9. Santi ~ Terjebak kesialan
Rianita maju bak pahlawan menghadapi mayat hidup yang masih mengenakan seragam swalayan berwarna merah yang telah usang dan robek. Dia menendang tubuh mayat itu hingga beberapa barang di rak berjatuhan menimbulkan suara gaduh. Detik berikutnya dia berhasil menusukkan pisau tepat di dahi mayat hidup lalu memandang si kembar dengan tatapan angkuh. Aku mendecih sambil menutup kembali pintu dan mengganjalnya dengan meja kasir dibantu si kembar.
Setelah selesai, kedua lelaki berwajah identik itu duduk di lantai. Kubuka tas untuk mengeluarkan obat yang kudapat di swalayan beberapa hari lalu. Kuberikan juga dua bungkus roti isi kepada mereka berdua sekadar mengisi perut setelah dikejar mayat hidup. Rianita tidak membantuku, dia kembali menyortir beberapa makanan yang kiranya bisa kami makan untuk perjalanan selanjutnya.
"Dari mana asal kalian?" tanyaku pada si kembar. "Tunggu, aku masih tidak bisa membedakan kalian."
Dua lelaki berambut ikal itu tertawa dengan pancaran wajah yang sama persis. Salah satu dari mereka menunjukkan sebuah tanda lahir di lengan kanan yang bentuknya tidak beraturan lalu beralih pada sebuah tahi lalat kecil tepat di atas alis kiri.
"Aku Banyu," ucapnya. "Yang punya tanda lahir dan tahi lalat itu aku."
Menyipitkan kedua mataku. "Dari jauh tidak kelihatan, Nyu. Aku pun sering salah nama jika punya teman kembar seperti kalian."
Banyu terkekeh. "Lama-lama juga terbiasa. Sini obat merahnya."
"Nggak usah, kalian aku obatin aja," kataku lalu mengoleskan obat merah di lutut mereka secara bergantian.
"Jadi, kamu dari mana? Eh, tapi aku belum tahu namamu," sahut Bayu. Kurasa yang bernama Bayu lebih kalem daripada Banyu.
"Aku Santi dari Malang," ucapku.
"Oh, arek Ngalam, kok isok mrene?" sahut Banyu meraih kasa dan menuangkan obat merah tak sabaran.
"Mau daftar kuliah di UI. Kalian?"
"Kita ngungsi, Surabaya udah jadi kota mati. Kukira di sini beda ternyata jauh lebih parah," kata Bayu. "Eh, udah, biar aku plester sendiri. Suwon yo, San."
"Numpak sepur?" tanyaku menaikkan alis. Mereka berdua mengangguk.
"Stasiun Jatinegara lebih mirip kayak kuburan, kami dikepung mayat hidup di sana. Banyak orang yang nggak selamat, mereka seperti makanan siap saji saat kereta yang kami tumpangi berhenti di sana." Banyu menjelaskan sambil sesekali menggeleng. "Kadang aku masih bingung darimana virus ini berasal."
Sebelum aku menjawab, Rianita duduk bergabung di sisi kananku seraya menutup resleting tasnya yang penuh dengan makanan membuatku tak habis pikir. Dia menatap si kembar sambil berkata,
"Virus ini masih menjadi misteri meski penyebaran awalnya dari hewan-hewan ternak yang selama ini kita makan. Kita juga tidak bisa menuduh sembarangan pemerintah namun mereka juga patut mendapat protes ketika wabah ini tidak dapat diselesaikan dengan baik, justru semakin buruk dengan banyaknya masyarakat yang meninggal."
"Tapi bagaimana mereka bisa hidup lagi?" tanya Bayu.
Rianita mengedikkan kedua bahunya. "Gue nggak tahu, mungkin efek virus ditambah kebocoran pabrik yang mencemari sungai utama di Jabodetabek, mungkin juga karena virus ini mengaktifkan kembali sel tubuh yang mati namun tidak dengan sel otak."
"Kamu pinter juga," pujiku.
Rianita tertawa. "Gue tahu karena Abang pernah berkata seperti itu."
"Di mana Abangmu?" tanya Banyu.
"Mati," ucap Rianita membuat si kembar diam.
#####
Kami berempat melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat yang aman untuk tidur. Tubuhku rasanya begitu lelah, terutama bahu yang terus menerus menembakkan anak panah. Sejenak aku teringat dengan busur panah yang menancap di kepala mayat hidup dan lupa tak kuambil kembali. Kini busur di punggungku hanya tersisa lima buah, kurasa aku harus menghemat busur ini untuk sampai di zona hijau. Kuambil dua lembar koyo dari dalam tas dan menempelkannya di kedua bahu. Rasa hangat yang berubah panas menjalari setiap lapisan otot deltoid membuatku rileks. Jika seperti ini, aku merindukan berendam air hangat atau mandi dengan lulur. Sayangnya di saat seperti ini, hal itu tidaklah mungkin, kecuali ada sebuah tempat yang benar-benar aman dari mayat hidup.
