52. Kasih

Sudah tidak terhitung berapa lamanya, telah berulang kali Tama banyak berputar ke sembarang arah walau sejatinya ia tahu persis destinasi perjalanan ini harus berakhir menuju mana. Entah saat ia berkelana dengan kedua kakinya di aspal pinggir kota, atau di kala tubuhnya ia senderkan ke samping kaca dalam perjalanan kereta listrik terakhir tadi malam, Tama bertanya-tanya kenapa selalu berat rasanya bagi ia untuk pulang ke rumah.

Tidak seperti yang biasa orang-orang asumsikan tentang dinamika anak remaja yang nakal, jika Tama dapat menjelaskan, keraguan ini didasari bukan karena Tama tidak menghargai orang tuanya sehingga ia ingin main seharian penuh, melainkan Tama ragu apa tempatnya berpulang tersebut sudi menerimanya atau tidak.

Perkataan Ayah tadi malam seperti biasa masih menghantui kepala Tama tanpa henti. Mau sekeras apa Tama berusaha memejamkan mata baik di dalam kereta atau di bangku peron stasiun, dada Tama tidak bisa menyuar rasa sakitnya sehingga pandangan yang gelap itu hanya berisik dipenuhi mimpi buruk dan ketakutan atas lantangnya kalimat buruk yang Ayah lemparkan kepadanya.

Tidak pernah sebelumnya, sekujur tubuh Tama merasa seringkih ini untuk dibawa berjalan. Tama lapar, Tama lelah, tulang dan persendiannya bercampur panas serta dingin, Tama ingin merebahkan diri di atas kasur dan membiarkan siapa pun memeluknya dengan erat.

"Perumahan Lingkar Lestari Blok D tujuh Nomor empat belas. Seharusnya di dekat sini."

Mungkin, alasan Tama membutuhkan waktu yang panjang untuk sekadar menemukan alamat rumah Bunda, tidaklah jauh berbeda dari apa yang harus ia lalui setiap kali pulang ke rumah Ayah. Bertahun-tahun tidak lagi pernah bertemu tatap dengan Bunda, apalagi jejak memori terakhir yang ia bentuk pada Bunda adalah perpisahan sepihak yang menyakitkan, Tama tidak sepercaya diri itu untuk tiba-tiba muncul di hadapan Bunda untuk kemudian mampu diterima tanpa syarat.

"Halo, Bunda. Bunda apa kabar?"

Sempat berhenti sejenak di bangku taman dekat perempatan jalan, Tama terlihat gugup hendak mengatur sapaannya terhadap Bunda. Remaja laki-laki itu mengusap wajah dan rambutnya frustasi. Tama menarik napas panjang untuk melepas setiap kecemasan yang menderanya.

"Dia Bunda lo sendiri, Tam. Lo nggak perlu memikirkan banyak hal. Nggak seperti Ayah yang punya Puteri, jagoan satu-satunya Bunda cuma lo doang, 'kan?"

Sembari bersenandika dengan berbagai macam afirmasi positif, Tama berupaya menyeimbangkan emosinya untuk sedikit lagi ia bisa membangun tenaga sampai mengetuk pintu rumah Bunda. Segala perasaan rindu, takut, antusias, serta sedih yang tak lagi dapat terbendung dalam sebuah gambar, seutuhnya menghujani Tama seolah isi kepala dan hatinya telah dipenuhi awan mendung nan pekat.

Tama mendongakkan kepalanya sejenak. Lupa ia perhatikan, ternyata pagi ini langit terbentang sangat cerah dan mendamaikan. Luasannya begitu biru sedang mentari sibuk memancarkan kehangatan. Mungkin, badai yang berseru seram menimpanya sejak tadi malam hanya terjadi di benaknya. Sadar ia terlalu lama berdiam dari kerapuhan yang membungkusnya terlalu dalam, Tama tidak memperhatikan bagaimana pada dasarnya semua terlihat indah dan tak membahayakan di atas sana.

"Iya, nggak kayak Ayah, Bunda pasti nggak mungkin keberatan menerima lo, Tam."

