37. Sayang

Sesampainya di rumah, setelah sepulang sekolah tadi Luna berkeliling ke sana kemari tanpa tujuan yang cukup jelas, Luna langsung merubuhkan tubuhnya di kasur tanpa mengulas materi atau menggarap kanvas lukisnya, seperti biasa. Menunggu apa yang Ayah dan Bunda pikirkan terkait bahasan yang telah berani ia singgung kemarin, rasanya jauh lebih menyesakkan dibandingkan saat mengutarakannya. 

Mungkin, sebenarnya semua saja saja. Waktu hanya berlalu lebih cepat, terkadang pula melambat sehingga di tengah-tengah himpitan untaian kejadian tersebut, Luna mudah lupa untuk merasakan satu limpahan emosi yang kemudian tertimpa oleh peristiwa lainnya. Tekanan menghadapi ketakutan ini sendirian, tidak pernah lebih menyeramkan apabila bentuk ketidakpastian turut menyertai di dalamnya. Seakan, jeda yang membuatnya tidak berdaya ini memaksa Luna terus jatuh terperangkap di dalamnya.

Pengirim: Tama

Lu, lo baik-baik aja? Di sekolah tadi gua nggak lihat lo sama sekali. Apa lo punya tempat persembunyian lain kecuali perpus, kelas, dan rooftop gedung empat?

9.10 P.M.

Sebuah notifikasi yang muncul dari ponsel mengalihkan perhatian Luna keluar dari dalam lamunan. Selain daripada ia sendiri yang kebingungan untuk memproses apakah kini dan setelahnya ia akan baik-baik saja atau tidak, Tama merupakan orang pertama yang lagi-lagi menaruh perhatian kepadanya. Kendati begitu, sepanjang hari masih terus berjalan, pesan Tama yang berusaha mengetuk pintu hati Luna saat ini, tetap Luna abaikan tanpa berniat untuk membalasnya.

Sesaat di sekolah tadi, beberapa kali Luna hampir berpapasan dengan Tama. Namun, dengan cepat Luna mengaburkan keberadaannya dengan lari berbalik atau membaur terhadap keramaian. Menyadari di sekian waktu Tama tampak mendatangi tempat-tempat spesifik di mana mereka saling bertemu, Luna lantas memilih bersembunyi terlebih dahulu lalu mulai berani keluar setelah laki-laki itu yakin bahwa ia tidak ada di sana kemudian pergi ke tempat lain.

Jauh di dalam lubuk hati Luna, tentu berada di dekat Tama merupakan hal yang paling ia butuhkan sekarang. Namun, sisi logis Luna berpikir, mungkin akan menjadi terlalu dini pula baginya untuk melibatkan laki-laki itu ke dalam masalahnya saat ini. Sebab, pada hari pembagian ranking kemarin, seharusnya Tama sedang menikmati momen yang berbahagia atas pencapaian hasil belajarnya. Akan tetapi, sebab kala itu kontrol diri Luna sempat lepas untuk menangkal reaksi emosinya, Tama jadi menyadari hal tersebut sampai-sampai reaksinya berubah dipenuhi rasa khawatir dan penuh tanda tanya.

Luna, tidak ingin lebih menyusahkan Tama dengan permasalahannya yang tengah menjulang tinggi ke titik puncaknya. Setidaknya, bukan sekarang. Luna ingin jujur kepada setiap orang yang bisa ia percaya, tetapi saat ini ia harus melakukannya secara perlahan dimulai dari kedua orang tuanya.

"Luna, udah tidur, Nak? Bunda boleh masuk?"

Suara panggilan serta ketukan pelan dari balik pintu, tiba-tiba membubarkan atensi Luna dan rasa hampa yang menyelimutinya. Perlahan, Luna bangkit dari posisi berbaringnya untuk kemudian menyambut bundanya masuk ke dalam.

"Bunda, pintunya nggak Luna kunci. Bunda boleh masuk kapan pun Bunda mau," ujar Luna setelah membuka daun pintu. Persis di belakang Bunda, ternyata Ayah turut berdiri mengikuti meski pria itu tidak mengatakan apa-apa. Rasanya, sudah lama Luna tidak melihat Ayah berusaha untuk tidak tersenyum ketika berada di depannya. Dan entah kenapa, mendapati hal tersebut Luna merasa sedih sekaligus senang secara bersamaan. "Ayah juga boleh masuk."

