50. Hancur
Sesakit apa rasanya menghadapi kepergian Bunda, sebagaimana sesaknya mendengar Ayah ingin membangun keluarga baru tanpa dengan persetujuannya, terkadang Tama lupa seperti apa proses awalnya luka tersebut membentur jiwa kehidupannya. Sedari kecil, Tama merupakan pribadi yang suka memendam. Tidak punya tempat bercerita, banyak dimusuhi oleh dunia, Tama belajar bahwa semua kesedihan yang ia terima, lambat laun akan berlalu jika ia tetap diam selayaknya orang-orang di sekitarnya juga tidak menempatkan perhatian.
Bekas-bekas kesedihan itu, sepanjang waktu berjalan terlanjur basah tanpa tahu bagaimana cara merawatnya. Saking lamanya diabaikan oleh Tama sendiri maupun Ayah Bunda yang sedikitnya Tama pikir dapat memberi kasih sayang di atasnya, Tama jadi tidak memahami apa yang penting untuk dipedulikan dalam nuraninya.
Emosi negatif teranggap wajar untuk didapatkan setiap harinya. Oleh sebab itu, dengan cara apa ia menangani penderitaan tersebut, segalanya mudah dibiaskan terlepas benar atau salahnya. Asal Tama dapat menyelamatkan diri per hitungan waktu yang tengah melintasi ruang kehidupannya, maka semua cukup entah itu diperoleh dari bermain dengan anak nakal, membatasi jarak dengan orang-orang yang sering menyakitinya, atau membeli obat penenang dari lingkup tongkrongannya. Walau melalui serangkaian kegiatan itu, Tama mengorbankan Ayah demikian semakin membencinya.
"Ayah, apa pas Tama masuk rumah nanti, Ayah bisa berhenti benci sama Tama?"
Tentu, Tama tidak ingin membuat Ayah marah. Namun, Tama sudah kehilangan akal untuk menerka-nerka. Sebab, apa pun yang Tama lakukan, semua akan bertumpu di satu titik yang sama. Tama tidak tahu apa yang bisa membuat Ayah senang, tetapi Tama dipaksa mengerti bahwa segala tindak-tanduknya pasti berujung dihadiahi sebuah kesalahan yang menyakitkan.
"Ayah, hari ini Tama berantem sama sobat terakhir yang Tama punya. Kalau nanti Tama benar nggak main lagi sama berandalan bren*sek semacam Melvin, apa Ayah bakal senang?"
Seperti halnya dengan kehancuran persahabatannya dengan Melvin malam ini, Tama tidak memahami dari mana kekeliruannya muncul sebagai seorang manusia. Sejak kecil, Tama yang selalu diperlakukan seolah-olah ia adalah penyebab kekacauannya. Oleh karena itu, hingga kini Tama pun masih terjebak dalam jerat pemikiran tersebut.
"Sebenarnya, Ayah benci Tama karena apa? Sewaktu kecil, Tama pernah jahat sama Ayah?"
Sungguh, Tama pula masih bertanya-tanya terkait kesalahan apa yang pernah ia buat pada Melvin hingga ia harus menerima luka yang besar dari sosok yang paling ia percaya. Penderitaan ini tidaklah masuk akal. Semuanya, sontak ikut mengingatkan Tama tentang kenapa di masa kecilnya, ia harus menerima banyak luka, padahal ia belum diberkahi banyak kekuatan untuk membuat kerusakan.
"Ayah, apa memang tidak butuh alasan buat orang-orang bisa benci dan bersikap jahat sama Tama? Tolong kasih tau Tama, Tama kurang sadar diri atau Tama yang nggak patut dihargai oleh orang-orang di sekitar Tama."
Dalam langkah yang terlampau gontai, untuk pertama kalinya, demikian Tama mulai mempertanyakan konsep yang membentuk rendah jati dirinya. Memori tentang Bunda yang pergi meninggalkannya di depan pintu terbayang lepas dalam pandangan. Serba-serbi perkataan buruk Ayah dan keras permainan tangannya yang melebam di sekujur tubuhnya, entah kenapa ikut berputar seolah kepalanya yang berdenyut tidak cukup pusing untuk menopang tubuhnya berjalan.
