55. Rumah

Perlahan-lahan, semburat terang yang menyinari gelap pandangan mulai mengusik ketenangan Tama. Dengan lemahnya, ia menggerakkan sebelah tangan untuk mengusap permukaan wajah. Tarikan napas berat terdengar sebagaimana volume dadanya terangkat. Tama menggeram serak sedangkan kedua lengannya sibuk ia regangkan demi menarik persendiannya yang terasa pegal.

Agaknya, dalam detik tersebut Tama baru menyadari betapa nyenyak ia melelapkan kantuknya semalam. Tidurnya tidak pernah sedamai ini dalam beberapa hari ke belakang. Tubuh dan pikirannya terasa sangat segar seolah ia baru saja diizinkan untuk beristirahat dalam suasana yang paling aman.

"Ini jam berapa?"

Beriringan dengan itu pula, tentu Tama menimang-nimang telah seberapa lama ia menukar banyak waktu hanya untuk memejamkan mata. Namun, ketika netranya mulai beradaptasi dengan intensitas cahaya saat memindai ruangan sekitar, alis Tama mengerut dalam sebab ruangan yang dipenuhi oleh rak buku serta alat tulis tersebut sangatlah jauh dari deskripsi kamar pribadinya.

"B*go! Bisa-bisanya gua ketiduran di rumah Angkasa?" umpatan frustasi lantas keluar sebagaimana Tama mulai mengacak rambutnya asal.

Bukan, Tama tidak sedang panik karena ia kesulitan menerima fakta bahwa ia kembali menyerahkan diri pada sahabat kecilnya yang telah lama ia jauhkan, melainkan apa yang lebih dikhawatirkan adalah, Tama merasa sungkan karena bisa-bisanya ia tidur terlelap sedangkan ia tidak tahu Angkasa ada di mana dan sedang apa sekarang.

Maksudnya, Tama baru saja membebani Angkasa dengan segala luapan emosi, meminjam pakaian, makanan dan minuman, bahkan tempat untuk menginap–meski segalanya tidak sengaja ia rencanakan, bukan? Kendati Angkasa merupakan sobat yang paling sabar dan pengertian yang pernah ia temukan, tidak seharusnya pertemuan pertama kemarin yang sudah Tama isi dengan kekacauan, harus Tama teruskan dengan lanjut merepotkan Angkasa di keesokan paginya.

"Udah gila lo, ya, Tam? Bisa-bisanya lo bangun pas tengah hari begini di rumah orang?"

Usai terperanjat menyoroti jam dinding yang terletak di belakang kepalanya, buru-buru Tama bangkit dari kasur untuk segera merapikan sprei dan selimut yang berantakan diterpa badannya. Selagi ia menyibukkan diri perihal sesuatu yang tidak pandai ia lakukan, kaki Tama sempat tersandung matras besar yang sudah terlipat bersih di sebelah kanan bawahnya. Menyadari hal tersebut, Tama menepuk dahinya kesal seraya mendenguskan napas kasar.

"T*lol, 'kan? Lo kalaupun kecapekan tetap liat tempatlah, Tam! Masa Angkasa lo biarin tidur di bawah?"

Payahnya, semakin Tama berusaha untuk meminimalisir rasa bersalahnya tersebut, Tama malah menemukan hal-hal lain yang justru meningkatkan kadar gelisahnya.

"Salah Angkasa, 'kan? Dia sendiri yang nggak bangunin gua," ujar Tama bersenandika berusaha mencari-cari alasan. Setelah beberapa detik berlalu ia berkacang pinggang sembari menggigit bibir bagian bawahnya, Tama berdecak sebal. "Sial!"

Tidak mau runyam dengan pikirannya sendiri di pagi hari, Tama pun melangkah keluar kamar untuk melihat situasi di sekitar. Langkahnya tertata hati-hati lain lagi benaknya masih runyam mempertimbangkan kalimat apa yang tepat ia gunakan untuk menyapa Angkasa pada saat bertemu nanti.

"Eh, Nak Tama udah bangun?"

Namun, tidak butuh waktu lama untuk Tama membuka topik obrolan, kehadirannya telah lebih dahulu disambut oleh senyum seorang wanita yang tengah sibuk menata hidangan di meja makan. Jantung Tama berdegup semakin kencang melihatnya. Dibandingkan Angkasa, Tama tentu lebih sungkan jika berhadapan dengan Tante Linda–bunda Angkasa

"Ayo, makan sini. Angkasa habis masak sop telur puyuh sama ayam goreng buat kamu. Dari pagi, Angkasa udah repot bangunin Tante. Minta ditemenin ke pasar sama bantu-bantu masak di dapur. Katanya, Tama harus makan enak hari ini."