Sembari menuntun kedua orangtuanya masuk ke dalam kamar, Luna merapikan sebentar bantal gulingnya yang sempat tertata tidak beraturan. Setelah sejak motivasinya jatuh ke titik yang paling rendah, Luna banyak menghabiskan waktunya hanya berbaring di ranjang sehingga kasurnya sering kali jadi sedikit berantakan.

"Rasanya, Bunda udah lama nggak main ke kamar kamu. Ini lukisan terbaru kamu?" Seraya melihat-lihat ke sekeliling ruangan, pandangan Frada terfokus kepada kanvas besar yang terpajang di bagian depan kamar putri kesayangannya. "Yang satu ini warna dan goresannya kuat dan tajam sekali. Ada cerita semacam apa di dalamnya?"

Beralih menanggapi pertanyaan sang Bunda, Luna terdiam sebentar. Sebab terlalu lama terbiasa mengikuti permainan Ayah dan Bunda, sering kali Luna merasa kesulitan untuk melawan sebuah norma yang mempersunting makna dari kejujuran hatinya. "Lukisan itu ... harusnya jadi perwakilan perasaan Luna." Namun, menimbang Bunda juga bersikap lebih tenang daripada kemarin, mungkin segalanya tidak sesulit itu jika perlahan aturan tersebut kembali dirombak secara perlahan.

"Kalau cuma dilihat seperti ini, Bunda bisa mengartikan lukisan tersebut dengan banyak hal, tetapi Bunda nggak mau menebak-nebak karena pembuatnya sendiri ada di dekat Bunda," ucap Frada kemudian berbalik menghadap Luna. Sekilas waktu berlalu, Frada mengulas senyum kecil dengan makna yang membingungkan. Sesuatu yang bukan terdiri dari kepura-puraan, tetapi lebih dekat jika disandingkan dengan sendalu penyesalan. "Bagaimana kabar kamu, Nak?"

Melihat adanya ketulusan dari binar mata Bunda, hati Luna bagai tersayat sediki. Seolah meneteskan obat ke dalam luka yang masih segar, segala memang selalu terasa menyakitkan untuk pertama kalinya. Selain daripada Tama, Ayah dan Bunda merupakan orang pertama yang Luna harapkan dapat memberinya pertanyaan tersebut. Mungkin, hari ini telah menjelma waktu tertentu yang ia dambakan.

"Sepanjang di beberapa tahun belakangan ini, hampir setiap waktunya Luna merasa nggak baik-baik aja. Untuk sekian minggu jauh dari hari ini, Luna merasa tertekan, tetapi juga lega karena Luna akhirnya bisa menyampaikan apa yang ingin Luna bicarakan ke Ayah dan Bunda. Lalu, kalau Bunda tanya kabar Luna sekarang, Luna nggak yakin harus merasa apa. Karena sampai detik ini pun, Luna masih nggak tau apa yang ada di pikiran Ayah dan Bunda, apalagi setelah percakapan kita kemarin malam."

Mendengarnya, Frada pun beranjak mendekati Luna kemudian duduk di sebelahnya. Satu kali dua puluh empat jam, rasanya Frada tidak pernah sekali pun berada jauh dari putri kesayangannya. Namun, dalam jangka waktu yang panjang tersebut, banyak hal turut terlewatkan begitu saja di dalamnya.

"Apa yang pengin kamu tau dari kami, Nak?" jawab Frada sembari menyurai rambut panjang milik Luna. Serat lekukannya begitu halus untuk diurai. Mudah disisirkan dari atas hingga ke bawah, saking lembutnya, Frada terkadang luput tentang bagaimana ia harus merawatnya sebaik yang ia bisa.

"Ayah dan Bunda ... benar bakal jawab sejujur yang kalian bisa?" tanya Luna memastikan. Rautnya menyisipkan kesenduan akan pengharapan. Sakit untuk dikeluarkan, lamun pula itu yang ia butuhkan. "Nggak ada bohong-bohongan lagi, 'kan?"

"Jika itu yang kamu mau, maka Ayah dan Bunda akan melakukannya sejujur yang kami bisa." Sandi, kemudian menempati kursi kecil yang terletak di sebelah kasur putri semata wayangnya. Bangku itu ia tarik sedikit ke depan, sengaja ingin mendekati Luna untuk menatap lalu menggenggam sebelah tangannya.