Perasaan kosong itu, kehampaan yang menyelimuti dirinya sejak kecil lalu, seketika menjadi nyata begitu ia sadar bahwa di masa yang akan datang, mungkin ia tidak lagi dapat berlari ke rumah Melvin saat menghadapi masa-masa terburuknya. Semua rumah yang pernah ia singgahi, mendadak runtuh sampai-sampai Tama lupa cara menginjakkan kakinya dengan benar.
"Ayah, sekarang Tama nggak punya siapa-siapa buat bersandar. Bunda bilang, per hari itu, Ayah yang akan selalu jagain Tama. Sampai saat ini, meski hubungan Ayah sama Tama nggak baik-baik aja, apa pun kondisi Tama, Ayah bakal tetap terima Tama, 'kan?
Seluruh isi dada Tama, seutuhnya terasa tumpah ke bawah terlarut banjir akan emosinya yang mendalam. Meratapi kerentanan itu, Tama baru menyadari betapa ia sungguh membutuhkan rasa aman untuk dapat memercayai seseorang tanpa harus dibuat tersakiti. Mungkin, jika dari awal orang-orang yang ia sayang berbuat baik kepadanya, Tama tidak akan semenderita ini. Hanya sebuah cinta, dari segala yang apa ia butuhkan. Tama yakin, dirinya tidak menjadi sesalah yang telah terbukti sekarang.
Untuk pertama kalinya, akumulasi petaka-petaka yang terbayang dalam benak tersebut membuat Tama ingin menyalahkan dunia dibandingkan apa yang selama ini ia percaya. Karena Melvin, kini tembok pertahanan Tama telah benar-benar hancur sedemikian rupa. Tak ada lagi tempat aman di mana Tama bisa berlindung. Jadi, bersamaan dengan sorot matanya yang redup sulit menelusuri jejaknya menuju depan pintu rumah, benak Tama banyak dipenuhi oleh figur Ayah. Sebab sampai saat ini–meski hubungan mereka tidak baik-baik saja, hanya Ayah yang masih tidak membuangnya.
"Ayah, Tama pulang. Tama janji nggak bakal nakal lagi ke Ayah. Apa pun yang Ayah mau, Tama akan turutin semua kemauan Ayah. Tapi, Ayah juga berhenti benci sama Tama, ya?"
Sedikit lagi, daun pintu itu terhubung menanggapi uluran telunjuk Tama, Tama akan menemukan sosok Ayah yang menunggunya dengan raut berang yang menjemukan. Semburat yang menunjukkan kemurkaan, tetapi Tama tahu Ayah masih menyimpan sebersit kepedulian dari aksi kontradiktifnya tersebut.
Kriek
Lalu, tepat di saat pintu itu terbuka dan kedua mata mereka saling bertemu, Ayah berdiri dari kursinya untuk datang mendekati Tama. Kehangatan yang dahulu pernah Tama rasakan sebelum perceraian itu berkabung, samar-samar menyelimuti kerapuhannya. Tama, merindukan perlindungan Ayah. Oleh karena itu, alih-alih menekuni pelik pertengkarannya dengan Ayah seperti biasa, Tama ingin menjatuhkan tubuhnya penuh ke dalam pelukan Ayah.
Plak!
Setidaknya, imaji itu yang bisa Tama ingat tentang Ayah di masa kecilnya dahulu. Semuanya telah berubah. Lewat sepersekian detik, tamparan keras itu tepat mendarat di pipi kiri Tama. Telapak tangan yang terasa kasar dan sangat panas tersebut, Tama baru teringat sambutan macam apa yang biasa Ayah berikan kepadanya.
Plak!
Seolah belum cukup menerima kepedihan tersebut, wajah Tama sontak berpaling lagi ke sisi kanan mengikuti arah tamparan yang terasa kurang jika hanya diberikan satu kali. Seraya menarik napas keputusasaan, perlahan Tama mengalihkan pandangannya ke arah depan. Wajah Ayah yang terlampau marah dapat dilihatnya dengan jelas.
