58. Impian

Entah sudah berapa kali keyakinan ia putar sejak lebih dari seminggu banyak lika-liku buruk terjadi di kehidupannya, Tama pikir, sekian hal baik memang akan selalu datang usai kesedihan mengisi lubang hatinya tak terkira. Setelah berbaikan dengan Alfa, Farhan, Zaki, dan si Kembar, kini Tama resmi bergabung dalam lingkar persahabatan tersebut semakin berdekatan.

Setiap hari dapat ikut bercengkerama di tengah kantin tanpa keberatan, berkumpul bebas meluangkan waktu bermain bersama di akhir pekan, serta dapat rutin belajar dan mendiskusikan permasalahan apa pun bersama mereka berlima, merupakan suatu anugerah baru yang tidak dapat Tama sangkal kebahagiaannya.

Di luar itu, pada satu malam ketika Tama ikut berkumpul di rumah Alfa, pada akhirnya Tama menceritakan beberapa hal tentang mengapa ia begitu kacau pada minggu-minggu sebelumnya. Bukannya dengan paksaan, melainkan dari hatinya yang paling dalam, Tama ingin mencoba memercayakan sebagian rahasia hidupnya terhadap kelima sahabat barunya tersebut.

Perihal alasan kenapa ia begitu tidak percaya diri setiap menghadapi masalah di bidang akademik, tentang sedikit buruk hubungannya dengan sang Ayah yang cukup mudah memicunya tak nyaman berada di rumah, juga ia yang baru saja tahu bahwa semangatnya untuk menyambung tali kasih sayang yang sempat terputus itu ternyata tidak sama dengan sang Bunda.

Kendati begitu, alih-alih serius membicarakannya, Tama membiarkan lagat humornya bekerja seolah ingin semua menganggapnya biasa-biasa saja. Selain daripada Angkasa dan Melvin yang hadir menemani kisah hidupnya secara langsung, Tama masih kaku untuk mendeskripsikan segenap perasaannya. Namun, perhatian yang diberikan oleh Alfa, Farhan, Zaki dan si Kembar usai mendengar ceritanya, justru tidak kalah besar memberikan perhatian yang ia butuhkan.

"Kok, bisa, sih, gua nggak tau soal beginian? Seberapa banyak hal buruk yang lo laluin sampai sekarang?"

"Tam, gua nggak tau lo punya kehidupan yang semacam itu. Maaf, gua malah marah-marah nggak jelas pas kemarin. Gua benar-benar teman yang buruk."

"Lo gila, ya, Tam? Masalah kayak begini nggak seharusnya lo simpan sendiri! Now that you have us, now and then actually, you should tell us immediately about anything that got into your mind. At least, we could help to make you feel accompanied and not to drown in your sadness."

"Iya, gua paham, kok. Lagian, ini bukan salah lo semua. Jangan bilang maaf terus. Ini semua soal gua yang perlu mengelola perkara yang gua hadapin jadi lebih baik lagi. Di luar itu, gua kira sedikitnya lo udah dengar tentang itu dari sidang kemarin? Bu Zahra nggak singgung apa-apa soal hubungan gua sama Ayah gua?"

"Bu Zahra? Beliau cuma jelasin perihal kesulitan belajar dan faktor lain yang mungkin berpengaruh pada sikap bandel lo aja, sih. Tapi, sebelum hasil sidang diputuskan, kita disuruh keluar duluan. Menimbang Bu Zahra bawa semacam dokumen tertentu, kayaknya Bu Zahra punya bahan diskusi lebih yang nggak boleh kita dengar. Kecuali Juan yang masih ada di situ."

"Oh, kalau dari Alfa?"

"Alfa?"

"Yoi, Alfa. Kemarin pas gua bertengkar sama dia, gua sempat keceplosan hal-hal yang gua sembunyikan."

Sejujurnya, adalah hal yang di luar perkiraan Tama menimbang Juan mungkin merupakan satu-satunya orang yang sedikit mengetahui konflik personalnya melalui sidang tersebut. Pasalnya, setelah ia berjumpa kembali dengan Juan usai di pertemuan terakhir itu, Juan tidak pernah menyinggung apa pun kecuali dari perubahan sikapnya yang perlahan mulai terbuka terhadap obrolan. Hal tersebut, entah kenapa utuh meyakinkan Tama bahwa meski Juan dan Alfa sama-sama gemar berterus-terang dan semangat sekali meledeknya sebagai pecundang, mereka berdua tetaplah pandai menjaga rahasia.

"I would never share someone's secret. It is yours to tell, not me."

Bicara soal Bu Zahra, Tama pula telah mendatangi kantornya untuk berterima kasih dan meluruskan hal-hal yang perlu diselesaikan. Pada dasarnya, telah cukup lama Tama tidak berdiskusi dengan Bu Zahra mengenai janjinya untuk memperbaiki diri sejak yang terakhir. Sehingga untuk memulainya, jujur Tama merasa canggung karena harus membicarakan kasusnya yang sangat menyusahkan. Meski begitu, walau pertemuannya bersama Bu Zahra selalu diselingi masalah yang kurang mengenakkan, Bu Zahra senantiasa menjadi guru sekaligus wali yang baik dengan mendukungnya sepenuh hati.

"Bu, Tama minta maaf kemarin Tama bolos masuk sekolah sama udah susahin Ibu buat bantu selesain masalah Tama."

"Oh, begitu? Lama-lama Ibu tungguin kamu samperin Ibu cuma itu aja yang mau dibicarain?"

"Hm? Apa lagi, ya? Sebentar Tama pikirin dulu. Mungkin ... Tama juga mau minta maaf karena Tama nggak berubah jadi lebih baik seperti yang Bu Zahra harapkan?"

"Bukan itu, Tama...."