"Luna ... mungkin belum sebesar itu untuk tahu tentang makna cinta yang sesungguhnya. Selain itu, Luna sendiri juga belum mengerti apa keluarga hanya terbentuk berlandaskan cinta semata. Dahulu, sewaktu Ayah dan Bunda lagi sering bertengkar sampai akhirnya masing-masing dari kita harus tinggal di tempat yang berbeda, Luna benar-benar kebingungan apa yang sebenarnya tersisa di dalam sana.

Tapi, beberapa tahun kemudian, Ayah dan Bunda jemput Luna kembali untuk tinggal di satu rumah. Semua ... tiba-tiba jadi damai lagi hingga sesaat. Luna berpikir, barangkali Ayah dan Bunda berhasil menemukan cara untuk memperbaiki cinta yang kalian punya. Tapi, karena akhirnya Luna tau baik dulu maupun sekarang pun nggak ada yang berbeda di rumah kita, Luna bertanya-tanya apa yang membuat Ayah dan Bunda terus bertahan. Apa meski tidak sebanyak yang dulu, cinta itu masih ada di sana? Atau Ayah dan Bunda punya alasan yang lain?"

Mendapati pertanyaan tersebut, Sandi dan Frada saling bertatapan cukup lama. Diam berupaya meleburkan jawaban yang paling tepat untuk diungkapkan, pula ragu sama-sama tergambar dari tangkapan bola matanya.

"Seberapa mengecewakannya apa yang akan Ayah ucapkan nanti, Ayah dan Bunda mungkin juga bukan orang yang tepat perihal memaparkan landasan keluarga itu sejatinya seperti apa. Tapi, berkat percakapan yang kamu bawa kemarin malam, Ayah dan Bunda banyak mendiskusikan sesuatu hingga akhirnya, kami sama-sama memberanikan diri untuk menemukan beberapa jawaban terkait pertanyaan itu," ujar Sandi memecah keheningan. Pria tersebut tampak mengalihkan pandangannya sejenak sebelum kembali menatap wajah putri semata wayangnya. "Keluarga nyatanya memang nggak bisa berdiri hanya karena cinta semata Luna. Ketika kamu sudah tumbuh dewasa nanti, kamu akan mengerti bahwa cinta juga datang bersama rasa keintiman dan komitmen yang terbilang besar."

"Keintiman? Komitmen?" Luna menelengkan kepalanya meminta elaborasi lebih lanjut.

"Iya, kedua hal tersebut merupakan unsur yang membuat ... kita merasa relevan dengan pasangan hidup kita. Nggak semua cinta bersifat selamanya, Luna. Di hadapan kamu, sekarang Ayah baru bisa mengakui bahwa perasaan bisa selalu berubah-ubah tergantung bagaimana kamu menjalani hidup dan bersama siapa kamu menghadapinya," jawab Sandi akhirnya menegaskan. Pandangannya sempat tertunduk sebentar sampai akhirnya, ia kembali menatap putri semata wayangnya.

"Cinta juga butuh alasan untuk tetap hidup. Sepanjang semuanya terus berlalu, segala apa yang kita miliki dapat berubah sewaktu-waktu. Mungkin, ketertarikan antar masing-masing penampilan tidak lagi menjadi penting seperti kita pertama kali bertemu. Sebaliknya, bagaimana kita diperlakukan dan sejauh apa kita memegang tujuan yang sama, justru menjadi syarat yang lebih utama yang ternyata itu juga banyak dipengaruhi ketika kita berusaha menyatukan ego dan mimpi masing-masing. 

Menjaga cinta, seharusnya cukup dengan kesadaran untuk saling terbuka memahami keadaan. Dari situ, keintiman datang sehingga segalanya tetap menjadi relevan kenapa kita masih butuh pasangan tersebut untuk ada di dalam kehidupan kita. Tapi, untuk Ayah dan Bunda, semakin ke sini kami justru merasa kesulitan untuk mempertemukan apa yang kami mau. Kami tumbuh menjadi orang yang sepenuhnya berbeda, bahkan di luar sepengetahuan kami sendiri. Kecuali, terkait kebutuhan dan kasih sayang kami terhadap kamu tentunya."

