24. Reunion of Doom

Aku kembali tertegun. Tadi Rakyan pun tidak ingat dengan nama Kala. Dan kini dia yakin bahwa dirinya adalah Yaksha dan wujud ini adalah wujud buruk rupa yang harus disingkirkan.

Aku lantas melirik luka di kepalanya. Aku memang pernah dengar trauma di kepala bisa menyebabkan kehilangan sebagian ingatan.

"Pengkhianat itu...." Aku lantas teringat Yaksha raksasa yang aku temui di pelelangan tadi. Dia pun melupakan sebagian ingatannya, sampai aku memicunya kembali. Mungkinkah hilang ingatan memang lumrah terjadi di kalangan Yaksha?

Tapi putraku bukan Yaksha. Dia manusia terinfeksi. Bagaimana mungkin manusia terinfeksi bisa ada di kota penuh Yaksha tanpa ketahuan? Dan kenapa putraku tidak mati meski dia terinfeksi? Dia malah ... berubah?

Aku melirik tangan kananku, bertanya-tanya. Maladies ... sebenarnya apa mereka?

"Kenapa kau mendadak diam?" Rakyant iba-tiba bertanya. Mata merahnya melirikku. "Kau juga merasa wujud ini menjijikkan?"

Aku menggeleng dengan cepat. Tidak mungkin aku merasa rupa putraku buruk apalagi menjijikkan.

"Aku hanya berpikir, tubuhmu banyak bekas luka juga," ujarku, lalu menunjuk luka di dahinya. "Luka ini ... kau dapat dari mana?"

Rakyan terdiam. "Aku banyak berkelahi dan mendapat luka. Aku tidak ingat semuanya."

"Kupikir Yaksha bisa menyembuhkan semua luka."

"Tidak semuanya." Rakyan menyahut, entah kenapa wajahnya tampak muram.

Dia memang tidak ingat. Aku kembali muram. Aku pun tidak bisa membuktikannya, kan? Aku tidak membawa senjata yang aku gunakan untuk memukulnya waktu itu. Sulit mencocokkan sebuah bentuk luka tanpa alat yang digunakan untuk melukai.

Jika .... Aku sebenarnya takut memikirkan ini, tapi aku harus menerima semua kemungkinan ... jika saja aku telah salah paham dan bahagia terlalu dini, sampai-sampai melupakan kemungkinan, luka ini bisa saja sebuah kebetulan ... bisa saja Rakyan bukanlah Kala....

Tiba-tiba aroma manis-abu tercium pekat di udara. Rakyan membelalak. Dia menggeram dan meraung, terdengar penuh kesakitan. Tubuhnya membungkuk dan jatuh ke lantai. Ia memegangi dadanya.

"Rakyan?!" Aku hendak menghampiri, tapi Rakyan menepisku. Dia bahkan melemparkanku sampai dua langkah jauhnya.

"Jangan mendekat!" teriaknya dan suaranya pun berubah.

Aroma miasma semakin pekat di udara. Aku menutup hidung dan menahan napas. Rakyan berteriak kesakitan di dekatku. Jeritan berubah menjadi raungan. Suaranya kembali. Wujudnya perlahan kembali. Tangannya berubah menjadi cakar, wajah manusianya terdistorsi dan berubah menjadi monster, ukuran tubuhnya membesar lagi, kembali menjadi wujud Rakyan yang aku kenal.

Segera setelah wujudnya kembali, jeritan Rakyan berhenti.

"Ah, di sini rupanya." Aku menoleh dengan kaget ke asal suara itu.

Tepat ketika tembok rumah Rakyan hancur lebur. Menampilkan sosok Purusha yang muncul dengan seringai lebar di wajah. Mata merahnya menatapku dengan sorot lapar seekor hewan.

"Ketemu kau," ujarnya. "Manusia...."

***

Mata Purusha tertuju hanya kepada satu titik dan sialnya, aku berada di dekat titik yang sedang dipandanginya. Dengan tenang, Purusha melangkah ke dalam. Menuruni reruntuhan selangkah demi selangkah. Sementara aku berdiri tegap menghadapinya. Pekatnya miasma dan hawa keberadaannya membuatku tidak bisa begitu lama menahan napas.

Detik pertama aku menghirup miasma itu lagi, Maladies di dalam tubuhku kembali berdenyut. Kali ini lebih kuat. Lengan kananku bertambah berat. Dan aku merasakan denyut di sana menjalar semakin dekat ke dadaku. Ke jantungku.

