23. Reunion and Finding

Aku kembali dengan kain yang telah basah dan sebuah mangkuk dari kayu. Kali ini aku meninggalkan lentera agak jauh dari jangkauannya. Lalu dengan penerangan seadanya, aku pun menghampiri Rakyan. Aku berlutut untuk mengamati lukanya, kaget saat sadar betapa dia sangat kecil dalam sosok ini.

Dia hanya beberapa puluh senti lebih tinggi dariku. Dengan tubuh yang jelas jauh lebih besar dariku dan bisa menghancurkanku dalam sekali dekapan yang terlalu kuat.

Benar, aku tidak boleh lengah bahkan di saat ia sedang terluka.

Setelah aku mengambil handuk dari wadah air itu, Rakyan langsung mengambil wadah air itu dan menuangkan sebagiannya sendiri ke luka yang menganga di perutnya. Membersihkan darah biru gelap di sana.

"Luka yang itu agak besar, seharusnya dibalut dengan—

"Aku bisa melakukannya sendiri!" Rakyan menukas.

Tidak ada pengusiran dari kata-kata itu, jadi aku kira, dia tidak benar-benar ingin mengusirku. Tidak mau ambil pusing, aku mengamati kondisinya yang lain. Dengan penerangan terbatas, aku melihat beberapa helai rambutnya lengket ke dahi. Aku mengulurkan tangan hendak menyentuh rambut itu.

Tapi Rakyan langsung menggeram, memperlihatkan taringnya kepadaku.

"Aku hanya ingin melihat luka di dahimu," ujarku. Lalu mengulurkan handuk kepadanya. "Atau kau mau mengobatinya sendiri?"

Rakyan menggeram, meraih handuk basah itu dari tanganku. "Aku bisa sendiri—

Sayangnya, aku yang lengah, tidak memperkirakan gerakan dadakannya itu dan malah ikut tertarik.

Hingga jarak di antara kami hampir musnah sama sekali.

Aku membelalak, Rakyan apalagi. Kami berdua terdiam. Tidak ada yang berani bergerak, terlebih ketika jarak di antara kami tidak sampai sejengkal jauhnya. Hanya keberuntungan yang membuatku tidak sampai membenturkan kepala ke wajah Rakyan.

Aku tanpa sadar menarik napas dan menyadari, tidak ada aroma manis-abu dari miasma menguar lagi darinya. Tidak seperti saat dia menjadi Yaksha.

Kemudian aku dihantam serangan déjà vu. Bukan kepada mata merahnya, tapi kepada perasaan yang timbul ketika aku menatap sepasang mata itu. Rasanya benar-benar familier.

Bahkan aku diserang perasaan ... rindu.

"Ka-kau...." Rakyan berkata. Tapi fokusku beralih ke tempat lain.

Tepat di balik helaian rambut Rakyan. Tanganku terulur dan menyentuhnya pelan-pelan. Kali ini Rakyan bahkan tidak melawan. Tidak lagi protes atau menggeram atau memamerkan taringnya dengan nada mengancam. Dia sepenuhnya membiarkanku menyentuh rambut itu. Menyingkirkannya.

Dan menampilkan sebuah bekas luka familier yang tertutupi helaian rambut hitam kelam yang panjang itu.

Sebuah bekas luka yang memanjang sampai dahi, membelah sampai ke kepala. Tangan kiriku meraba bekas luka yang memanjang itu, sampai ke ujungnya. Jantungku berdentam-dentam tak keruan. Ingatanku kembali ke malam ketika aku kehilangan segalanya dan mengorbankan segalanya.

Irsyad dan Kala. Kesalahanku dan kesalahan Kala. Semuanya bercampur aduk di dalam kepala hingga aku pusing. Maladies di dalam tubuhku ikut berdenyut menyakitkan hingga aku limbung dan kehilangan keseimbangan.

"Hei!" Tangan Rakyan meraihku. Menyeimbangkanku dan mencegahku jatuh ke lantai yang keras.

Tapi aku jatuh tepat ke pangkuannya. Tepat menatap ke arah sepasang mata yang memerah itu. Sepasang mata yang kini tidak lagi tampak begitu asing.