"Dasar anak nggak tahu diri! Otak kamu sebenarnya pernah dipakai atau nggak, Tama? Belum lewat seminggu Ayah marahin kamu karena nggak patuhin aturan yang Ayah buat, sekarang Ayah harus terima panggilan dari sekolah soal kamu yang suka bolos kelas dan sembunyi di rooftop dari gedung yang nggak boleh dimasukan sembarangan? Berapa masalah lagi yang kamu buat? Belum cukup? Kamu Ayah pindahin ke tempat baru?"
Tampaknya, seluruh rangkaian yang berputar dari masa lalu dan kini, benar telah menguras energi Tama habis-habisan. Tama, bahkan lupa bagaimana tuduhan yang ia terima tadi pagi, puncaknya baru terdampak sesaat semua telah terdengar di telinga Ayah.
"Dan sekarang kamu pulang malam lagi? Ayah jamin kamu pasti kabur dari sekolah buat lari dari masalah yang kamu buat sendiri. Kamu pengin jadi bandel kayak dulu lagi? Pergi ke tongkrongan nggak jelas yang isinya banyak berandalan yang bisa rusak kehidupan kamu? Merasa hebat? Kalau punya banyak luka kayak begini?"
Sembari menahan pedih ketika Ayah menekan memar yang tertera di ruas jemarinya sebab banyak meninju lantai dari pertengkarannya bersama Melvin, Tama meringis kesakitan. Ia menampik tangan Ayah sesaat jemari kasar itu menggesek luka sobek di sudut bibirnya bekas tinjuan dari Alfa.
"Kamu, tuh, memang anak tol*l, ya! Nggak ada sekali pun selama Ayah perhatikan kamu pernah peduli sama kehidupan kamu sendiri. Percuma selama ini Ayah bayar pendidikan dan biaya makan kamu kalau kerjaan kamu nggak jauh dari jadi anak jalanan yang serampangan nggak punya arah. Berguna sedikit bisa?"
Sekencang apa kalimat tersebut dikeluarkan, seberapa frustasinya Dirga berusaha mengusap wajah untuk menahan emosinya yang berkeliaran, Dirga tidak dapat menutupi seberapa besar kecewanya ia selaku seorang Ayah, harus terus-menerus menerima berita tentang putra sulungnya yang berbuat kekacauan.
Tidak di sekolah, sekitaran rumah, atau lingkup pergaulannya, Dirga merasa gagal dalam menjaga bagaimana segala aspek dari kehidupan putra sulungnya berlangsung kacau bertebaran. Segala upaya yang Dirga berikan, seluruh kerja keras yang Dirga torehkan untuk Tama, semua tidak lebih dari sekadar buih jerih payah yang terbuang sia-sia.
"Memang, sejauh mana Ayah pernah memperhatikan Tama?"
Namun, sebuah balasan yang dikeluarkan oleh putra sulungnya membuat Dirga berhenti barang sejenak. Kedua alisnya mengerut tajam seolah sedang memikirkan, dari mana pertanyaan lancang tersebut bisa ia dapatkan dari Tama. "Apa kamu bilang?"
"Tama bilang, memang sejauh mana Ayah pernah memperhatikan Tama?" Meski demikian, intonasi tegas yang Tama tekankan dari ujung lubuk hatinya, tak kalah mengintimidasi pertikaian sampai-sampai, Tama tak pernah merasa sebebas ini untuk dapat mengungkapkan isi kepalanya.
"Kata-kata 'Nggak ada sekali pun selama Ayah perhatikan kamu' terdengar terlalu asing bagi Tama. Memangnya Ayah di mana saat Bunda pergi tinggalin Tama? Ayah pernah? Sekali aja datang buat hibur dan peluk luka batin Tama? Atau nggak harus sejauh itu, Ayah ada? Untuk tanggapin Tama yang selalu berusaha kasih itu buat Ayah?"
Mungkin, di sepanjang waktu Tama selalu diam meniti gelap perjalanannya, ini adalah satu-satunya kesempatan yang pada akhirnya datang bagi ia dapat menceritakan kisahnya. Seluruh momen ini, detik di mana Tama tidak lagi dapat menampung beban yang diderita, Tama ingin menyampaikannya kepada Ayah.
