44. Rumit

 Belakangan ini, mungkin karena rumahnya sedang mengalami sekian penangguhan, Luna jadi sering bertanya mengenai segala banyak hal. Apa yang baik, mana yang buruk, Luna rasa, ia belum cukup dewasa untuk sanggup memutuskan pilihan tersebut dengan benar. Oleh sebab itu, terhadap konflik apa dan dengan cara yang bagaimana Ayah dan Bunda akan menuntaskan, semaksimalnya Luna hanya bisa mengungkapkan perasaannya yang terdampak sepanjang hidup selaku anak perempuan Ayah dan Bunda.

"Wah, Lun, kadang aku nggak percaya sama kalimat ini. Tapi, dunia itu ternyata memang sempit banget, ya?"

Menanggapi pertanyaan tersebut, Luna larut dalam pemikiran sendiri. Baginya, dunia yang sempit itu jauh lebih luas dari yang pernah ia kira. Luna, bahkan tidak pernah ke mana-mana, tetapi rasanya ia telah berkelana ke segala penjuru hal hanya untuk menemukan kegelapan yang sama di setiap ia melangkah.

Dunia itu tidak sempit. Jika demikian adanya, tentu Luna tidak mungkin kesulitan menemukan pintu keluar kala menelusuri lorong-lorong gelap di rumahnya. Yang demikian, di tengah perjalanannya tersebut, Luna tidak pernah mengantisipasi akan melintasi sebuah jalur yang lebih mengerikan daripada miliknya.

Melihatnya saja, Luna merasakan kesedihan. Kala mendekatinya, Luna ingin meminta maaf karena Luna tidak tahu seberapa gelap dan luas ruang-ruang yang harus orang tersebut lalui di sepanjang tahun kehidupannya berkisar.

"Lun, kamu dengar apa yang aku omongin barusan, 'kan?"

"Hem? Iya?" 

Hingga sebuah pertanyaan kembali terkuar, lamunannya pun buyar tak terelakkan. Pikiran Luna saat ini sedang bercampur memang. Sehingga, Luna hilang fokus menanggapi perihal apa yang sebenarnya Pelangi bicarakan.

"Kamu, tuh, selalu serius, ya, kalau lagi melukis?" ujar Pelangi terkekeh kecil lalu berguling melirik singkat. Tadinya, perempuan itu tengah santai merebahkan diri menatap langit-langit kamar.

"Maaf, Pelangi, aku sempat teralih sedikit. Tapi, aku dengar, kok, apa yang kamu bilang barusan. Terkadang dunia memang terasa sempit di satu titik."

Setelah jam sekolah telah usai, Luna menyanggupi janji bermainnya dengan Pelangi yang telah menjadi agenda sebelum ujian semester lalu dimulai. Pergi ke mall besar, mencoba beberapa pakaian baru dan mencicipi kue manis hingga ke hidangan besar sekali pun, akhirnya dapat Luna lakukan ditemani dengan keceriaan Pelangi. Sesuai dengan namanya, Pelangi merupakan satu-satunya teman perempuan yang Luna percaya mau meluangkan waktu untuk dirinya sehingga hal tersebut membuat Luna merasa nyaman.

Berawal dari pertemuan pertamanya dengan sosok yang terlihat frustasi, tetapi juga memancarkan ketertarikan besar untuk menggarap kanvasnya di dalam kelas melukis kala itu, Luna tahu dirinya dan Pelangi mungkin membagi karakteristik yang sama antara satu dan lain hal. Misalnya, hanya melalui medium gambar saja, Luna rasa ia dapat saling berbagi cerita dengan Pelangi terkait hal-hal yang bersifat imajiner di kepalanya, atau serba-serbi kehidupan nyata yang sering Pelangi usul sekalipun.

