46. Kasus

Terhitung menyentuh setengah dari bulatnya 24 jam, Tama rasa hal-hal yang menyakiti dirinya tidaklah sekuat itu untuk perlahan-lahan dapat pula disembuhkan. Hanya dengan pulang dan membicarakan semuanya kepada orang yang tepat, segalanya cukup menenangkan batin Tama atas hal-hal yang menghantui di pikiran. Walau tentu, Tama belum sepenuhnya pulih perihal kembali membenahi keadaan, setidaknya secercah harapan baik timbul kala mentari menyambut pulas tidurnya di pagi hari.

Kemarin, selain daripada kepentingannya menghubungi Melvin, Tama sengaja tidak merespons puluhan pesan dan panggilan dari teman-teman Bina Bangsanya yang entah apa yang ingin mereka bicarakan. Kabut pemikiran Tama terlalu tebal akan rasa takut bahwa mereka–utamanya Vero dan Revo–kecewa atas buruk presentasinya serta sikapnya yang kabur meninggalkan kelas. Harga diri Tama sedang hancur sampai-sampai ia malu berurusan dengan mereka semua. Namun, karena semalam Melvin berhasil merangkai pecahan lukanya, Tama mengukuhkan rencana untuk datang menjelaskan kepada mereka tentang aksinya yang bersikap mengabaikan.

Terlepas dari nantinya bentuk kebencian seperti apa lagi yang mungkin Tama terima, Tama berpikir melarikan diri bukanlah hal yang sepatutnya dilakukan. Tama harus berani bertanggung jawab menghadapi mereka yang telah banyak membantunya. Tama tidak boleh bertindak semakin merugikan.

Di luar itu, sepulang sekolah nanti, Tama juga sudah berniat mau merayakan hari ulang tahun Melvin. Barangkali, sebab rasa terima kasihnya membuncah terlalu besar akibat pembicaraan kemarin, Tama jadi bersemangat ingin membalas kebaikan Melvin selaku sobat andalannya. Oleh sebab itu, satu hal yang Tama ingat pertama di pagi ini adalah, ia wajib memastikan amplop yang ia dapat dari Farhan telah tersimpan di saku tasnya. Meski lembaran uang tersebut sudah ia masukkan sejak tadi malam, beberapa kali Tama masih mengeceknya seolah khawatir benda tersebut dapat berjalan sendiri tanpa sepengetahuannya.

"Jadi, Pak Sukidin kasih kamu kunci supaya kamu bisa keluar masuk rooftop bangunan empat sesuka kamu?"

Namun, sebagaimana dari Melvin ia percaya bahwa obat penawar luka tidaklah sesulit itu untuk ditemukan, seketika Tama lupa serupanya kebalikan hukum tersebut, jauh lebih sering ia jumpai dalam kehidupannya. Sejak kecil, kesengsaraan merupakan teman sejati pertama yang mau mencintai Tama. Dalam dunianya yang dahulu tengah aktif mencari kebahagiaan, Tama bertanya-tanya mengapa serbuk-serbuk nan berkilauan tersebut begitu mudah terlepas dari genggamannya. Eksistensi cantik yang sayangnya terlampau kecil itu, seolah tidak memiliki nyawa sebab angin dapat kapan pun meniupnya ke arah mana ingin dibawa. Di ujung kesenjangan itu, ternyata sama seperti Tama, jawabannya adalah karena entitas tersebut tidak memiliki rumah tetap sebagai perlindungan. Hadirnya tidak pernah aman, wajar terus diserang kecemasan.

"Loh, Pak, itu semua terjadi gara-gara Tama yang udah berlebihan melanggar aturan! DIbandingkan Pak Sukidin, seharusnya Tama yang Bapak salahin. Kita semua juga tau selama ini Pak Sukidin baik-baik aja kerja di Bina Bangsa. Pak Sukidin baru begini pas Bina Bangsa kemasukan murid modelan kayak Tama. Permasalahannya itu ada di Tama, Pak!"