"Apa yang kau lakukan?!"

Dan suara yang sekarang aku pahami, kenapa terdengar sangat familier walau sedikit berbeda.

"Kala....?" Tanpa sadar, nama itu meluncur keluar dari mulutku.

***

Kesedihan itu masih menghantuiku, bangun maupun mimpi.

Setelah terbangun dengan rasa sakit tanpa luka yang menggerogoti, aku akan mengedarkan pandang ke sekeliling dengan liar, mencari-cari sosok yang tidak akan pernah ada di sisiku saat aku terjaga lagi. Pun tidak menemukan sosok besar yang senantiasa diam tak bergerak di sudut kegelapan.

Dan itu semua semakin menghancurkanku. Menggerogotiku dalma penyesalan dan kebencian pada diri sendiri yang semakin menguat.

"Kala ... Irsyad...." Dalam tangis, aku hanya bisa menggumamkan nama mereka berdua. Tidak berdaya.

Mereka berdua tidak ada lagi di sisiku. Dan semuanya adalah salahku.

Gemuruh di luar bersuara semakin kencang, semakin lantang. Seolah menghakimi.

Aku membenamkan diri dalam penyesalan. Sembari memeluk lutut sendiri, aku membenamkan wajah, membiarkan gemuruh dan bunyi hujan di luar menjadi pengantar kematianku.

Gemuruh sekali lagi terdengar dan kali ini aku terlonjak. Tanah bertegar. Sesuatu pasti telah disambar petir di luar sana.

Pikiranku lantas tersentak. Bagaimana dengan Kala?

Pikiran itu menghantamku lebih keras dari gemuruh petir, menyingkirkan semua kesedihan dan mengubahnya menjadi kecemasan.

Kala sendirian. Apakah dia bisa bertahan hidup? Di mana dia berteduh? Di mana ia akan tidur? Dan jika ia makan....

Aku menengok gundukan raksasa di sudut gua, tempat separuh dari hidupku bersemayam. Telah genap seminggu lamanya. Putraku tidak ada dan suamiku sudah mati. Tidak ada alasan lagi untukku hidup, tapi entah bagaimana aku tidak juga mati.

Di tengah kemelut itu, aku melihat sesuatu yang lain di atas pusara itu. Sesuatu yang berkilau di tengah kegelapan.

Aku bangkit. Untuk kali pertama setelah seminggu penuh meringkuk dan membenci diri sendiri. Kedua kakiku gemetar bukan main setelah melaparkan diri berhari-hari. Gagal berdiri, aku pun merangkak mendekati pusara itu dan melihat sebuah tunas hijau yang berpendar muncul di atas tanah itu.

Sebuah untaian kalung menggantung di atas kayu yang aku jadikan nisan. Sebuah pengingat dari pernikahan kami dahulu. Cincin pernikahan kami.

"Di dunia yang penuh ketidak pastian ini, biarkan aku berjanji padamu dan keluarga kita." Janji yang diucapkan Irsyad di malam pengantin kami kembali bergema dalam kepalaku. "Boleh aku, sebagai orang yang memberi cincin ini kepadamu, berjanji menjagamu, keluarga kita, menjadi pelindung, pembimbing, dan ayah yang penuh keterbatasan ... di saat sakit maupun sehat ... bahagia maupun sedih ...?"

Tanganku meraih cincin itu. Dinginnya besi menjadi sensasi pertama setelah sekian lama aku tidak menyentuh apa pun selain lutut sendiri.

"Ir-syad...."

Suara gemuruh petir kembali terdengar. Di kakiku, air mengalir, perlahan-lahan memenuhi gua. Aku memeluk pusara itu.

Apa kau ingin aku pergi, Irsyad? Kau yakin ... putra kita akan memaafkanku ... atas kesalahan bodoh yang sudah aku perbuat?

Aku memejamkan mata, lalu meraih cincin itu dan menggenggamnya ke dekapan. Kenangan saat Kala lahir dan aku mendekapnya, kembali ke ingatanku. Irsyad yang pada saat itu sudah terinfeksi, masih tetap bisa menyunggingkan senyum bahagia kendati separuh wajahnya sudah meleleh, berubah menjadi monster.

