10. A Little Trick to Escape
Permukaan sungguh sudah berubah. Terakhir kali aku mengunjungi permukaan, aku minimal akan bertahan hidup bebas selama lima menit sebelum mungkin diterkam Yaksha yang kebetulan melintas.
Sekarang aku hanya bertahan selama lima detik sebelum terjebak di kerangkeng berengsek ini.
Sial.
Aku hanya sedang melangkah di tengah hujan sebelum terjerembab ke lubang jebakan. Lubang yang tidka terlihat di tengah banyaknya dedaunan yang jatuh karena hujan lebat dan lumpur yang memblokir jalan serta pandangan. Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah jatuh.
Saat sadar, aku sudah ada di kerangkeng ini, dalam keadaan sebelah kaki berdarah, seperti tergores sesuatu.
Ini gawat.
Luka terbuka adalah larangan keras di dunia baru ini. Infeksi menyebar di udara. Aku tidak bisa membiarkan luka terbuka ini berlama-lama atau bisa saja aku....
Kerangkeng tempatku ditahan berguncang tiba-tiba.
Kurungan yang dibuat dari tulang belulang manusia diketuk dari luar. Guncangannya cukup kuat sampai aku terjerembab ke lain sisi dan mengaduh.
Sayangnya, alih-alih pertolongan, yang aku dapat malah ketawa cekikikan. Mirip kekehan burung malam yang mengintai mangsa.
Sosok bersayap melintas di depan kandangku. Bayangan hitamnya melintas ke berbagai arah, memamerkan suara lengkingan tawa yang tidak menyangnkan. Sebelum akhirnya hinggap di sebuah sudut. Dia mengatakan sesuatu, berulang kali. Satu kata yang sama yang tidak bisa aku kenali dari bahasa apa.
"Tadashu!"
Entah apa artinya itu, tapi karena semua Yaksha yang aku temui sering mengatakan kata itu, aku pikir kata itu berhubungan dengan Manusia. Atau mangsa. Yah, paling-paling tidak jauh dari itu.
Mengingat tempat tinggal makhluk ini juga tidak punya banyak hal.
Aku melihat sekeliling, mengamati gua tempat makhluk ini bersarang. Dinding, lantai, dan langit-langitnya tersusun dari bebatuan stalakmit kelabu. Cahaya remang-remang menyala di kanan dan kiri, berasal dari batu Kristal yang tidak aku kenal yang memancarkan sinar jingga yang hangat. Seperti api unggun yang kecil di tengah dingin. Batu Kristal itu disimpan dalam sebuah wadah kaca yang tergantung di dinding.
Dan hanya itu perabotan yang terlihat mewah di tempat ini.
Sisanya? Semuanya diukir dari batu. Bahkan tempat kurunganku berada yang seperti meja ini, dibuat dari batu. Seolah batu rata ini memang sudah ada di sini dan tidak perlu merusak untuk mengukir batu ini menjadi bentuk berguna. Tanganku terulur untuk meraba batu dan tulang di sekelilingku, menyadari tangan dan kakiku rupanya tidak diikat sama sekali.
Aku tertegun dalam ketakjuban. Yaksha ini ... dia sungguh yakin aku tidak akan bisa kabur atau hanya teledor? Dia sungguh yakin luka kecil di kaki akan menghentikanku sepenuhnya?
Mencoba untuk tidak membuat gerakan aneh, mataku beredar ke empat sudut kerangkeng. Mencari celah. Di antara ikatan serabut yang asal-asalan—serabut yang hampir membuatku muntah, jika saja aku masih punya isi perut, karena nyatanya serabut ini dibuat dari rambut—dan ikatan tulang belulang.
Dapat!
Ada satu bagian mencuat di atas kepalaku. Sebuah pecahan tulang. Tanganku yang bebas diam-diam meraihnya.
Terdengar suara kaokan dan aku pun menyembunyikan pecahan itu di balik punggung. Yaksha bersayap itu lantas turun ke bawah. Dengan tangannya yang aku sadari sebesar dan sepanjang tangan manusia, makhluk itu mengambil Kristal di dinding dan menggesekkannya ke batu di bawah, melemparkan Kristal itu ke sebuah tempat.
Dan menyalalah api dari dalam sebuah lubang tidak jauh dari sana.
