51. Wakil
Pada sebuah kumpulan meja yang tergabung berjejer di ruangan itu, sebuah diskusi tengah dirayakan tentang bagaimana cara memecahkan masalah serapi mungkin tanpa kekacauan. Berhubung seluruh remaja yang tergabung di kelompok tersebut berisikan manusia berotak cerdas, seharusnya untuk membentuk solusi tidaklah sesulit itu mereka lakukan. Yang jadi masalahnya adalah, tersangka yang ingin mereka selamatkan tidak hadir di tempat sehingga mereka harus menjelma saksi bisu tanpa bisa membawa sebuah bukti yang dapat ditanggungjawabkan.
Semua tampak frustasi dan buntu jawaban. Sedari tadi, dibandingkan mendapat pencerahan, isi percakapan mereka banyak dipenuhi oleh perdebatan yang berujung saling marah-marahan. Sidang kecil untuk memutus perkara di ruang mediasi sebentar lagi akan dimulai. Namun, mereka masih tidak dapat menerima kenyataan bahwa Tama tidak masuk sekolah sekarang.
"Lo semua serius nggak ada yang tau kabar Tama gimana dan ada di mana sekarang?" Pertanyaan itu Vero lontarkan ke sekitaran. Barangkali, ini sudah ketiga kalinya ia mengulang kalimat yang sama.
"Nggak, Ver, dari kemarin, chat dan telepon gua nggak ada yang direspons sama Tama. Jangankan sempat dibaca, kekirim aja nggak. Handphone Tama udah nggak aktif sejak sore kemarin," jawab Farhan berusaha tenang walau sejatinya ia juga khawatir dengan kondisi Tama.
Dibandingkan yang lain, mungkin Farhan sedikit lebih tahu tentang kebiasaan Tama yang suka bersembunyi kala laki-laki itu sedang ragu menghadapi sesuatu. Gerak-gerik Tama yang cenderung mundur jika tidak dikuatkan, jelas membekas di benak Farhan sebab Tama membuat pola serupa di masa pembujukan sesi fotografi waktu itu.
"Si Pengecut itu nggak akan masuk hari ini. Mungkin, kita harus biarin dia urus masalahnya sendiri. Gua mulai muak sama sikap dia yang selalu lari tanpa memperhatikan orang-orang di sekitarnya."
Mendengar hal tersebut, Revo berseru. Ia berhenti meremas jemarinya menghadap Alfa. "Fa! Gua tau lo marah banget sama Tama, tapi ini bukan waktunya buat bercanda!"
Di antara yang lain, Revo merupakan orang yang paling tampak cemas perihal menanggapi hilangnya Tama pagi ini. Alfa pun mendengkus. Kedua tangan laki-laki itu bersedekap di depan dada lalu memalingkan wajahnya keruh ke arah lain.
"Tapi, apa yang Alfa bilang itu benar."
"Han!"
"Sebentar, gua belum selesai ngomong." Sembari mendudukkan dirinya ke atas kursi, Farhan melanjutkan. "Dilihat dari kondisinya, Tama nggak mungkin masuk hari ini. Kita nggak bisa terus harapin kedatangan dia sambil berharap masalah ini akan selesai dengan sendirinya. Sidangnya sebentar lagi bakal dimulai. Ada atau nggaknya Tama, atau masalah apa yang nggak kita ketahui tentang dia, biar kita pikirin nanti. Lebih baik kita memikirkan sesuatu yang bisa kita sampaikan mewakili nama Tama supaya kasus ini bisa selesai tanpa banyak merugikan dia sekarang."
Di bagian sisi paling belakang, Zaki menggaruk tengkuknya sedikit frustasi dengan situasi yang terjadi. Sebagai orang yang senang menikmati waktunya dengan bersantai, Zaki sebetulnya sangat menghindari suatu perkara. Apalagi jika orang yang berperan penting dalam terbuatnya hal tersebut sangat sulit diajak kerja sama.
