48. Penilaian
Sejak kecil, Tama memang sering kewalahan mengurus berbagai macam hal di kehidupannya. Sampai-sampai, tidak jarang ia suka heran mengapa anak-anak di kelasnya begitu bertolak belakang dengan dirinya. Mulai dari bagaimana mereka sempat-sempatnya menyiapkan bekal di pagi hari–sedangkan bangun tepat waktu saja sudah merupakan sebuah keberuntungan bagi Tama, atau tentang kenapa pakaian, rambut, serta wajah mereka bisa tertata rapi bertaburkan kilas bedak sebaliknya ketika Tama memakaikan kain seragamnya sendiri saja, selalu tampak kusut berantakan. Dari semua hal itu, satu yang paling membingungkan Tama adalah, sebenarnya apa rahasia mereka dapat memahami seluk-beluk materi, padahal Tama kesulitan sekali untuk sekadar menempatkan atensinya ke depan papan tulis?
Dalam bayangan yang sempat ia imajinasikan kala duduk di pertengahan bangku SD, Tama pernah menggambarkan keberadaannya selaku sosok serigala abu-abu yang tersesat di tengah ramainya kawanan domba berbulu putih. Para pengajar yang membina lingkup sekolah pada dasarnya merupakan penggembala yang hebat. Namun, sayangnya mereka tidak pandai perihal merawat entitas liar. Sering kali, pandangan guru-guru terasa bak ancaman seolah-olah Tama adalah predator berbahaya yang harus diawasi agar tidak merusak peternakan sehat yang mereka miliki. Terlalu mencolok dan tidak cocok apabila harus dipaksa hidup berdampingan, padahal di mata anak-anak lain, seekor serigala berwarna abu-abu itu tampak keren dan menyenangkan untuk diajak bermain.
Awalnya, semua berjalan baik-baik saja. Meski kesulitan menyelesaikan agenda akademik, setidaknya ia masih bisa bersenang-senang sebab yang ingin mendekatinya ada banyak sekali. Sayangnya, ketika semakin lama Tama menyadari bahwa kawanan domba itu perlahan-lahan mulai mengikuti jejak perilakunya yang disebut keliru, ia jadi takut apa yang dikhawatirkan guru-guru tersebut adalah benar. Perjalanan masa kecilnya pun berlalu begitu saja diakhiri dengan keputusannya untuk mulai membatasi jarak dan menyisakan satu sobat terdekat yang ia percaya tidak akan terpengaruh oleh tabiat buruknya.
Menginjak masa pubertas disertai perubahan fisik yang mampu menopang langkahnya menjelajahi dunia lebih luas, Tama akhirnya memasuki lingkup baru di mana ia berhasil menemukan kawanan yang serupa dengan dirinya. Yang sanggup berbuat nakal ternyata bukan Tama seorang. Ia tidak begitu jauh berbeda barangkali hanya memulainya lebih cepat dibandingkan anak-anak yang lain. Di sana, Tama tidak lagi perlu memikirkan apakah kehadirannya akan membawa dampak negatif bagi lingkungan. Semua tidak ada yang peduli terhadap aturan atau semacamnya. Faktanya, merekalah yang justru mendorong aksi Tama menjadi semakin liar dari yang tadinya tidak pernah bolos kelas, lalu jadi sering kabur memanjat tembok sekolah demi berkumpul di sebuah tempat tongkrongan. Semula yang Tama terima hanyalah teguran peringatan, lambat laun berubah menjelma hukuman yang menyebalkan.
Perasaan nyaman itu, ketika dalam pelariannya ia menemukan sebuah tempat untuk singgah sebentar, tiba-tiba mengingatkan Tama tentang bagaimana permulaan dirinya dianggap nakal bagi orang-orang di sekitar. Semudahnya orang mengatakan semua merupakan bawaan secara naluriah, kenyataannya, tidaklah sesederhana itu.
"Tam! Mau sampai kapan lo lari terus begini?"
Apa yang membuatnya berbeda dari anak-anak yang lain, mungkin berakar dari hilangnya jejak perhatian Ayah dan Bunda sehingga sehingga segala kurang yang tampak dalam diri Tama begitu mudah disalahartikan oleh guru-guru yang menjunjung kemuliaan.
Melalui hal tersebut, Tama sangatlah kesepian sehingga ia hanya ingin menjadi sebuah bagian yang mau menerimanya tanpa larangan. Oleh karena itu, ketika ia menemukan tempat pelarian yang paling aman di mana ia tidak bisa merugikan orang di sekitar, Tama rela melakukan apa saja agar dapat bergabung ke dalam sana.
