41. Upah
Tepat di kala percobaan presentasi itu usai ia praktikkan di hadapan teman-temannya, tepuk tangan meriah serta senyum membanggakan sontak menghiasi isi pandangan Tama yang akhirnya dapat menghela napas lega. Mengatur cara bicaranya secara sistematis, apalagi perlu bergaya secara intelek dalam memaparkan materi pelajaran, sesungguhnya sangatlah baru di kehidupan Tama.
Dahulu di sekolah lamanya-apabila Tama dibutuhkan untuk mengisi slot presentasi yang kosong, Tama terbiasa membaca penuh kalimat yang terpampang di layar LCD saja tanpa menghafal apalagi memahami materinya. Jikalau ada sesi tanya jawab, pasti Tama akan menggantungkan semua pada teman-temannya karena otak Tama sudah terakui tak dapat diandalkan. Guru-gurunya, bahkan paham betul bahwa Tama itu siswa yang selengean. Jadi, melihat dari seragamnya yang berantakan saja, hal itu tidak lagi perlu didebatkan.
Lain lagi di SMA Bina Bangsa, mewajarkan kekurangan itu rasanya sangatlah sulit diterapkan sebab seluruh pelajar telah membiasakan diri tentang bagaimana cara menjadi seorang presenter yang baik. Pada semester sebelumnya, karena tidak memiliki teman yang sejenis, berada di sini sering kali membuat Tama lebih mudah tertinggal dibandingkan deretan siswa-siswi lainnya. Namun, berkat arahan dari Vero dan Revo, Tama sekarang jadi merasa berfungsi walau sebetulnya, Tama pun masih sering deg-degan mengetahui kini ia memiliki bagian yang harus ia pegang sendiri.
"Keren-keren! Dari semua latihan presentasi yang kita udah lakuin, ini yang paling perfect, Tam! Lidah lo nggak belibet lagi, gesturnya oke, terus isi materinya juga bisa lo bawain secara sistematis."
Mendengar kalimat pujian dari Revo, Tama tidak bisa menahan diri untuk mengulas senyum tipis. "Lo yang keren karena bisa ajarin gua yang modelan kayak begini," ujar Tama kemudian duduk sembari merangkul akrab bahu Revo. Tak lupa, ia mengangkat kepalan tangan kanannya untuk mengajak Vero bertinjuan.
"Kebiasaan lo, mah. Bukan kita, tapi lo yang cepat belajar." Vero membalas yang diiringi dengan senyuman lebar Revo.
Tak mau berdebat panjang mengenai siapa yang paling berkontribusi dalam hal perkembangannya, Tama tercengir melengos lalu membuka topik baru untuk kemudian bercanda dengan Vero dan Revo.
Seolah sudah menjadi bagian tetap di dalamnya, malam ini Tama ikut berkumpul di rumah Alfa untuk mematangkan presentasi yang akan dilakukan besok. Di lorong sebelah, Zaki yang tidak memiliki kepentingan khusus tengah asyik melakukan video call bersama pacarnya-Rania, sedangkan Farhan sibuk mengutak-atik kameranya setelah selesai mendiskusikan PR bersama Alfa.
Berhubung urusannya kini telah usai, ruang tengah tiba-tiba menjadi sangat berisik karena suara si kembar-utamanya Revo-itu nyaring sekali jika sedang tertawa atau menanggapi isi cerita Tama. Saking kencangnya keseruan tersebut menguar, perhatian Zaki dan Alfa pun terundang keluar untuk bergabung bercengkerama bersama.
Topik-topik absurd yang mengundang gelak tawa dari Tama, respons menggelitik Vero dan Revo yang meramaikan suasana, atau jahilnya celetukan Zaki yang membuat wajah Alfa menjadi merah tak terkira, sontak mewarnai sore mereka yang lambat laun tak terasa telah berubah gelap menutup petang.
Dalam kerumunan itu-dengan seragam sekolahnya yang masih menempel di badan, Terkadang Tama tidak habis pikir bagaimana kehangatan ini bisa ia terima setelah apa yang ia lakukan di masa lalu. Percakapannya dengan Luna tadi siang, jujur saja membawa sisi rapuh Tama ke dalam level lain sehingga segala hal di beberapa jam belakangan ini, terkesan begitu sentimental bagi Tama.
Teringat akan mimpi buruk, kebingungan besar berbentuk penyalahan diri, serta harap semu yang membentang luas ke arah depan, semuanya membuat hati Tama berkecamuk sehingga menginginkan sesuatu yang lebih baik, ada kalanya terasa begitu melelahkan. Apa yang pernah Tama miliki, biasanya terlepas dari genggaman. Tama tidak tahu pertemanan yang berharga ini, bisa ditangguhinya sejauh kapan.