Telah sejak dua hari kemarin, Zaki bingung dengan sengketa yang terjadi antara Tama dan si Kembar. Penjelasan pertama disebutkan, pagi itu Tama sudah terlihat aneh lalu ketika projek presentasi dijalankan, Tama seolah sulit menata pikirannya dan pergi begitu saja meninggalkan ruangan. Tanpa bisa menyusun dugaan yang jelas, semua berlangsung cukup berantakan sehingga peristiwa aneh itu berujung diakhiri agenda cari-carian. Tama bolos kelas selanjutnya lalu tak terlihat lagi sampai jam sekolah selesai.
Lalu, tepat kemarin persis, si Kembar kembali heboh dengan membawa kabar bahwa Tama terlibat kasus di ruang konseling bersama Luna dan sang Ketua Patroli Keamanan Siswa. Si Kembar khawatir bukan main dan buru-buru semua ikut menunggu ke depan ruang konseling untuk mengetahui keadaan Tama. Sayang saja, sesaat Tama ditemukan berhadapan, laki-laki itu melengos begitu saja bahkan sempat menepis uluran tangan Revo. Gestur dan tatapan yang sulit diartikan tersebut, Zaki baru mengerti kenapa si Kembar jadi teramat khawatir terkait anomali Tama yang berubah secara signifikan.
Sialnya lagi, Alfa yang sudah kepalang emosi sejak Tama sulit dihubungi pun malah mengejarnya tak terkira. Zaki mengarahkan yang lain agar tidak menghalangi Alfa karena Zaki paham di balik agresi Alfa yang meningkat tersebut, Alfa menjelma orang yang paling paham perihal menangani sifat Tama yang tertutup dan keras kepala terhadap keterbukaan. Alfa dan Tama entah kenapa membagi irisan yang cukup serupa di matanya.
Zaki tidak suka menengahi perkara semacam ini sebab hal tersebut mengingatkannya pada hari-hari panjang saat ia berusaha menetralkan tingginya emosi Alfa. Jika bukan karena bantuan Karin, mungkin sampai sekarang Alfa masih menjadi orang yang paling sukar dikendalikan. Jadi, Zaki harap Tama tidak mengulang fase yang sama seperti Alfa.
"Lun, setelah dari kemarin, Tama nggak ada hubungin lo sama sekali?"
Oleh karena itu, sama seperti peran Karin kepada Alfa, Zaki sebetulnya sungguh berharap Luna dapat memberi petunjuk terkait bagaimana cara menyelesaikan masalah ini. Di antara mereka berlima, Luna merupakan orang yang memiliki keterkaitan paling besar terhadap Tama. Sayangnya, sedari tadi Luna hanya banyak diam mendengarkan. Tidak tahu seutuhnya ada di sini atau tidak. Sebetulnya, tatapan Luna tampak kosong dan Zaki tidak menyangka Luna dapat terlihat selayu ini di tepat di depan matanya langsung. Luna yang lembut, Luna yang perhatian, Luna yang terbiasa ramah menebar senyum kehangatan, mendadak terukur sama kacaunya hanya karena Tama seorang.
"Jangan bilang, dia juga mengabaikan lo sama kayak kita semua?"
Alih-alih lekas menjawabnya, air wajah Luna justru tampak semakin mengental akan sarat kesedihan. Sepenuhnya, kini Zaki yakin bahwa Tama juga telah menaruh pengaruh yang sebesar itu pula pada kehidupan Luna. Entah kenapa, menyinggung keterkaitan siapa pun atas hubungannya terhadap Tama menjadi hal yang teramat sensitif di tempat ini. Sebab, setiap balasan yang tak membantu apa-apa, mengartikan bahwa tidak ada satu pun di antara mereka yang berhasil meraih kepercayaan setinggi itu dari Tama.
