Prolog
Sebuah mainan apik berbentuk mewahnya pesawat terbang, tengah dibawa melayang tinggi sejuluran lengan dua anak laki-laki yang sibuk berlarian di sepanjang perjalanan. Masing-masing pandangan mereka, tak luput memperhatikan miniatur kapal terbangnya yang memutarkan baling-baling di depan sebab terpapar embusan angin yang berlawanan. Senyum anak-anak itu terlukis merekah kadang kala saling berbalas kejar-kejaran kemudian tertawa kencang giat sekali mengukir binar kebahagiaan. Baru-baru ini berkenalan saja, mereka sudah akrab terus bersamaan, padahal andai dipikir kembali, sifat mereka sebetulnya terlampau berjauhan.
Ya, kalau bukan karena bocah yang saat ini amat heboh bergerak dan menyerukan suara lantangnya, si pendiam yang ada di belakang tersebut mungkin tak mau membuka diri layaknya sekarang. Keceriaan anak laki-laki itu memiliki kemampuan khusus yang sanggup menghadirkan gembira bagi siapa pun yang ada di dekatnya. Buktinya, ia sanggup merangkul sosok yang terkenal paling murung di sekolah lantaran selalu menjadi bahan perundungan.
"Yah, udah sampai pertigaan aja." Melihat persimpangan yang menjelma tanda perpisahan tampak jelas di hadapan, anak laki-laki itu mengerecutkan bibir sontak tak lagi mengangkat tangannya tinggi ke udara.
"Ini, makasih, ya, udah mau pinjamin pesawat-pesawatannya ke aku. Mainan kamu bagus! Aku nggak pernah pegang yang kayak begini sebelumnya."
Membalikkan tubuhnya menyamping, bocah laki-laki itu lantas menepuk pelan pundak temannya tersebut. Mendapati sobat barunya kelewat senang hanya karena benda kecil yang ia bawa, murungnya seketika menghilang begitu saja tergantikan dengan baris giginya yang meringis rapi. "Kalau kamu suka, simpan aja. Besok kita ketemu lagi, ya, Angkasa!"
"Eh, Tama? Kamu mau ke mana? Maksudnya, ini boleh aku bawa pulang?"
Melambaikan tangan seraya berlari kecil ke destinasi jalan menuju rumah, anak laki-laki itu pun menjawab, "Iya, aku kasih buat kamu. Gratis!"
Kemurahan hatinya, kemudian dibalas seruan dari sang sahabat di seberang, "Pesawat-pesawatannya pasti bakal aku jaga baik-baik! Makasih banyak, ya, Tama!"
"Oke!" ujarnya menarik sudut bibir sambil mengacungkan jempol ke atas.
Kontak mata tersebut pun terputus dalam rentang hitungan detik. Sembari melangkahkan kakinya seorang diri, anak laki-laki itu lalu bergumam memikirkan apa yang harus ia lakukan sehabis ini. Sejatinya, ia merupakan sosok yang sangat aktif, namun beriringan akan hal tersebut, ia juga mudah bosan sehingga agenda kejar-kejaran tadi tidak cukup membuatnya lelah. Beruntung, di kamarnya tersedia banyak mainan lain yang sengaja disediakan orang tuanya untuk mengisi kekosongan di waktu luang. Tenaganya yang berlebih, alhasil jadi mudah tersalurkan.
"Ayah, Bunda, Tama pulang!"
Menggerakkan daun pintu ke arah bawah, bocah itu menjijitkan tumitnya di lantai supaya kedua sepatunya dapat segera terlepaskan. Sambil memijakkan kakinya grasah-grusuh, ia lantas menghampiri ruang keluarga niat menyalimi orang tuanya. Tetapi, ia tak menemukan siapa pun di sana.
"Loh, pada ke mana, ya?" Menggaruk kepalanya sebentar, telinganya lalu menangkap lantangnya sebuah percakapan yang saling bersahutan di lorong sebelah kanan. Buru-buru menghampiri sumber suara dengan senyumnya yang mengembang, punggungnya tiba-tiba malah meremang terpengaruh nada bising yang kurang mengenakkan.