Sekali lagi menarik napasnya begitu panjang, Tama menegakkan tubuhnya sembari melemaskan kedua lutut berulang kali. Tepat di susur blok tersebut, rumah Bunda pasti terletak di antaranya. Menyadari penampilannya saat ini tampak kacau dan berantakan, Tama merapikan rambutnya sejenak serta kain hoodie-nya yang tertekuk lusuh bekas perjalanan. Sialnya, karena terburu-buru mengemas tas dengan barang seadanya, Tama lupa membawa parfum sehingga ia tidak dapat mengaburkan bau keringat yang menempel di badannya.

Selepas turun dari kereta, Tama hanya sempat mengganti seragam dan membasuh wajah sekenanya kemudian sibuk berputar-putar–tanpa sempat berpikir mencari makan. Semua itu ia lakukan hanya untuk pada akhirnya ia menyadari, penampilan sangatlah penting dalam rangka menyambut Bunda yang telah sepanjang tahun ini tidak pernah ia temukan. Tama tidak ingin Bunda berpikir bahwa selama ini Ayah tidak mengurusnya dengan benar, jadi karena alasan tersebut, Tama akan mengurungkan niat memeluk Bunda nantinya.

"Bun, Bunda tinggal sama siapa sekarang? Kalau Bunda sendirian, Tama boleh temani Bunda, 'kan?"

Seraya memalingkan wajah untuk memperhatikan nomor blok di samping kiri dan kanan, Tama banyak bersenandika mengucapkan apa saja yang dapat mengurangi beban di pucuk kepalanya. Seingat Tama, dari informasi yang tidak pernah diperbarui karena Ayah benar-benar tertutup soal Bunda, Bunda merupakan seorang wanita pekerja keras sehingga pasti Bunda telah sukses menjadi wanita karier sekarang.

"Sama seperti Ayah, dulu Bunda juga suka pulang malam. Ada kalanya, bahkan Ayah harus tungguin Bunda di ruang tamu, tapi sama seperti sikap Ayah ke Tama, Ayah pasti marah kalau Bunda akhirnya muncul di depan pintu.

Tama nggak paham kenapa Bunda yang sibuk di kantor harus Ayah permasalahin saat itu. Tapi, katanya orang hebat pasti banyak dibutuhin di tempat kerja, 'kan? Jangan bilang, Bunda jauh lebih sukses dari Ayah sekarang?"

Menyadari betapa konyolnya pemikiran tersebut, Tama mendengus geli. Tama tidak tahu. Ucapannya saat ini terdengar begitu kekanak-kanakkan. Betapa lucunya ketika ia tidak memiliki bahan untuk ditertawakan selain daripada kecemasannya yang membengkak, hal-hal seperti ini bisa membuatnya tenang seolah ia layak kembali menjadi anak kecil yang disayang oleh Bunda.

"Bunda, apa Bunda tau hal yang paling nggak adil di kehidupan Tama?" Tama lanjut bermonolog seraya mendongakkan kepalanya. "Tama udah besar sekarang. Anak-anak seusia Tama, seharusnya udah diharapkan bisa mengurus dirinya sendiri, tapi Tama masih jauh daripada itu makanya Ayah sering marah sama Tama.

Sama seperti kepergian Bunda sore hari itu, Tama terkadang berharap Bunda nggak baik-baik aja di sana supaya Bunda bisa balik lagi karena bahagianya Bunda adalah Tama. Doa Tama jahat, Tama tau jadi wajar Tuhan kembalikan lagi semua sengsaranya ke Tama. Di antara kita bertiga, cuma Tama yang belum bisa maju dan Tama malu mengakui kalau Tama masih lemah seperti dulu. Bunda, andai Tama bisa temuin Bunda pagi ini, semoga Bunda nggak menyalahkan Tama karena berusaha menghadapi ketidakadilan itu."

Alasan Tama lama berputar dan terlalu berat untuk menginjakkan kakinya ke perumahan ini, tidak lain adalah karena Tama takut Bunda sudah bahagia dan kedatangannya hanya akan menyusahkan Bunda tiada kira. Tama tidak tahu kenapa dengan tanpa kehadirannya, Bunda tidak pernah sekali pun menampakkan diri atau setidaknya menanyakan perihal keadaannya.