"Terus apa, dong? Bu Zahra, sih, dari dulu sampai sekarang masih aja suka main teka-teki. Tama, 'kan, nggak paham. Apalagi, Ibu, perempuan. Katanya isi pikiran wanita itu yang paling susah dimengerti."

"Ish, mulut kamu itu masih aja kelewat pintar kalau balas omongan Ibu. Bukan, Ibu nggak pengin dengar sebab dan akibat permohonan maaf dari kamu. Ibu cuma gemas kenapa pas pembagian hasil ujian semester kemarin, kamu nggak datang ke Ibu buat bahas nilai kamu yang naik. Padahal, Ibu udah tunggu-tunggu kamu di kantor. Terus, tiba-tiba kamu kena masalah kayak begini, Ibu sedih karena sampai saat ini, Ibu ternyata belum bisa sepenuhnya memperhatikan sekaligus jadi wali yang baik buat kamu."

"Eh, Bu Zahra ngomong apa, sih? Bu Zahra itu baik banget sama Tama! Salah satu yang terbaik bahkan. Justru karena Bu Zahra nggak pernah jahat ke Tama, Tama jadi selalu merasa nggak enak buat datang ke Bu Zahra. Tama selalu bawa masalah. Perubahan Tama nggak sehebat itu, makanya Tama sering berpikir semua nggak penting dan buang-buang waktu Bu Zahra aja."

"Tama, Ibu mau kamu tau bahwa semua yang kamu lalui itu penting. Ibu, bahkan pengin dengar apa pun cerita kamu andai setiap kita duduk di sini, kamu mau sedikit percaya ke Ibu untuk bicara dengan serius dan nggak malas-malasan. Ibu, sejujurnya sangat menghargai kamu yang walau notabenenya kamu itu anak bandel, tapi kamu selalu menyadari setiap kesalahan yang kamu buat, termasuk mengakuinya seperti sekarang. Namun, satu hal yang perlu kamu sadari, nggak semua yang ada di diri kamu itu isinya keburukan, Tama.

Hingga detik ini, Ibu pun telah melihat kamu punya banyak potensi baik entah itu dari progres akademik dan sosial kamu, serta sebagian lainnya yang perlu terus kamu kembangkan. Lewat itu, Ibu mau sekali membantu kamu meraihnya. Sejak hari di mana kamu sepakat untuk berusaha mau berubah, dari awal Ibu pun nggak pernah menuntut kamu mengupayakan hal tersebut sendirian. Ibu paham menjalani kehidupan remaja itu menyulitkan, khususnya kamu yang memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Oleh karenanya, atas segala apa yang kamu butuhkan, kamu konsultasikan ke Ibu ya? Termasuk program konseling yang akan kamu jalani nantinya, apa yang menurut kamu kurang cocok dan sesuai, kasih tau Ibu. Supaya ke depannya, Ibu bisa bantu kamu tumbuh seluas dan senyaman mungkin."

Dari pertemuan itu, agaknya Tama merasa bersalah baru bisa membayangkan betapa melelahkannya bagi Bu Zahra mengutarakan hal yang sama berulang kali demi mendukung dan menguatkannya yang selalu tidak percaya diri. Dan penyelesaian konflik batin dari panggilan Bu Zahra yang sebelumnya sering Tama hindari tersebut, hanyalah sesederhana ia perlu bersikap terbuka untuk menerima bantuan Bu Zahra.

Menjadi remaja yang dicap nakal dan tertutup atas masalah pribadinya merupakan pengalaman yang sangat panjang untuk Tama. Kendati demikian, ketika ditelusuri kembali, mungkin semua lika-liku pahit itu memang perlu hingga akhirnya, Tama benar-benar memahami mengapa ia butuh bangkit dari keterpurukannya seperti sekarang.

Lalu, menelusuri bagian terakhir atas seseorang yang Tama rugikan atas kasusnya kemarin, Tama pula sudah menemui Pak Sukidin dengan suasana yang sama jahilnya. Tama, bahkan harus pura-pura membantu Pak Sukidin menyapu dedaunan kering di halaman belakang.

"Pak Kidin. Tama, kok, dianggurin begini, sih, Pak? Pak Kidin marah, ya, sama Tama?"

"Aduh ... kamu itu ada apa lagi, sih? Kalau mau bantu Bapak sapu halaman, ya, fokus aja buangin daun-daunan keringnya. Jangan panggil-panggil Bapak terus!"

"Tuh, 'kan, Pak Kidin jadi galak sekarang. Pak Kidin serius marah sama Tama, ya?"

"Bapak nggak marah, Tama. Bapak cuma kesal karena berapa kali lagi, sih, Bapak harus bilang supaya kamu bisa berhenti tanyain itu ke Bapak?"

"Ya, 'kan, Tama cuma mau pastiin aja. Soalnya Pak Kidin kayak yang kecewa begitu sama Tama. Dan ... gara-gara Tama, Bapak jadi dirugikan."

"Tama, dengar Bapak. Bapak nggak rugi apa-apa karena kamu. Bapak juga dulu pernah nakal dan punya masalah yang nggak mungkin bisa bapak jelasin ke pihak sekolah. Alasan Bapak bisa dekat sama kamu, mungkin karena Bapak melihat diri Bapak yang dulu dalam diri kamu. Memang, keputusan Bapak kasih kunci rooftop ke kamu itu kurang bijaksana di mata kebijakan sekolah. Tapi, dari awal semua sudah jadi tanggung jawab Bapak untuk terima konsekuensinya. Kamu harus tau kalau Bapak nggak sekali pun menyesal bisa bantu kamu cari ketenangan yang hilang itu. Walau di akhir kita sama-sama kena teguran, Bapak harap semua cukup buat kamu bisa kembali fokus menjalani kehidupan sekolah kamu."