Mendapati hal tersebut keluar dari mulut sang Ayah, Luna termenung setia mendengarkan walau sejatinya, di dalam sanubari tersebut hati Luna terasa lemah untuk mendengar bahwa apa yang ingin ia pastikan dari pertanyaan yang ia ajukan itu, barangkali akan terdengar nyata adanya.

"Sebab itu, Luna, satu hal lagi yang ingin Ayah bilang, komitmen butuh timbul sebagai rasionalisasi di setiap sebuah pernikahan. Hal-hal di atas kendali cinta secara personal, akan jadi landasan kenapa kita harus terus bertahan. Mengaitkan diri dalam janji pernikahan, berarti kamu bersedia untuk menempatkan kepentingan kamu di bawah kepentingan yang lain. 

Pernikahan membentuk sebuah keluarga. Dan mempunyai keluarga, berarti kamu bersedia mengasihi kehidupan baru itu secara batin dan lahirnya. Bagi Ayah dan Bunda, yang memiliki seorang putri yang sangat cantik dan baik hati di dalamnya, kami mau menjaga itu. Jadi, tentang persoalan yang kamu tanyakan di malam itu, kamu bisa mengerti, 'kan? Kenapa kami berbuat demikian?"

Serumit apa kalimat yang berusaha Ayah utarakan, tidak butuh waktu lama bagi Luna untuk dapat memahaminya. Meski Ayah mungkin belum mengungkapkannya dengan jelas, secara implisit Luna mengerti bahwa keintiman itu bukankah sesuatu yang ikut bertumbuh di dalam pernikahan Ayah dan Bunda.

Keluarga menciptakan suatu tatanan kehidupan yang baru. Namun, salah satu dari apa yang seharusnya terus menjadi relevan, justru melayu sehingga keintiman bukanlah tonggak atas kemungkinan yang membuat Ayah dan Bunda terus bertahan.

Luna, sangat takut apabila selama ini Ayah dan Bunda hanya hidup demi apa yang mereka pikir akan membahagiakan diri Luna. Walau begitu, sebesar apa Luna memiliki perasaan, remaja perempuan itu tetap tidak ingin bermain hakim sendiri. Kesempatan ini sangatlah jarang ia temukan. Jadi, walaupun nanti harus menjadi benar, Luna tetap bertaruh mengulas pertanyaan yang selalu ia idam-idamkan.

"Kalau di sepanjang itu Luna nggak lahir di dalamnya, apa Ayah dan Bunda masih punya alasan untuk melanjutkan perjalanan cinta kalian?"

Tajam kalimat tersebut, sontak membuat bola mata Sandi dan Frada menjadi tegang setelahnya. Raut dua orang dewasa itu mendadak pasi tercekat keterkejutan. Luna tidak banyak bereaksi selain mengulas kelembutan di wajahnya. Bergerak memejamkan mata berusaha mengulaskan senyum terkecil, karena bukan maksud Luna untuk bersikap menakutkan, melainkan ia hanya menginginkan kejelasannya.

"Luna bukannya berharap Luna nggak dilahirkan di dunia ini. Berapa kali pun jika dibutuhkan, Luna bakal bilang, Luna tetap bangga punya orang tua seperti Ayah dan Bunda. Entah bagaimana keadaan kalian saat ini, hal itu nggak akan mengurangi rasa cinta Luna ke Ayah dan Bunda." Beralih memandang wajah Ayah dan Bundanya secara bergantian, Luna menangkup kedua tangan orang tuanya itu dengan penuh mengasihi, berharap semoga ia dapat menyalurkan syarat cinta yang ia punya. "Tapi, sebagai anak Luna akan selalu merasa kecil jikalau kehadiran Luna cuma bikin Ayah dan Bunda jadi sengsara. Luna nggak mau hidup di bawah bayang-bayang itu, Yah, Bun. Luna, lelah untuk terus berpikir apa Luna boleh bahagia dengan cara seperti ini. Dan di ujung kebingungan itu, Luna nggak pernah menemukan apa-apa di dalamnya."

Seraya menahan genangan air mata di pelupuknya, Frada mempersiapkan diri untuk tetap terlihat tegar kala membalas ucapan dari putri kesayangannya.

