43. Wujud
Sungguh, tak pernah terlintas di benak Tama, seluruh pelajaran yang ia dapat saat berlatih bersama Vero dan Revo berapa bulan belakangan ini, dapat begitu mudah menghilang bekasnya di kepala. Mau itu hafalan materi presentasinya, gestur tentang cara membangkitkan suasana, bahkan sekadar fokus memperhatikan audiens itu sendiri, semua tidak ada yang berhasil Tama terapkan.
Sejak bangun dari tidurnya tadi pagi, apa yang membuntuti Tama dalam mimpinya tidak kunjung hilang sehingga Tama memulai hari masih dalam kondisi yang sangat berantakan. Seutuhnya, energi Tama terkuras habis melewati tragedi semalam sedangkan Tama belum sempat mengisi tenaganya kembali. Menerima limpahan emosi dari Ayah benar-benar membuat Tama menjadi abai menyadari kebutuhannya sendiri. Sehingga, mengintip di waktu sarapan sebelumnya, Ayah begitu nyaman duduk di meja makan bersama Lita dan Putri yang mungkin baru sampai rumah tengah malam kemarin, cukup mendorong Tama untuk segera berlalu menginjakkan kakinya pergi.
"Bang Tama, Putri kangen banget sama Abang! Ayo, sarapan dulu bareng Putri! Bang Tama! Ih, kok, Bang Tama langsung pergi, sih? Bang Tama!"
Jarang-jarang, panggilan Putri tidak Tama hiraukan. Namun, sisi emosional Tama yang belum terurai jelas mengakibatkannya jadi bersikap kekanak-kanakkan. Jujur, tidak ada maksud dari Tama ingin mengajarkan Putri tentang bagaimana rasanya diabaikan, tetapi Tama hanya khawatir dengan kondisinya yang sekarang, ia akan merespons Putri dengan jawaban yang kurang menyenangkan. Entah kenapa, melihat pemandangan keluarga harmonis itu di depan mata, menyebabkan hati Tama lebih sakit daripada biasanya.
Mungkin, akibat ucapan Ayah yang melabelinya sebagai anak yang tidak berguna kemarin malam, perlahan Tama mulai menyadari akan kehadirannya di rumah yang bergerak semakin mengabur. Sampai-sampai, posisinya yang sudah sejak lalu tergantikan oleh cerianya keberadaan Putri, menjadi begitu tidak signifikan untuk sekadar merasa pantas makan bersama di tengah keluarga mereka.
Gerak-gerik Ayah yang bahkan yang tidak meliriknya sama sekali, celakanya memperjelas posisi Tama untuk pergi ke arah mana. Bagaimana Ayah enggan untuk sedikit memperhatikan keadaannya setelah apa yang ia terima kemarin malam, benar-benar menyakiti perasaan Tama.
"Loh, kok, presentasinya terbata-bata seperti ini? Kamu ini belajar atau tidak? Dua teman kamu sebelumnya tadi udah bagus banget padahal."
Komentar bernada tegas, pula disampaikan kelewat asertif itu mengalihkan atensi Tama dari larut pemikirannya. Laki-laki itu melirik ke sumber suara. Perasaan mengganjal yang telah mengendap sepanjang ia melakukan presentasi, kini mulai menguap berbentuk titik kecemasan. Sedari tadi, Tama telah menakar sejauh mana ia terlihat bodoh di hadapan orang-orang. Punggung dan lehernya, bahkan sedikit basah akan keringat. Tama gugup, tetapi ia tidak ingin mengecewakan Vero dan Revo yang telah melatihnya sedemikian rupa.
"Maaf, Bu, biar saya ulangi lagi," ujar Tama menarik napas panjang, lalu kembali memperhatikan layar proyektor.
Selagi Tama mengingat materi apa yang seharusnya ia paparkan dari gambar dan poin-poin yang tampil di depan, sekilas Tama dapat melihat Vero dan Revo terlihat resah dengan situasi yang terjadi sekarang. Sedari awal, Vero dan Revo telah membawa alur presentasi dengan sangat baik, tetapi semua mendadak kacau akibat Tama seorang.
Takut Vero dan Revo tidak bisa memaafkan kekacauan yang ia buat, sekeras mungkin Tama pun berupaya memperbaiki performanya agar tidak menghancurkan kredibilitas kelompok. Meski demikian, tekanan yang diberikan oleh Bu Haryanti–guru sejarah, tatapan bosan anak-anak kelas, serta kalimat buruk Ayah yang menempel di kepala, tidak serta-merta membuat Tama dapat membenahinya sekejap mata.