"Pak Kidin, Tama terharu, loh. Bilang makasih dan maaf aja nggak cukup, 'kan? Begini aja, gimana kalau sebagai gantinya Tama bantu makcomblangin Pak Kidin sama Teh Nita? Percaya, deh, urusan begini-begini Tama jagonya!"

"Halah, udah sana kamu lanjut belajar aja! Yang ada nanti malah Teh Nita jadi ilfeel sama Bapak."

"Yee, Pak Kidin nggak percaya amat sama Tama. Tama, tuh, pernah jadi salah satu most wanted di sekolah Tama yang lama tau."

"Haha, kamu ini ada-ada aja. Ya, kalau dilihat-lihat sekarang kamu bisa dekat banget sama Luna, Bapak percaya, deh."

Sedikitnya, Tama sekarang sudah bisa mengatakan, hampir semua konflik yang menderanya, telah menemukan penyelesaian yang ia inginkan. Sehubungan dengan apa yang diucapkan oleh Pak Sukidin, beberapa waktu belakangan ini, Tama memang menjadi lebih dekat dengan Luna. Selain itu, bahkan akan selalu ada waktu di mana Tama menghabiskan harinya di sekolah atau menjalani akhir pekan hanya bersama Luna.

Seluruh kejadian ini, entah kenapa membuat baik dirinya dan Luna tidak lagi membutuhkan rooftop sebagai lokasi persembunyian utama mereka. Mau itu perpustakaan, taman sekolah, kantin, ataupun tempat menarik lainnya di luar sana, semua menjadi area yang aman untuk berbicara setelah mereka berhasil mempersepsikan kejadian buruk yang mereka alami di masing-masing rumah, adalah bagian yang perlu diterima secara terbuka. Semua tidak lagi harus terfokus pada rasa sakit. Banyak kalanya, Tama dan Luna menempatkan perhatian pada hal-hal yang bersifat menyenangkan selayaknya mereka akhirnya sedang menghidupkan masa remaja mereka.

Jadi, apa yang kini tersisa di pikiran Tama tinggal berkisar di antara retak hubungannya dengan sang Ayah dan juga mengenai sobatnya, Melvin.

Penerima: Angkasa

"Sa, lo masih di sini, 'kan? Tungguin gua, ya?"

10.05 A.M.

Pengirim: Angkasa

"Iya, gua tunggu di depan sampai urusan lo selesai."

10.06 A.M.

Penerima: Angkasa

"Thanks, Sa. Gua nggak lama, kok."

10.06 A.M.

Pengirim: Angkasa

"Nggak masalah. Ambil waktu sebanyak yang lo butuhkan."

10.07 A.M.

Hingga kini, Tama masih menginap di rumah Angkasa. Belum sekali pun sejak seminggu berlalu, Tama pernah pulang ke rumah untuk bertemu sang Ayah. Alasannya, mungkin masih banyak luka yang butuh Tama proses hingga nanti ia dapat menemui Ayah kembali. Di luar itu, mengenai panggilan yang tak terjawab di saat dirinya pergi menemui Bunda, agaknya sudah jelas sekarang bahwa Ayah memang sedang mengkhawatirkannya. Sebab, beberapa hari yang lalu, Ayah mengirimkan pesan terkait di mana keberadaan Tama setelah untuk yang kesekian kalinya, Tama tidak mengangkat telepon Ayah.

Sampai akhirnya, Lita datang untuk menjenguk keberadaan Tama usai Tama memberitahukan lewat pesan kepada Ayah bahwa ia sedang menetap di rumah Angkasa dalam keadaan baik-baik saja. Lita bilang, Ayah benar-benar mengharapkannya pulang walau kalimat itu sukar sekali Tama bayangkan dapat keluar dari mulut Ayah secara langsung. 

"Tama, sekarang kamu tau, 'kan? Apa yang Bunda kamu lakukan ke Ayah kamu? Bukan tanpa sebab, Ayah kamu melarang kamu untuk cari informasi tentang dia. Ayah kamu cuma pengin lindungin kamu dari fakta bahwa dia meninggalkan kalian berdua demi laki-laki lain. 

Walau hal ini sebenarnya nggak pantas untuk keluar dari mulut saya atau berhak bagi saya mencampuri urusan kalian, saya cuma pengin bilang kalau Ayah kamu sebetulnya sayang sama kamu. Mungkin, ada banyak hal yang salah dari cara dia merawat kamu. Meski begitu, saya harap hubungan kalian nggak berakhir seperti ini. Karena sejak kamu pergi dari rumah, Ayah kamu jadi lebih pendiam dan banyak murungnya. Dia mau kamu pulang, Tama."

Hari itu, Tama merasa bersyukur Ayah kini telah memilih wanita yang tepat. Lita itu memang seorang istri dan ibu yang baik bagi Ayah dan Putri. Kendati demikian, terhadap perkara apa yang Lita sampaikan, Tama tidak ingin memperkeruh suasana sebab egonya yang masih melambung tinggi. Tama tentu ingin percaya bahwa ada sebersit kepedulian yang Ayah miliki terhadapnya. Namun, masih diliputi dengan luka yang sama, Tama meminta pengertian kepada Lita tentang ia yang membutuhkan waktu sebelum kembali bertemu Ayah. Harapannya, tidak hanya dari Lita saja, Ayah juga sanggup memahami keputusannya itu.

Penerima: Angkasa

"Sa, balik nanti kita makan mie ayam mau nggak?"

10.07 A.M.

Pengirim: Angkasa

"Cari yang sekalian ada baksonya juga."

10.07 A.M.

Penerima: Angkasa

"Oke, mie ayam dan bakso buat Tama dan Angkasa."