Karena pada dasarnya Pelangi adalah orang yang periang dan tidak macam-macam, Luna juga merasa tidak perlu banyak berusaha untuk disukai sebab Pelangi tidak pernah mempermasalahkan karakteristik Luna yang terkadang bisa jadi sangat pendiam dan serius. Seolah, Pelangi memang senang memberi warna terlepas apa pun medium gambar yang ada di hadapannya.

"Waktu itu, padahal aku udah berniat untuk kenalin kalian berdua. Tapi, tanpa aku ikut campur pun, ternyata cara dunia memperkenalkan orang-orang di dalamnya jauh lebih menarik daripada yang pernah kita pikir, ya?"

Walau demikian, anehnya agenda bermain yang sudah dinantikan sejak minggu lalu dengan Pelangi ini, tidak lebih membahagiakan dari apa yang seharusnya Luna rasakan. Tentu, sesuatu yang salah tidak terjadi selama ia bermain dengan Pelangi. Luna masih senang Pelangi mau meluangkan waktu bersamanya serta melakukan beberapa hal yang menyenangkan. Namun, kacaunya Tama yang ia lihat tadi siang masih mengganggu di pikiran Luna hingga sekarang.

Jauh di lubuk hati Luna, mungkin kondisi Tama kini terlampau lebih penting dibandingkan perasaannya. Apa pun keadaannya, Tama selalu tahu cara mendekap kesedihannya. Karena itu, belum mengetahui apakah Tama sudah baik-baik saja sejak dirinya menemani kekalutan Tama tadi siang, Luna merasa bimbang jika ia boleh bersenang-senang seperti sekarang. Terlebih, setelah topik obrolan tiba-tiba berganti lantaran Pelangi baru mengetahui bahwa dirinya dan Tama sudah saling mengenal, Luna tidak bisa lebih khawatir mendengar sedikit latar belakang Tama selama berada di sekolahnya yang lama.

"Lun, Tama baik-baik aja, 'kan, di sana?" tanya Pelangi mengubah nada suaranya menjadi sedikit lebih serius. Ia bergumam sebentar sebelum kembali menatap langit-langit kamarnya. "Aku cerita kayak begini, karena aku pikir aku bisa percaya kalau kamu adalah orang yang paling tepat untuk menanggapinya secara bijaksana."

Dalam pikirannya, tentu bukan maksud Pelangi ingin membuka sedikit cerita Tama secara sembarang tanpa memikirkan konsekuensinya. Bagaimana pun caranya, membagi informasi personal tentang kehidupan seseorang tetaplah kurang tepat apabila disebar tanpa izin dari pihak yang bersangkutan. Semua yang dibagikan bisa saja disalahgunakan, sebab banyak manusia terkadang tidak cukup bijaksana untuk lebih memilih bersenang-senang meracik rumor yang kurang sedap didengar hanya untuk dijadikan bahan gunjingan dibandingkan menjaga rahasia seseorang.

Pelangi yang dahulu pernah menjadi korban semacam itu, tentu paham betul mengenainya. Namun, di situasi terkini menimbang fisik mereka berjauhan, Pelangi benar-benar tidak tahu bagaimana ia bisa memastikan keadaan Tama. Sebagai teman dekat yang dahulu sempat sekelas dan terlibat dalam satu kasus besar bersama Tama, Pelangi menyimpan kepedulian besar tentang adaptasi Tama setelah pindah ke sekolah barunya. Bayang Tama yang pergi dalam keadaan yang terlampau kacau masih membekas di kepalanya. Terlebih, sering kali mendapati pacarnya–Angkasa–terlihat muram setiap kali mereka sama-sama membicarakan perihal Tama, Pelangi betul-betul ingin segalanya berjalan baik-baik saja.

"Terakhir aku ketemu sama Tama, bukan, bahkan setiap kali aku bicara sama dia sewaktu dia masih di SMA Aksara, Tama nggak pernah sekali pun terlihat sedih di depan aku. Tama itu, anaknya lucu, periang, baik, tapi juga jahil, kadang resek pakai banget!"