"Tama tumbuh dari diri seorang anak kecil yang lahir di keluarga yang nggak pernah kasih dia cukup perhatian dan kasih sayang, Yah! Tama bingung sama semua yang terjadi di kehidupan Tama, Tama nggak tau kenapa Tama harus relain Bunda pergi saat Tama masih butuh pelukannya, Tama nggak yakin apa alasan Ayah terus benci sama Tama. Sejak dulu, Tama menghadapi semua penderitaan ini sendirian! Tama selalu diberi tahu kalau Tama salah, tapi Tama nggak paham apa alasannya dan kenapa Tama berbuat demikian.
Apa Ayah pikir, Tama juga mau jadi sosok yang begitu dibenci semua termasuk orang tua Tama sendiri? Seluruh kesedihan yang Tama pendam, segalanya berpengaruh ke bagaimana cara Tama menjalani kehidupan Tama yang sekarang! Dan Ayah nggak ada di sana! Bahkan, di saat akhirnya masa kecil Tama berlalu begitu aja, Ayah tega maju duluan dari kesengsaraan yang kita terima bersama tanpa meminta persetujuan Tama. Tama masih terluka ditinggal Bunda, Tama belum selesai menerima perilaku Ayah yang kasar ke Tama, tapi Ayah terlanjur memilih keluarga baru untuk sembuh sendirian!"
Seutuh ruang rongga dada Tama, kini kembali membengkak sebagaimana hal tersebut membuat ia juga kesulitan untuk mengatur pola pernapasan serta emosinya yang meluap.
"Terus Ayah pengin tau kenapa Tama terlihat nggak pernah peduli sama kehidupan Tama sendiri?"
Meski begitu, alih-alih seharusnya beristirahat barang sejenak, tenggorokan Tama secara kontradiktif juga terasa begitu ringan seolah angin yang memburu menyebabkan kalimat per kalimat keluar secara mudah melalui ujung serat lidahnya. Tama–dengan lemah tenaganya yang tak banyak tersisa, perlahan menunjuk bagian tubuhnya yang terlihat hancur di hadapan Ayah tercinta.
"Luka dan darah di tangan Tama ini, Tama dapat karena Tama baru aja tinju permukaan lantai saking Tama benci sama kehidupan Tama sendiri. Sudut bibir Tama sobek karena Tama habis berantem sama teman Tama karena Tama merasa nggak pantas ada di dekat mereka! Dan Ayah tau? Saking muaknya Tama sama diri Tama, Tama bahkan sampai ke titik di mana Tama nggak bisa balas perlakuan mereka! Sejahat apa mereka berbuat ke Tama, Tama merasa pantas buat disakiti!
Kalau Ayah juga penasaran kenapa Tama sering bolos kelas, itu karena Tama nggak percaya Tama bisa jadi anak yang pintar sejauh apa Tama berusaha! Guru-guru di sekolah, teman-teman Tama, sejak kecil Tama nggak pernah merasa dihargai selain daripada Tama yang bebas dikata-katain sesuka hati mereka. Tama anak yang bodoh! Tama pembuat onar! Tama nggak bisa diharapkan! Bahkan, di saat Tama akhirnya berhasil membuktikan Tama bisa dapat nilai bagus atas hasil upaya Tama sendiri, nggak ada satu pun orang percaya sama Tama termasuk Ayah yang Tama harapkan ada buat Tama!"
Mendengar pengalaman pahit tersebut terus-terusan disebutkan oleh putra sulungnya, Dirga bungkam dengan segala macam emosi yang membuncah di ruang hatinya. Rahang pria itu mengeras. Dirga terperangkap ke dalam semburat perasaan bersalah yang baru diketahuinya, juga ego yang selama ini ia tumpahkan terlalu keras pada Tama seorang.
"Kalau sekarang Ayah pengin tau kenapa Tama nggak pernah nyaman ada di rumah, itu karena Ayah selalu sambut Tama dengan luka, omongan kasar, tamparan, tanpa pernah tanya ke Tama tentang apa yang menimpa di kehidupan Tama sebenarnya! Tama sakit, Ayah! Tama benci keberadaan Tama selaku anak semurah itu untuk dihakimi dan dipukul sama Ayah Tama sendiri! Tama butuh pengakuan Ayah kalau Ayah sayang sama Tama, tapi Ayah nggak pernah kasih itu ke Tama!"