Kalimat yang keluar dari mulut Tama, entah kenapa jadi semakin berantakan adanya. Tama lupa susunan materinya seperti apa, sehingga ia banyak bergumam saat menjelaskan satu panel bagian selanjutnya. Sampai di satu titik, Bu Haryanti yang telah habis kesabarannya pun menghela napas berat sambil menggelengkan kepala. Wanita itu tampaknya sudah selesai perihal menakar kemampuan peserta didiknya yang dianggap kurang kompeten dalam menjalankan suatu tugas. Jadilah–tanpa berlama-lama, waktu presentasi Tama pun dipotong demi mengembalikan efektivitas kegiatan.
"Sudah, nggak usah dilanjutkan. Kalau memang kamu kurang persiapan, biar teman kamu saja yang menggantikan."
Mendengar penuturan tersebut, tiba-tiba luas bangunan kelas menjadi begitu panjang menjorok masuk ke dalam pandangan Tama. Otaknya yang sejak tadi terasa pusing dan terbakar, otomatis terhenti sejenak membawahi rahangnya yang tak lagi ia gerakkan.
Seharusnya, kegiatan presentasi siang ini menjelma ajang pembuktian Tama bahwasanya ia tidak seburuk apa yang Ayah bilang. Namun, keluhan logis yang diberikan oleh Bu Haryanti membuat Tama sontak kalah sejadi-jadinya.
Seburuk apa ucapan Ayah mengenai dirinya, barangkali esensinya memang tidak pantas Tama tangguhkan sama sekali. Seburuk apa Tama telah menjadi berdasarkan pengalaman di masa lalunya, Ayah merupakan orang yang paling tahu pasti mengenai kebenaran hal tersebut. Tidak mungkin, Ayah memberikan argumennya tanpa dasar, bukan? Rasanya, Tama baru saja menipu diri dengan terlalu cepat memercayai pujian kecil yang diberikan oleh orang-orang baru di kehidupannya. Pantas Ayah muak melihatnya.
"Maaf," ucap Tama lemah merutuki buruk kemampuannya. Laki-laki itu menatap si kembar dengan penuh rasa bersalah.
Di balik sorot matanya yang memadam, tentu Tama dapat melihat jelas Vero dan Revo sama membalas raut muramnya dengan menekuk alis dalam-dalam. Untuk sekian detik, Tama hanya bisa menilai bahwa mereka tengah kecewa atau marah sebab tepat di saat Vero dan Revo hendak membuka mulutnya, Bu Haryanti telah kembali bersuara.
"Kalau kamu benar-benar bertekad meminta maaf, lebih baik sekarang kamu balik ke tempat duduk kamu sambil memikirkan bagaimana kamu nggak akan lagi mengulangi kesalahan semacam ini ke depannya. Arti dari kerja kelompok adalah bagaimana kamu bisa berkolaborasi untuk menyelesaikan tugas, bukan dengan menyerahkan sepenuhnya pada teman yang kamu punya. Beruntung, rekan setim kamu bisa diandalkan untuk menutupi kesalahan kamu. Vero, Revo, kalian bisa melanjutkan presentasinya, 'kan?"
"Bi–bisa, Bu, tapi–"
"Tapi, kenapa? Ada lagi kekurangan di kelompok ini yang harus ibu tahu? Kalian mau menyelesaikan presentasinya atau tidak?"
Setelahnya, percakapan yang berkisar antara Bu Haryanti dan si Kembar pun menjadi kabur di pendengaran Tama. Dengan karakteristik Bu Haryanti yang penuh disiplin dan berorientasi akademis, Tama benar-benar tidak mengerti apa yang sedang Vero dan Revo berusaha debatkan di dalamnya. Mengilhami bahwa seorang Tama merupakan kekurangan dari kelompok tersebut, sepertinya tidaklah sesulit itu untuk dipahami.
Berkat pernyataan yang dikeluarkan oleh Bu Haryanti, seutuhnya kini Tama telah kembali memegang penuh kesadarannya. Tama benar-benar butuh berusaha lebih keras andai tidak ingin menjadi beban di dalam timnya. Namun, benturan yang Ayah bilang terkait dirinya yang merupakan anak nakal yang sulit untuk dirubah, agaknya lebih mudah Tama jalani di situasinya yang sekarang.
Menyadari betapa ia terus mengulangi perkaranya di sepanjang waktu ia berkembang, mengharapkan suatu perbaikan sangatlah melelahkan untuk Tama lakukan. Dalam prosesnya, Tama pula menjadi semakin muak akan merugikan orang-orang di sekitarnya. Oleh karena itu, sekarang menghapus diri dari bagian kelompok tersebut barangkali merupakan hal terbaik yang dapat Tama lakukan.