Tentu, dahulu Tama masih kecil sampai-sampai banyak hal ia putuskan dengan sedikit pertimbangan. Memilih satu dari sekian jalan di tengah persimpangan sangatlah sulit, jadi dalam prosesnya, Tama terpaksa kehilangan sahabat terdekatnya yang mungkin sebenarnya paling ia butuhkan dan orang-orang besar semakin yakin mengecapnya sebagai anak berandalan.
Di umurnya kini yang hampir menyentuh kedewasaan, beberapa kesalahan Tama sesali dari perbuatannya. Tama mungkin sedikit keliru dalam memilih pergaulannya, tetapi juga benar perihal memercayai ucapan guru-guru tentang bahaya keberadaan dirinya. Terlanjur tumbuh dengan cara tidak normal, membuat Tama berkembang menjadi predator mengerikan yang dapat merugikan orang-orang di sekitar.
"Lo bisa berhenti nggak?"
Sebagai bukti, terlepas dari kejinya tuduhan Haikal, Tama tidak dapat menampik kebenaran atas dirinya yang berjasa dalam mencoreng nama baik Pak Sukidin dan Luna. Tanpa ada maksud untuk menyakiti, bahkan virus yang begitu ia takutkan tersebut telah menyebar dengan sendirinya ke Bina Bangsa. Dibandingkan berpegangan pada hal bodoh seperti bagaimana ia dapat disembuhkan, buru-buru Tama harus memutus kemungkinan tersebut demi kebaikan mereka sekarang.
Semuanya benar-benar memuakkan. Tama tandas memikirkan sebuah harapan.
"Pratama Kaiden Adnan! Gua bilang berhenti!"
Beralih pada posisi kini, seruan tegas yang menyuar di belakangnya membuat Tama mulai menghentikan langkah panjangnya yang terburu cepat. Laki-laki itu terdiam membisu. Mulutnya memang tidak mengatakan apa-apa, tetapi dari alur napasnya yang tersengal berat dan tangannya yang menggenggam kencang, siapa pun bisa mengatakan bahwa kondisinya sekarang sangatlah berantakan.
"Lo punya masalah apa, hah? Kenapa lo bertindak kayak pengecut belakangan ini?"
Kalimat kasar tersebut lantas menyulut amarah Tama semakin memanas. Mengalihkan pandangannya ke belakang, Tama menangkap presensi Alfa tengah berjalan ke arahnya. Raut garang laki-laki itu, jelas-jelas menandakan bahwa ia sedang marah besar.
"Lo bilang apa barusan?"
"Iya, pengecut! Gua kira lo pemberani. Ternyata semua nggak sesuai dengan apa yang gua bayangkan."
Sejatinya, Tama tahu alasan kenapa Alfa mengejarnya sampai ke sini. Sesaat ia keluar dari ruangan konseling tadi, baik Farhan, Zaki, Vero dan Revo termasuk Alfa sendiri, semua menunggunya di depan halaman. Kala itu, Tama bisa melihat raut khawatir muncul di wajah mereka. Terlepas dari apa yang Tama lakukan saat presentasi kemarin, Vero dan Revo merupakan orang pertama yang mendekati dirinya. Namun, alih-alih menyambut mereka seperti niatnya di awal, Tama justru menepis uluran tangan si kembar dan beralih kencang sembari menubruk kedua bahu mereka yang menutupi jalannya.
"Sejujurnya, gua nggak paham kenapa mereka harus berusaha sekeras itu untuk mendekat sama lo. Sampai sekarang, lo masih abu-abu di mata gua. Mungkin kemarin gua bisa percaya pendapat baik mereka tentang lo. Tapi, dengan cara lo yang lari kayak begini, gua jadi ragu."
Meski begitu, hati Tama sudah tersulut banyak emosi sehingga lemahnya ia cenderung tertukar dalam perilaku defensif. Tama sudah tidak bisa menerima lagi kalimat apa pun yang dapat menyakiti dirinya. Jadi, Tama membalas perkataan Alfa dengan nada yang sama beratnya.
"Gua nggak pernah minta dianggap baik oleh siapa pun." Tama berujar dengan pupil mata yang melebar. Laki-laki itu mendengus kasar. "Dan kalau dari awal lo nggak suka sama gua, lo nggak perlu repot-repot melakukan penilaian bodoh itu ke gua."
Bohong, bahkan sejak kemarin, sejatinya Tama sangat memedulikan tentang seberapa rusak dirinya di mata mereka sekarang. Penilaian tentang baik dan buruk dari orang yang ia pedulikan merupakan sesuatu yang paling rentan memicu Tama tenggelam dalam kalut yang berlebihan. Saking tidak bisa lama menahannya, Tama selalu memilih untuk lari dari kenyataan.