Dari posisi duduknya yang mengintip dari balik kanvas, senyuman tipis dapat Luna lihat dari cara Pelangi menimang kalimatnya.

"Kalau dipikir-pikir, dulu aku polos banget, ya? Mudah dibohongi karena perangai dia?" ujar Pelangi terkekeh seolah sedang memutar memori tentang Tama di kepalanya sendirian. Tidak lama. Sebab beberapa detik setelahnya, kerutan tipis terlihat jelas di area lipatan mata Pelangi. "Ya, salah dia juga, sih. Siapa suruh jadi teman gampang banget bikin orang lain nyaman cerita dan ketawa setiap ada di dekat dia? Padahal, dia bisa bilang kalau dia punya masalah yang jauh lebih besar."

Mendengar hal tersebut, jemari Luna sontak berhenti menggerakkan kuasnya di atas kanvas. Luna tidak tahu lagi caranya berdistraksi sekarang. Tubuh dan hatinya tidak bisa berbohong bahwa saat ini, ia hanya ingin memikirkan Tama.

"Lun, sampai hari itu secara mendadak Tama keluar dari sekolah, aku nggak pernah tau bahwa hubungan Tama dan Ayahnya itu kelewat nggak baik. Kalau bukan karena Angkasa juga yang ternyata sahabatan sama Tama sejak mereka masih kecil, aku nggak mungkin tau kalau keluarga Tama udah lama bercerai.

Sewaktu aku kelompokan di rumah dia, aku nggak pernah kepikiran kalau adik perempuan dan seorang ibu yang aku lihat di sana adalah keluarga tiri Tama. Ternyata, Tama udah ditinggal pergi sama bundanya sejak dia masih kelas satu SD. Tumbuh tanpa orang tua yang lengkap aja udah nggak kebayang di benak aku. Apa jadinya kalau sampai di usia remajanya, Tama nggak pernah dekat sama salah satu dari Ayah atau Bundanya dan harus mendewasakan diri hidup dengan keluarga baru di rumahnya?"

Suasana hening yang membekap, tiba-tiba tersuar sebab Pelangi memilih diam sebelum melanjutkan ceritanya. Raut perempuan itu tampak sedih dan menyimpan ketakutan. Seolah keterkejutan yang ia lihat kala itu, cukup membuatnya tergugu untuk mengambil napas panjang barang sejenak.

"Hari itu, Tama keluar dengan cara yang paling nggak bisa aku bayangkan, Lun. Wajah Tama luka-luka dan berbarengan setelah pergi dari ruang BK itu, Ayah Tama kelihatan marah banget sampai kepalan tangannya merah kayak habis mukul sesuatu. Pikirku, apa yang mungkin bisa dilakukan oleh seorang Ayah ke anak laki-lakinya sendiri? Tapi, karena ketika aku menanyakan hal itu Angkasa cuma diam, terkadang aku suka membayangkan apa jangan-jangan Tama udah sering mengalami hal semacam ini di kehidupan dia? Soalnya, walau Tama seorang laki-laki, Tama banyak diam menghadapi semuanya, Lun."

Sejujurnya, mendapati sekilas cerita tersebut tidak membantu membuat hati Luna jadi lebih tenang mengenai seluk-beluk keadaan Tama. Baru mengenal Tama beberapa bulan, ternyata tidak terhitung apa-apa untuk mengetahui seberapa besar derita yang Tama simpan dari pandangannya yang tertunduk sayu.

Bersama duduk di pelataran rooftop siang tadi, Tama tidak menyinggung hal-hal yang membuatnya kacau secara spesifik selain banyak meracau soal dirinya yang bertindak mengecewakan dan meminta maaf. Meski laki-laki tersebut langsung mematikan rokoknya dan menggusah kepala berulang kali, Luna pikir semua bukan tentang sekadar ia malu karena ketahuan menghisap barang yang tak seharusnya disentuh. Mungkin, segala kalutnya tertaut pada yang melatarbelakangi pelarian itu. Jadi, tanpa memaksa lebih, Luna setia menemani Tama berharap laki-laki itu tidak merasa salah berada di dekatnya.