10.08 A.M.

Jika dipikir-pikir, mungkin nantinya semua masalah tentang ia dan Ayah akan jadi lebih damai untuk dibahas setelah ia menyelesaikan retak hubungannya dengan Melvin. Badai apa yang menerjang di kehidupannya, kedua mata Tama tidak pernah terbuka selebar ini bahwasanya perjalanan Melvin juga menjelma irisan dari arti sebuah kesengsaraan.

Tepat beberapa hari yang lalu, Tama menangguhkan diri untuk berkunjung ke rumah Melvin. Menemukan laki-laki itu pada dasarnya sulit memang, tetapi ada banyak pembicaraan yang  masih ingin Tama sambung mengenai hal yang terjadi sebelumnya. Alih-alih rumah Melvin tampak gelap seperti biasa, bangunan itu justru terlihat lebih berantakan seolah baru saja ditinggalkan secara paksa.

Tama, tentu bingung karena sudah cukup lama, ia tidak lagi menyambung kabar dengan Melvin. Sampai akhirnya, seorang warga sekitar datang menemuinya untuk memberi informasi bahwa seminggu yang lalu, Melvin ditangkap oleh sekelompok polisi tanpa memberikan perlawanan. Benang yang mengakarinya adalah, sekelompotan bandar narkoba baru saja diringkus sehingga penemuan tersebut turut serta membawa mereka kepada Melvin. Tak jauh dari lokasi balai kota, Melvin berakhir di tahan pada pusat penjara remaja.

"Lo ... kenapa datang ke sini?"

Mendengar suara itu, hati Tama seketika terkalut sendu saat ia menangkap Melvin mengenakan baju berwarna oranye. Seluruh apa yang pernah terbilang menyakitkan dari sudut hatinya karena Melvin, segalanya pun padam ditelan banyak kesadaran.

"Waktu gua nggak banyak. Jadi, keluarin semua sisa amarah lo yang kemarin belum sempat lo sampaikan ke gua."

Kendati maksud kalimat itu dilontarkan dengan sangat dingin, Tama yang sudah kenal lama mengenai Melvin tentu sangat memahami aksen raut sobatnya yang teralihkan secara bertolak belakang itu. Tidak sekali pun di hadapannya, Melvin pernah menyurutkan sikap dewasa dan keceriaannya bagi Tama. Mungkin, untuk Melvin sendiri, menemui Tama lewat konsisi yang seperti ini masih sama beratnya seperti malam itu. Sehingga, sepenuhnya Tama mengerti mengapa sekarang Melvin mengambil peran yang tergambar begitu jelas dalam cerminan masa lalunya.

"Lo benar. Gua masih marah makanya gua datang ke sini sekarang."

Seketika, helaan napas yang begitu pelan terdengar dari cara Melvin merespons ucapan Tama. Gestur yang terlihat tidak nyaman itu, semakin jelas menggambarkan bahwa dibandingkan menyuar ketidakpedulian, Melvin sebetulnya berupaya menyembunyikan rasa bersalah yang begitu besar.

"Gua marah karena malam itu, gua bersikap terlalu egois untuk mengeluarkan semua amarah dan kekecewaaan gua, padahal di waktu yang bersamaan, gua harusnya bisa memahami bahwa lo juga lagi berusaha ceritain hal terkelam dalam hidup lo yang belum pernah gua dengar sebelumnya."

Namun, menyadari adanya perubahan warna dalam seratnya kalimat Tama, netra Melvin pun bergerak untuk dapat lebih berani melihat sosok Tama di hadapannya.

"Vin, kenapa sekadar menjalani hidup aja, rasanya susah banget, ya?" ujar Tama meloloskan napas berat, menekuri kedua tangannya yang tergenggam lemas di masing-masing bagian lututnya. "Belakangan ini, gua banyak berpikir. Tentang apa pun yang terjadi sejak gua masih kecil sampai sekarang. Kenapa gua dibenci, kenapa gua nggak suka sama diri gua sendiri, kenapa gua menjauh dari orang-orang yang sebenarnya di dalam hati gua, gua mau mereka selalu ada di dekat gua."

Seperti biasa, serunyam apa pun sesungguhnya konflik batin antara Melvin dan Tama yang sedang rusak di masa yang sekarang, alur interaksi mereka tidak sama sekali pernah berubah daripada Tama yang banyak mengeluarkan isi pikirannya, juga Melvin yang mengambil peran sebagai pendengar terbaiknya.

"Termasuk kenapa gua harus membenci lo di saat lo mengalami hal yang jauh lebih memberatkan dari apa yang sering gua keluhkan ke lo."

Seutuhnya, kini dua laki-laki yang tengah meregang status persahabatannya itu saling beradu tatap dengan kilas ronanya masing-masing. Entah apa yang ada di benak Melvin, Tama hanya ingin mengulang percakapannya dengan tanggapan yang lebih baik sekarang.

"Di ujung perenungan gua, gua banyak berpikir tentang bagaimana semua begitu nggak adil buat lo, Vin. Seperti yang pernah lo bilang, gua jadi paham kenapa gua harus bersyukur terhadap apa yang masih Ayah gua berikan, terlepas dari seburuk apa hubungan gua dengan dia.

Buat sekadar bayar biaya sekolah dan makan sehari-hari aja, lo harus kerja serabutan dengan jerih payah lo sendiri. Gua nggak akan pernah kebayang bagaimana gua bisa tinggal bareng orang tua yang nggak mau bertanggung jawab mengurus hal yang paling kecil. Sampai akhirnya lo ditinggal pergi dan dijual atas hutang-hutang yang mereka punya untuk melakukan satu pekerjaan kotor di tengah duka atas meninggalnya sosok nenek yang paling lo sayang, gua minta maaf karena gagal memahaminya di saat pertama kali lo coba sampaikan itu ke gua, Vin."