"Luna, kamu benar soal kamu adalah satu-satunya alasan kenapa Ayah dan Bunda masih terus bersama. Tapi, jauh dari hari semuanya mengerucut hanya pada kamu seorang, Ayah dan Bunda tentu sudah berusaha untuk menggali hubungan yang kami punya. Kamu nggak pernah sekali pun buat kami jadi sengsara, Luna. Ini perkara Ayah dan Bunda sendiri yang sangat jauh dari kata dewasa dalam menanggapi keadaan.

Ayah dan Bunda nggak tau kenapa sulit sekali menyatukan hati di ujung pernikahan kami. Semuanya berantakan dan membingungkan. Tapi, di antara kehendak hati dan tanggung jawab yang kami punya, Ayah dan Bunda tau kalau kamu melebih segalanya. Apa yang Ayah dan Bunda lakukan sampai saat ini, kami pikir semuanya itu buat kamu, Luna. Tapi, kalau setiap sikap dari kami justru luput membuat Luna jadi sakit, Ayah dan Bunda minta maaf. Maaf karena di saat waktunya kami memperhatikan kamu yang sedang tumbuh menjadi besar, kami justru membuat kamu merasa kecil."

Merasakan kepala sang Bunda tertunduk di sebelah bahunya, Luna menangkup pipi bundanya untuk saling menempelkan diri pada masing-masing pelipis. "Semuanya juga menakutkan dan membingungkan buat Luna, Bunda. Maaf, Luna terlalu lama berdiam diri untuk berpikir, Luna bisa merasa aman di tengah pertengkaran Ayah dan Bunda. Nyatanya, setelah bertahun-tahun kita jalani bersama, bahagia yang Luna cari bukan sekedar miliki Luna, tapi juga tentang Ayah dan Bunda."

Di tengah sesengguk yang ia tahan di ujung tenggorokan, Frada mencium sebelah pelipis Luna sebab saling mengucap maaf mungkin tidak akan cukup untuk meluruskan simpanan kekeliruan tersebut. Terkadang, ada banyak hal yang terlalu rumit sampai rasanya sungguh mustahil apabila diutarakan melalui kalimat. Frada harap, meski segalanya begitu sulit, tangis dan sentuhannya dapat dimengerti oleh Luna. "Bukan kamu yang perlu minta maaf, Nak."

"Nggak, Bun, semua salah di rumah ini adalah milik kita semua," jawab Luna mengulas senyum tipis. Kelopak kedua mata perempuan itu terpejam. Walau wajah dan penuturannya berbunyi lembut menenangkan, hatinya terasa pedih untuk melepas sisa-sisa luka yang bersemayam di dalam dirinya.

"Kamu tau? Ayah kamu itu orang yang baik Luna," ucap Frada menatap Sandi kemudian. "Ayah kamu itu seorang pekerja keras. Seberapa sering kami pernah bertengkar, kamu perlu tau kalau Ayah kamu nggak pernah sengaja ingin menyakiti Bunda."

Mendapati kalimat tersebut dilontarkan secara tiba-tiba, Sandi dibawa tergugup karena warna dari ucapan Frada cukup berbeda dari biasanya. Santunan tersebut, membuat pria itu terbilas kebingungan.

"Mungkin, sebelum masuk ke pernikahan ini, ada banyak hal yang belum Bunda selesaikan dan cari di kehidupan Bunda, jadi Ayah kamu merasa kesulitan mengikutinya. Seorang pria mengharapkan ketenangan ketika membangun hubungan rumah tangga. Namun, Bunda salah kira pernah berpikir bisa memberikan itu ke Ayah kamu."

Berulang kali, Luna pernah mendengar soal Ayah yang mengomentari Bunda sebagai orang yang keras kepala. Meski begitu, Luna tidak mengerti mengapa Bunda memilih fokus yang lebih jauh dari keberadaan Ayah sendiri. Daripada Luna seorang, tanda kerut di dahi Ayah yang umurnya masih tergolong muda barangkali cukup menjelaskan betapa frustasinya ia menghadapi permasalahan tersebut. Namun, khusus pada hari ini, tanda garis di kening Ayah sedikit melunak dan setelah sekian lamanya, Luna melihat kembali senyum Ayah yang dilukiskan kepada Bunda.

"Bukan, barangkali ini karena Ayah yang terlalu banyak meminta. Mungkin, Ayah yang terlalu memaksakan Bunda menjadi sesuatu yang bukan dirinya."