"Pelangi, apa dengan segala kesalahannya yang dulu, menurut kamu Tama banyak yang benci sampai-sampai ayahnya marah besar dan harus dikeluarkan dari sekolah?" Pertanyaan tersebut lalu Luna lontarkan untuk menjawab rasa penasarannya.

Sebenarnya, karena apa Tama dipindahkan ke Bina Bangsa? Jika Tama pernah melangkahi kasus yang di luar batas, tidak sedikit pun Luna melihat Tama sebagai sosok yang senang merugikan orang-orang di sekitarnya. Apa yang Luna kenal dari Tama, adalah segala yang berkebalikan atas hal tersebut.

Meski begitu, terlepas keingintahuannya mengenai kesalahan apa yang Tama buat di sekolahnya yang lama, Luna tetap menjaga diri dari mengitip pintu masa lalu Tama terlalu dalam. Yang cukup butuh Luna pahami adalah, bagaimana sosok Tama meninggalkan kesan di sekolahnya yang lama.

"Kalau Tama dibenci, nggak mungkin dia dirindukan banyak orang, 'kan, Lun?" Tak butuh waktu yang lama, Pelangi dapat menjawab pertanyaan itu dengan yakin. Namun–setelahnya, Pelangi pun mulai mempertimbangkan sudut padang orang lain yang tidak terlalu mengenal Tama dengan baik. "Semua yang dekat dengan dia, pasti merasakan kehilangan dari sosoknya yang biasa jadi badut sekaligus teman yang baik. Beberapa, ya, hidup seperti biasa. Sisanya mungkin justru lega dia pergi. Kita nggak pernah bisa berharap semua suka dengan diri kita, 'kan?"

Berkat situasi yang dialaminya tahun lalu, kini–betapa lucunya–Pelangi dapat memahami bahwa kebencian bisa saja tumbuh dengan butuh atau tidaknya suatu alasan. Hanya dengan sebuah cerita buruk yang tidak dapat dipastikan kebenarannya saja, semua sudah cukup bagi orang-orang merasa tinggi dengan menilai pribadi yang lain. Terlebih pada sikap serampangan Tama yang dahulu terlihat gamblang, Pelangi tentu dapat mengerti jika beberapa orang tidak menyukai keberadaan laki-laki tersebut.

"Tama itu memang nakal. Di kelas dia jarang bisa serius, jadi beberapa anak nggak terlalu suka kalau harus kelompokan yang notabenenya banyak andalin otak bareng dia. Kalau sama guru-guru, Tama juga bandel karena suka tidur pas jam pelajaran, bolos kelas, dan hal-hal lainnya yang nunjukkin kalau dia nggak terlalu peduli sama kehidupan sekolah."

Oleh karena itu, jika segalanya dipandang secara lebih luas, Pelangi sadar ia tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan Luna dengan pasti–apalagi menerka-nerka soal kemarahan Ayah Tama. Jadi–melalui keterbatasannya perihal memberitahukan kasus apa yang membuat Tama keluar dari SMA Aksara, sebagai sesama remaja Pelangi hanya dapat membagikan kesan seperti apa yang ditinggalkan Tama dalam penglihatannya.

"Tapi, buat lainnya yang cukup peduli dan mau mengerti soal tindak-tanduk Tama, Tama itu cuma remaja laki-laki nakal yang ... cuma pengin bernafas dengan lebih lega aja. Paham nggak, Lun?" kata Pelangi merasa konyol dengan kalimatnya yang kontradiktif. Sedetik kemudian, ia menjelaskan, "Semua perilaku dia yang menyalahi aturan, kalau dipikir-pikir sebenarnya nggak pernah merugikan kita sama sekali. Tama suka tidur di kelas, tapi dia nggak pernah berisik ganggu kita yang lagi serius belajar. Tama suka dikira nggak mau bantuin pas tugas kelompok, tapi sebenarnya dia cuma bingung aja harus mulai dari mana.