"Kalau bukan kita sebagai orang tua yang membimbing mereka...." Kata-kata Irsyad sekali lagi kembali kepadaku. Saat untuk pertama kalinya dulu, Azka yang baru belajar berjalan, terjatuh dan menangis. "Siapa lagi yang akan membimbing mereka saat mereka terjatuh dan tersesat?"

Gemuruh petir di luar semakin liar menyambar. Aku tidak punya jas hujan atau apa pun untuk melindungi tubuh jika hendak keluar sekadar untuk menyelamatkan diri. Tapi Kala mungkin keadaannya jauh lebih buruk. Dia hanya anak remaja yang belum pernah pergi ke Permukaan.

Ketika tekadku sudah bulat, aku menarik napas. Lalu mengenakan cincin itu ke leher. Tanganku merair air di tanah dan meminumnya sebanyak mungkin. Sepuas dahagaku sebelum akhirnya bangun. Dengan bersandar di dinding untuk menopang dua kakiku yang lemah, aku meraih jubah dan tudung untuk melindungi diri.

Kemudian aku menengok untuk kali terakhir ke arah pusara Irsyad. "Selamat tinggal...."

***

"Kala?" Rakyan memanggil nama itu di hadapanku. Dengan suara yang benar-benar asing. "Siapa itu?"

Aku membelalak ke arahnya, menatap Rakyan dengan tidak percaya. Perasaanku kalang kabut. Antara ingin memeluk atau memukulnya karena kata-katanya yang seolah tidak mengenalku. Antar aingin menangis, putus asa, atau menagis haru bahagia.

Mulutku terbuka, tapi tidak ada yang keluar. Mataku berkaca-kaca dan sosok Rakyan memburam.

Lama sudah aku mencarinya, ternyata dia ada di hadapanku ... dalam wujud seperti ini.

"He-hei, kau ... kenapa kau menangis?"

Aku mengusap air mataku dan menatapnya. Kini wajah Manusia Rakyan tidak lagi tampak begitu asing. Aku memahami déjà vu dan sensasi familier yang sedari tadi menyerangku. Dari wajah, mata, dan suaranya, semuanya meski berubah, aku masih bisa mengenali putraku.

"Aku hanya senang." Tanganku terulur, mengobati lukanya dengan hati-hati.

"Kau senang aku terluka?" Rakyan bertanya dengan nada tersinggung.

Aku menggeleng.

"Kalau begitu, berhentilah menangis," Rakyan memerintahkan. Ah, sekarang jika aku mendengarnya lagi, nada suaranya persis Irsyad yang sedang merajuk. "Bukankah kalau senang, kau harus tertawa?"

Tidak tahan, aku pun menyentil pelan dahinya. Rakyan membelalak kepadaku, tampak kesal, tapi sebelum dia bisa berkata apa-apa, aku memberinya senyum tipis.

"Ya, kau benar. Harusnya aku tersenyum, ya, kan?"

Apa pun yang tadi hendak keluar dair mulut Rakyan, tidak jadi keluar. Dia tertegun sejenak, sebelum memalingkan muka. "Baguslah," ujarnya pelan. "Tapi jangan menyentuh dahiku seperti itu lagi."

Aku mengiyakan, merasa bahagia, meski kemudian timbul pertanyaan pada diriku.

Apa yang sudah terjadi pada putraku? Aku mengamat tiubuhnya yang bahkan untuk ukuran Manusia sudah jauh lebih tinggi dan besar dibanding saat aku mengusirnya dahulu. Kemudian sosok ini dan wujudnya yang berganti. Kata-kata Suvia tadi ... Apa yang sudah terjadi selama satu tahun kami tidak bertemu sampai dia seperti ini?

"Aku dengar dari Suvia ... kau menyembunyikan wujud ini," ujarku penuh kehati-hatian. "Boleh aku tahu ... kenapa?"

"Aku benci wujud ini." Tanganku berhenti. "Wujud yang membuatku berbeda dari Yaksha lainnya."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top