Pagi ini, bahkan belum sempat meletakkan tasnya ke dalam kelas, mendadak Tama mendapat panggilan ke ruang konseling karena terlibat dalam satu tuduhan kasus yang cukup besar. Bukannya Tama tidak menduga sama sekali. Hanya saja, Tama lalai perihal mengantisipasinya. Pantas, beberapa waktu sebelumnya, Tama merasa seperti ada yang mengikuti jejaknya.

"Bapak tau betul kesalahan apa yang sudah Tama buat. Meski begitu, adalah tanggung jawab Bapak juga untuk memastikan semua tenaga kerja di sini mempunyai integritas yang tinggi dalam menjaga keamanan sekolah," ujar Pak Hadi–penanggung jawab bagian konseling–tetap menjaga wibawanya dalam menghadapi suatu permasalahan.

Alih-alih meneruskan argumennya, Haikal–laki-laki yang kini tengah duduk di sebelah Tama–menahan dirinya untuk tidak memperburuk suasana ke arah yang tidak ia harapkan. Raut laki-laki tersebut terlihat risau dan kesal pada waktu yang bersamaan. Sedari awal, ia tidak berniat untuk ikut menjatuhkan Pak Sukidin ke dalam genggaman Pak Hadi. Kendati demikian, Haikal luput memperhatikan bahwa memang Pak Sukidin juga salah karena bisa-bisanya pria tua itu memberikan kunci secara sembarang kepada seorang siswa berandalan.

"Lo nggak berencana menjadikan Pak Sukidin sebagai tameng lo, 'kan?" Tidak bisa membiarkan hal ini terus berlanjut, Haikal pun melirik sinis ke arah Tama. Dalam hati, ia benar-benar kesal bagaimana Tama masih saja diam seolah-olah laki-laki tersebut menolak disalahkan. Di luar itu, Haikal juga waspada rencananya untuk melaporkan buruk tabiat Tama ikut berimbas pada Pak Sukidin. "Jangan jadi pengecut yang cuma bisa lempar masalah lo ke orang lain."

"Haikal." Pak Hadi menginterupsi dengan menekankan nada bicaranya. Perkelahian yang diusung antar remaja laki-laki merupakan sesuatu yang paling lazim menimbulkan agresi. Namun, sebelum Pak Hadi berupaya mengendalikan keadaan, seorang siswa yang berada di serong kanannya telah terlebih dahulu berbicara.

"Yang dikatakan oleh Haikal itu benar," ujar Tama dalam pandangan yang terbilang nanar. Segalanya berkebalikan dengan kelegaan yang terlepas di mata Haikal. "Semua nggak ada sangkut pautnya sama Pak Kidin. Saya yang salah."

"Jadi?" tanya Pak Hadi menuntut elaborasi. "Permasalahannya ada di mana kalau kamu menyangkal Pak Sukidin nggak salah karena telah memberikan kunci yang seharusnya ia jaga ke seorang siswa?"

Pertanyaan sederhana itu, entah kenapa terdengar begitu menekan dan menuntut Tama dalam desakan. Seolah-olah, tanpa berupaya menyudutkan pihak mana yang salah, Pak Hadi hendak memediasi jalan tengah lewat pembicaraan yang membingungkan.

Bagi seseorang yang merasa berat disalahkan, mungkin pendekatan tersebut merupakan metode yang paling tepat dalam memecahkan permasalahan. Namun, jika tidak diperhatikan benar-benar, simpatik dan keadilan yang ditawarkan hanyalah sebuah ilusi untuk menggali kebenaran. Oleh sebab itu, Haikal tidak mau menaruh resiko lebih untuk banyak berkomentar di hadapan Pak Hadi. Remaja laki-laki itu takut jika semua yang ia lakukan menjelma bumerang baik baginya sendiri maupun nama lain yang tak bermaksud ia libatkan.