Selaku teman yang ingin bersahabat, semua agaknya kecewa terhadap diri masing-masing pula kesal kenapa dari waktu yang telah dilalui bersama, Tama masih sesulit itu perihal memaknai keterbukaan. Walau begitu, tanpa banyak memikirkan tentang perasaan, Zaki masih berupaya mengajak berbicara karena cepat atau lambat, perkara ini perlu segera dituntaskan.
"Kamu benar, setelah keluar dari ruangan itu, aku belum berkontak lagi sama Tama." Pada akhirnya, Luna menanggapi pertanyaan Zaki dengan nada yang tenang. Ia melanjutkan, "Sejak pertama kenal sama dia, mungkin kita semua setuju kalau Tama itu sangat supel sampai-sampai kita nggak merasa ragu untuk berteman dengan dia. Tama bersama keceriaan serta kepeduliannya, aku nggak tau di kalian bagaimana, tapi Tama selalu buat aku merasa aman dan terlindungi dari apa aja."
Mendengar gambaran tersebut, baik Alfa, Zaki, Farhan, maupun si Kembar pun diam merenung seolah bayang Tama di kepala mereka terukur sama seperti apa yang Luna katakan. Belum pernah dalam hidup masing-masing, mereka merasa secepat itu bisa terbuka terhadap orang asing. Dibela sesaat dikenai hukuman, dilindungi kala terundung oleh tim lawan, dicerahkan mengenai perkara percintaan, disempurnakannya kerekatan dalam sebuah pertemanan, dibantu saat terdapat kendala dalam pemotretan, atau didengarnya pahit menghadapi rumah yang mengalami keretakan, semua kesulitan yang mereka tawarkan dapat Tama telan untuk sekadar ditenangkan atau benar-benar diberi penyelesaian.
"Aku mengerti kalau beberapa di antara kalian sekarang ada yang marah sama sikap Tama. Jika hal itu dilakukan sebaliknya, Tama adalah tipikal orang yang cenderung sembunyi ketika dia sedang menghadapi masalah besar. Tama selalu mau memberikan yang terbaik di saat kita merasa kesulitan, tapi dia juga paling khawatir membebankan kita saat kita ingin melakukan hal yang serupa.
Sampai detik ini, aku juga masih nggak tau banyak tentang Tama. Mungkin, saking besarnya yang dia lalui, pelan-pelan kita harus lebih bersabar menunggu dia untuk terbuka. Oleh karena itu, aku harap kalian juga mau memaklumi Tama. Lalu, sehubungannya dengan kasus ini, biar aku yang jelasin semuanya di sidang nanti. Tama jadi diberatkan begini karena aku nggak turut andil dalam memberitahukan yang sebenarnya. Tuntutan ini memang sengaja dibuat untuk menjatuhkan Tama, sedangkan aku adalah alasan yang diciptakan agar Tama bisa ditempatkan pada posisi itu."
"Lun, lo yakin itu cara yang benar? Lo bilang, Tama nggak membela diri sama sekali karena mungkin dia pengin jaga kerahasiaan cerita yang lo bagiin pas kalian berduaan di rooftop, 'kan?"
Mendapati hal tersebut, Luna termenung sejenak. Sesaat sebelum diskusi ini hampir terjebak di ujung kebuntuan, Luna sudah menceritakan segala kronologi kenapa dirinya dan Tama dipanggil ke ruang konseling. Telah sejak dari kemarin, rombongan Alfa sibuk mendatanginya untuk mencari gambaran lengkap tentang seluk-beluk permasalahan serta apa yang sebetulnya tengah terjadi pada Tama. Hanya cerita yang berkaitan dengan kasus atau keadaan Tama secara umum saja. Luna masih menjaga rahasia Tama tetap berada di dalam pendengarannya. Beruntung, rombongan Alfa dapat menghargai privasinya bersama Tama. Mereka tidak mendesak Luna dan hanya fokus memperhatikan detail yang berguna terhadap penyelesaian permasalahan. Luna yakin, intensi mereka serius ingin membantu Tama dengan cara yang paling bijaksana.