Bersama aliran waktu yang terus mengalir, percakapan itu pun terus berlanjut mengenai cerita di balik perasaan Ayah dan Bunda. Untuk pertama kali, Luna bisa mendengar sudut pandang perasaan milik kedua orangtuanya yang diutarakan langsung oleh mereka. Tanpa adanya pertengkaran atau teriakan menyalahkan yang biasa ia dapati di luar kamarnya.

Entah itu karena Luna atau kamarnya yang terbilang sunyi karena terpapar cahaya rembulan, ruangan ini seolah menjadi zona nyaman bagi Ayah dan Bunda bertukar cerita. Wajahnya masih sama-sama lelah, tatapannya kadang meredup diliputi kekecewaaan, tetapi kendati demikian, ketulusan perihal menghargai pendapat masing-masing dapat Luna temukan dari cara mereka mengatur nada bicaranya.

Ayah kemudian banyak bercerita tentang mimpi-mimpi Bunda yang tertunda. Perjalanan karier Bunda belakangan ini sedang cemerlang, sehingga sering kali Ayah sulit membahas jalan keluarnya. Dalam pertimbangan Ayah jika halnya disetujui, itu berarti Bunda harus pergi jauh meninggalkan rumah.

Ayah tidak mau masih di masa sekolahnya, Luna hidup tanpa didampingi penuh oleh sang Bunda. Di sisi lain, jika Bunda pindah kota demi pekerjaannya, lalu Ayah harus menampung hingga sejauh apa lagi soal kesendiriannya dalam pernikahan? 

Diliputi lamunan malam yang terlampau sunyi memekakkan itu, Luna akhirnya melihat banyak sisi rapuh Ayah tanpa ada yang perlu disembunyikan. Luna mengerti, tentu yang Ayah mau adalah besar kebahagiaan baik untuk dirinya dan juga Bunda. Namun, memutuskan antara satu keinginan dan lainnya, sering kali membuat Ayah terluka. Ayah yang Luna kenal sebagai sosok pekerja keras, agaknya lupa rasanya diperhatikan. Ayah benci menjadi orang jahat karena mengekang mimpi-mimpi Bunda, tetapi Ayah berusaha sekuat mungkin untuk tetap berpikir rasional walau tak jarang Bunda salah mengartikannya. 

Lalu, alih-alih membuka lagi pintu pertengkaran, Bunda justru meminta maaf apabila selama ini, banyak residu dari kekecewaannya malah membentuk asumsi yang bukan-bukan terhadap Ayah. Bunda, hanya sedih Ayah tidak pernah serius menempatkan perhatian pada hal besar yang terjadi di kehidupannya. Sekalipun, Bunda mengesampingkan soal persetujuan itu, Bunda hanya ingin tahu bahwa Ayah akan mendukung setiap langkahnya. Namun, dibandingkan berbahagia akan berita tersebut, Ayah selalu tertutup ketika Bunda berusaha mendiskusikannya secara terbuka. 

Sejak dulu, prinsip Ayah dan Bunda soal pembagian peran dalam rumah tangga memanglah tidak sama. Sehingga, opsi-opsi di seputar Bunda yang menuruti Ayah dan merelakan mimpinya atau Ayah yang melepas pekerjaannya demi mengikuti Bunda, sulit menemukan solusi selain saling membenturkan kesalahan. Meski begitu, dengan pertimbangan terakhir yang membuat mereka terus bertahan,  seharusnya pendapat Luna cukup memberikan penyelesaian, bukan?

"Ayah, Luna nggak masalah kalau Bunda mau mengejar impiannya yang jauh dari kota tempat kita tinggal. Bagaimana pun juga kalau Ayah merasa sendirian, keberadaan Luna masih berarti buat Ayah, 'kan? Lagi pula, setelah ini Luna akan kuliah. Ayah nggak perlu cemas Luna bakal kenapa-kenapa kalau Bunda nggak ada. Selama ini, Ayah dan Bunda juga, 'kan? Yang banyak mengajarkan Luna tumbuh dewasa?"

Saling menghadap antar satu sama lain, raut Ayah dan Bunda tampak merenung seolah menyimpan kekhawatiran yang sama. Sebanyak apa pun mereka menjelaskan, Luna sampai pada kesimpulan bahwa dirinya memiliki keterbatasan untuk sepenuhnya bisa memahami sudut pandang mereka.