"Saya yang memaksa Pak Kidin untuk kasih kunci itu ke saya," jawab Tama memberi penjelasan yang sama sekali tak menguntungkan bagi dirinya. Kepalanya yang sempat tertunduk, kini ia hadapkan ke depan untuk menegaskan kalimatnya. "Lebih dari yang Bapak tau, Pak Kidin udah berusaha semaksimal mungkin untuk menolak permintaan saya. Tapi, saya yang terlalu nakal, saya yang banyak bolos kelas dan ganggu Pak Kidin, nyatanya nggak sanggup bikin Pak Kidin bisa tahan terus-menerus menghadapi saya.

Selama saya bersekolah, Pak Kidin mungkin salah satu pekerja yang paling baik sampai-sampai dia mau mendengarkan permintaan saya yang berlebihan. Walau di mata Pak Hadi tindakan tersebut sangatlah ceroboh, tapi tolong jangan salahkan ini ke Pak Kidin. Beliau cuma mau bantu saya. Saya yang buat Pak Kidin melakukan hal yang nggak seharusnya dilakukan."

Sungguh, mendapati deklarasi pengakuan kekalahan tersebut, dahi Haikal dibuat mengernyit sedemikian rupa. Bagaimana Tama bersikap kooperatif perihal memasukkan diri ke dalam jeruji penjaranya sendiri, merupakan sesuatu yang tidak pernah ia duga.

Sejauh jabatannya sebagai ketua patroli keamanan sekolah, Haikal tidak pernah menemukan seseorang yang mau mengakui kesalahannya secara terang-terangan. Siswa mana pun tahu bahwa menaati peraturan merupakan payung yang tak dapat dihindarkan sehingga mereka yang mengincar kebebasan bertindak diam-diam dalam menyembunyikannya.

Satu-satunya alasan yang terlintas di benak Haikal saat ini hanyalah, Tama tidak memiliki alibi apa pun untuk membela dirinya. Oleh karena itu, bersikap patuh dan menyesali perbuatannya merupakan taktik yang paling ampuh untuk menjual penilaian baik di hadapan Pak Hadi. Berandalan itu, ternyata lebih pintar dari apa yang Haikal kira. Haikal tentu tidak bisa membiarkan jerat hukuman lepas begitu saja dari balik punggung Tama, sedangkan laki-laki tersebut–menurutnya–telah mengotori nama baik seorang Luna.

"Kalau begitu, seharusnya saya juga bersalah karena saya melakukan hal yang serupa."

Kendati demikian, pembelaan Luna yang duduk di bagian belakang pun membuat Haikal mengerutkan keningnya dalam-dalam. Haikal tidak habis pikir apa yang Tama lakukan sampai-sampai Luna bisa melakukan aksi segila itu. Serapi mungkin, padahal Haikal sudah menyusun alur laporannya agar Luna berada di luar tuduhan kasus yang ia bawa. Di saat sebisa mungkin Haikal berusaha melindungi Luna dari pengaruh buruk yang Tama bawa, kenapa Luna malah menaruh perhatiannya kepada berandalan sialan tersebut?

"Luna, kamu ngomong apa, sih? Dia, 'kan? Yang bikin kamu jadi suka bolos kelas dan berlama-lama sembunyi di rooftop? Dia pasti gangguin kamu, ya? Dia pernah memaksa kamu buat melakukan sesuatu yang nggak pengin kamu lakukan? Kalau kamu takut, setelah ini dia jadi semakin jahat sama kamu, kamu nggak perlu khawatir. Justru sekarang adalah waktu yang paling tepat buat kamu bisa menceritakan tentang semuanya. Aku sama Pak Hadi bakal lindungin kamu. Sesuatu yang salah nggak mungkin menang di hadapan kebenaran, Luna."

"Haikal!" Seruan bernada tegas tersebut menyebabkan ruang konseling sontak hening barang sejenak. Mungkin baru kali ini di pendengaran mereka, Luna–seorang perempuan yang dikenal berhati lembut dan tenang–meninggikan intonasinya. "Sejak pertama kali aku diminta datang ke tempat ini, satu kalimat pun, aku nggak mengerti sama apa yang kamu omongin. Tama bukan orang jahat seperti yang kamu bilang. Justru, dari seluruh orang-orang yang ada di Bina Bangsa, Tama merupakan teman paling baik yang pernah aku kenal. Dibanding melempar tuduhan nggak berdasar, mungkin kamu harus belajar tentang cara menilai orang. Karena hal ini, bahkan aku jauh lebih takut sama kamu."