"Revo, kamu pun tau sejak dari hari-hari yang lalu, Tama nggak sedang berada di dalam kondisi terbaiknya. Apa menurut kamu, saat itu dia tahu apa yang dia lakukan itu adalah benar?"
Garis bibir Revo semakin merengut mendengarnya. Alis laki-laki itu bertaut layu seolah kecemasannya bertambah satu. "Kalau begitu, buat lo sendiri gimana? Semisal di sidang nanti lo menjelaskan semuanya untuk balik belain Tama, itu artinya, pembicaraan yang cuma lo bagikan ke Tama di rooftop, bakal diketahui orang-orang, 'kan? Dan perlindungan yang Tama kasih ke lo bakalan sia-sia."
Kini, memikirkan kalimat tersebut berulang-ulang di kepala, akhirnya Luna telah sampai pada satu kesimpulan bahwa semua makna perlindungan semacam itu adalah kekeliruan terbesar di hidupnya. Pengalamannya dengan Ayah dan Bunda membuat Luna tersadar tentang bagaimana sebuah keputusan dapat dianggap bijaksana bila dibentuk oleh satu pihak semata.
Lalu–perihal perkara ini, yang sama persis Tama tautkan kembali kepada Luna, tidak membuat Luna lebih terbuka bahwa diam bukanlah jalan yang tepat untuk dapat membahagiakan sesama. Alih-alih bersikap pasif dan membiarkan semua berlalu begitu saja, bertindak membela dapat membuat seseorang yang merasa terkurung sendirian keluar dari permasalahan. Yang Luna butuhkan hanyalah berani memperjuangkan hal tersebut.
Oleh karenanya, merespons kekhawatiran tulus yang keluar dari mulut Revo, kini Luna sanggup mengulas lembut senyumannya sekarang. Bersyukur, sebab Tama dikelilingi banyak teman yang peduli terhadapnya sehingga melalui itu, harap Luna terbentang lebih leluasa untuk dapat membantu Tama sedemikian rupa.
"Apa bagusnya sebuah keputusan kalau itu cuma menguntungkan satu pihak dan yang lainnya dibuat terluka habis-habisan? Belum terhitung, siapa yang menjamin bahwa yang dilindungi akan merasa senang mengetahui kenyataan bahwa orang yang dia pedulikan harus menanggung derita karenanya? Tama itu berharga di kehidupanku, Revo. Jadi, bukan dengan cara seperti itu aku ingin menjaga Tama. Masalah ini, sebagian milikku juga. Aku nggak akan membiarkan Tama menanggungnya sendirian karena Tama juga perlu tau kalau dia patut untuk diperjuangkan."
Sepungkasnya kalimat itu berlalu, semua rombongan Alfa pun dibuat tergugu dengan kesungguhan hati Luna melihat Tama sebagai manusia. Sepintas lalu dalam benak mereka baru tersadarkan, beberapa perilaku Tama terkadang memang menggambarkan ciri inferioritas bahwa ternyata Tama memandang dirinya kurang berharga untuk diperhatikan. Di luar itu, semua tuduhan ini sangatlah tidak adil baik bagi Tama maupun Luna yang notabenenya merupakan orang baik, sehingga hal tersebut membuat Zaki sungguh frustasi memikirkannya.
"Sial! Apa gua ajak tanding aja si Ketua Patroli itu biar dia cabut tuntutannya ke Tama? One on one, gentle way as a man, I'll surely make him lose and win the bet to throw over the verdict."
Kalimat yang diucapkan Zaki, mendadak menarik perhatian Alfa begitu cepat. Laki-laki tersebut menautkan alisnya tajam membalas dengan nada tidak suka. "Kalau ada yang perlu maju buat berantem sama dia, orang itu adalah gua, bukan lo. Buat dia tunduk lewat pertarungan untuk tarik ucapan dia itu hal yang mudah. But that's not how we're going to solve this problem. Nama Tama kotor karena itu, seperti yang lo dan Luna bilang, yang butuh kita lakukan adalah membuktikan bahwa semua tuduhan itu salah dan buat sang Penuduh menerima hukuman yang setimpal.
