36. Teman

Mengingat pulas senja yang akan selalu ia temukan kala mengendarai motornya saat jam sekolah telah selesai, Tama rasa, beberapa hal yang menyangkut di dadanya sejak semalam tadi tidak lagi begitu menganggu sejak Farhan mendatanginya untuk membicarakan banyak hal. Berbagai sudut pandang yang Farhan cerahkan hingga tawaran menjadi model yang tak pernah Tama bayangkan, agaknya berhasil memblokir isi kepala Tama dari pikiran yang bukan-bukan.

Siang itu, apa yang dahulu pernah Luna keluhkan di rooftop sekolah mengenai dirinya yang kesulitan belajar di suasana sepi apabila kepalanya turut menampung banyak permasalahan, mendadak jadi begitu familiar untuk Tama rasakan. Memproses kacaunya hati dan membiarkannya utuh kewalahan sendirian, jika Tama ingat-ingat kembali, segalanya sangatlah tidak menyenangkan untuk dilalui.

Ada kalanya, Tama bisa berubah selaku sosok yang sangat agresif untuk bertindak semaunya, dan sebaliknya pula, jiwa Tama dapat menjadi sangat pasif perihal menjauhkan diri dari orang-orang di sekitarnya. Lagi-lagi, jika bukan karena Melvin selaku orang pertama yang mau menyusahkan diri untuk terus menghiburnya di masa-masa yang paling kelam, Tama tidak tahu ia akan jadi remaja yang memiliki masalah emosi seperti apa sekarang.

"Kenapa, ya, Vin? Dulu ... gua pasti berusaha hindarin banget setiap kali lo ajak gua cerita?" Sembari menaiki motornya dan mengenakan hilm bersiap pulang menuju ke rumah, Tama bersenandika menghabiskan sisa-sisa pemikiran di kepalanya. "Sejak awal, lo udah tau, ya, apa yang gua butuhin? Kalau lo tau lo punya peran sepenting itu di hidup gua, seharusnya lo nggak perlu ngomongin hal-hal sembarang kayak kita nggak perlu jadi teman lagi kayak kemarin."

Kini Tama sadari, untuk memiliki orang-orang yang peduli kepadanya dan dapat bersandar membagikan keluh kesahnya, mungkin adalah gambaran yang paling dekat atas apa yang hilang di kehidupannya. Meski dengan itu pula, tiba-tiba Tama jadi turut mengkhawatirkan tentang di mana dan bagaimana keadaan Luna yang seharian ini tidak dapat kembali ia temukan.

"Lu, lo, kok, kadang susah banget, sih, gua temuin?" batin Tama harap-harap cemas. Ia pun mulai mengendarai motornya keluar sekolah.

Mengenai reaksi Luna di hari pembagian ranking kemarin, Tama yakin sesuatu yang tidak beres tengah terjadi lagi di kehidupan Luna. Yang mana ketika itu terjadi, Luna cenderung memiliki kebiasaan untuk menghilang dan menyembunyikan keberadaan dirinya, sama halnya seperti Tama.

Momentum layaknya hari di mana Tama memergoki Luna sedang menangis di arboretum belakang, begitu pula dengan Melvin yang datang di saat Tama menampung air matanya sendirian pada taman bermain kala itu, semua tidak dapat dikatakan terjadi secara kebetulan, bukan?

Segala pola yang dapat dikaitkan antar satu dan lainnya tersebut, membuat Tama jadi bertanya-tanya apa setiap remaja yang terluka begitu berat akan selalu mengindikasikan perilaku yang serupa? Jika, iya, entah kenapa Tama sedikit kesal membayangkan bagaimana dirinya tidak bisa selalu dilibatkan atas apa yang mengganggu di kehidupan Luna, juga siapa pun yang pernah Tama lewatkan di kehidupan lamanya.

Begitu ban motornya mulai menginjak jalanan kota, suara bising yang muncul dari setiap kendaraan, serta kumpulan debu yang mengepul di udara pun utuh membubarkan isi kepala Tama yang mudah berserakan. Tampaknya, dibandingkan membiarkan dirinya terlarut dalam kabut pemikiran lagi, Tama butuh menarik napas panjang untuk berlaku tenang barang sejenak. Meski demikian, suasana yang tidak kondusif dan polusi yang bertebaran memaksa Tama menunda relaksasinya terlebih dahulu sebelum ia perlu memutar arah motornya ke sudut pintasan berupa gang-gang sempit. Sedari tadi, tubuh Tama terasa gerah sehingga ia pikir mungkin baru bisa benar-benar menenangkan diri setelah mandi dan membaringkan tubuhnya di dalam kamar.

"Duh, panas dari tadi siang belum ilang-ilang lagi." Seraya melepas kancing seragamnya di pinggiran jalan setapak tak jauh dari area Bina Bangsa, Tama berhenti sebentar karena ingin melonggarkan kemeja yang melapisi kaus dalaman hitamnya. Sore ini, aliran angin agaknya berembus sejuk dan Tama ingin memaksimalkan anomali tersebut untuk mendinginkan badannya.