Semalaman, Tama banyak melepas apa pun yang terbayang indah di kepalanya. Lewat itu, sedikitnya ia bisa menghibur diri membandingkan hidupnya akan lebih diterima jika berada di dekat Bunda dibandingkan Ayah yang selama ini tak pernah berhenti mengurusnya. Dari kilas kemarahan yang muncul di wajah Ayah, Tama tahu Ayah menyimpan banyak kesakitan. Namun, Tama ingin setidaknya Ayah memahami apa yang ia rasakan walau akhirnya Tama tidak menduga Ayah mengusirnya secepat itu pula.

Bertahun-tahun, Tama selalu merangkai sebuah jawaban bahwa alasan Bunda tidak pernah meraih dirinya adalah semata-mata karena Ayah menutup jalur pertemuan tersebut. Saat kecil Tama bertanya tentang Bunda, Ayah selalu memarahinya dan menganggap Bunda sudah tidak ada lagi di kehidupan mereka berdua. Ayah, entah kenapa membuat topik soal Bunda sebagai hal terlarang sedangkan kebenciannya menjelma bukti yang harus Tama terjemahkan.

Di benak Tama, sayangnya sudut pandang Ayah tidak dapat sepenuhnya Tama pahami sebab di masa kecilnya, Bunda adalah sosok penyayang dan menghangatkan. Walau Ayah dan Bunda akhirnya bercerai, Tama, sedikitnya yakin dahulu Ayah juga pernah mencintai Bunda serupa. Sebab dalam keraguan ini, jika Ayah benar-benar tidak pernah mencari tahu lagi soal Bunda, Tama bertanya-tanya kenapa Ayah memiliki alamat Bunda dan menyembunyikan dari dirinya.

Ayah, apa sebenarnya alasan Ayah membenci Bunda? Tama nggak mengerti.

Semua kebingungan ini, seketika muncul lagi ke tengah permukaan. Kepala Tama kembali menjadi pusing karena ia benar-benar tidak memiliki kekuatan dalam mencari kestabilan. Tama berada dalam kondisi kalut setengah mati, tetapi sosok familier yang tertangkap dari jarak pandangannya sanggup menghentikan kacau pemikiran tersebut.

"Bunda?"

Sosok wanita yang mengenakan blouse putih dan rok panjang berwarna abu gelap, tampak baru keluar dari pintu rumahnya sibuk memasang kaitan jam yang melingkar di pergelangan. Wajah itu, maupun potongan rambutnya yang kini terlihat lebih modis, semua menampilkan satu gambaran penuh tentang Bunda di benaknya. Sungguh, walau tahun-tahun itu telah berlalu terlampau panjang, tidak sekali pun bayang Bunda pernah hilang dalam memori Tama.

Bunda masih terlihat cantik. Senyumnya yang tergores tipis sesaat ia berbalik ke belakang, tidak lepas Tama rindukan meski kulitnya tidak seputih dan sekencang dahulu. Tampilan Bunda saat ingin berangkat ke kantor tidak pernah lebih menarik dari apa yang bisa Tama kagumi saat waktu lalu Tama menunggu diantar ke sekolah. Figur Bunda sebagai wanita pekerja keras tidak hilang ke mana membuat Tama mengerti nilai karisma atas mode berpakaiannya yang dipuji oleh Farhan turun dari siapa.

Kendati dirinya dan Bunda sama-sama telah bertambah usia, Tama yakin tidak ada yang sepenuhnya berbeda bagi mereka untuk sampai kesulitan mengenali dalam sepandang sekejap mata. Sama seperti ia yang membiarkan kerinduan ini berlabuh dengan sendirinya, Tama percaya Bunda juga menyimpan perasaan serupa  sehingga secara spontan, kaki Tama bergerak hendak menyapa sang Bunda.

Namun, baru berapa langkah Tama menginjakkan kaki jenjangnya ke depan, seorang pria tiba-tiba keluar dari pintu rumah untuk menghampiri sang Bunda.

Siapa?

Mereka berdua saling tersenyum di hadapan lalu percakapan singkat terjadi hingga sang pria kemudian beralih mengendarai mobilnya pergi setelah mengecup pipi kanan Bunda dengan penuh kasih sayang.