Yaksha itu lantas mengambil tombak dari kayu. Aku menelan ludah. Kayu itu terlalu kurus dan panjang untuk dijadikan senjata. Tidak perlu dikatakan lagi, firasatku buruk.
Dan firasat buruk itu semakin menjadi saat Yaksha bersayap itu terang-terangan menoleh ke arahku sembari menyeringai. Tangannya mengacungkan kayu panjang itu.
"Miska...."
Namaku jelas bukan Miska. Tapi aku juga yakin dia bukannya mencoba memanggil namaku. Kami tidak saling kenal. Lagipula, tidak ada makhluk yang saling memanggil nama dengan mulut penuh air liur menetes begitu.
Aku terdiam, memaksakan diri untuk diam. Film-film di masa lalu yang pernah aku tonton, berkelebat adegan demi adegannya dalam kepalaku. Namun tentu saja, kenyataan tidak seperti film. Mereka tidak mendatangimu pelan-pelan.
Yaksha itu langsung menyerang kerangkeng tempatku berdiri. Tangannya yang bercakar tajam menghunjam ke dalam kerangkeng, menghancurkannya dalam sekali sabetan.
Yaksha itu meraung, meneriakkan bahasa yang tidak aku mengerti sembari terus menjangkau ke arahku. Bisa saja aku menggigit atau mencakarnya, tapi aku pernah melihat makhluk yang darahnya bisa membuat kulitku meleleh dalam sekejap. Aku tidak mau mengambil risiko.
Tidak ketika aku ada di Permukaan untuk sebuah tujuan.
Yaksha itu sepertinya tidak peduli akan jadi apa bentukku jika dia menarikku paksa begitu. Dia menggunakan tenaga brutal hanya untuk meraihku dari dalam kandang, bahkan tidak memperhitungkan aku punya senjata.
Yah, mungkin dia hanya tidak memikirkannya sampai ke sana. Sama seperti Yaksha lain.
Semoga dia tidak mempertimbangkan aku melawan balik.
Aku menelan jeritan saat perih menyerang sekujur tubuhku. Satu gerakan salah dan mungkin saja salah satu serpihan tulang yang mencuat menusuk mulutku dan menembus sampai ke tengkorak. Kerangkeng tempatku telah hancur lebur dan Yaksha itu masih belum bisa meraihku. Dia meraung frustrasi. Kencangnya suara makhluk itu menelan jeritanku.
Sekaligus kewaspadaannya.
Saat ia kesulitan, aku sengaja menikamkan serpihan tulang tepat di atas kukunya. Makhluk itu meraung. Aku meraih serpihan tulang yang lain.
"Makan ini juga!"
Aku pun menusukkan serpihan itu ke balik kukunya.
***
Sekarang jelas tidak sama dengan waktu itu.
Saat itu aku tidak punya Maladies tertanam dalam tubuhku. Atau jika memang punya, penyakit itu belumlah muncul gejalanya. Sekarang, seluruh lengan kananku sudah terjangkit. Setiap kali aku tertidur atau lengah, Maladies ini akan menggerogoti semakin jauh, mendekati jantungku yang rapuh.
Saat itu tiba ... segalanya akan selesai.
Beruntung bagiku, saat itu belum benar-benar tiba. Dan Maladies bukannya tidak punya kekuatan juga.
Aku melirik bunga kamboja merah di kedua lenganku. Masalahnya tinggal bunga ini saja. Bunga ini menjadi pembeda dari kerangkengku yang lain, menandakan siapa pun yang menginginkanku, pastinya menginginkan tubuhku ini utuh, bukan untuk sekadar makanan yang akan dicabik.
Satu lagi keuntungan.
Aku tidak boleh menyia-nyiakan ini.
Ketika kami keluar dan terjun ke pasar, saat itu juga aku memusatkan Maladies di seluruh tubuhku ke tangan kanan. Aku hampir terbatuk karena terbebas dari miasma dalam rumah tadi. Sungguh, dibanding rumah tadi, pasar ini jauh lebih ramah meski lebih ramai oleh kegiatan Yaksha.
Sebuah kesempatan untuk lolos.
Tenagaku terpusat di tangan kanan, Sayangnya, batukku tidak bisa ditahan. Semua miasma ini tidak bisa ditanggung terlalu lama. Aku pun terbatuk.