"Kita lewat jalur tol bagaimana?" usul Bayu yang berjalan di belakangku.
"Apa aman?" tanyaku.
"Aman aja sih menurutku, daripada kita jalan nggak tahu arah," sahut Rianita.
Kami berempat melihat papan nama bertuliskan SMP 23 Kota Bekasi dan seketika itu pula kami disambut tiga orang yang menodongkan pisau seperti berhasil menjebak kawanan pencuri. Kami berempat mengangkat tangan ke udara untuk tidak mati hari ini, ya setidaknya hari ini saja, entah besok. Perempuan yang rambutnya sebahu memandangku tajam dan berkata,
"Serahkan senjata dan tas kalian!" serunya.
"Kita tidak bermaksud merebut tempat ini, oke," ucapku takut. "Kami akan pergi tapi jangan ambil barang kami."
"Serahkan atau peluru kami menembus otak kalian," katanya dengan nada penekanan.
Kami berempat saling melirik. Apa yang diucapkan Bayu saat dijalan tadi menjadi kenyataan bahkan aku mendengar Rianita mengumpat menyalahkan Bayu.
"Aku yakin nggak hanya kita yang survivor ke zona hijau, San," ucap Bayu sambil meneguk botol mineral. "Bagaimana jika ada yang mau ngerampok?"
"Ya tinggal serahin aja," ucap Rianita santai.
"Cari mati?" ketus Banyu.
"Kita harus mempertahankan apa yang kita miliki. Kalian bisa berkelahi, kan?" tanyaku.
"Masih meragukan kami?" Banyu menatapku seraya menaikkan alis tebalnya.
"Nggak sadar kalian hampir mati sama mayat hidup tadi," ejek Rianita. "Pakai sok meragukan, ya ragu lah!"
Aku melirik Bayu di sisi kananku sambil mengangguk sangat pelan dan melepas tas ransel lalu melemparkannya di depan perempuan itu.
"Senjatamu," ucap perempuan itu menunjuk busur panah di punggungku dengan dagunya.
Aku mendecih lalu melepaskan busur panahku dari punggung dan melemparkannya dengan cukup keras ke tanah.
"Bob, ambil, Bob!" perintah perempuan itu kepada si lelaki berkepala plontos nan berkilau diterpa matahari.
Ketika lelaki itu hendak meraih barang kami, seketika itu pula Bayu menerjangnya dan mendaratkan pukulan di ulu hati. Suara tembakan terdengar memekakkan gendang telinga ketika peluru panas hampir saja mengenai diriku. Tak sampai menembakkan peluru kedua, pistol itu dengan mudahnya direbut oleh Banyu yang perawakannya lebih tinggi dari si perempuan. Namun Banyu mendapatkan tendangan mematikan tepat di kemaluannya oleh kaki jenjang perempuan itu membuat pistol yang dipegang Banyu terlepas dari genggamannya.
"Bangsat!" maki Banyu kesakitan.
Kuraih pistol yang tergeletak tak jauh dariku namun tangan perempuan itu menjambak rambutku membuatku berteriak kesakitan. Aku menyikut tepat mengenai dadanya lalu memukul rahangnya sambil menendang pistol agar semakin jauh dari kami. Kukeluarkan pisau dari saku celanaku dan menodongkannya tepat di leher mulus perempuan itu.
"Serahkan pisaumu atau temanmu kutembak."
Aku melirik dari ekor mata kananku. Rianita nampak kesusahan bernapas saat lelaki berwajah lonjong menghimpit leher Rianita dengan lengan kiri, sedangkan tangan kanannya menodong kepalaku dengan sebuah pistol. Kulirik sisi lain, si kembar sudah melumpuhkan lelaki botak namun mereka juga tidak bisa melawan ketika nyawaku berada di ujung jurang. Sedikit kesalahan saja mungkin lelaki di sisi kananku tak segan-segan menarik pelatuk pistolnya.
"Sebenarnya mau kalian apa?" tanyaku.
"Bukankah cukup jelas?" ucap perempuan itu. "Kami ingin semua barang kalian. Jika kalian menurut, semua ini akan lebih mudah."
"Jancuk!" seru Banyu dengan emosi.
"Diam!" seru lelaki berwajah lonjong itu menatap tajam si kembar.
"U-udah serahin aja, San," pinta Rianita dengan terbatuk-batuk. Mukanya memerah karena hampir kehabisan napas.
Aku berada di antara dilema, memberikan persediaan yang ada di tas sama saja dengan bunuh diri, belum lagi senjata yang kami miliki hanyalah beberapa pisau dapur dan sebuah busur panah. Sangat berbeda jauh dengan tiga orang dewasa yang memiliki pistol entah dari mana. Kulirik Bayu yang menatapku penuh arti. Dia menyiratkanku untuk memilih, nyawa Rianita atau tas berisi bekal makanan dan obat-obatan.
Jika kuberikan barang ini, apakah nyawa kami berempat akan tetap selamat?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top