Dari posisi berdirinya, sekilas wajah pria itu entah kenapa juga tampak familier di ingatan Tama. Sewaktu Ayah dan Bunda sedang seringnya bertukar amarah, sekelebat memori terputar di benak Tama soal kenapa Ayah dan Bunda harus bertengkar mengenai seseorang yang tidak Tama kenal. Sejak dahulu hingga sekarang, alasan Tama tidak memahami perceraian itu adalah karena Bunda tidak pernah berbuat salah yang Tama kira cukup krusial sampai Ayah benar-benar membencinya.

Namun, sekelebat pertemuan ini mendadak mengacaukan pikiran Tama sebab secara serempak, semua benang-benang tersebut mulai tersambung begitu cepat dan mendadak. Tama ingat saat sedang kalapnya menanggapi Bunda yang pergi dari rumah, Ayah suka marah tanpa sebab pada sebuah foto yang menampilkan gambar Bunda dengan rekan kantornya. Sepanjang tahun itu, Tama kira, umpatan kasar Ayah ditujukan pada Bunda. Namun, sebuah opsi lain kini terbuka luas menimbang sosok pria itu Tama temukan tinggal di satu rumah yang sama dengan Bunda sekarang.

"Mah! Hari ini Mamah yang antar kita ke sekolah, ya?"

Apa yang mengejutkan lagi, seorang anak laki-laki berseragam putih dengan rompi bergaris biru turut menyusul dari dalam rumah kemudian menggapai ujung baju sang Bunda menggunakan jari-jari kecilnya. Tidak seperti pria tadi, seruan bocah tersebut begitu lantang sehingga sebutan 'Mamah' telak menabuhi pendengaran Tama.

"Hari ini kamu nggak apa-apa, 'kan, berangkat sama Mamah? Papah udah duluan karena pagi ini ada rapat penting di kantornya."

"Oke! Aku malah senang bisa ganti-gantian diantar Mamah sama Papah! Asal nggak dititipin kayak kemarin aja."

"Iya, maaf, ya, Papah sama Mamah nggak bisa antar kamu kemarin. Tapi, kamu senang juga, 'kan, berangkat bareng Mamah Dion?"

"Iya, sih, Dion kemarin punya mainan baru di mobil. Seru, deh, di jalan jadi nggak kerasa. Aku nanti juga mau yang begitu, dong, Mah!"

Lidah dan kaki Tama kini tidak bisa menjadi lebih kaku mendapati kenyataan tersebut. Fakta tentang apa Bunda memiliki putra selain daripada dirinya memukul telak kesadarannya. Berulang kali, Tama menggelengkan kepala untuk mengusir hawa seram yang semakin melilit sekujur tubuhnya. Wajah anak itu, yang Tama ukur mungkin masih berada di periode taman kanak-kanak pertamanya, jelas memiliki bagian wajah yang beririsan dengan Bunda.

"Boleh, nanti, ya, kita beli. Hari minggu? Sekarang kamu sekolah dulu."

"Beneran! Janji, ya?"

"Iya, kapan, sih, Mamah pernah nggak tepatin janji?

"Hehe, Mamah yang terbaik, deh, pokoknya!"

"Haha bisa aja, 'kan, kamu ngomongnya kalau mau dibeliin mainan. Ya udah, yuk, kamu masuk mobil biar nggak telat."

Pada detik di mana pergerakan itu berlaju lambat dalam bola mata Tama, pikirannya secara beriringan mulai terasa kabur seakan-akan badai besar kembali berputar menggusur tempat persembunyiannya. Dada Tama terasa sesak, setengah badan hingga kelopaknya menjalar panas yang tidak tertahankan, Tama bahkan tercekat untuk mengeluarkan satu kata untuk menjemput sang Bunda di hadapan.

Tanpa sadar, ketika Tama berhasil menarik napas panjang demi meraih kesadarannya, bocah laki-laki tersebut telah selesai dituntun Bunda untuk masuk ke dalam mobil lewat pintu sebelah kiri. Sebesar apa dirinya telah dileburkan oleh banyak kecemasan yang begitu gelap nan menyeramkan, harap kecil yang menjelma pegangannya itu tidak ingin Tama hilangkan karena sumpah, Tama letih terus menjadi kalah.