"Luna, kalau itu terjadi, setelah Ayah dan Bunda nggak lagi tinggal di satu rumah, akan ada banyak hal yang ke depannya sulit buat kami jaga. Kewajiban apa yang perlu Ayah kasih buat Bunda, dan sebaliknya yang butuh Bunda beri ke Ayah, semua batasan itu bakal menjadi tidak jelas lagi dalam pernikahan Ayah dan Bunda.

Terlebih, kalau kamu berkata seperti itu, pada saatnya nanti kita banyak menjalani kehidupan masing-masing, Ayah dan Bunda akan kehilangan banyak alasan untuk saling berpegangan. Walau bukan berarti Ayah dan Bunda pasti bercerai seperti yang kamu bilang malam itu, tapi kamu paham semua kemungkinan bisa terbuka lebar, Luna."

Menanggapi proyeksi tersebut, Luna mengangguk singkat seolah dapat mengukuhkan diri dengan satu butir syaratnya. Jika menggenggam Ayah dan Bunda memang tidak bisa dilakukan, setidaknya Luna mau jarak pandangnya dapat selalu melihat ke mana mereka terbang. "Semua isi hati Ayah dan Bunda adalah milik Ayah dan Bunda. Luna nggak masalah asalkan Ayah dan Bunda janji nggak akan hilang dari kehidupan Luna. Janji, meski kita nggak lagi setiap waktu tinggal serumah, Ayah dan Bunda nggak akan pernah lupain Luna."

"Luna, mana bisa Ayah dan Bunda lupain kamu." Selepas itu, setetes air mata turun lagi dari pelupuk mata Frada. Wanita itu kemudian memeluk erat tubuh putri kesayangannya. "Sampai kapan pun, kami akan selalu mencintai kamu."

"Maaf, Ayah dan Bunda sampai membuat kamu memikirkan hal seperti ini malam-malam. Mungkin terkait hal-hal yang belum pasti di masa depan bisa kita lanjutkan lagi di lain waktu. Kita tidur dulu, ya?"

Disusul kecupan kecil oleh Ayah tepat di sebelah keningnya, Luna pun mengangguk untuk lalu menutup kedua matanya. Malam ini, entah sudah berapa lama saat kecil Luna pernah ditemani tidur oleh Ayah dan Bunda, Luna bisa kembali merasakan kehangatan yang meliputi di samping kanan dan kirinya.

Aneh, seberapa lama memori di masa kecilnya tersebut telah berlalu, hangat yang menguar di telapak tangan Ayah dan Bunda masih teringat jelas mengusap lembut di sela permukaan kulitnya. Lengan besar Ayah yang menjadikannya aman, harum rambut panjang Bunda yang memberi ketenangan, demikian menjelma teman tidur Luna yang sepanjang ini terbiasa lelap bersama sepinya seorang diri.

Segala yang mampu melindunginya dari setiap bahaya itu, untuk sekali lagi Luna diberi kesempatan perihal mengerti tentang seperti apa ada di dalam rumah yang sebenarnya. Namun, meski sebaik apa sinar bulan menerangi kamarnya bersama kedua malaikat yang begitu Luna sayangi, panjang di seluruh malam nyatanya tetap terasa sempit sampai-sampai Luna tidak sempat mengucapkan selamat pagi kepada Ayah dan Bunda.

Tepat di ufuk pagi hari itu, Luna tiba-tiba menangis sebab ketika ia membuka kedua matanya, Ayah dan Bunda tidak lagi menemaninya berbaring di kasur. Lekukan di atas kain tempat tidur, ceruk di tumpukan bantal, serta harum yang tertinggal dari jejak tubuh mereka, membuat Luna tergugu menutup separuh wajahnya lesu.

Mungkin, malam tadi merupakan hari terakhir Luna bisa berada sedekat itu dikelilingi Ayah dan Bunda. Atau barangkali, Luna hanya ketakutan sebab bayangan buruk kembali menghantui pemikirannya seperti sedia kala. Luna tidak tahu. Rasanya, mau seberapa keras Luna mencoba bersikap dewasa di umurnya yang sekarang, pada akhirnya Luna tetaplah seorang remaja yang belum dapat menciptakan amannya jika terlepas dari pelukan Ayah dan Bunda.

"Yah, Bun, apa pun keadaanya, kalian benar bakal tetap sayang sama Luna, 'kan?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top