"Lo lagi bicarain omong kosong apa, sih, sebenarnya?" Melvin berujar penuh kebingungan.

"Bukan omong kosong." Tama menggeleng dengan tegas. Netranya memancarkan keseriusan yang berbalut sebuah kesedihan yang mendalam. "Ini adalah cerita hidup lo yang penting buat gua pahamin, Vin."

Sempat terdiam sejenak termakan buaian syarat perhatian Tama, Melvin mengerutkan alisnya dalam karena semua kedatangan ini begitu tiba-tiba dan sulit untuk ia mengerti. "Gua kira pertengkaran kita kemarin udah membuat lo cukup paham tentang apa yang perlu lo urus dan buang di kehidupan lo. Lo ke sini nggak cuma buat tunjukkin gua kalau lo adalah orang paling bodoh yang pernah gua temukan, 'kan?"

"Vin." Jujur, sedikit ucapan yang dikeluarkan Melvin begitu kasar menyayat ke lubuk hati Tama. Rasanya, Tama seperti mengulang hari yang sama di mana ia berusaha menjauhi Angkasa. Kebencian yang terasa samar, tetapi juga tersuar teramat besar, Tama tentu memahami betapa amarah terhadap diri sendiri dapat menjadi bahan bakar yang merusak inti persabatan. "Gua akan benar jadi orang paling bodoh yang pernah lo temukan kalau gua membuang salah satu sobat terbaik yang gua punya dari kehidupan gua."

Namun, bersama kebesaran hati Angkasa, Tama belajar untuk melihat segalanya dengan lebih luas dalam menilai apa yang dimaksud tentang kebaikan atau keburukan. Entah seberapa besar Tama pernah meyakinkan diri bahwa ia merupakan wabah yang membahayakan bagi hidup seorang Angkasa, Angkasa tidak sekali pun pernah menyerah atas persahabatan yang diputus secara sepihak.

Begitu pula, di saat Tama pernah secara nyata merugikan Angkasa perihal kasus narkoba yang ditangguhkan tersebut, Angkasa rela menanggung sebuah luka karena ia mengerti dengan baik bahwa Tama yang ia kenal, bukanlah pribadi yang semacam itu.

"Hari ini, gua datang dengan kesadaran penuh bahwa lo merupakan orang yang mau gua pertahanin di kehidupan gua, Vin."

Apa pun yang dialami Melvin, serta kondisi pada malam itu yang menyebabkan Melvin tidak dapat bergerak sesaat ia tahu sang bandar menaruh bubuk heroin pada tasnya, Tama memahami bahwa reaksi itu muncul atas ketidakberdayaan Melvin menghadapi segala petaka besar yang tak sebanding dalam hidupnya. Jika bukan karena hal tersebut, Melvin tidak mungkin melakukan sesuatu yang berakibat buruk pada dirinya.

"Gua biarin si brengsek itu taruh bubuk narkoba di tas lo, Nyet," ucap Melvin getir, mulai meracaukan kesalahannya.

"Gua tau," balas Tama dengan tenang. Kekecewaaan yang sempat tertanam sewaktu mengetahui kenyataan tersebut, agaknya telah memudar melalui satu kesimpulan. "Kalau saat itu lo punya sisa tenaga buat hadapin situasi yang memaksa lo jadi orang jahat, gua yakin lo bakal kasih tau gua."

"Bukan situasi yang memaksa gua jadi jahat, Nyet. Semua memang udah ada di dalam diri gua," ujar Melvin meningkatkan hawa dingin yang tersebar di sekitaran. "Lo paham? Gua adalah seseorang yang nggak seharusnya lo dekatin. Buktinya, setelah kejadian itu pun, dengan nggak tau dirinya gua tetap diam dan pura-pura jadi sobat baik lo. Entah di depan gua bisa menghancurkan apa lagi dengan kemunafikan gua."

"Vin, seceroboh apa gua juga pernah berpikiran pendek mengenai lo, gua rasa lo juga perlu paham kalau itu bukan tanda kemunafikan atau kepura-puraan melainkan jati diri lo yang sebenarnya." Demikian melalui pembukaan kalimat tersebut, Tama tidak menyerah ingin mengikis tembok tebal yang sedari tadi berusaha Melvin bangun sejak menyambut kedatangannya. "Dari awal gua kenal sama lo, lo memang selalu menjadi sosok yang seperti itu, Vin. Sobat yang asik, sobat yang pengertian, sobat yang selalu bisa gua andalkan, sobat yang benar-benar peduli akan buruk dan baik keadaan gua."

Entah seberapa besar kata yang dikeluarkannya itu berdampak menyentuh pintu hati Melvin, tidak sekali pun pula Tama melepas tatapannya pada kesenduan yang tertangkap di ceruk mata Melvin.

"Gua tau semuanya memang membingungkan. Mungkin, lo begini karena lo kewalahan dengan rasa bersalah lo terhadap gua. Andai lo benar-benar nggak punya hati, seharusnya dari pertama kita ketemu lo udah tinggalin gua di taman itu, Vin. Atau di saat waktu itu pihak sekolah lebih cepat berhasil temuin narkoba itu dari tangan gua, lo pasti nggak akan menyerah buat manfaatin dan jerumusin gua. Tapi, lo malah melakukan yang sebaliknya."

Kembali, kerutan kasar teraba jelas menggaris tepat di kening Melvin. Laki-laki itu kemudian balik mengalihkan pandangannya untuk menampik apa yang Tama katakan. Semburat emosi yang kacau tampak jelas menapaki wajahnya. Dalam hati, Melvin sungguh kalut ingin meraih uluran tangan Tama.