Melalui pengungkapan yang teramat lantang diserukan oleh putra sulungnya tersebut, sesuatu mengetuk pintu hati Dirga lebih kencang dari apa yang selama ini ia pertahankan. Tentu, Dirga menyayangi Tama tanpa perlu diutarakan. Selama ini, seluruh kerja kerasnya, tidak sekali pun Dirga pernah luput atas bagaimana ia bertanggung jawab terhadap masa depan dan jalur pendidikan Tama. Letih upaya dari membangun keterpurukan setelah ditinggal mantan istirnya, tak lepas ia sisihkan untuk memastikan Tama dapat hidup dengan layak sesuai peruntungan yang terbaik.
Meski demikian, lewat amarah itu pula, Dirga menyadari bahwa sebagai Ayah, kesalahannya sangat fatal perihal memberi Tama kasih sayang dan jalinan cinta yang tepat untuk disambungkan. Sepanjang tahun kelam yang pernah ia lalui, Dirga merasa kabur atas apa yang perlu ia lakukan terhadap Tama. Dirga tidak tahu perasaan itu datang dari mana. Namun, ada sebersit kebencian ketika ia melihat sosok Tama yang secara tidak langsung mengingatkan Dirga bahwa putra sulungnya yang ingin ia banggakan, merupakan bagian dari darah yang tak sudi ia telusuri kembali.
Hari-hari sebelum kekacauan itu terjadi, samar-samar Dirga masih ingat seriang dan sedekat apa ia pernah membangun hubungannya dengan Tama. Memori kecil itu, adalah kenangan hangat yang membuat Dirga bertindak bertolak belakang saat ingin tegas memberi hukuman berupa pemotongan uang jajan, tetapi Dirga tidak mengurangi sedikit pun nilai tabungannya untuk Tama. Dirga ingin Tama berhenti berkeliaran dan bergaul dengan anak-anak nakal, tetapi ia hanya bisa menyita motor kesayangan Tama dan lalu memberikannya kembali karena Dirga juga tidak nyaman melihat Tama seolah enggan pulang ke rumah.
Dalam ringan tangannya melampiaskan kekecewaan, kemarahan, dan kebingungan, di hari ini pun Dirga masih tidak dapat menyangkal bahwa ia sangat khawatir terhadap apa yang dilakukan Tama di luar sana. Oleh karena itu, walau ia telah berjanji akan berhenti memedulikan putra sulungnya, Dirga masih setia menunggu Tama pulang mengetuk pintu rumahnya. Sendiri, bersama beragam pikiran buruk perihal seberapa jauh anaknya melaju tanpa menangkap sedikit pun harapan yang ia titipkan.
"Kalau Ayah nggak suka dan merasa keberatan untuk rawat Tama, seharusnya Ayah bilang sama Tama!"
Meski begitu, lewat keluhan yang tak henti memenuhi seluruh isi kepalanya, kini Dirga paham ada sebanyak apa kesalahpahaman yang ia bentuk bersama Tama sepanjang tahun Dirga merawatnya. Dirga mengakui ia kalah banyak selaku Ayah. Dirga tidak pernah merasa keberatan untuk merawat Tama sejak lama. Dirga keliru telah memproyeksikan kebenciannya pada anak yang ia sayang.
Sebab itu, jika Tama merasa demikian, Dirga ingin meminta maaf karena terlalu lama memahaminya dan tak pernah menanyakan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Diliputi dengan rasa bersalah karena dari dulu hingga sekarang, Dirga selalu telat membiarkan Tama menghibur dan menyambung permasalahan di saat sosok ayahlah yang seharusnya memulai, Dirga ingin menggenggam bahu Tama demikian erat. Dirga mau mendekat memberi jawaban yang tak sanggup ia keluarkan. Namun, tinggal beberapa langkah ia dapat merengkuh tubuh putra sulungnya yang tertunduk menutupi separuh permukaan wajahnya tersebut, kalimat yang keluar dari mulut Tama setelahnya sontak menyakiti nurani Dirga tiada terkira.
"Kalau aja hari itu Bunda pergi bawa Tama, mungkin Tama nggak akan jadi sesengsara ini!"