"Mengejutkan sekali kau masih hidup, Manusia," Purusha berkata. "Tapi itu bagus. Aku jadi bisa menghabisi pengacau di kotaku dengan tanganku sendiri."

"Dan mengejutkan sekali kau mau datang menjemputku sendirian," sahutku dengan gigi terkatup rapat menahan sakit. "Tuan Purusha."

Angin berembus di sampingku dan sekelebat bayangan langsung menghantam Purusha. Rakyan menyerangnya. Aku membelalak kaget ketika serangan itu bisa dimentalkan Purusha bahkan tanpa menyentuhnya. Kemudian aku ingat, Purusha bisa membunuh tanpa menyentuh. Tubuh Rakyan terpental, tapi Rakyan berhasil bertahan.

"Ah, harusnya aku tidak kaget melihatmu di dekat sini, Rakyan,"

Rakyan menggeram, terdengar sangat marah. "Aku juga tidak kaget melihat Anda menjebol kediaman orang sembarangan, Tuan Purusha."

"Aku berjanji tidak akan menjebol kediamanmu tanpa alasan, kan?" Purusha tersenyum, lalu melirikku sekilas. "Sekarang aku memiliki alasan yang tepat." Dia kembali menatap Rakyan. "Aku selalu mendengar rumor soal dirimu dan manusia. Tidak aku sangka rumor itu memang benar."

Aku membelalak mendengarnya. Rumor, Suvia juga pernah mengatakannya. Ia yang menyetir rumor itu semakin kuat. Rumor yang diciptakan oleh para Yaksha yang tidak senang pada kepemimpinan Purusha. Tapi apa sebenarnya isi rumor itu?

Apa maksudnya Rumor soal Rakyan dan manusia?

"Kau tidak pernah terlihat memakan Manusia." Jantungku rasanya seperti melorot ke kaki. Rakyan ... tidak pernah memakan Manusia? Jadi saat dia menangkapku lagi dan menyerahkanku pada Suvia, dia pun tidak berniat memakanku? "Aku penasaran dan kupikir mereka hanya mati sebelum kau sempat nikmati atau kau terlalu bersih memakan mereka." Purusha melirikku sekali lagi.

Kali ini aku merasakan tekanan yang kuat darinya. Tangan kananku reflex terangkat. Dan tekanan itu menghantam tubuhku. Tekanan yang terasa seperti pisau-pisau tajam. Tangan kananku tidak terluka, tapi jelas pertemuan tidak terduga itu membuat energi kami berdua terpental.

"Sebuah anomali," Purusha berujar. Mata merahnya tampak keji. Di sekelilingnya, miasma memadat sampai dapat terlihat dengan jelas. Kabut kelabu gelap persis seperti kabut yang waktu itu menyapu daratan, keluar dari tubuh Purusha. Sosoknya diselimuti kabut hitam. "Sebuah anomali harus mati."

Dalam sekejap sosok Purusha hilang. Aku tidak sempat berkedip ketika sosoknya tiba-tiba saja sudah ada di hadapanku. Aku tidak sempat menghindar.

Darah memercik ke wajahku. Darah gelap yang sama sekali tidak berwarna merah.

Bayangan kelam jatuh ke wajahku, memisahkan antara aku dan Purusha.

"Sekali lagi kau melakukannya, Rakyan," Purusha berkata. Suaranya tidak terkesan sama sekali. "Apa kau sudah jatuh ke lubang yang aku perkirakan?"

Tubuh Rakyan tersingkir sekali lagi. Kali ini ke sudut jauh ruangan yang lebih gelap. Tapi tidak sebelum tangannya mencengkam Purusha. Tubuh Purusha lantas tertarik ke sisi yang sama dengannya. Aku mendengar bunyi hajaran sekali lagi dan percikan darah. Rakyan meraung kesakitan.

"Sepertinya aku harus menyingkirkanmu dulu." Purusha bangkit kembali dengan mudah. "Seperti yang seharusnya aku lakukan dulu."

"Aku tidak memintamu menyelamatkanku, bukan, Tuan Purusha?" Rakyan bangkit dan menghajar Purusha. Tapi tinjunya meleset. Kunang-kunang di sekeliling Purusha menyerangnya. Kulit dan surati Rakyan tercabik. Tapi tangannya berhasil meraih semua kunang-kunang yang berkelip itu. Menjatuhkannya ke tanah dalam sekali sapuan. "Aku memang bisa saja merebut posisi ini darimu."