"Ini yang paling nggak gua suka dari diri lo. Lo itu pembohong ulung, terlalu tertutup, terlampau misterius." Alfa sempat berdecak sebentar sebelum melanjutkan kalimatnya. "Kalau lo nggak peduli, kenapa hari itu lo terima ajakan mereka buat datang ke rumah gua? Sok bersikap akrab, bangun hubungan personal seolah-olah mereka boleh percaya lo mau jadi sahabat dekat mereka. Tapi, di saat mereka berusaha habis-habisan buat pahamin kondisi lo, lo malah kabur tinggalin mereka. Salah? Gua bilang lo itu pengecut?"
Ada gejolak aneh yang muncul di dalam dadanya setiap kali Alfa selesai berbicara. Seakan, dalam hatinya yang tenggelam dalam kegelapan, serbuk sembilu menyelip masuk untuk membuat luka yang menggores telak kesadarannya.
"Gua mungkin nggak terlalu pandai dalam menilai orang atau mengatasi masalah di lingkup sosial gua. Tapi, mereka beda," kata Alfa menegaskan pendapatnya. Raut laki-laki itu terlihat serius, tetapi juga muram di beberapa titik. "Dulu, gua juga sama kayak lo. Gua juga orang yang bermasalah karena punya temperamen buruk dan bersifat agresif sama siapa pun yang ada di sekitar gua. Meski begitu, mereka tetap datang di saat gua, bahkan ragu sama diri gua sendiri."
Kembali menajamkan netranya, Alfa lantas mengangkat wajahnya tinggi seolah-olah ia tidak main-main dengan apa yang ia ucapkan berikutnya. "Orang-orang semacam mereka itu nggak banyak. Entah apa yang ada di dalam kepala mereka, mereka bisa melihat sesuatu yang kita sendiri nggak tau kalau itu berharga. Mereka punya alasan yang jelas kenapa mereka memilih bertahan di sisi kita, di saat yang lain berlomba-lomba buat melakukan sebaliknya. Maka dari itu, sebesar apa gua punya penilaian buruk gua sendiri tentang lo, gua tetap percaya sama mereka. Gua memilih untuk tetap ada di hadapan lo sekarang."
Mendengarnya, lubuk jantung Tama terasa bergetar. Dalam kesan yang jauh dari memberikan ketenangan, Tama tidak tahu Alfa mampu memutar kalimatnya untuk memberi makna yang sedalam ini. Kemampuan empati laki-laki itu memang ada di bawah rata-rata. Kendati begitu, kerasnya Alfa merupakan orang yang paling tepat untuk menyadarkan kacau pikiran Tama. Sayang saja, Tama sudah mengukuhkan keputusannya.
"Lo memang nggak pandai dalam menilai orang," kata Tama sembari memajukan langkahnya mendekati Alfa. Kedua alisnya mengerut tajam sedemikian rupa. "Jadi, jangan sekali-kali pernah menganggap kalau kita itu sama. Lo nggak tau apa-apa tentang siapa dan gimana kehidupan gua yang sebenarnya. Dan mereka, teman-teman yang lo banggain itu juga sama bodohnya kayak lo! Lo semua cuma sekumpulan orang-orang naif yang sok kehebatan bisa menilai baiknya seseorang! Mending lo semua pergi dari hadapan gua sekarang!"
"Stop saying such nonsense!" Dalam jarak yang dekat tersebut, Alfa meraih kerah Tama dengan kedua tangannya yang mengepal. Semburat emosi muncul di sekitar leher dan wajah Alfa. "Memang masalah lo sebesar apa, hah?" Laki-laki itu meninggikan nada bicaranya. "Lo cuma perlu merespons di saat mereka semua peduli sama lo! Mereka nggak pernah menuntut apa-apa, mereka cuma minta lo jangan kabur tanpa kasih penjelasan atas apa yang mengganggu di pikiran lo!"
Dengan sama berangasnya, Tama menyentak tangan Alfa dan mendorong laki-laki itu menjauh. Di saat ia menemukan celah kala Alfa kehilangan sedikit keseimbangannya, Tama berbalasan menarik seragam laki-laki tersebut. "Gua udah bilang kalau gua nggak minta dipeduliin! Mereka duluan yang datang dekatin gua, gua nggak pernah berharap menjadi bagian dari mereka! Jadi, kenapa gua yang harus repot memikirkan itu, hah?"
Semakin banyak tumpukan kebohongan itu keluar dari dalam mulut Tama, semakin berat pula dadanya berupaya menahan sesak. Benturan konflik batin dan pikirannya membuat Tama hampir hilang kewarasan. Tanpa aba-aba, sebuah tinjuan besar yang melayang di sudut bibir kirinya genap menyempurnakan kalapnya Tama.