"Bunda...." Mempertahankan komposisi tenangnya, tetapi juga menegaskan dengan intonasi berat, Angkasa berusaha tak menghiraukan perkataan bundanya selain daripada menyiapkan piring dan menyusun peralatan makan.

"Angkasa masih begitu, suka malu-malu," bisik Tante Linda seraya terkikik mendekati Tama.

Dengan lembut Tante Linda pun menepuk punggung Tama yang masih tergugu di posisi berdirinya untuk menuntun duduk di meja makan. Tama beserta hati dan benaknya yang tiba-tiba kesulitan memproses apa pun yang tengah terjadi pada detik ini, lantas hanya bisa diam memperhatikan lauk yang terhidang di meja makan. Tak lama kemudian, hangat presensi Angkasa dan Tante Linda lengkap memenuhi pandangannya berseberangan.

"Udah lama sekali, ya? Sejak Nak Tama terakhir main ke sini? Jujur, Tante kangen sama kamu. Tante masih ingat, dulu pas jamannya kalian masih kecil, Angkasa yang dasarnya pendiam, pasti langsung aktif banget pas waktu kamu menginap kayak begini. Kalau cuma Tante sama Angkasa aja, rumah ini nggak terlalu ramai. Tapi, kapan pun kamu datang, pasti suasananya jadi lebih ceria."

Sesederhana memperhatikan Angkasa dan Tante Linda mengisi piring makan sekaligus mengajaknya berbicara, Tama benar-benar tidak tahu kenapa hal tersebut dapat membuatnya kewalahan. Tama ingin membuka mulutnya, tetapi semua terasa penuh hingga segalanya tertahan tepat di ujung pernapasan Tama.

"Terlebih dibandingkan Tante sendiri, pastinya Angkasa yang jauh lebih kangen sama kamu. Kamu tau Angkasa bukan tipe anak yang punya banyak teman. Mungkin, sejak masuk pertengahan waktu SMP, ya? Angkasa jadi suka kelihatan murung dan bingung. Sayangnya, Tante nggak pernah bisa bantu jawab kalau dia udah bertanya tentang pertemanannya sama kamu. Walau Angkasa sekarang cuma diam, Tante tau Angkasa masih merindukan masa-masa dia sering main bareng kamu. Apalagi, ini kali pertamanya dia harus berpisah satu sekolah sama kamu."

Mendengar pernyataan itu, baik Angkasa dan Tama kini sama-sama terdiam saking tidak ada satu pun dari mereka yang sanggup memecah fakta tersebut. Meski begitu, tidak seperti Tama yang bungkam seutuhnya, Angkasa masih mampu bersikap tenang meletakkan piring yang sudah ia isi dengan lauk-pauk ke hadapan Tama. Hanya sebentar saja. Sebab setelahnya, kepedulian bunda yang kembali menyambung topik pembicaraan cukup menggetarkan keseimbangan Angkasa sesaat ia memikirkan dampaknya terhadap Tama.

"Tama, gimana kabar kamu, Nak? Lewat hari-hari itu, apa hubungan kamu sama ayah kamu baik-baik aja?"

"Bunda...." Kali ini, Angkasa menekan suara lebih panjang daripada sebelumnya. Remaja laki-laki itu menyisir pandangan ke arah sembarang di meja makan. Ia berkata, "Biarin Tama makan dulu."

"Maaf, Tante banyak bicara, ya? Kalau begitu, ayo, kita makan dulu. Tama makan yang banyak, ya? Jangan sungkan-sungkan. Hari ini semua masakan yang ada di meja spesial buat kamu."

Lewat kalimat itu, diiringi dengan dentingan kecil dari sendok garpu yang menumpu di permukaan piring, setetes air tiba-tiba turun lagi membasahi pelupuk mata Tama. Perlahan menggaris satu aliran ringan, hingga kemudian semua jatuh tanpa bisa dibendung membentuk tangisan sunyi yang menyakitkan.

"Maaf, maafin Tama," ucap Tama berusaha mempertahankan keutuhan suaranya. Ia menunduk mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. Bingung harus membawa rasa bersalah dan terima kasih ini ke mana, sampai kemudian Tante Linda menyuruhnya untuk tidak berbuat demikian.

"Nggak perlu minta maaf, Nak. Sejak dulu kamu sering main ke rumah ini sampai sekarang baru terlihat lagi pun, nggak ada yang salah dari diri kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top