Aku membelalak ke arah Purusha dan Rakyan bergantian.

"Rakyan tidak seserakah penyelamatnya."

Purusha adalah yang menyelamatkan Rakyan?

"Kau yang bahkan bukan generasi pertama dan tidak sanggup memakan manusia, berani melawan Purusha ini?" Tawa Purusha melengking di rumah itu. Dinding dan atap bergetar karena tawanya saja.

Maladies di tanganku berdenyut semakin kuat dan dalam, merespons miasma yang dipancarkannya semakin pekat ke udara. Seiring dengan tawanya yang semakin parah, sosok Purusha pun berubah. Sosoknya semakin tinggi. Kedua tangannya semakin hitam. Tinggi tubuhnya melampaui atap tempat ini. Tubuhnya semakin besar. Tangan ketiga dan keempatnya tumbuh panjang, dan ekor serupa cambuk keluar dari punggungnya.

Tawa Purusha tiba-tiba berhenti.

"Jangan membuatku tertawa dengan lelucon yang tidak lucu, Rakyan."

Purusha melesat sekali lagi. Suara hantaman keras bergema di sepenjuru kediaman Rakyan. Sosok dua Yaksha yang bertarung itu sudah tidak lagi tampak. Dinding yang memisahkan ruang di dalam rumah hancur seketika. Cahaya lebih banyak masuk dan aku mendengar derap langkah dari arah luar. Banyak dan mendekat ke mari. Tanah bergetar saking kuat dan banyaknya jumlah mereka yang datang.

Aku hendak melangkah, tapi tangan kananku tiba-tiba terasa berat. Menunduk, aku menyaksikan ranting-ranting tumbuh semakin besar dari tangan kananku. Kuncup-kuncup bunga putih itu kembali muncul, kali ini mekar dan serbuknya yang beraroma seperti miasma, menyebar ke udara.

Dadaku dibekap rasa sakit secara tiba-tiba. Rasanya seperti ada rantai berduri yang menyekap jantungku, meremukkannya pelan-pelan.

Aku meringis dan terjatuh ke lantai. Tangan kananku yang berubah kaku, mencengkam lantai batu kuat-kuat, menghancurkannya dalam sekali genggaman. Bunga-bunga itu semakin bermekaran dan aku menyaksikan sendiri, akar-akar yang membungkus ruangan ini mengecil dan menjauh dariku.

"Perjanjian itu rupanya memang masih belum lengkap."

Sosok Suvia muncul di atasku. Sekuat tenaga, aku berusaha bangkit kembali dan duduk. Kedua mataku melebar saat sadar, sosok Suvia tidak lagi tampak padat. Dia tampak lebih transparan dari sebelumnya.

"Suvia, kau...."

Suvia lantas berpindah dan menyentuh tangan kananku. Degup Maladies kembali mencengkam jantungku dan aku harus menyingkirkannya secara paksa.

"Apa yang kau lakukan?!" hardikku kesal.

"Hanya membuktikan kalau memang lengan kananmu berfungsi dengan baik." Dalam bayangan, Suvia memperlihatkan tangan kanannya yang digunakan untuk menyentuhku. Tangan itu kini sudah lenyap. "Maladies milikmu adalah bukti bahwa perjanjian belum lengkap sepenuhnya."

"Aku tidak mengerti," ujarku seraya bangkit berdiri. "Perjanjian apa yang kau maksud?" Mataku melirik lengan kananku yang buruk rupa. "Apa yang kau ketahui soal Maladies ini? Kenapa setiap kali tangan kananku menyentuh sesuatu, dia selalu—

"Hancur," Suvia meneruskan. "Semua yang berasal dari dunia bawah akan hancur dalam sentuhan Maladies milikmu." Suvia tersenyum. "Sebuah anomaly seperti kata Tuan Purusha."

"Lalu perjanjian itu?"

Suvia terdiam sejenak. Sosoknya tampak berayun lemah dalam bayangan.

"Perjanjian lama antara kami dengan bumi, dan bumi dengan manusia." Suvia lantas tersenyum. "Manusia ... apa kau ingin menyelamatkan Tuan Rakyan?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top