Darah yang mengalir pelan, semburat yang mulai memadam, seketika kembali deras mengucur ke ujung kepala Dirga. Rongga dada pria itu sontak mengembang dipenuhi amarah yang tak tertakar akibatnya. Di luar dari konflik yang ia simpan terkait kelirunya memandang Tama sebagai bagian yang terlepas dari mantan istrinya, sebagai seorang Ayah Dirga juga sering merasa takut apabila pada kenyataannya Tama menyesal harus tinggal bersamanya.
Oleh karena itu, ucapan yang baru saja disebutkan oleh putra sulungnya tersebut wajar menjelma pengkhianatan serta sakit hati terbesar yang dapat Dirga terima selaku seorang Ayah. Seluruh pertentangan di hidupnya Dirga upayakan untuk terus membesarkan Tama. Namun, mengetahui putra sulungnya teramat menyesal menerima bentuk perhatiannya yang tersampaikan lewat cara yang paling sulit dimengerti tersebut, Dirga kehilangan pijakan.
"Kalau kamu sebegitu menyesalnya tinggal sama Ayah, kamu pergi susul Bunda kamu sekarang!" Seraya mengucapkan kalimat itu dengan lantang, Dirga membalikkan badan untuk mengambil sebuah foto yang tersimpan di dalam lemari dekat ruang keluarga. Langkahnya disertai hentakan yang menggema. "Kemas barang kamu! Ayah nggak pengin lihat kamu ada di rumah malam ini!"
"Sshh." Tama mendesis. Tepat menghadap wajahnya, kertas foto itu dilempar begitu cepat oleh Ayah sehingga ujungnya yang tajam sempat menyobek pipi kiri Tama tak terelakkan. Garis luka yang memanjang tersebut mengalirkan setetes darah alih-alih Tama menitikkan air mata. Dari lembar putih yang terbalik di permukaan lantai tersebut, Tama dapat melihat sebuah alamat tertulis di atasnya. "Ayah bisa bilang dari dulu kalau Ayah nggak menginginkan Tama."
"Ayah bilang pergi!"
"Maaf kalau Tama udah terlalu lama menyusahkan, Ayah. Semoga Ayah bahagia tanpa adanya Tama sekarang."
Usai mengambil lembar foto tersebut secepat bayang berlalu, keberadaan putra sulungnya yang berjarak sejengkal tangan pun mulai beranjak hingga jangkauannya tak mampu menggapai uluran. Dirga tertunduk memijat keningnya frustasi. Pikirannya benar-benar berantakan seolah pertengkaran ini memicu memori terburuknya tentang ditinggalkan oleh seseorang yang pernah begitu ia sayang.
Keadaan ini, menyebabkan Dirga mendadak hilang akal dan tidak tahu harus berbuat apa. Dirga tidak pernah mengerti bagaimana cara mendekati Tama, sehingga ia meminta putra sulungnya untuk pergi agar tidak menambah kerusakan. Dalam kerentanannya yang terbuka teramat besar, Dirga jatuh bebas menanggapi kenyataan bahwa mungkin ia benar-benar tidak bisa merawat putra sulungnya dengan tepat.
Semua yang ia percayai terkait tanggung jawabnya barangkali hanyalah sebuah kebohongan besar. Tama, boleh jadi akan jauh lebih baik jika tidak tinggal bersamanya. Lantas, bersama seperti doa yang diucapkan Tama tersebut, Dirga berharap mantan istrinya mau memeluk Tama sesaat mereka saling menemukan. Jika tidak, tentu Dirga mau Tama pulang setelah menemukan jawabannya.
"Ayah! Bang Tama Ayah suruh pergi ke mana?"
Tanpa sadar, entah sudah berapa lama pertengkaran itu disaksikan oleh Lita dan Putri yang tampak menegang dari balik pintu kamar, kedua bola mata Dirga meluruh diselimuti kesedihan besar. Lita hanya diam di tempat membilas pandangannya begitu memilukan, sedangkan Putri mengejar Tama yang terburu menitih langkahnya menuju lantai atas.
"Bang Tama! Tungguin Putri! Putri nggak bisa buru-buru naik tangganya!"