Dan hal itu memancing Rumya untuk berhenti seketika. Raksasa itu lantas menengok keadaanku. Dia menelengkan kepala dengan wajah tolol. Sama sekali tidak kelihatan berduka untuk temannya yang baru saja diledakkan kepalanya di hadapannya tadi.
Raksasa itu lantas mengangguk, sepertinya kepada dirinya sendiri. "Harus cepat dimakan!"
Enak saja!
Tanpa banyak pikir panjang, Raksasa yang sepertinya otaknya memang tinggal setengah itu pun berjalan girang melewati pasar. Aku menahan napas kali ini, agar tidak terbatuk dan menyerap terlalu banyak miasma. Kemudian semua tenaga yang telah aku pusatkan di tangan kanan, aku keluarkan serta merta.
Bunga-bunga Kamboja itu memerah dan menyala terang, sebelum akhirnya tercerabut dan jatuh berguguran tanpa suara.
***
Aku berlari melintasi kaki-kaki raksasa para Yaksa di pasar, menyelinap seperti kecoak di tengah kerumunan. Kebanyakan dari mereka tidak menunduk ke bawah, jika indera penciuman mereka yang luar biasa tajam itu tidak menyadari aromaku.
Beruntungnya—tidak sepenuhnya beruntung—Maladies dalam tubuhku dan kondisi pasar yang dipenuhi banyak barang dari Manusia membuat aroma Manusiaku tersamarkan.
Melewati jalan utama tempat makanan disajikan, aku masuk ke jalan pasar yang lebih kecil dengan lampu yang lebih temaram. Ada banyak tanaman yang dijual dengan lampu-lampu Kristal yang berpendar berbagai warna. Ada batu yang dibakar di perapian dan memancarkan api biru. Aroma-aroma menenangkan tercium dari sana.
Aroma yang begitu memabukkan dan cahaya yang begitu menenangkan. Beberapa kunang-kunang beterbangan di area pasar yang ini, tempat lebih sedikit orang berlalu lalang.
Sepetti cahaya di lampu rumah.
Oh, betapa aku tidak sadar aku merindukan cahaya yang hangat. Telah lama terbiasa di dalam kegelapan dan kengerian membuat semua binar itu tampak indah.
Persis seperti lampu mainan yang dihias potongan kertas beraneka motif yang aku pernah buat untuk Azka.
Tiba-tiba seseorang mencengkam pakaianku.
Oh, sial! Aku teralihkan! Aku lengah! Di saat aku sudah memperoleh kebebasan dengan susah payah! Sial! Sial! Tangan besar yang mengapit bajuku ini, cakar yang terasa di pakaianku, oh, sial lagi, ini bukan tangan manusia! Ini jelas tangan Yaksa! Dan tangan ini cuup besar!
"Lihat siapa yang aku temukan di sini." Sebuah suara familier terdengar dari belakang. Aku memberontak semakin kencang. Kakiku menendang dan tanganku mencakar ke udara, tapi tidak ada yang berguna.
Perlahan, tubuhku diangkat ke udara, dibiarkan terekspos ke puluhan pasang mata yang menyaksikan. Sial, sial, sial!
Kedua kakiku menendang-nendang dengan liar, tanganku menggapai-gapai, tapi tetap saja semuanya sia-sia. Sekali lagi, dengan pelan, tubuhku yang bagaikan serangga kecil, diputar, menghadap penangkapku.
Sepasang mata merah Rakyan mengernyit ke arahku. Seperti kataku tadi, persis seperti tatapan seorang Manusia yang menemukan serangga di rumahnya.
Dari dekat, Yaksha itu bahkan tampak lebih besar lagi.
"Kau mau pergi ke mana, Manusia kecil?"
Oh, Tuhan. Aku benar-benar sudah tamat.
***
A/N:
Hitung mundur 2 bab lagi yang akan saya posting di wattpad. Sisanya entah saya akan upload keseluruhan di sini atau tidak, masih belum tahu.
Doakan saja yang terbaik untuk naskah ini.
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih untuk semua saran kalian dan perbaikan typo dkk. Saya merasa sangat terbantu. Meski untuk kebaikan psikis saya sendiri, komentar typo itu hanya akan saya balas jika saya sudah melakukan perbaikan di naskah offline nya, saya harap kalian tidak keberatan membantu.
Saya selalu menghargai jerih payah kalian. Terima kasih banyak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top