Jadi, daripada kembali duduk ke kursi belajarnya, Tama lantas memilih melarikan diri untuk jauh menemukan ketenangannya. Tak acuh menanggapi seruan Vero dan Revo, yang sejak awal sudah khawatir terhadap kondisi Tama yang tampak tak bersemangat datang ke sekolah.
"Tam! Tama! Lo mau ke mana?"
Sembari mempercepat langkah kakinya menuju tempat persembunyian yang terlintas dalam benak, sebersit perasaan cemas tidak kunjung hilang dari lubuk hati tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Tama. Tak lama memasuki waktu istirahat terakhir, Alfa mengirim sebuah pesan yang isi dan gaya bahasanya tidak mencerminkan diri laki-laki itu sama sekali. Kalimat yang berantai panjang, kemudian diawali dengan syarat kepanikan, sempat membuat Luna ragu apakah handphone Alfa sedang dibajak oleh teman-temannya atau bukan. Namun, sisipan pertanyaan terakhir yang mempersoalkan apakah Luna mengetahui keberadaan Tama, langsung mengambil alih kepercayaan Luna untuk segera memperhatikannya.
Entah ada di mana mereka sekarang, Luna pikir grup Alfa sedang berkumpul di suatu tempat dan berhubung Luna hanya pernah memberikan nomornya pada Alfa, salah satu dari mereka menggunakan handphone Alfa untuk menghubunginya. Luna yakin, sepasang kembar yang ketika di samping Alfa selalu tampak riang dan ramai barangkali merupakan orang yang bertukar pesan dengan Luna. Jadi, berpegangan pada sifat Alfa yang tidak mungkin mau terlibat pada hal-hal yang bersifat sepele, Luna–tanpa diminta–ikut membantu mereka mencari Tama.
Penerima: Alfa
Tolong kabarin aku kalau kalian udah temuin Tama lebih dulu. Aku juga bantu cari.
01.30 P.M.
Tidak yakin apakah sebab orang yang dicari merupakan Tama, Luna merasa gerak-gerik dirinya di detik ini menjadi begitu terburu-buru dan sangat tidak tenang dibandingkan biasanya. Berulang kali, Luna melirik ke sana kemari andai saja di perjalanan ia menangkap sosok Tama dalam perederan. Meski tempat yang ingin ia tuju kini adalah rooftop, Luna tetap bertaruh pada hal-hal kecil lantaran lingkup Bina Bangsa yang sangat luas.
Di sisi lain, dalam langkahnya yang tertatih kecil dan hati yang penuh mengganjal, Luna pun turut merasa was-was seolah-olah ia sedang diburu oleh sesuatu dari belakang. Namun, ketika Luna berhenti sebentar untuk memastikan prasangkanya, hiruk-pikuk siswa yang berlalu lalang tidak menjelaskan tanda apa pun bahwa Luna tengah diawasi seseorang.
Sembari menarik napas sebentar demi melancarkan sirkulasi udara di tubuhnya, Luna pun berusaha mendinginkan isi kepala untuk meredam kepanikan atas pesan yang dikirim teman Alfa, serta keterkaitan emosinya terhadap Tama. Sejak pertama kali Luna mengenal laki-laki tersebut, Tama tidak pernah bersikap serunyam ini sampai mengkhawatirkan teman-temannya. Meski bersamanya, tidak jarang Tama menyembunyikan diri untuk menemukan ketenangan, Tama selalu menjadi sosok yang periang sehingga Luna jatuh lebih dahulu untuk meruntuhkan pertahanannya.
Pada dasarnya, mengenai satu saja rahasia tentang luka Tama, Luna masih belum mengetahuinya sama sekali oleh karena itu, sekarang Luna betul-betul khawatir barangkali sesuatu yang terbilang besar tengah menimpa kehidupan laki-laki tersebut. Bagi Luna, dibandingkan dirinya sendiri, toleransi Tama terhadap kepedihan telah terbentuk jauh lebih besar sehingga hal-hal yang melatarbelakangi kejadian ini tidaklah bisa Luna gampangkan.
"Tama, kamu nggak lupa, 'kan? Dengan janji kita waktu itu? Setiap aku menjadi bagian paling sedih di depan kamu, aku selalu menunggu di waktu mana kamu juga mau berbagi sama aku."
