42. Asing

Bersambaran dengan garis senyumnya yang masih terumbar tipis di balik helm, hilir udara malam membawa tubuh Tama terasa begitu ringan seolah-olah hari ini ia benar pulang ke rumah tanpa membawa sedikit pun beban. Sebuah amplop yang Tama simpan di dalam saku jaketnya, bahkan suka ia tepuk untuk menggambarkan seberapa luas ia terpapar kebahagiaan. Keramaian yang menemani di sepanjang perjalanan tidak lagi menjadi perhatian, hingga berani-beraninya, Tama berseru tak karuan.

"Hah ... lo kenapa nggak di rumah, sih, Vin? Gua mau cerita banyak sama lo!"

Meski begitu, dalam kendali motornya yang bergerak dengan kecepatan tinggi, ternyata ada sedikit kekecewaan yang Tama luapkan agar hawa positif yang mengitari dapat terus menghinggapi diri.

Di luar dari seberapa besar ia tengah berbangga atas penghargaan jasa yang diberikan oleh Farhan, rasanya, Tama masih tidak puas jika belum menyampaikannya kepada Melvin. Jadi, setelah pulang dari rumah Alfa, buru-buru Tama mengunjungi kediaman Melvin, tetapi sayangnya, Melvin tidak ada di sana.

Tempat yang sering ia kunjungi kala bersedih itu terlihat tak berpenghuni sedangkan lampu-lampu di dalamnya utuh padam tak dinyalakan. Jika dipikir-pikir–kecuali tengah malam, Melvin memang jarang ada di rumah, sehingga Tama selalu bertaruh ketika mendatanginya tanpa berkabar terlebih dahulu. Lalu, menimbang sekarang Tama tidak lagi sering ke sana, akan sangat wajar apabila kesibukan Melvin semakin bertambah dan Tama tidak lagi mengetahui jadwal kesehariannya.

Jujur saja, sulit bertemu dengan Melvin membuat Tama merasa sedih karena Tama terbiasa mempercayakan cerita di hidupnya kepada Melvin. Dan belakangan ini, sialnya Tama datang hanya saat ada butuhnya saja, sehingga sebagai teman ia merasa kurang memperhatikan keadaan Melvin. Terlebih, sikap Melvin yang kemarin-kemarin bertindak seolah-olah ingin menjauhinya, cukup membuat Tama kepikiran jangan-jangan sampai saat ini, Melvin masih mencoba memberi jarak terhadap Tama.

Penerima: Melvin

Vin, ke mana lo rumah sepi begitu kayak habis kegrebek open BO aja. Besok pulang sekolah gua ke sana lagi, ya. Awas aja lo sampai nggak ada. Ancamannya apa, ya? Bentar gua mikir dulu.

7.23 P.M

Beruntungnya, melalui upah yang ia terima dari Farhan, sekarang Tama memiliki ide kompensasi yang bagus untuk membayar kesalahannya pada Melvin. Ya, sebenarnya, tanpa sedang bermusuhan pun, Tama tetap akan memikirkan hal yang sama tentang bagaimana ia akan menggunakan uang tersebut.

Sebentar lagi, Melvin ulang tahun. Tama berniat ingin menggunakan seluruh uang yang ia punya, untuk memberikannya kepada Melvin. Tahun-tahun ini, Tama rasa Melvin tengah mengalami kehidupan yang begitu sulit. Tama harap, sedikit pemberiannya nanti, dapat meringankan beban Melvin.

"Vin, teman-teman gua di sini keren-keren banget. Kalau nanti gua ikutan jadi manusia yang hebat, gua bisa terus bantu lo juga, 'kan?"

Memasukkan motornya ke area garasi rumah, batin Tama bersenandika mengingat apa yang tadi sore Farhan tawarkan kepadanya. Diam-diam, dalam usianya yang masih sangat belia, Farhan ternyata merupakan seorang penanggung jawab dari merk distro terkenal yang dimiliki oleh sepupunya tersebut. Belakangan ini, brand apparel itu memang sedang naik daun di kalangan anak muda. Projek yang memiliki tagar khas bertuliskan explore your identity tersebut merupakan rintisan terbaru dari usaha sepupu Farhan yang sebetulnya banyak berfokus pada pakaian formal. Tama tidak menyangka orang yang paling berjasa dalam memasarkan produk tersebut adalah temannya sendiri.

"Makasih, ya, Vin, udah jadi orang pertama yang membuka pikiran gua di tahun ini. Tanpa omong kosong kita di malam itu, mungkin sampai sekarang gua masih bingung dengan cara apa gua bisa rayain ulang tahun lo. Gua bersyukur bisa kenal mereka, tapi bukan berarti lo harus menjauh dari gua, Vin. Kita coba raih kehidupan yang lebih baik itu bareng-bareng. Makanya, lo nggak boleh berpikir untuk tinggalin gua, ya, Vin?"