Buk!
"Pertemanan datang tanpa harus ada permintaan, Bodoh!"
Kalimat itu, sontak membuat Tama utuh terguncang sebagaimana tubuhnya terhuyung jatuh sedang tasnya terlempar ke permukaan lapang. Dalam posisi sikunya yang menumpu sikap bertahan, Tama tidak sempat melakukan perlawanan sebab Alfa lagi-lagi mengunci pergerakan Tama dengan mencengkeram seragamnya.
"Apa lo pernah benar-benar menakar atas apa yang selama ini lo berikan ke mereka?"
"Gua nggak paham apa yang lo omongin."
"Jangan pura-pura bodoh! Lo yang duluan hadir di tengah kehidupan mereka! Lo yang pertama kali bantu mereka tanpa pernah menuntut apa-apa." Alfa menggeram. Kilas memori di mana teman-temannya menceritakan tentang Tama yang selalu berusaha ada di saat mereka membutuhkan bantuan mendadak terputar di otaknya. Buku PR yang tertinggal, insiden di lapangan, panggilan bersenang-senang, permintaan fotografi, termasuk obrolan pribadi antara dirinya dan Tama di kala ia merasa kebingungan, serempak mengerubungi benak Alfa. "Mereka mau berbuat baik ke lo karena mereka menghargai semua nilai yang lo punya! Jadi, jangan sekali-kali lo merasa kalau lo adalah makhluk yang berhak sendirian! Lo bukan orang yang paling susah di dunia ini, Tama! Berhenti menyimpulkan sesuatu secara berlebihan!"
"Berisik! Berapa kali gua harus bilang, lo jangan sok tau tentang gua!" Melalui satu kali hentakan, semburat tenaga tiba-tiba membuar dari tubuh Tama dan bersama lonjakan emosi tersebut, Alfa terdorong ke arah samping menyebabkan mereka bergantian posisi secara berkebalikan. "Kalau gua memang nggak berhak merasa sendirian, ke mana orang tua gua di saat gua benar-benar membutuhkan mereka?" Seraya menekan dada Alfa yang berada tepat di bawahnya, Tama meluapkan emosinya seluas yang ia bisa. "Kenapa Ibu gua pergi ketika gua masih nggak tau banyak tentang apa artinya lahir ke dunia? Kenapa Ayah gua harus pindah ke rumah baru di saat gua lagi rapuh dan mengharapkan perlindungan dia? Dan di mana gua di saat sahabat gua sendiri harus menanggung derita hanya karena dia mengenal gua?"
Mengamati kedua netra itu tampak terkejut, Tama merasa ia telah membagikan informasi pribadinya terlalu banyak. Sebelah tangannya yang melayang di udara hendak memberikan tinjuan di muka Alfa, sontak terhenti tepat di hadapan. Tama berada di luar kendali sampai-sampai ia melantur membicarakan hal yang bukan-bukan. Energi besarnya lantas surut dilahap kesengsaraan. "Lo nggak bisa jawab pertanyaan gua, 'kan, Fa?" Sepenuhnya, hati Tama kini merasa gundah luar biasa menyesal. Meski begitu, mulutnya tidak bisa menahan untuk mengeluarkan satu kalimat lagi. "Gua nggak punya semua yang lo omongin. Jadi, stop bertindak seakan-akan lo paham soal gua."
Ditemani dengan rautnya yang tampak pelik dan mulut utuh membungkam, Alfa memproses banyak ucapan Tama yang sayangnya tidak dapat ia terjemahkan dalam satu kali pemahaman. Kendati demikian, melihat dari jarak dekat bagaimana bola mata Tama menyuar kepedihan yang begitu besar, sedikitnya hal tersebut menyayat lubuk jantung Alfa sehingga laki-laki itu turut merasa kesakitan.
Karena beberapa pengalaman buruk di masa kecilnya, Alfa sadar ia tumbuh menjadi seseorang yang tidak pandai berkomunikasi sehingga terkadang ia butuh memprovokasi agar lawan bicaranya mengutarakan respons yang sebenarnya. Mungkin, karena Alfa belum mengenal Tama secara personal, ia jadi terkejut mendengar sedikit cerita Tama tentang persepsinya mengenai apa itu kesendirian.
Alfa sedikit merasa bersalah lantaran mengekspose luka Tama dengan cara yang tidak mengenakkan. Walau begitu, kekesalannya menghadapi tingkah sulit Tama beberapa hari ini mulai menghilang sebagaimana bayangan Tama yang bergerak semakin jauh, ikut lenyap dari tangkapan pandangannya.
"F*ck."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top