Jika Tama melewatkan kesempatan ini, mungkin Tama akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi atau tidak sama sekali untuk kembali berani menghadapi Bunda. Semua memang menakutkan. Namun, jika itu yang harus dilalui, setidaknya Tama ingin mencoba. Agar apa yang pernah ia bayangkan tentang Bunda tidak sebatas mimpi-mimpi yang melayang dalam tidurnya. Supaya pertengkaran yang sepanjang ini ia taburkan bersama Ayah dapat menemukan penjelasannya. Dan segala memori buruk yang terus-menerus menyalahkannya sanggup memperoleh kebenarannya.

"Bu-bunda." Satu panggilan lirih itu, lidah dan tenggorokan Tama masih tercekat dalam keterbatasannya. Tama memejamkan mata sejenak. Dari kejauhan, Bunda bergerak terlalu cepat sehingga rasa panik ikut menyelimuti tubuh Tama yang sudah terbakar hawa panas yang kurang mengenakkan. Tanpa perlu banyak berusaha, Tama tahu ia hanya perlu memberi tahu Bunda bahwa dirinya ada di sini. Oleh karena itu, dalam satu tarikan napas beratnya, Tama berdoa pada Tuhan untuk memberinya kekuatan yang amat ia butuhkan. "Bunda!"

Seruan tersebut, rasanya telah cukup kencang untuk mendapatkan atensi sang Bunda di seberang. Sesaat Tama membuka matanya, setitik harap yang ia bawa setelah kepergiannya dari rumah Ayah mulai berpendar sebab tepat di ujung halaman itu, Bunda jelas melihatnya.

Angin berderu, diselingi dedaunan yang hendak berlari dari ranting-ranting pohon yang mengikat pegerakannya, lantas menjadi satu-satunya suara yang menutup kebisingan antar kontak mata yang terjalin begitu dalam antara dirinya dan Bunda. Tama, tidak tahu apa yang ia rasakan dalam titik pertemuan ini. Tatapan Bunda terlihat kabur di depan sana. Mungkin, jika Tama beranjak kepada Bunda lebih dekat sekarang, kalimat yang kini tak dapat diucapkan tersebut dapat keluar melalui sentuhan apa pun yang sanggup meluluhkannya.

"Bun ... da."

Namun, dalam sepersekian detik yang selalu terasa singkat itu, apa yang tergambar di sorot mata Bunda tampak begitu jelas di mata Tama sekarang. Kedua alisnya yang mengerut, pupilnya yang membesar, serta mulutnya yang mengatup akibat terkejut, Tama tahu ada yang salah bahwa tubuh Bunda yang bergetar hebat, tak ayal lebih dekat apabila disandingkan pada ketakutan dibanding kerinduan.

Meski begitu, Tama tetap menjadi anak laki-laki bodoh yang berani meniti panjang kakinya ke depan. Satu langkah pertama, dua langkah berikutnya, lalu Bunda mengikuti pergerakan yang sama. Hanya saja, hati-hati Bunda bergegas ke belakang sedangkan Tama–yang hampir tak bertenaga–setengah mati mengejarnya.

Bunda, tolong jangan pergi lagi.

Dan seketika, reka waktu yang pernah begitu mendalam menyakitinya saat kecil, mendadak terputar kembali deras memenuhi baik dalam benak maupun sekarang pada jernih pandangan matanya. Sakit itu, sesuatu yang menjalar di lubuk jantungnya dan merambat ke setiap permukaan sontak mengacaukan alur pernapasan Tama tiada kira.

Secercah harapnya, yang berusaha Tama yakini dengan sekuat tenaganya, lantas terbang bebas bersama ketidakberdayaannya memandang sosok Bunda segera bergegas kala punggungnya tepat menabrak pintu mobil. Sama seperti dahulu, Bunda terlihat gelisah menata langkahnya. Bunda terlalu buru-buru mengurus dirinya yang sangat ingin pergi, sehingga pada detik ini pun, Bunda lagi-lagi tidak memedulikan keadaan Tama.