Beberapa kali pas dia kelompokan sama aku, dia cuma perlu dikasih tau, kok, harus gimana habis itu dia bakal berusaha bantuin apa pun yang dibutuhin. Terus, walau dia punya pernah bertengkar atau buat keributan di dalam dan luar sekolah, sebetulnya alasan dia selalu didasari buat lindungin orang-orang yang dia sayang. Guru-guru yang akrab sama dia juga paham kalau tabiat Tama nggak seburuk itu. Tapi, karena nggak semua orang bisa paham, perilaku serampangan Tama cenderung mudah disalahartikan di mata banyak pihak."

Sembari meletakkan kedua tangannya di depan perut, Pelangi menimang-nimang apa ia sudah menyampaikan perihal karakteristik Tama dengan tepat. Namun, karena Luna hanya terdiam setelah mendengarnya berbicara, Pelangi jadi penasaran tentang apa yang ada di pikiran Luna.

Tama yang ada di kepalanya, dan Tama yang ada di benak Luna, seharusnya tidak jauh berbeda, bukan? Telah beberapa tahun mengenal Luna dengan baik, Pelangi yakin apa pun yang ia katakan, Luna akan selalu bisa menanggapinya secara tepat. Maka dari itu, mengetahui bahwa Tama berteman dengan Luna di sekolah barunya, Pelangi ingin percaya bahwa Tama tumbuh baik-baik saja–setidaknya di dekat Luna.

"Tapi, Lun, aku penasaran. Apa seseorang yang tumbuh dengan keluarga nggak lengkap, pasti menjalani kehidupannya lebih rumit daripada yang lain, ya?" ujar Pelangi tiba-tiba.

Entah kenapa, percakapan ini menjadi lebih serius daripada yang seharusnya. Mungkin, sebab orang yang ada di ruangan bersamanya saat ini adalah Luna, Pelangi bisa mengatakan apa saja. Atau boleh jadi, secara acak sekelebat memori gelap di masa kecilnya muncul ketika ia membayangkan seberapa banyak derita yang bisa seorang anak tampung tanpa hangatnya peran kedua orang tua.

"Dari Angkasa, aku juga baru tau kalau lagi kacau sendirian, Tama selalu sedia rokok buat jadi salah satu pelarian terakhirnya. Pikirku, 'kan, banyak anak cowok begitu karena pengin kelihatan keren aja." Pelangi mencebik. Tentu, ia tidak membenarkan perilaku tersebut. Hanya saja Pelangi merasa kesal baru menyadari, ternyata barang beridentitas buruk itu bisa dipersepsikan lewat sudut pandang yang sangat miris dan berkebalikan dalam dunia remaja. Beberapa memang memilihnya sebagai gaya hidup, tetapi dibandingkan anak-anak lain, Tama cuma melakukannya di situasi tertentu saja.

"Andai dulu aku tau Tama punya banyak kesulitan, aku pasti bakal gunain banyak waktu aku buat menghibur dan mengenal lebih banyak tentang dia. Lun, karena sekarang sulit banget bagi aku untuk ketemu sama Tama, kamu bisa bantu pastiin itu buat aku dan Angkasa?"

Sejenak, terlintas di benak Pelangi apakah permintaan tersebut terlalu berat untuk ia berikan kepada Luna? Berdasarkan intuisinya, entah kenapa Pelangi yakin sekali sosok Tama dan Luna akan sangat cocok jika disandingkan antar satu sama lain. Meski begitu, Pelangi tidak memaksa Luna untuk mengisi kekurangannya sebagai teman Tama. Sekali pun Luna, Tama adalah seorang laki-laki yang sangat rumit untuk diketahui keadaannya. Mendapati Tama dan Luna saling berhubungan saja, semua sudah cukup bagi Pelangi.

"Lun? Kamu fokus melukis lagi, ya?"