"Vin, justru rasa bersalah lo yang membuktikan isi hati lo yang sebenarnya. Kalau lo melihat gua sebagai objek semata dan bukan sobat lo, lo pasti udah jadi orang yang sama kayak si bandar br*ng*ek itu. Semua kebaikan yang lo kasih ke gua, itu bukan kemunafikan, tapi semata-mata karena lo nggak pernah pengin lihat gua sedih dan menderita."

Dengan penuh kesadaran, kilas kejadian yang membuat Melvin menjadi begitu spesial bagi Tama mulai terbayang di benaknya. Segala kalimat penenang yang pernah Melvin ucapkan, canda tawa yang Melvin buraikan untuk menghapus jejak kesedihan Tama, hingga petuah pengubah hidup yang Melvin sampaikan di saat ia sendiri sedang berada di kondisi yang paling kesusahan, Tama percaya Melvin selalu mendoakan hal-hal yang terbaik untuk dirinya.

"Terlepas dari ketidakberdayaan lo di malam itu, gua pikir semua nggak merubah fakta bawah lo adalah penyelamat gua, Vin. Karena rasa bersalah itu juga, gua jadi paham kenapa kemarin lo sering banget minta gua buat berhenti main sama lo dan coba cari teman lain yang lo sebut lebih berkualitas. Lo cuma mau pastiin gua bakal hidup baik-baik aja ke depannya, 'kan?"

Apa yang Tama lakukan pada Angkasa, apa yang membuat Tama kesal dari sikap Melvin yang sering kali menolak ajakannya untuk bertemu, entah kenapa ketika ditelusuri secara mendalam, dunia seolah pandai sekali merakit beberapa kejadian berbeda menjadi satu makna yang berkesinambungan secara keseluruhan. Di akhir dari pencerahan itu, Tama menemukan sebuah arti tentang siapa yang sebenarnya paling membutuhkan pertolongan.

Tama, tentu ingat Melvin pernah mengatakan bahwa tidak salah menerima bantuan orang lain. Akan tetapi, dari seluruh orang yang Tama kenal, Melvin merupakan salah satu sahabat dekatnya yang paling jarang meminta sesuatu di saat ia kesulitan. Mungkin, beberapa orang dapat mengeluarkan kalimat bijak bukan karena dia sudah menerapkan hal tersebut di kehidupannya. Sebaliknya, itu merupakan bentuk jeritan terdalam dari apa yang ia inginkan di dalam hatinya. Jadi, ketika Melvin bisa mengeluarkan kalimat sebersih itu, Tama pikir Melvin merupakan seseorang yang paling sulit melakukannya sendiri.

"Lo salah, Nyet." Sayangnya, Melvin masih sulit menerima apa yang Tama utarakan. Laki-laki itu tampak menggeleng dengan penuh penyesalan. "Gua memang memanfaatkan lo. Uang yang lo kasih kemarin, dengan nggak tau dirinya gua ambil semua buat bantu lunasin utang gua."

Sempat mendengus kecil, Tama menampilkan senyuman tipis kepada Melvin. Ia berucap, "Itu memang hadiah ulang tahun dari gua buat lo, Vin. Gua justru senang uang yang nggak seberapa itu bisa bantu lo lepas dari neraka yang orang tua lo bikin."

"Hidup lo bisa aja hancur karena gua, Nyet." Sembari menundukkan kepalanya, Melvin menggigit bibir bagian bawahnya.

"Bukan lo, Vin, tapi orang jahat yang ada di sekeliling lo." Tama membalas berusaha menenangkan. "Lo cuma kebetulan aja ada di situ. Dan buktinya, sekarang gua nggak apa-apa. Semua jadi nggak masalah 'kan, Vin?"

"Terus gimana dengan orang lain yang beli narkoba ke gua?" Kini, sarat kemarahan yang kental turut bercampur di tengah besarnya penyesalan Melvin. "Walau itu bukan lo, gua tetap menciptakan neraka buat mereka, 'kan?"

Jujur, Tama cukup terperanjat menerima lontaran topik yang begitu berat dari Melvin. Walau masih beririsan, Melvin tiba-tiba membawa konteks yang berada di luar tanggungannya terhadap Tama.

"Apa di antara mereka ada anak-anak baru yang lo giring buat pakai narkoba, Vin?" tanya Tama, menelan keraguannya.

"Semua klien yang terhubung dengan gua, memang udah jadi pemakai dari dulu. Walau hal ini juga mempersempit jangkauan penjualan gua, gua juga nggak layanin permintaan obat mematikan semacam heroin yang pernah si brengsek itu kasih ke lo." Jawaban tersebut, seketika membuat Tama menghela napas lega. Namun demikian, tidak dengan Melvin. "Tapi, mau itu orang baru atau lama, lo tetap nggak bisa bilang kalau gua nggak bersalah karena telah melakukan pekerjaan kotor itu, Nyet."

"Gua tau. Apa yang gua bilang sebelumnya, gua cuma mau meluruskan kalau lo nggak ada salah sama gua, Vin," ujar Tama berusaha memahami sudut pandang Melvin. Lalu, dengan lebih tegas kini Tama berani menegakkan kerangka tubuhnya. "Jadi, atas apa yang lo katakan barusan, gua memang nggak punya hak buat menyangkal itu. Urusan lo ke gua, dan apa yang menjadi tanggungan lo ke mereka, itu perkara yang beda lagi. Tapi, kalau gua boleh menyampaikan satu hal, gua berterima kasih karena di tengah situasi lo yang kacau parah itu, lo masih pakai hati nurani lo untuk nggak menjerumuskan anak-anak polos ke jalan yang sesat, Vin."