"Tam, ikut gua sebentar, yuk?"
Sampai di satu ketika, dengan tali kameranya yang setia melingkar di leher, panggilan Farhan membuat atensi Tama teralihkan sembari bertanya-tanya, apa yang ingin Farhan bicarakan kepadanya.
"Yo, tunggu sebentar."
Di sofa dekat area ruang tamu, Farhan duduk seraya mengutak-atik laptopnya untuk menunjukkan sesuatu kepada Tama. Melihat master sheet penjualan terpampang nyata di depan matanya, kening Tama mengernyit kebingungan membaca grafik yang tertera di sana.
"Ini apaan, Han?"
Tersenyum sekilas sambil menarik Tama bergeser lebih dekat, Farhan menggerakkan arah kursornya untuk memudahkan penjelasan. Bermula dari katalog penjualan yang terbuka lewat sistem admin, Farhan memberitahukan kepada Tama bahwa barang yang dikenakan olehnya waktu itu, menjadi yang pertama habis terjual melalui pra pesan, bahkan menyentuh angka favorit terbesar dalam urutan produk-produk terbaru di kalangan para pengguna.
Kebetulan, beberapa dari sekian pakaian keluaran baru tersebut memang Farhan pilihkan untuk Tama sehingga sebagai penanggung jawab, Farhan memegang resiko besar di antara amatirnya seorang Tama akan membuat produk tersebut gagal total atau wajah barunya mampu menghadirkan kesegaran yang mengundang. Namun, dengan pengalamannya yang sudah cukup lama menekuni di bidang fotografi dan lifestyle anak muda, Farhan sangat percaya diri Tama dapat mengisi peran tersebut. Oleh karena itu, sekarang Farhan bersemangat ingin memberi tahu hasilnya kepada Tama.
"Dalam skala ukuran percobaan pertama, lo sukses besar buat menaikkan daya tarik produk yang lo pakai. Cara lo berekspresi dan menyesuaikan sikap tubuh ke dalam karakter outerwear itu sendiri, bikin orang-orang yang scrolling di katalog jadi ikutan merasa keren makanya tanpa banyak pertimbangan lagi, banyak dari mereka langsung check out dalam detik itu juga.
Gara-garanya, lo harus tau foto lo jadi salah satu yang dimasukkin headline situs penjualan dan itu mengundang perhatian banget. Beberapa hari terakhir, penjualan langsung naik semakin drastis karena produknya memang limited dan mereka nggak mau kehabisan. Sampai sekarang, bahkan banyak pesan masuk ke kita kapan produk itu ready stock lagi. Pengaruh lo sebesar itu, Tam."
Terdiam sebentar sambil menautkan alisnya dalam-dalam, Tama mendenguskan napasnya kasar ke arah tangannya yang mengepal di depan. Entah mengapa, di telinga Tama semua terdengar sangat berlebihan.
"Nggak, ini mah emang produknya aja yang bagus gila. Kalau di etalase kebetulan gua liat lagi dijual juga pasti langsung gua beli."
Andai ini hanya sebatas pujian dari teman-temannya, Tama masih bisa menerima atau bertingkah seolah itu merupakan hal yang benar. Namun, karena apa yang Farhan sampaikan sudah menyangkut pada cakupan data yang lebih luas, Tama kesulitan mempercayainya.
"Ya, tanpa memungkiri, sih, Tam. Di dunia model dan lifestyle, kerennya aura seseorang itu bisa terlihat dari dua hal utama. Satu, dari bagaimana orang tersebut memancarkan kepercayaan dirinya, kedua dari cocok atau nggaknya kesesuaian tubuh dan karakter dia dengan outfit yang dia pakai. Oke, kalau lo bilang produknya dari awal udah bagus. Tapi, kalau dari situ aja cukup buat menampilkan daya jual, untuk apa kita perlu menyewa model?"
Dengan menyisipkan pertanyaan retorik di akhir kalimat, balasan Farhan membuat Tama mati gaya tak mampu memberikan tanggapan. Penalaran logis disertai penjelasan sederhana tersebut cukup membuka pikiran Tama terkait apa perannya di sana. Di sisi lain, karena pemikirannya yang begitu rendah menilai diri, secara tidak langsung Tama merasa baru saja merendahkan profesi model seolah usaha yang mereka lakukan tidak menambah kesan estetika pada produk yang mereka pakai.
"Lo harus percaya sama kekuatan yang lo punya di dalam diri lo, Tam. Bukan tanpa pertimbangan, gua memercayakan produk itu buat lo pakai. Lagian, kalau memang produknya bagus-bagus semua, kenapa harus dari punya lo yang paling cepat laku terjual? Lo tau sendiri ada berapa banyak model lain yang ikut mempresentasikan projek keluaran baru itu kemarin.