Panggilan tersebut, satu-satunya hal yang bisa membuat Tama tersenyum di dalam rumah ini, mendadak begitu mudahnya Tama abaikan bagaikan angin berlalu yang tak penting untuk didengar. Fokus Tama tidak pernah sepecah ini sebelumnya. Sekujur tubuhnya mendidih panas, kepalanya pusing tak kepalang, Tama hanya mampu mendekati lemarinya dan terburu-buru memasukkan sejumlah pakaian dan barang lain yang ia temukan di dalam kamar.
"Abang! Kenapa barang-barangnya dibawa semua, Bang! Abang mau ke mana? Abang, kok, nggak jawab pertanyaan Putri, sih!"
Teriakan nyaring itu, beserta gangguan kecil yang menggoyangkan lengan dan tubuhnya berulang-ulang, pada kondisi kini Tama tidak bisa lebih tersulut untuk kembali menyuar kemarahannya.
"Berisik, Putri!"
Meski begitu, Tama sudah terlampau tidak bertenaga bahkan sekadar mengeluarkan suaranya. Jadi, setelah hening sempat membekap di ruangan itu, Tama hanya bisa memejamkan mata dan menarik napasnya dalam-dalam. Tak terasa, entah berapa lama ia membutuhkan waktu untuk mengukuhkan pikirannya, tepat di belakang, Putri telah memasang raut memelas disertai genangan air yang memenuhi pelupuk matanya.
"Abang, kok, marah ke Putri, Sih?" ujar Putri menahan sengguk tangisnya. Jari mungil itu ia angkat untuk mengusap kedua pipinya yang basah. "Abang nggak pernah teriak ke Putri sebelumnya. Dari kemarin, Abang tiba-tiba juga diemin Putri. Putri ada salah ya ke Abang?"
"Bukan begitu, Putri." Dengan lebih tenang, perlahan Tama pun mendekati Putri kemudian memeluk adik kesayangannya itu. Garis alis Tama mengerut layu tak terelakkan. Ia merasa buruk telah menakuti Putri. Namun, Tama tidak bisa berbuat apa lagi karena Ayah telah menghendakinya untuk pergi. "Kamu nggak salah apa-apa."
"Kalau Putri nggak ada salah, artinya Abang masih sayang sama Putri, 'kan? Kalau Abang sayang sama Putri, Abang jangan dengerin Ayah. Abang nggak boleh pergi."
Sebelah bahu Tama kini terasa basah akan tangisan Putri. Seragam yang ia kenakan, kini semakin kusut tidak karuan sebab Putri meremas bagian seragamnya sekuat yang ia bisa.
"Abang sayang Putri, tapi Abang harus tetap pergi."
Sembari melerai Putri dari pelukannya, Tama menjaga tangan Putri agar tidak lagi berpegangan pada atribut pakaiannya. Selama Tama mengenal Putri dari bentuknya yang masih bayi, tentu tidak hanya sekali Putri pernah menangis di hadapannya. Akan tetapi, komunikasi yang menyakitkan seperti ini adalah yang kali pertamanya Tama berikan kepada Putri.
"Abang jahat. Abang nggak sayang sama Putri."
"Maaf, Putri. Nanti kita ketemu lagi."
Demikian, membiarkan Putri terduduk menangkup wajahnya sendiri di masing-masing lutut, dengan berat hati Tama pun beralih menenteng tasnya tinggi seraya menuruni anak tangga. Dari luas sudut pandangnya, Tama dapat melihat Ayah telah ditemani oleh Lita di sisi ruangan. Entah kenapa dari sorot mata Lita yang limbung melihatnya, Tama rasa Lita memintanya untuk tidak pergi meninggalkan.
Kendati begitu, Tama tidak bisa tahan lagi untuk segera menghilangkan diri dari pandangan Ayah. Tanpa mengucap salam berpamitan, lantas Tama mengijakkan kakinya keluar dari pintu rumah secara tergesa-gesa. Rongga paru-paruya menjadi sesak kembali. Tama terus mengukur langkahnya menjauh, hingga tak terasa ia sudah membelah gelapnya malam menuju persimpangan yang begitu sunyi menutup telinganya.
Di dekat pohon besar yang menjulang tinggi itu, Tama menyandarkan tangannya untuk menumpahkan semua beban. Tama ingin malam mengizinkannya untuk pulang beristirahat. Namun, seruan peran yang menghantamnya bertubi-tubi ini, justru membuat nuraninya hancur terluka berat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top