Begitu pula sebaliknya, sama seperti dahulu Tama hanya bisa diam mengamati bayang Bunda serta bocah laki-laki yang tampak kebingungan itu mulai mengabur dari kejauhan. Tanpa banyak berkelit, mobil itu Bunda keluarkan dari parkiran lalu lekas membanting setir seolah kecilnya keberadaan Tama teramat mudah untuk dilewatkan.

"Jangan begini, Bunda."

Sekujur tubuh Tama, kini tidak berfungsi menahan sumber kesakitan. Apa pun itu, mulai dari atas kepala hingga tumitnya yang sulit menopang diri, serempak menyuar rasa perih akibat ditinggalkan tanpa harga oleh Bunda yang kedua kalinya. Seluruh kasih sayang dan bentuk penenang yang pernah Bunda berikan kepadanya, tak lain hanyalah sebuah kebohongan besar. 

Tama, pada detik ini terpukul pada kenyataan mungkin jawaban yang tidak Bunda ucapkan saat perpisahan pertama itu, pada dasarnya memang sudah jelas bahwa Bunda ingin menghapus jejak Tama dari kehidupannya. Ini bukan soal penampilan Tama yang lusuh atau bagaimana, tetapi mau seburuk dan sebaik apa Tama hadir di hadapan Bunda, Tama tahu Bunda tidak pernah menginginkannya.

"Bunda, tunggu. Ini sakit, Bunda, Tama nggak bisa."

Dengan langkah gontai seraya meremas dadanya erat, Tama berupaya sekuat tenaga mencari tempat untuk merubuhkan tubuhnya yang begitu rentan akan kehancuran. Sampai di satu titik, matanya yang berat menampung air kesedihan itu menemukan sebuah taman bermain di ujung komplek perumahan.

Wilayah itu, yang seharusnya tergambar warna-warni dan ramai di benaknya, sebaliknya terukur sangat sepi menimbang waktu kini barangkali masih terlalu pagi untuk dapat dinikmati. Tama tidak tahu. Di sepanjang langkahnya berjalan menuju petak tersebut, Tama baru ingat ia tidak punya  kenangan apa pun perihal bersenang-senang di taman bermain. Ayah dan Bunda tidak pernah menemaninya tertawa di sana. Jadi, baginya sendiri, tempat itu hanya ia gunakan untuk bersembunyi dan menangis sendirian.

"Argh! Kenapa, Bunda!"

Teriakan dari kepedihannya telah sampai di ujung pernapasan. Seluruh rongga dada Tama mulai tercekat bukan main hingga rasanya selilit akar tebal mengikat pangkal tenggorokan hingga ke ujung hatinya. 

"Ayah ... Bunda ... kenapa Tama harus lahir kalau kalian nggak pernah menginginkan Tama?"  

Dan kalimat itu, menjelma keluhan terakhirnya sebelum napas Tama berubah terengah-engah. Badan yang biasa ia junjung dengan tegak itu, terbungkuk lesu di pelataran bangku taman. Berulang kali, Tama merintih kesakitan sedang tangannya mendekap penuh ulu dadanya. 

Tama seutuhnya menutup mata ditemani bayangan hitam, semburat nadinya menyembul kasar mengalirkan darah yang memuncak ke ujung kepala, Tama butuh seseorang yang dapat menghadirkan tenang dengan memeluknya erat-erat. 

Siapa pun ... tolong.

Dalam kabut pemikirannya yang kini terbekap saru, sekelebat figur yang pernah menghadirkan kebahagiaan di hidupnya mendadak terjamah lewat bayang terbentuk samar-samar. Tama merindukan teman-temannya di Bina Bangsa, Tama ingin mengeluarkan isi hatinya yang menghitam bersama Luna di rooftop gedung empat, dan Tama mau Angkasa hadir kembali merangkulnya berjalan bersisian. 

Di akhir kilas memori itu, walau seluruh harap ini tidak memungkinkan terjadinya, Tama yang sudah lelah ingin menunggu Melvin datang menemuinya tepat di taman bermain ini, sama seperti dahulu Ayah membuatnya asing dari tempat yang disebut sebagai rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top