Sebab itu, sesampainya di pelataran gedung empat, Luna pun memantapkan stabilitas emosinya agar dapat menjadi seseorang yang dapat Tama andalkan. Sama seperti Tama, Luna juga ingin merangkap sosok yang sanggup menghadirkan ketenangan untuk menyambung kepingan hati Tama yang berantakan. Bagaimana Tama tersenyum, berkelakar, atau mengucapkan kalimat penghiburnya, akan selalu tertanam di benak terdalam Luna. Meski tanpa dipungkiri, sembari perlahan-lahan menaiki tangga demi tangga, jantung Luna masih diselimuti kegelisahan apakah ia dapat menemukan Tama di atas sana.
Beruntung, sesampainya di tujuan, pintu rooftop yang sedikit terbuka lantas menjadi pertanda bagi Luna dapat segera bernapas lega. Beranjak masuk meninggalkan bayang gelap yang mengikutinya di belakang, pandangan Luna lalu disambut oleh semburat mentari yang menyilaukan. Entah asalnya dari mana, udara di lingkup rooftop yang biasa terasa sejuk dan segar, tiba-tiba menjadi sedikit berasap nan menusuk di paru-paru Luna. Sorot mata Luna yang mulai beradaptasi dengan besarnya intensitas cahaya, lantas berhasil menangkap presensi Tama yang menoleh menopang diri di perbatasan.
"Lu?"
Singkat panggilan khas, yang selalu disebutkan penuh semangat itu, kini terdengar begitu pelan, tetapi juga bergaung semakin berat di telinga Luna. Sorot mata Tama yang biasa tergambar serius atau jenaka, sekarang tampak teramat lelah seolah tidak takut lagi mengutarakan kesedihan. Di antara ruas jemarinya yang panjang, sebatang rokok yang menyala menemani keberadaannya setelah tadi sempat ia hirup dalam-dalam. Mendapati kondisi Tama yang seperti itu, pahitnya kepiluan menjerat biru di hati Luna.
"Ah, ini. Gua...." Tertangkap basah melakukan hal yang tidak diharapkan di hadapan Luna, tenggorokan Tama mendadak serat. Bukannya tanpa paksaan, ia membiarkan penjelasannya mengudara. Laki-laki itu menghela napas berat. Putung rokok yang ada di pegangannya ia turunkan ke bawah. Tama mengalihkan pandangannya malu ke arah depan.
"Satu dari sekian banyak tempat yang ada di Bina Bangsa, aku bersyukur kamu cuma memilih rooftop ini sebagai tempat persembunyian," ujar Luna, kemudian berlalu ikut menopang tubuhnya mendekati perbatasan. Diamnya tadi, bukan menjelma kekecewaan karena melihat aksi merokok Tama. Sebaliknya, Luna sedih membayangkan apa yang Tama lalui sampai menjadikan benda tersebut sebagai obat pelipur laranya.
"Itu artinya, aku akan selalu mudah untuk mencari kamu, 'kan?" sambungnya lagi mulai melucuti keberadaan Tama. Kedua kakinya berdiri agak berjauhan. Sengaja, agar laki-laki itu tidak merasa keberatan.
Masih dalam posisinya yang tidak mengenakkan, Tama bergumam pelan lalu menggesekkan kaki kirinya ke permukaan. Bagi laki-laki itu sendiri, merokok di hadapan sosok yang ia sayang merupakan sikap seorang pecundang. Tidak hanya sekali, Ayah bahkan tandas memukulinya berlebihan ketika tak sengaja memergoki Tama berbuat demikian. Jika Tama mempunyai pilihan, tentu Tama tidak ingin menjadikan asap nikotin sebagai bahan pelariannya. Hanya saja, sama seperti hari-hari terdahulu, kini Tama sedang benar-benar merasa buruk untuk sekadar berada di sekitaran orang-orang. Takut, wujudnya saat ini tidak dapat diterima oleh siapa pun.
"Maaf, Lu. Hari ini, gua kacau. Maaf karena udah mengotori tempat persembunyian yang lo suka," kata laki-laki itu sedikit tercekat, kemudian tertunduk muram melayu.
Mendengarnya, ada sembilu kecil yang ikut terselip merambat terbang di udara, tetapi dampaknya begitu menusuk melukai lubuk hati Luna. Tidak sekali pun, Luna pernah berpikir butuh mendapatkan permintaan maaf Tama atas kesedihan yang laki-laki itu rasakan. Jika tempat ini harus hancur asal Tama menjadi bahagia, Luna bahkan rela memberikan segalanya. Luna ingin, Tama bisa memperoleh seluruh dukungan yang benar-benar dibutuhkannya.
"Kamu tahu kata maaf yang kamu keluarkan itu, harusnya keluar dari mulut aku, 'kan?" balas Luna menatap Tama dengan penuh kesenduan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top