Luna, you do what you need to do. We can't help much here because this is not our problem in the first place. Sebatas saksi dan opini pribadi mungkin satu-satunya hal yang bisa kita usahakan buat bantu lurusin kasus lo sama Tama. Tapi, karena nggak semua dari kita bisa masuk ke dalam, gua harap siapa pun yang terlibat nanti bisa ikutin alur yang dibawa sama mereka nanti."
"Mereka? Lo lagi ngomongin siapa, Fa?"
Seluruh pasang mata di ruangan itu pun seketika mengikuti arah pandang Alfa dengan raut penuh kebingungan. Laki-laki itu melingak ke arah belakang. Langkah kaki terdengar semakin dekat sebagaimana Alfa pun menghela napasnya panjang lalu kembali menyenderkan punggung di samping engsel pintu. Sejurus kemudian, seseorang tampil di hadapan.
"Lo terlambat. Apa cuma begini batas kedisiplinan Ketua OSIS di SMA yang gua tempatin?"
Menerima sambutan tak ramah tersebut, laki-laki berpenampilan rapi yang tengah membenahi letak kacamatanya pun berujar dengan nada separuh ketus. "Sabar Bocah Pintar. Nggak kayak lo, ada banyak hal yang perlu gua urus dulu jadi seharusnya lo merasa bersyukur gua masih mau turutin kemauan lo."
"Kemauan gua? Muka lo yang nggak tenang pas gua samperin kemarin udah jadi bukti kalau lo bakal melakukan sesuatu tanpa gua minta, 'kan?"
"Hah, jangan bicarain hal yang nggak penting. Kuping gua panas dengarnya." Juan berdecak lalu memindai ke sekitar. "Jadi, siapa yang bakal ikut gua ke dalam nanti?"
Menyambungkan sedikit skema tentang mengapa Juan berada di sini, Zaki, Farhan, dan si Kembar pun saling melirik hingga dalam keheningan tersebut, mereka sepakat memahami sesuatu. Diam-diam, ternyata Alfa telah menemui Juan perihal menanggapi kasus yang menjerat nama baik Tama. Kemarin pula, di antara mereka berlima, Alfalah yang paling sigap mengejar Tama. Di balik kemarahannya, mereka yakin Alfa tidak sekali pun pernah mengesampingkan Tama selaku teman.
"Gua tau sikap lo yang menyebalkan ini cuma topeng lo doang, Fa."
"Jawab pertanyaan Juan."
Seraya menahan senyuman, lantas Zaki berhenti menjahili Alfa lalu beralih menghadap si Kembar untuk memberikan persetujuan. Farhan yang mengerti bahwa peran ini lebih baik diambil oleh perwakilan dari kelas Tama pun mengangguk tanpa sedikit penolakan.
"Gua! Maksudnya, kita berdua, Ju!" seru Revo dan Vero berbarengan tidak membuang kesempatan yang diberikan. Mereka berdua kemudian cepat berlari mendekati Juan.
"Ke mana Bu Siska?" Masih belum menemukan satu orang terakhir di peredaran, Alfa kembali membuat interaksi dengan Juan. Kedua laki-laki itu sama-sama memiliki sifat cuek yang saling beririsan, tetapi sangat fokus menanggapi perihal serius dengan sebagaimana mestinya.
"Beliau udah duluan masuk ke ruang sidang."
"Oh." Alfa menjengitkan alis lalu berpindah posisi ke sebelah Zaki. "Gua titip si Kembar sama Luna. Selesaikan kasus ini secara adil atau penilaian lo sebagai Ketua OSIS di sini akan semakin buruk di mata gua."
"Sorry, gua nggak butuh validasi dari lo. Di luar itu, penilaian gua objektif. Nasib Tama tergantung dari pernyataan Luna, Bu Siska, dan si Kembar."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top