Sekali lagi, Tama jadi teringat akan percakapan yang sering ia bahas dengan Melvin tentang ia yang tidak mau jadi pengaruh buruk bagi orang lain. Walau sewaktu-waktu Melvin suka menjahilinya dengan pola pikir yang bertolak belakang, Tama selalu tahu bahwa Melvin juga memiliki prinsip yang serupa. Siapa pun yang masih menjaga hatinya bersih, pasti memaknai perihal mendalami sebuah luka membuat seseorang tidak ingin yang lain terbagi penderitaan yang sama.

"Jika memang ada sisa kesalahan yang lo tanggung selama jalanin pekerjaan kotor itu, pada akhirnya semua kesalahan itu sekarang sedang lo bayar juga, 'kan? Lo yang nggak pernah minta, tapi terpaksa lewatin belasan tahun untuk mengalami hal buruk kayak begini, terus lo juga yang harus tebus dosa-dosa yang nggak pernah mau lo mulai dengan menerima hukuman di penjara ini, gua nggak pernah ragu kalau lo tetaplah sobat yang gua kenal, Vin."

Dengan itu, melalui sedikit tambahan kecil yang Tama sematkan dalam sekian ucapannya, setitik air yang begitu jernih pun mulai tampak membasahi pelupuk mata Melvin.

"Nyet, apa pun itu, luka dan kesalahan ini akan terus gua bawa di sepanjang kehidupan gua. Tapi, berhubung Nenek gua udah pergi, setidaknya gua mau satu orang yang dekat bagi gua tau, kalau gua nggak suka jadi orang jahat." Beriringan dengan suara dan napasnya yang memberat, setitik air mata itu pun jatuh membasahi pipi kiri Melvin. Ia melanjutkan, "Gua capek harus selalu berjuang dengan keras hanya untuk tetap jadi sosok Melvin yang buruk. Gua mau hidup dengan pilihan gua sendiri, Nyet. Gua pengin tumbuh sebagai Melvin yang selalu disebut sebagai cucu paling baik dan periang sama nenek gua, bukan Melvin yang mewarisi setiap jejak kesalahan orang tuanya."

Sekian tahun lamanya, dari sejumlah ratusan pertemuan yang ia lalui bersama Melvin, sebongkah perasaan kecewa tumbuh semakin besar mengetuk dinding hati Tama. Untuk pertama kalinya di hari ini, Tama melihat sosok Melvin yang selalu tegar dan menjadi penguat dalam setiap kegundahannya, menangis di hadapannya.

"Gua nggak kuat menghadapi semua ini sendirian, Nyet. Gua takut semakin lama gua begini, gua akan jadi sama buruknya seperti kedua orang tua gua."

Ternyata, tuduhan tentang siapa yang menjadi sobat terburuk adalah sebuah penghakiman dari Tama untuk dirinya sendiri.

"Vin, percaya sama gua. Di masa depan nanti, lo nggak akan pernah tumbuh jadi kayak kedua orang tua lo. Semua hal buruk yang lo khawatirin, itu nggak ada yang benar, Vin. Lo cuma perlu percaya apa yang nenek lo bilang tentang lo, dan gua yang sampai kapan pun akan menemani di setiap perjalanan hidup lo."

Besar, tanggungan yang Tama keluarkan dari ucapannya itu bukanlah hal yang mudah untuk dijalankan. Meski begitu, Tama tahu betul komitmen apa yang ingin ia berikan terhadap sobat seperti Melvin.

"Nyet, gimana kalau pola pikir lo yang kayak begini membawa lo ke kesalahan yang sama?"

Jadi, seberapa sering pun Melvin mengulang pertanyaan yang sama kepada dirinya, Tama juga akan selalu memberi jawaban yang serupa.

"Dari awal gua kenal sama lo, bahkan saat malam itu kita pertama kalinya bertengkar hebat, lo nggak sekali pun pernah menyakiti gua, Vin." Perlahan, Tama mengulurkan lengannya ingin merangkul kerapuhan Melvin. Namun, selapis kaca yang menjadi penghalang di antara mereka berdua, hanya mengizinkan telapak tangan Tama untuk menempel di sana. "Mungkin, lo lebih tau ini daripada gua, tapi dunia terkadang memilih beberapa orang untuk mengalami hal-hal yang kelewat buruk untuk tumbuh melalui cara paling mengerikan, dan cuma mereka yang berhati besar aja yang bisa melalui ujiannya. Seluar biasa apa orang itu akan menjadi, di mata gua, lo adalah salah satunya, Vin."

Seberapa konyol kalimat itu terdengar di telinga Melvin, pada akhirnya sebuah pemaknaan manis yang jarang muncul dari mulut Tama pun membuat sesak di dada Melvin turut membuncah mengeluarkan sedikit kekehan kecil. Sebetulnya lagi, Melvin tidak mengetahui apa yang Tama lalui setelah malam itu mereka bertengkar besar-besaran. Cerita tentang pengkhianatan yang terungkap, kekacauan di rumah, serta masalah yang Tama miliki di sekolah, entah kenapa tiba-tiba hari ini Tama datang sebagai pribadi yang tengah mekar secara berbeda.

Meski berat, sejujurnya Melvin sudah siap mengasingkan diri setelah puncaknya Melvin pikir ia sudah menghancurkan alasan Tama untuk kembali menemuinya. Namun, walau dipenuhi dengan kegusaran, Melvin tidak pernah jadi lebih sentimentil mendapati sobatnya yang paling dekat menemani selain Nenek, datang ingin memahami gelap dunianya.

"Nyet, setelah gua melalui hukuman ini, gua nggak telat untuk memikirkan masa depan gua, 'kan?"