Bantahan tersebut, seketika membuat Haikal mengeratkan jemarinya yang menempel di pegangan kursi. Gigi laki-laki itu saling mengatup di balik raut kesalnya. Sekilas, Haikal mengalihkan pandangan untuk menatap sinis terhadap Tama yang duduk terdiam di kursinya. Dalam gestur pasif tersebut, Haikal tidak dapat memprediksi apa yang sedang dipikirkan oleh Tama meski air wajahnya seolah membentuk bermacam-macam ekspresi keruh. Yang Haikal tahu–ketika kedua mata mereka saling bertemu, Haikal perlu menyampaikan jika Tama terus membiar Luna menjadi tameng untuk dirinya, Tama benar-benar akan Haikal anggap sebagai berandalan pengecut.

"Kalau begitu, bisa jelasin apa yang kamu sama Tama lakukan selama di sana? Karena nggak cuma sekali kejadian itu tertangkap dalam pengawasan aku. Bukti-buktinya juga ada. Sebagai Ketua Patroli Keamanan Siswa, aku berhak buat memastikan terkait hal itu. Kenapa di segala tempat di Bina Bangsa, kalian harus pergi ke rooftop yang mana merupakan area terlarang?"

Sejujurnya, Haikal tahu semua tuduhan tidak berdasar ini mungkin sekali berdampak balik kepada dirinya apabila semua tidak terbukti benar. Namun, jauh di dalam pikiran Haikal, tentu bukannya tanpa pertimbangan alasan tersebut berusaha ia kemukakan. Dengan rekam jejak bahwa Tama dikeluarkan dari sekolah yang lalu karena melanggar kasus besar–entah apa, Haikal adalah orang yang paling berhak untuk menaruh prasangka berat soal sifat Tama yang sesungguhnya.

Melihat Tama sepertinya tidak memberi tanda akan melakukan perlawanan, Haikal perlu memberanikan diri untuk meningkatkan intensitas konflik ke taraf yang lebih membahayakan. Oleh karena itu, demi menjaga dirinya jauh dari permasalahan, Haikal pun membawa gelarnya agar dapat menunjukkan nilai otoritas dan merangkap maksud tuduhannya menjadi jelas.

"Lun, ayolah, tanpa harus jadi ketua patroli keamanan pun, semua anak Bina Bangsa tau kalau kita nggak boleh pergi ke situ. Kalau bukan karena dia, kamu juga nggak akan datang ke tempat itu, 'kan?"

Berhubung dari posisi duduknya Luna juga hanya diam saja, Haikal kini bisa menyimpulkan bahwa sesuatu memang terjadi di antara mereka berdua. Entah hubungan tersebut bersifat baik atau buruk, Haikal tetap membenci akan kenyataan Luna memiliki keterikatan khusus dengan laki-laki bernama Tama.

"Ada hal yang nggak bisa kamu jelaskan meski orang-orang menuntut kamu untuk melakukan hal itu, Haikal." Sekali lagi, Luna bersuara, tetapi kali ini, raut dan nada Luna berubah menjadi sendu adanya.

Ditatapi seperti itu, mendadak sebersit perasaan bersalah timbul di hati Haikal. Sebagiannya lagi, ketidaknyamanan yang bergejolak di dada Haikal mungkin disebabkan karena Haikal tidak tega melukai Luna.

"Luna, argumen yang kamu berikan tadi nggak mengartikan apa-apa. Kalau kamu nggak bisa menjelaskan inti permasalahannya, kamu nggak berharap kesalahan ini bakal lepas begitu aja, 'kan?"