Dan kalau gua boleh jujur, sebenarnya produk andalan yang kita prediksi bakal jadi trend-nya banget, itu bukan yang gua kasih ke lo. Tapi, lo justru memunculkan sesuatu yang ada di luar dugaan kita. Sebagai model yang tergolong baru pakai banget, gua bilang adalah sebuah bakat besar lo bisa menciptakan daya kreatif itu. Looks yang lo kasih benar-benar mahal, Tam. Gua nggak menyesal telah memilih lo."
Untuk sepersekian detik, pupil mata Tama sempat mengecil terkesima mendapati pujian Farhan yang terdengar tulus apa adanya. Sampai-sampai, semburat perasaan bangga pun membakar panas dari dalam dada menuju ke sekitar aliran pembuluh darahnya. Menerima masukan positif dari teman laki-lakinya yang ahli menggarap suatu hal sangatlah berpengaruh dalam menambah kepercayaan diri Tama. Namun, daripada itu, Tama lebih memercayai semua mungkin terjadi karena ada Farhan yang membantunya.
"Terlepas apa yang lo bilang itu benar atau nggak, makasih, udah mau mempercayakan hal itu ke gua, Han. Karena lo, gua jadi bisa mencoba hal baru di hidup gua dan bahkan menikmati hasil dari prosesnya sendiri. Walau gua masih belum seutuhnya yakin gua punya kemampuan di situ, tapi gua akan terus coba buat cari karisma yang pernah lo singgung sebelumnya."
Meski seberapa besar Farhan ingin Tama cepat-cepat menyadari keunggulannya, laki-laki itu hanya bisa tersenyum tipis menghargai proses Tama butuh memercayai diri. Bagi Farhan, adalah hal yang unik bagaimana di satu waktu Tama mampu bertingkah keren di hadapan teman-temannya, tetapi dalam situasi yang lebih personal, selalu timbul keraguan dari cara Tama mempersepsikan keberadaannya.
Mungkin, di balik sikapnya tersebut, batin Tama tengah berkonflik untuk menjawab terkait siapa identitas sebenarnya. Sebab setahu Farhan-berdasarkan kabar burung yang beredar, Tama pernah memiliki kasus tertentu yang membuatnya harus pindah ke SMA Bina Bangsa. Dan setiap orang yang bermasalah, pasti mempunyai alasan mengapa perlu melakukan sesuatu yang kurang diharapkan.
"Ngomong-ngomong soal hasil, lo belum menerima apa pun, Tam. Jadi, sini gua kasih tau gimana caranya menikmati itu."
Berupaya kembali menghadirkan gembira suasana, Farhan meraih tas punggungnya untuk kemudian mengambil amplop putih dari dalam. Tak mengerti kenapa Farhan melebarkan senyuman, Tama dibuat kaget karena tiba-tiba Farhan meletakkan amplop tersebut tepat di paha kirinya.
"Hadiah kerja keras lo."
"Hah? Apaan ini, Han?" ujar Tama masih menampakkan raut terkejut yang mengental di wajah. Sebab tangannya tepat bersentuhan dengan amplop tersebut kala menahan pemberian, Tama sekiranya tahu apa yang mengisi di dalamnya. "Lo, kok, aneh-aneh aja, sih?"
"Lah, aneh-aneh gimana?" tanya Farhan tercengir jenaka, lalu karena reaksi bingung Tama benar-benar konyol untuk diperhatikan, Farhan jadi mengumbar tawanya. "Itu upah kerja lo. Di dalamnya juga udah kehitung bonus karena lo udah berhasil bikin produknya laku besar-besaran. Makanya, amplopnya bisa jadi segemuk itu."
Masih kesulitan untuk memproses segalanya, alis Tama berjengit sedemikian rupa ingin mengucapkan sesuatu, tetapi semua tertahan jelas di otaknya. Seumur-umur, Tama tidak pernah tahu hasil usahanya dapat ditakar menggunakan uang. Menerima bentuk pujian saja, Tama baru belajar bagaimana caranya menjadi terbiasa. Keluasan sudut pandang perihal orang-orang melihat dirinya begitu menyilaukan. Sehingga, dari segala kata yang berputar di benaknya, yang keluar dari mulut Tama hanyalah, "Ini ... lo seriusan, Han?"
"Lo, tuh, agak bebal, ya, anaknya? How many times do I have to tell you that you deserve this? Bahkan, kalau lo setuju, gua nggak berminat mempertahankan kerja sama ini hanya dalam satu projek aja. Kapan-kapan, kalau ada sesi foto lagi, lo ikut gua, ya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top