Mendapati percakapan ini mulai bergerak ke arah yang lebih optimis, Tama mengulas senyumnya untuk menanggapi keraguan Melvin. "Nggak sama sekali, Vin," kata Tama lalu mengerutkan kening. Jika dipikir kembali, Tama tidak pernah bertanya tentang apa mimpi Melvin yang sebenarnya sejak mereka berkenalan. "Kasih tau gua, rencana apa yang lo punya di kepala lo?"

Sempat terdiam sejenak, Melvin turut melukis senyum tipis sehingga kini garis itu menjelma warna yang paling cerah di wajahnya yang terlihat begitu lelah. "Gua mau punya warung pecel ayam milik gua sendiri, Nyet."

"Warung pecel ayam?" Tama terbelalak. Jawaban itu, agaknya tidak Tama sangka akan keluar secara sangat sederhana.

"Iya, warung pecel ayam." Melvin mengangguk dengan penuh keyakinan. "Selain dari rasanya yang memang enak banget, alasan pertama gua suka pecel Mbok Lasmi, sebenarnya bukan karena itu." Disertai dengan binar matanya yang menyala, Melvin lagi-lagi menampilkan sebuah cerita yang belum pernah Tama dengar. "Dulu, waktu Nenek masih hidup, Nenek paling suka bawa gua jajan ke sana buat lindungin gua ketika Bokap sama Nyokap mulai ribut nggak jelas di rumah. Buat kebanyakan orang, mungkin itu memang tempat yang murah untuk bulak-balik dikunjungin. Tapi, dengan keadaan uang Nenek yang nggak seberapa, bagi gua setiap momen itu jadi spesial."

Kecuali mendengarkannya dengan penuh empati, Tama tidak memberi reaksi apa pun karena kisah yang Melvin tawarkan terasa hangat dan juga memilukan untuk Tama terima.

"Seburuk apa suasana hati gua, Nenek selalu bisa hibur gua dan bikin gua lupa tentang kehidupan apa yang gua punya pada saat itu. Dari satu malam ke minggu dan bulan berikutnya, sampai nggak kerasa banyak cerita gua bentuk berdua bareng Nenek di tahun-tahun selanjutnya, tempat itu entah kenapa jadi simbol kalau gua bakal selalu merasa aman ketika gua membawa orang yang paling dekat dengan gua buat makan di situ, Nyet.

Tapi, setelah kemarin hutang gua lunas, dan besoknya pas banget polisi kurung gua di balik jeruji ini, gua akhirnya bisa tenang memproses duka yang gua terima kalau Nenek memang udah nggak ada lagi di sisi gua. Mungkin, setelah gua keluar nanti, dunia udah nggak sama seperti apa yang gua kenal dulu. Walau begitu, gua nggak mau kenangan gua bersama Nenek ikut hilang ditelan waktu. Warung pecel yang gua impikan nanti, gua pengin selain karena rasanya enak, itu jadi tempat yang nyaman untuk orang-orang bisa kumpul bareng keluarga yang mereka sayang. Bagaimana pun jadinya, gua nggak berharap terlalu besar, 'kan, buat bikin warung makan seolah rumah singgah di pinggir jalan?"

Seraya menggeleng singkat, Tama tak mengantisipasi sepucuk kecil impian Melvin dapat membuat pelupuk matanya terasa basah di sekitaran. "Nggak sama sekali, Vin. Gua, bahkan bisa bayangin betapa ramai dan hangatnya warung pecel itu kalau yang jual adalah lo."

Di waktu sebelumnya–selain dari kepribadian Melvin yang sering kali terlihat meriah, Tama tidak pernah tahu bahwa Melvin menyimpan sebuah kenangan besar yang membuatnya selalu bersemangat setiap kali mengajak Tama ke warung pecel Mbok Lasmi. Melvin itu, pada dasarnya memang berisik dan suka melibatkan diri. Kenapa akhirnya Melvin senang membantu Mbok Lasmi mengantar makanan ketika antrean begitu penuh, ternyata karena Melvin ingin semua merasa nyaman sebagaimana ia merindukan momen tersebut bersama Neneknya.

Lalu, satu hal penting yang paling membuat Tama terharu adalah, Melvin membawa dirinya sebagai sobat terpilih yang dapat menciptakan rasa aman di tengah huru-hara kehidupan yang baru sekarang Melvin penuhkan ceritanya. Tempat itu, bukan sekadar warung makan pinggiran yang terkenal murah dan enak. Namun, setiap jengkalnya menyimpan kenangan dan impian seorang Melvin yang sedari kecil tidak pernah tahu cara menata kakinya sendiri dengan sempurna.

"Nyet, maafin gua, ya, udah mengecewakan lo sebagai sobat dan berakhir di tempat ini," ujar Melvin mengangkat sebelah lengannya ke hadapan kaca. Senyum tipisnya masih terulas dengan lapang. Andai penghalang itu tidak ada di depan, permukaan tangan Melvin mungkin bisa menyentuh jemari Tama sekarang. "Dan makasih karena nggak membenci gua. Kalau lo belum capek sama gua, tunggu gua sampai gua keluar nanti, ya? Mungkin, bayangan di mana gua harus merayakan hidup gua sendirian nggak bakal jadi begitu mengerikan kalau gua bisa melihat lo di sana."

Demikian, dengan satu tetes air mata yang jatuh mengikuti Melvin, Tama pun mengeratkan tangannya seolah menangkap genggaman Melvin di depan sana. Sembari mengukir senyuman paling lebar yang bisa diberikan, ia berkata, "Lo nggak mungkin sendirian di saat nanti untuk pertama kalinya lo merayakan kebebasan dalam hidup lo, Vin. Lo yang baik di dalam sana, ya? Biar masa tahanan lo bisa dikurangin. Di sepanjang itu, gua bakal sering kunjungin lo sampai lo keluar nanti. Setelahnya, kita bisa sama-sama buat cerita baru di luar sana."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top