"Sekali lagi aku tanya sama kamu! Laki-laki itu siapanya kamu! Ternyata benar, ya? Diam-diam selama ini kamu main di belakang aku?"
"Kamu itu bicara apa, sih? Dia itu cuma rekan kerja aku! Jangan asal tuduh!"
"Oh, jangan asal tuduh, ya? Kamu pikir aku buta?! Kalau dia cuma rekan kerja kamu, mana mungkin kamu sok kecentilan begitu di depan dia? Keterlaluan, ya, kamu! Padahal dua bulan ini aku sengaja diam karena berusaha percaya sama kamu! Aku nggak pengin pernikahan kita rusak cuma gara-gara perkara yang bukan-bukan, tapi kamu malah—"
"Stop! Pikiran kamu berlebihan tau nggak?! Di samping itu, kamu bilang apa tadi? Kamu nggak pengin pernikahan kita rusak? Omong kosong! Berhenti pojokin aku dan bersikap seakan-akan kamu yang lagi menderita di sini! Masalah kamu sebenarnya apa, sih? Kenapa juga baru sekarang kamu harus pura-pura peduli sama hubungan kita? Sadar nggak? Beberapa tahun ini kamu, tuh, nggak pernah ada buat aku! Sekali aja, apa kamu tahu kondisi aku bagaimana? Apa yang aku mau? Perasaan aku seperti apa? Aku ini istri kamu atau bukan, sih? Selalu kamu memperlakukan aku sesuka hati ka—"
Plak!
Mengamati lewat netranya langsung tamparan ayahnya mendarat tepat di pipi kanan sang bunda, ritme jantung anak laki-laki itu mendadak berdetak lebih cepat tak ayal jemarinya agak bergetar menahan rasa takut yang menggema. Langkah riangnya, seketika hilang keseimbangan memundurkan tubuh sampai akhirnya menyentuh permukaan tembok.
Dug
Bunyi benturan kecil tersebut menarik atensi ayahnya yang sontak mengalihkan pandangan—masih memasang ekspresinya begitu berangas. Momen perjumpaan keluarga yang tak sengaja tercipta pada siang hari itu, lantas disusupi keheningan yang per hitungan detiknya sukses mencekal masing-masing kedamaian.
Mengambil alih kesadaran, sang ayah kemudian bergerak hendak menutup pintu kamarnya rapat sedangkan anak laki-laki itu setia termenung memindai wajah bundanya yang tampak syok menangkup sebelah pipinya yang memerah. Selepas papan kayu tersebut sempurna terdorong kian memblokir penglihatannya, pula berisiknya pertengkaran mulai meredam tak lagi terdengar dari dalam sana, bocah itu pun berlalu menaiki anak tangga dengan pijakan seringan debu. Besar cadangan energinya menguap cepat berganti sunyi yang mencekam. Binar ceria yang sebelumnya terpampang jelas di muka, tentu sudah menghilang seutuhnya kini raut datar justru menghiasi kebingungannya.
Memasuki zona wilayah pribadi, bocah laki-laki itu pun melempar tasnya asal lalu duduk menyila di depan satu set perangkat video gim kesukaannya. Dampak peristiwa tadi, tak sanggup ia proses sebab apabila semakin dipikirkan, entah kenapa dadanya justru terasa sesak tercekik sesuatu yang tidak begitu ia mengerti dasarnya dari mana.
Mengalihkan sekelebat bayangan buruk yang menempel di kepala, bocah itu lantas menempatkan fokusnya pada televisi yang menampilkan simulasi duel petarung pemilik kekuatan super. Meski koordinasi badan, mata, dan jemarinya kini terlihat aktif mengikuti lajur permainan, lain lagi hati dan benaknya ternyata tak bisa lepas ingin meyakini, semoga keadaan rumahnya senantiasa baik-baik saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top