Tak henti-hentinya Tama merasa terkesan bagaimana, Farhan, Alfa, Zaki, maupun si kembar memiliki segudang talenta yang sukses mereka kembangkan. Senyum tipis kembali menghiasi wajah Tama sebagaimana ia mulai beranjak hendak membuka pintu rumah. Mungkin, jika dahulu semudah itu bagi Tama menerima banyak dukungan luar biasa dan terhindar dari kenakalan remaja, baik ia maupun Melvin dapat mengepakkan sayapnya dibandingkan mematahkannya.

"Langkah kamu ringan banget masuk rumah? Sepertinya, sesering apa Ayah mengingatkan pun, kamu akan tetap mengabaikan ucapan Ayah, ya?"

Mendadak, begitu Tama usai meletakkan kunci motornya di meja ruang tengah lalu hendak menginjakkan kakinya menaiki anak tangga, suara tegas bersyarat kemarahan itu menghapus senyum Tama menjadi tegang yang memekatkan.

Tak jauh di ruang keluarga, Ayah yang tengah duduk bersandar di sofa ternyata sedang memperhatikannya dalam diam. Bersamaan dengan rautnya yang tampak lelah, sebatang rokok menemani pahit malam Ayah menghirup zat nikotin itu perlahan-lahan, lain lagi sudut matanya terukir sangat tajam sibuk melucuti keberadaan Tama.

Langkah Tama pun sontak terhenti terdampak kuat presensi Ayah yang tak terbantahkan. Setiap kali sorot mata Ayah melempar tanda benci kepadanya, Tama merasa tenggelam ke dalam lautan yang menggelapkan.

"Berapa umur kamu sekarang? Udah mau delapan belas tahun, ya?" ujar Ayah mengembuskan lagi asap kelabu itu keluar dari mulut, kemudian memadamkan api rokoknya ke kolam asbak. Tubuhnya ia tegakkan menghadap Tama. "Terkadang Ayah bertanya-tanya kenapa kamu susah sekali Ayah kendalikan. Ternyata jawabannya karena kamu sudah merasa besar, ya?"

Pada detik-detik yang terasa begitu panjang tersebut, Tama dibuat tidak nyaman sedangkan mulutnya tak bisa berkomentar sebab ia tidak mengetahui akar permasalahannya ada di mana. Sampai di satu waktu, Ayah tampak menilik kembali arah putar jamnya yang melingkar di pergelangan tangan, Tama baru sadar apa yang membuat Ayah begitu kesal sekarang.

"Jam delapan lebih sepuluh. Lagi-lagi kamu pulang lewat jam malam setelah berulang kali, kemarin Ayah sudah menahan diri untuk memaklumi semua perbuatan kamu." Cara Ayah menekankan nada dalam setiap kalimatnya, kini terdengar semakin mendalam. Jari telunjuknya lantas bergerak menunjuk bagian wajah Tama. "Termasuk, soal bibir kamu yang sobek itu."

Mendengarnya, Tama mengalihkan pandangan sejenak untuk mendenguskan napas kasar. Cepat atau lambat, Tama tahu hal ini pada akhirnya akan dibahas oleh Ayah. Meski begitu, Tama sudah terlalu lama tidak membawa hari baiknya sampai ke dalam rumah. Entah kenapa–dibandingkan hanya menerimanya mentah seperti biasa, kali ini Tama ingin menjelaskan seluk-beluk alasannya agar Ayah tidak salah paham. Ada banyak perubahan yang sedang terjadi di hidup Tama, sehingga secara tak sengaja Tama melanggar peraturan yang Ayah buat.

"Ayah menyerah untuk berpikir apa mungkin suatu saat nanti ada hal baik yang bisa menempel di otak kamu. Sudah sampai begini pun, kamu masih aja main sama anak-anak nakal, terlibat dalam perkelahian untuk hal-hal yang nggak jelas, dan entah apa hal lain yang kamu lakukan di luar sana."

Namun, sebelum Tama dapat menjelaskan, lagi-lagi Ayah tak pernah lupa untuk terlebih dahulu menjatuhkan penghakimannya. Mulut Tama yang tadinya ingin terbuka mengeluarkan suara, seketika terhenti di tengah jalan. Terlanjur kehabisan kata sebelum memulai.

"Kalau memang kebebasan kamu di luar lebih penting daripada besar perhatian Ayah, Ayah akan kasih itu buat kamu."

Usai membunyikan pernyataan itu, Ayah bangkit dari kursinya untuk berjalan menuju bufet di mana Tama meletakkan kunci motornya. Mata Ayah, bahayanya tersuar semakin menyalang geram menguliti keberadaan Tama, sedangkan benda besi itu telah tertangkap dalam genggamannya.