Dalam tegasnya Haikal menekankan pertimbangan tersebut, laki-laki itu dibuat acak-acakan karena mau tidak mau ia harus berdebat dengan perempuan yang ia suka. Mengingat sikap Tama yang begitu melindungi Pak Sukidin, Haikal menaruh taruhan besar Tama mau memakan umpannya. Menyudutkan Luna seharusnya menjadi stimulus yang paling tepat untuk menarik perhatian Tama. Jika laki-laki itu menganggap Luna sebagai orang yang ia sayang, pasti–sama seperti sebelumnya–Tama tidak akan rela membiarkan Luna terlibat dalam permasalahan.

"Aku nggak berharap semua lepas begitu aja. Maka dari itu, aku bilang ini bukan karena Tama. Sedari tadi, kamu selalu memutar alasan yang nggak pada tempatnya. Aku yang bertanggung jawab atas kesalahanku sendi–"

"Berhenti, Lu." Dari arah samping, tiba-tiba Tama menginterupsi percakapan bising yang terjadi antara Luna dan Haikal. Laki-laki itu menatap Luna dengan sorot mata yang menajam. Luna, bahkan tersentak melihatnya. "Lo nggak perlu mengarang cerita buat belain gua. Kalau lo begini terus, lo cuma akan menambah hukuman gua. Semua yang ada di ruangan ini pasti juga tau cerita mana yang harus dipercaya."

Bersama dengan keluarnya ucapan tersebut, Haikal membuang napasnya lega. Berandal sialan itu ternyata masih memiliki akal untuk digunakan.

"Tama, kamu bicara apa, sih?" Dengan raut wajahnya yang bercampur bingung dan panik, Luna berusaha kembali masuk demi meluruskan perdebatan. Namun, sebelah tangan Tama yang terangkat ke atas lagi-lagi menutup upayanya.

"Saya nggak mengelak. Semua yang dikatakan Haikal itu benar. Sejak awal, saya yang sering bolos, bukan Luna. Untuk Pak Kidin, saya juga yang memaksa beliau untuk kasih kunci rooftop supaya jadi tempat persembunyian saya buat kabur dari kelas. Sampai satu hari, di saat saya merasa bosan ada di sana sendirian, saya berkenalan dengan Luna dan ajak dia buat pergi ke rooftop sesekali di jam kelas.

Nggak ada hal aneh yang kami lakukan di atas sana. Kami cuma bicara di sela-sela waktu. Terkadang, Luna juga ajarin saya belajar saat mendekati ujian semester lalu. Sepenuhnya, mungkin ini cuma tentang Luna yang jadi teman cerita saya. Haikal benar, menimbang sifat Luna yang lurus dan taat aturan, nggak mungkin dia berlaku sebaliknya kalau bukan karena saya."

Mendengar penjelasan Tama yang jelas-jelas tidak beraturan, mata Luna seketika mendadak panas. Bentuk kekesalan semacam ini merupakan hal yang paling Luna benci di hidupnya. Sesuatu yang dipicu bukan karena kesalahan seseorang. Sebaliknya, Luna seolah sedang dipaksa untuk menerima perlindungan yang Luna tahu, orang tersebut akan menerima penderitaan atas kesalahan yang ia buat. Apa yang Tama lakukan, secara tidak langsung mengingatkan Luna tentang keadaan rumahnya. Bagaimana Ayah dan Bunda berperang untuk dirinya, semua beresonansi dengan tindakan asal Tama.

"Saya paham maksud Haikal tentang bagaimana tindakan saya bisa mengganggu atau membuat Luna risih. Memang nggak seharusnya, saya terlalu lama melibatkan Luna. Mungkin, tanpa perlu dibilang, Luna pun merasa demikian. Tapi, karena Luna terlalu baik, Luna jadi nggak bisa menolak permintaan saya." Mengalihkan pandangannya sejenak ke belakang, Tama menangkap Luna dengan tatapannya yang sayu dan penuh penyesalan. Satu kontak mata itu, seutuhnya cukup untuk membuat keduanya merasa kesakitan. "Maaf, Lu."

