku membelalak. Keterkejutan menghantamku begitu kuat sampai tubuhku limbung. Namun Rakyan sekali lagi menggenggam lenganku, menyeimbangkanku.
Setetes air mata jatuh menuruni pipiku. Sekarang semua serpihannya telah lengkap. Penyelamat yang dikatakan oleh Suvia adalah Purusha. Dialah yang menyelamatkan Rakyan satu tahun lalu. Waktu yang mungkin sama seperti saat Kala menghilang.
"Jadi begitu rupanya...." Aku tertawa, tapi air mataku mengalir semakin deras.
"Apa? Apa yang kau pahami, Manusia?" Rakyan bertanya, tapi aku mengabaikannya, sibuk dengan pusaran pikiran yang mengacaukan seisi otakku sekarang. "Dayu!"
Aku mendongak perlahan ketika nama itu dipanggil. Sungguh kurang ajar. Bagi seorang anak untuk memanggil ibunya sendiri dengan namanya, benar-benar tidak sopan.
Pandanganku yang buram tidak bisa melihat dengan jelas wajah Rakyan, tap anehnya dalam kondisi ini, justru aku bisa lebih melihat fitur Irsyad yang ada padanya. Mata, hidung, dan rambut hitam kelamnya ... aku tidak sadar betapa aku sudah jauh melupakannya, ketika melihatnya lagi.
Betapa aku merindukannya.
"Kenapa kau tersenyum seperti itu?" Rakyan, ah, bukan, Kala ... Dia menggenggam lenganku lebih erat. "Hei!"
"Sejauh ini...." Suaraku pecah oleh tangis. "Sejauh ini aku mencari ... selama ini aku mencari ... kau ternyata ada di sini...."
Kala hendak bertanya lagi, tapi aku memotongnya. Aku menghambur ke arahnya dan memeluknya. Seperti yang selama ini aku mimpikan. Memeluk putraku untuk kali kedua. Seperti saat dia masih kecil, saat ia masih bayi. Aku memeluknya dengan erat. Kala kebingungan di pelukanku, tapi ia tidak memberontak.
"Apa-apaan kau ini...." Ujarnya pelan. "Ini bukan saatnya berpelukan seperti ini...."
Aku tertawa. "Kau sudah tahu berpelukan rupanya." Kau sudah dewasa, Nak.
Sayang, aku tidak merasakan perasaan yang sama dari Kala.
Aku tahu dia tidak sepemikiran dengan apa yang aku rasakan. Dia merasakan sesuatu yang bukan kasih sayang anak kepada ibunya. Dan tugasku adalah untuk meluruskannya.
Aku melihat luka yang menganga di tubuh Rakyan. Kemudian aku melihat tangan kiriku yang terluka. Tadi luka ini bisa memulihkan luka Kala. Mungkinkah yang sebaliknya juga bisa?
"Kau masih bimbang." Suara dalam kepalaku kembali terdengar. Maladies itu.
Aku tersenyum. Tidak, aku tidak bimbang. Tidak lagi.
Aku langsung menyentuhkan tanganku ke luka Kala. Dan kali ini aku merasakan luka itu menutup di bawah sentuhanku. Darahku mengalir ke luka itu dan memulihkannya dengan cepat.
Tiba-tiba Rakyan meraih pergelangan tanganku. "Apa yang kau lakukan?" Aku tidak menjawabnya, tidak pula berniat untuk berhenti. "Dayu!"
"Itu bukan cara yang sopan untuk memanggil ibumu." Aku melepaskannya sejenak, hanya untuk menatap sepasang matanya yang kini memerah darah. Mata yang persis seperti mata Irsyad. Aku tersenyum bahagia, lebih bahagia dari apa pun. "Kala, putraku."
Kala membelalak, tapi aku tidak memberinya waktu untuk protes. Aku memeluknya lagi. Membiarkan luka-luka itu pulih dengan darahku.
Tapi tembok mendadak runtuh di belakang kami. Bukan runtuh menimpa kami, tapi runtuh keluar, memperlihatkan sosok kami ke seseorang yang sedang menunggu di luar sana. Aku menoleh dan seringai licik Purusha adalah hal pertama yang aku lihat.
"Wah, wah, lihat apa yang aku temukan di sini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top