"Kamu pasti benci sekali, 'kan, sama Ayah yang harus menyita kunci motor supaya kamu nggak bisa lagi keluar malam? Ayah tahu. Ayah kembalikan lagi hak sepenuhnya ke kamu."

Dug

"Ugh!"

Dalam hitungan waktu yang melayang teramat cepat, ulu dada Tama sontak terasa terbakar sedang pembuluh di sekujur tubuhnya ikut memanas menjalar hingga ke sekitaran. Entah ke mana perginya pasokan udara di bilik paru-paru, tiba-tiba Tama kesulitan mengatur napas, bahkan sampai tak bisa bersuara.

Tanpa sadar, kunci yang tadi ada di genggaman Ayah, kini tengah memantul di permukaan lantai. Bunyinya yang terdengar menyaringkan, sedikit membangunkan kesadaran Tama dari rasa pedihnya yang luar biasa. Dengan sekuat tenaga, Ayah baru saja melempar besi tebal itu tepat di tengah tubuh Tama. Tepat mengarahkan sisi ujungnya yang bergerigi dan berbentuk tajam, lecutan tersebut seolah menembus hingga ke belakang punggung Tama tak terelakkan.

"Sesuai perjanjian, mulai detik ini Ayah akan berhenti memedulikan kamu," kata Ayah dingin, benar mengabaikan panjang urat di leher Tama yang timbul akibat menahan kesakitan. "Mulai besok, kamu nggak perlu taruh kunci motor kamu lagi di sini. Kamu juga bebas mau pulang jam berapa atau bahkan nggak pulang semalaman pun. Kamu mau berteman sama siapa, buat kegaduhan apa di luar sana, Ayah nggak pengin tahu lagi. Semuanya, per malam ini, kamu yang urus sendiri."

Masih kewalahan dengan kedua tangannya yang mengepal demi menawar kepedihan, kalimat panjang Ayah sulit Tama proses sebab kondisinya saat ini benar-benar kacau tak karuan.

"Nggak berguna. Mau seberapa banyak pun Ayah kasih kamu kesempatan buat menebus kesalahan kamu, Ayah yakin kamu nggak akan pernah berubah. Silakan kamu menikmati hidup kamu sepuasnya."

Tidak, seharusnya semua tidak berlangsung seperti ini. Tangan Tama hendak terjulur menggapai Ayah, tetapi punggung Ayah terlanjur berlalu berjauhan. Dalam pelan rintihannya mengeluarkan perih, Tama tidak mengerti kenapa dunia tidak pernah mengizinkannya untuk meraih kepercayaan Ayah.

Jauh di dasar lubuk hati Tama, tentu Tama tidak mau Ayah berhenti memedulikannya dan utuh memperlakukannya bagai orang asing yang tinggal di satu rumah. Sedari awal, semua perjanjian itu lagi-lagi adalah hasil penghakiman Ayah tanpa melibatkan keinginan Tama di dalamnya. Tama ingin bercerita banyak pada Ayah, tetapi ia tidak pernah tahu bagaimana caranya.

"Ayah, seburuk itukah Tama di mata Ayah sampai Ayah bilang Tama nggak berguna?" ujar Tama kecewa, melingkarkan cengkeramannya pada genggaman anak tangga.

Bersamaan dengan pahit batin yang masih terendap di lokus memorinya, Tama pun menaiki anak tangga dengan gontai untuk memasuki ruang kamar. Pandangannya selintas ikut mengabur membayangkan betapa kesalahpahaman yang ia miliki bersama Ayah begitu menghancurkan kehidupannya.

"Badan Tama sakit, Ayah. Tapi, sejak dulu hati Tama lebih hancur setiap kali dengar Ayah bilang begitu."

Melihat sebuah alat yang dapat menyalurkan keterpurukannya, Tama pun mendekati samsak yang tergantung di depan untuk melayangkan tinjuan pelan.

"Kalau selamanya lo nggak pernah bisa buktiin kalau lo itu baik di depan Ayah, kapan Ayah bakal berhenti menyakiti hati dan tubuh lo, Tama?"

Satu demi satu, pukulan tersebut pun berubah semakin kencang. Meluap dari tampungan emosinya yang lama didiamkan, Tama mengerang mengeluarkan seluruh tenaganya hingga samsak itu terbang berguncangan.

"Ayah, kenapa Ayah nggak pernah mau dengar suara Tama? Kenapa yang muncul di kepala Ayah cuma Tama yang pengin bebas keliaran? Memang menurut Ayah, Tama sedangkal itu sampai nggak pernah berpikir bahwa semua hal buruk yang Ayah tuduh ke Tama nggak sebanding dengan apa yang bisa Tama usahain untuk memperbaiki hubungan Tama ke Ayah? Ayah seharusnya tau apa yang Tama mau selama ini."