Sebagaimana apa yang entah Tama lakukan terus berlanjut, Luna sulit membuka mulutnya untuk menampik kekacauan. Berulang-ulang memperhatikan orang tuanya bertengkar dalam diam, adalah hal yang wajar bagi Luna utuh tertekan dengan perasaan tidak berdayanya. Meski begitu, sekali seumur hidupnya, Luna pernah berani berbicara saat memediasi keretakan dalam hubungan Ayah dan Bunda. Terlebih atas percakapannya dengan Pelangi kemarin malam, Luna harus bisa melepas kelemahannya untuk membela Tama.

"Jadi, hukuman apa yang akan saya terima, Pak?"

"Tama!"

Sayangnya, Tama benar-benar tidak memberi Luna sedikit pun kesempatan. Semua tuduhan yang Haikal usung telah terlanjur disimpulkan Tama hingga ke ujung. Tama bergerak terlalu cepat, sedangkan emosi Luna membuat semuanya serba terlambat. Di akhir usahanya, seruan menyebut nama Tama hanya bisa Luna isi dengan tatapan penuh memohon. Binar yang melingkupi cantik bola matanya tersebut, Luna harap dapat mengetuk pintu hati Tama untuk menghentikan perbuatan bodohnya.

"Skorsing? Dijemur di tengah lapangan? Dilarang ikut kelas? Harus ke ruang detensi?" Tetapi, lewat permintaan maaf rancu yang tadi sudah Tama sampaikan pada Luna, laki-laki itu mengharapkan hal berbeda bahwasanya Luna dapat mengerti alasannya berbuat demikian. Luna merupakan perempuan terpintar yang pernah ia kenal dalam menafsirkan makna tersirat. Oleh sebab itu, Tama tidak perlu mengkhawatirkannya. "Apa pun, saya akan terima asal Luna dan Pak Kidin dijauhkan dari perkara. Akar permasalahannya ada di saya, biar saya yang menanggung semua akibatnya."

Di akhir pernyataan itu, masing-masing dari ketiga siswa yang duduk di ruang konseling itu menutup perdebatan dengan raut wajah yang berbeda-beda. Satu tetap tegar terlihat kuat memeluk sengguk deritanya, satu mengukir senyum tipis sembari mengangkat tonggak wibawanya, satu lainnya tampak paling kacau memancarkan tatapan kosong seolah ia baru saja menerima kekalahan tanpa syarat.

Memperhatikan hal tersebut, Pak Hadi selaku pemegang kuasa telah menarik beberapa kesimpulan di kepalanya. Diamnya dia selama ketiga pemuda tersebut tengah bertengkar, bukan mengartikan bahwa ia tidak berkompeten dalam mengelola permasalahan. Sebaliknya, pria itu percaya bahwa pada usia remaja, setiap dari mereka telah dibekali kemampuan otak yang memadai untuk berpikir bagaimana cara menyelesaikan masing-masing perkaranya. Dasar-dasar apa yang diucapkan oleh mereka menjadi pertimbangan Pak Hadi dalam melakukan analisa.

Walau begitu, sebagaimana tepat di beberapa detik setelahnya bel pergantian jam kelas telah berbunyi, Pak Hadi belum dapat mengambil keputusan mengenai lewat cara apa ia dapat menuntaskan rantai penyelesaian. Dari beberapa poin yang disampaikan oleh ketiga siswanya, ada kejanggalan yang ingin ia ketahui lebih lanjut.

Utamanya pada siswa yang bernama Tama, remaja laki-laki itu lebih banyak diamnya jika dibandingkan dua siswa-siswi yang lain. Seolah dari posisinya yang dituduh paling berat sebagai tersangka, ia menyimpan rahasia yang tidak ingin ia keluarkan. Oleh karena itu, informasi berikutnya mungkin dapat ia tanyakan secara personal dan aman. Ketidakjelasan dalam menakar pembelaan, tuduhan, dan pengakuan membuat Pak Hadi perlu lebih teliti perihal menilai permasalahan.

"Untuk pagi ini Bapak cukupkan dulu. Nanti, Bapak akan minta masing-masing dari kalian untuk menghadap ke Bapak sekali lagi. Sekarang silakan kalian dapat kembali ke kelas masing-masing dan gunakan waktu belajar kalian seoptimal mungkin. Kasus ini, Bapak tunda sementara."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top