Namun, karena beberapa waktu kemudian Luna masih hanya diam juga, Pelangi pun membalikkan badan untuk memindai keberadaan Luna. Betapa terkejutnya, bola mata Pelangi membulat lebar mendapati Luna secara sunyi tengah menangis menundukkan kepalanya di sisi kanvas.

"Luna! Kamu kenapa?"

Sambil berlari, dengan sigap Pelangi pun langsung memeluk Luna dan menempelkan kepalanya di samping bahu. Pelangi tidak mengerti. Apa ia terlalu banyak bicara? Apa beberapa dari perkataannya telah menyakiti hati Luna?

"Aku salah ngomong, ya? Maafin aku, Lun, aku nggak bermaksud," ujar Pelangi menekuk alisnya ikut sedih sekaligus menampilkan raut bingung yang kental. Ia mengusap bahu Luna secara perlahan. Untuk pertama kalinya, Pelangi melihat Luna yang biasa tampil bijaksana dan dewasa, tengah menangis.

"Pelangi, kalau yang kamu bilang itu benar, seandainya yang tumbuh dengan keluarga nggak lengkap pasti menjalani kehidupannya lebih rumit dibandingkan yang lain, sebelum aku bisa bantu kamu memastikan, aku juga boleh percaya kalau semua bakal baik-baik aja, 'kan?" kata Luna sedikit terbata mengurai kalimatnya yang terpenggal panjang.

Air mata yang ditumpahkan oleh Luna, pada dasarnya tidak mengalir deras memang. Sebab itu, Pelangi tidak menyadari telah sejak kapan Luna menangis. Kendati demikian, rintih isakannya yang tercekat, sedikitnya membuat Pelangi paham bahwa Luna tengah menyimpan sakit yang lebih besar daripada itu.

Tepat di hadapannya, permukaan kanvas yang ditorehkan cat lukis oleh Luna menjelma satu lanskap penuh di sudut mata Pelangi. Gores-goresan panjang dan tidak beraturan itu, secara kabur membentuk sosok perempuan tengah meringkuk berbalut kapas selimut hingga kabutnya membentuk sepasang orang dewasa dalam remangnya cahaya rembulan. Entah ini kebetulan atau tidak, Pelangi merasa sesuatu yang ganjil tengah terjadi dari bagaimana cara Pelangi menginterpretasikan gambaran Luna. Beberapa waktu ini, Pelangi sebetulnya sadar Luna sering sekali menggunakan campuran spektrum warna yang lebih gelap. Namun, Pelangi tidak sampai sejauh itu menganggap fase tersebut Luna lakukan dengan alasan yang bersifat personal.

Apa yang Luna tanyakan sebelumnya, Pelangi tidak tahu apa itu berkaitan dengan Tama karena kebetulan mereka sedang membahasnya atau menyangkut kehidupan pribadi Luna secara langsung. Mungkin, Luna dan Tama telah saling menjalin ikatan lebih dalam daripada yang Pelangi bayangkan. Atau boleh jadi, percakapan soal seorang anak yang ditinggal keluarganya telah memicu memori buruk Luna sama seperti Pelangi yang teringat pada mendiang kakak sepupunya.

"Luna, lupain apa yang aku bilang sebelumnya. Semua, bakal baik-baik aja, kok," ujar Pelangi tidak sekali pun meregangkan pelukannya terhadap Luna. Pertemuan ini, pada dasarnya telah dari lama Luna yang meminta. Seharusnya, dibandingkan menganggap bahwa Luna itu selalu dapat diandalkan, Pelangi bersikap lebih peka. Bahwasanya, sebagai sesama remaja, Luna juga memerlukan yang namanya perlindungan. Sebab itu, mereka akrab menjadi teman, bukan? "Kalau pun nggak baik, ke depannya kamu harus telpon aku dan bilang semisalnya ada yang salah. Jadi, aku bisa langsung datang ketika kamu membutuhkan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top