Lalu, tanpa bisa menyampaikan hal tersebut ke hadapan Ayah, Tama kembali mengisolasi dirinya ditemani kalimat-kalimat yang terkumpul di kepala. Semua jeratan terlalu kusut, Tama selalu kewalahan menandingi amarah Ayah yang tersulut teramat cepat.

Ayah, Tama tidak bermain dengan anak-anak nakal atau terlibat dalam perkelahian yang tak diharapkan. Beberapa minggu lalu, Tama baru saja memperoleh kenaikkan dalam nilai-nilai ujiannya. Tama juga belajar bagaimana caranya melakukan presentasi yang baik, sebab itu Tama pulang agak telat malam ini. Soal keputusan Ayah yang menempatkannya di Bina Bangsa, Ayah juga tidak salah sebab pada akhirnya, Tama dapat bertemu dengan sekumpulan teman sebaya yang jauh lebih hebat dan pintar dari dirinya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya yang menyedihkan, banyak uluran tangan menengadah di hadapan Tama ingin mengajaknya jalan bersama. Tama juga ingin Ayah tahu bahwa Tama melakukan hal serupa dengan menolong seorang ketua kelas yang dirundung oleh orang-orang jahat oleh sebab, itu Tama mendapatkan luka di sudut bibirnya.

Ayah, andai Ayah tahu, Tama tidak sedang menjadi anak nakal hanya karena sesekali Tama tidak menuruti aturan-aturan yang Ayah buat. Dengan bertemu Melvin, Tama berharap Ayah juga mengerti bahwa Melvin itu bukan seseorang yang perlu Ayah khawatirkan sebagai biang yang membuatnya terjerumus dalam kegelapan. Melvin itu merupakan sang penyelamat di saat Ayah tanpa pedulinya memberikan luka batin dari pernikahan yang belum bisa Tama terima. Jadi, ketika Ayah menyalahkan semua tuduhan tersebut kepada Tama, Tama merasa sakit menyadari bagaimana Ayah begitu tidak memahami lika-liku kehidupannya.

"Ayah, tanpa perlu Ayah minta, dari dulu Tama juga berharap Tama bisa berubah. Tapi, kalau Ayah selalu begini, Tama nggak akan pernah sanggup. Karena sedari kecil, mau sebaik apa Tama ada buat Ayah, Ayah nggak pernah melihat Tama secara berbeda, 'kan?"

Tanpa dipungkiri, tingginya intensitas konflik batin yang ia miliki terhadap perlakuan Ayah, tentu menimbulkan permusuhan besar di bilik jantung Tama. Namun, sampai kapan pun, Tama mungkin tidak akan benar-benar bisa membenci sosok Ayah yang seperti itu. Sebab di saat Ibu memilih untuk pergi meninggalkannya, hanya Ayah yang masih setia untuk menjaga dan merawatnya.

Seluruh ketidakberdayaan ini, membuat Tama tidak mampu membela dirinya sendiri sehingga jauh di bawah alam sadarnya, Tama terbentuk untuk selalu memercayai segala kalimat buruk yang Ayah lemparkan.

Dari situ, Tama sedikitnya menyadari kenapa sampai di umurnya yang hampir menyentuh akhir masa remaja, Tama begitu sulit untuk mengakui bahwa ia memiliki kemampuan dan sanggup melakukan sesuatu. Dalam proses mengeksplorasi hal baru pun, pola tersebut kejadiannya terus berulang karena apa yang Tama tanam adalah validasi sang Ayah yang tak pernah diberikan.

Sejauh apa sebuah dukungan dibangun oleh teman-temannya kepada Tama belakangan kemarin, agaknya semua mudah sekali dihancurkan sampai-sampai Tama merasa rendah diri secara berlebihan. Apa yang Ayah katakan begitu melekat di kepalanya. Sebersit cahaya yang tadinya tumbuh bersinar di lubuk jantung Tama, seketika kembali memadam diselimuti pedihnya duri dalam gulita.

"Ayah, Tama ini putra sulungnya Ayah, 'kan? Seharusnya, dibandingkan teman-teman Tama, Ayah adalah orang pertama yang paling bangga sama Tama. Tama itu jagoannya Ayah. Bukan begini."

Di akhir peluapan emosi tersebut, Tama pun terduduk menyenderkan kepalanya pada samsak yang tergantung. Ruas jemarinya yang memerah terkulai lemas di permukaan lantai. Semua hal ini benar-benar membuat Tama lelah. Tama tak berdaya memungut kepingan hatinya yang terbentur berantakan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top