53. Pulang
Padamnya malam beserta angin yang bertiup pelan di setiap langkahnya purna berjalan perlahan-lahan, rasanya tidak pernah sesuram ini menatapnya sendu dari jarak kejauhan. Tak juga pula sanggup diresapinya dalam hidup yang utuh bernilai tak berguna, pandangannya terbilas kosong hingga kontrasnya pagi dan gulita tidak mampu ia pisahkan dalam perputaran waktu seharian.
Ramai yang biasa memenuhi pemikiran remaja laki-laki itu, tiba-tiba terpadamkan oleh runtutan tragedi kecil yang kemudian ditutup oleh satu fakta yang tak sanggup ia pikul sendirian. Secara setengah sadar, bahkan ia cukup terkejut mendapati dirinya tiba-tiba berhenti di pertengahan jembatan ini, atau dari mana tenaganya masih tersisa untuk melewati panjangnya sebuah perjalanan.
"Bunda nggak sayang sama lo, Tam. Ayah nggak mungkin mau terima lo lagi di rumahnya. Lo nggak punya rumah untuk pulang sekarang. Nggak ada satu pun orang di dunia ini yang cinta sama lo."
Kalimat berlebihan yang terus diucapkan berulang-ulang tersebut menjadi satu-satu temannya untuk membangkitkan kesadaran. Seolah karena teralu banyak menelan kepahitan, hatinya yang tak mampu menahan pada akhirnya memberi respons penangguhan untuk sejenak mengeluarkan.
"Lo nggak ada gunanya hidup di sini. Lo lebih baik mati, Tam."
Genangan air yang berada di bawah jangkauan matanya tersebut entah kenapa terasa damai. Dalam benaknya, mungkin jika ia menerjunkan diri ke dalam sana, semua akan berakhir tenang tanpa pula ada yang perlu memedulikan. Tampilan bulan yang berbayang remang di tengah situ tampak memancingnya tak terelakkan. Ia ingin hilang, ia mau mengakhiri setitik harap tentang dapat ditemukan.
"Ya, semua lebih baik berhenti di sini."
Meski demikian, sekuat apa kerentanannya mampu melepas rentetan kalimat seburuk itu, koordinasi tubuh dan nuraninya tidak berjalan seimbang. Ragu-ragu, tangannya yang mencengkeram tiang jembatan bergetar lemah menahan badan.
Jauh di lubuk hatinya, tentu batin kecilnya berusaha bersuara bahwa ia tidak menginginkan tubuhnya mati tenggelam dalam kedinginan. Sayangnya, tempat persembunyian terakhirnya ini terukur sangat sepi sehingga yang sanggup menyoroti keberadaannya hanyalah derasnya air sungai dan temaram lampu jalan yang masing-masing terletak di ujung jembatan.
Remaja laki-laki itu menarik napasnya panjang dengan segala ketakutan. Dadanya tidak sekali pun berkurang dari rasa berat, tetapi karena dunia telah menghancurkannya habis-habisan, semua kerusakan tersebut mengakibatkan toleran sakit di hatinya menjadi kebal sekarang. Ia tidak lagi mempertimbangkan banyak hal. Sumbu berpikirnya mudah terbakar lewat cara yang paling tak sanggup dimaafkan, sedangkan keputusasaan terlanjur memeluk dirinya erat untuk berani membuat keputusan-keputusan nekat.
"Ayah, Bunda, setelah ini kalian berdua hidup yang bahagia, ya? Tama janji nggak akan ganggu kalian lagi."
Segala kenangan bersama Ayah dan Bunda di masa kecil telah berhenti berputar mengarungi benaknya. Hari-hari itu telah berlalu sebagaimana kereta yang ia tumpangi beberapa jam lalu menjelma replika tentang perjalanan singkat kehidupannya. Usai, hilang, meninggalkan untuk sampai pada tujuan yang sebenarnya.
"Makasih buat semuanya. Tama ... izin pergi."
Tubuh serta hati yang ia jaga dari sepanjang tahun menyedihkan itu, dengan setengah sadar ia hempaskan hingga seluruh beban yang tak lagi sanggup terpikul tersebut jatuh ke dalam aliran air yang tenang dan membekukan. Kedua matanya terpejam erat rampung menutup peristirahatan. Segala pedih pecah membentur arus deras sehingga yang tersisa hanyalah buih yang menggembung dari napasnya yang tercekat. Ia kehilangan nyawa.
Andai saja, jika panggilan dan sosok itu tidak berhasil meluluhkan indranya, mungkin remaja laki-laki itu sudah melontarkan badannya sebagaimana sebelah kakinya telah siap menginjak tiang pembatas jembatan yang pertama.
"Tama?"
Kedua alis laki-laki itu mengerut layu. Pertemuan ini tidak pernah ia harapkan. Ia ingin tersenyum, tetapi ia benar-benar terlampau kacau untuk dapat mempertahankan sandiwaranya. Mungkin, sang sahabat yang muncul di hadapannya itu merupakan sosok terakhir yang ingin ia temukan. Oleh karena itu, dari seluruh tempat yang muncul di pikirannya, ia datang ke sini sebab teringat rindunya bermain kejar-kejaran atau sekadar bercakap seru di setengah hari menjelang pulang sekolah.
"A–Angkasa," ucapnya serak berusaha menampilkan senyuman. Namun, kesedihan justru mendominasi ruang malam hingga raut lawan bicaranya mengeluarkan terlalu banyak emosi yang begitu sulit untuk diartikan.
"Ayo, ikut gua pulang ke rumah," ujar Angkasa mengikis jarak dari kejauhan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top