Sampai tak lama kemudian, samar-samar Tama mendengar ada suara keributan dari dalam gang di dekat sana. Penasaran dengan apa yang terjadi, Tama pun memundurkan motornya dan menemukan segerombolan anak-anak dari SMA lain tengah berkumpul mengerubungi satu orang lainnya. Siapa dan kenapa perundungan tersebut dilakukan terhadapnya, Tama tidak tahu persis. Namun, bentuk kacamata serta seragam identitas Bina Bangsa yang dikenakan oleh laki-laki tersebut, entah kenapa familiar di benak Tama.

"Ngapain lo semua urus satu orang cupu aja harus ramai-ramai begitu? Lemah banget jadi cowok."

Tama tidak tahu. Untuk pada akhirnya mengetahui bahwa laki-laki itu adalah Juan, sang ketua kelas sekaligus pemimpin OSIS yang sangat menyebalkan karena mirip dengan karakteristik orang-orang yang sok pintar, Tama seharusnya bertindak mengabaikan dan membiarkan Juan menanggung sendiri permasalahannya. Namun, sesuatu di dalam diri Tama malah berlaku sebaliknya.

"Wah, siapa ini, Ju? Lo nggak bilang kalau sore ini lo bawa anjing peliharaan yang ikutin lo dari belakang?"

Meludahkan sebercik darah yang menetes dari bibirnya, dengan angkuh Juan pun menjawab celotehan dari segerombolan tersebut sembari menatap Tama tajam. "Gua nggak suka anjing, dan gua nggak kenal siapa dia."

"Ba*ng*t." Sembari memalingkan wajahnya dan tercengir jengkel atas balasan dari Juan, dalam hati Tama ingin sekali ikut meninju tampang sok kerennya Juan barang sekali saja. Namun, dikatai sebagai anjing peliharaan oleh para pecundang tersebut pertama kali, merupakan satu hal lainnya yang tidak mungkin Tama lewatkan. "Ju, lo kalau misalnya nggak bisa berantem, seenggaknya jangan malu-maluin bangetlah. Masa lawan kroco kayak begini aja lo nggak mampu?"

Mendengarnya, Juan melukiskan seringaian kecil. Dibandingkan pada saat ia pernah membawahi Tama saat berada di satu kelompok yang sama, sepertinya Tama tampak lebih banyak bicara sekarang. Selintas Juan berpikir, laki-laki itu pasti sedang sengaja menikmati momen balas dendamnya sebagai pahlawan kesiangan.

"Perlu gua bantuin atau nggak?" tanya Tama sembari mengangkat sebelah alisnya, memancing persetujuan Juan yang tidak mungkin akan datang. "Ya, tanpa lo jawab, gua juga bakal turun tangan, sih. Dari tadi, gua emang udah ngerasa gerah. Mungkin yang gua butuhin adalah ngehajar preman gadungan yang punya masalah sama lo ketimbang angin-anginan di atas motor."

"Terserah lo." Sembari berdecih, Juan kembali menatap Tama setelah melepas cengkraman seseorang yang melingkar di kerah seragamnya. "Lo boleh ngomong sebanyak apa pun, tapi sisain gua yang satu ini." sambung Juan mengintimidasi target yang ada di depannya. "Dia milik gua."

Di bawah bayang-bayang gelap sebab tertutupi bangunan tinggi tempat mereka bersandar, Tama dan Juan tengah terduduk dalam keadaan acak-acakan, sedangkan beberapa luka tampak menghiasi sudut wajah mereka—khususnya Juan. Sebagaimana hari sudah semakin gelap dengan pertarungan yang sempat dilakukan, hangat sinar senja pun turut berangsur hilang menyentuh panjang kaki mereka.

Sambil menghela napasnya panjang-panjang, Tama meringis sedikit saat berusaha menegakkan badannya yang kehabisan banyak tenaga. Perut dan tulang rusuknya agak terasa nyeri setelah sempat dipukuli beberapa kali sebab lawannya bermain keroyokan. Pada satu momen itu, kaki dan lengan Tama dikunci telak oleh empat orang, sehingga ia menjadi sasaran empuk untuk dihajar habis-habisan.

Beruntung—melihat Tama tengah kesulitan, Juan cukup jeli untuk datang menarik musuh yang mengunci bahu kiri Tama sehingga satu tangannya yang terlepas bisa Tama manfaatkan untuk mengayunkan besar tenaganya dan membalikkan keadaan.

"Coba liat luka lo parah apa nggak."

"Argh! Sakit, B*go!"

Mendengar umpatan tersebut, Tama membelalakkan mata. Ia menyeringai kecil setelah tangannya yang memegang dagu Juan, disentak secara kasar oleh laki-laki itu. "Bisa ngomong kasar juga lo?"

Juan mendengkus. Ia menyentuh rahangnya sendiri sembari membukanya beberapa kali. "Lo brutal. Seurak-urakannya lo di mata gua, dari mana lo bisa belajar lawan enam orang sekaligus kayak begitu?"

"Ya, dulu gua banyak main di jalanan dan yang namanya anak tongkrongan, pasti suka banget cari ribut sama tongkrongan lainnya," jawab Tama mendongakkan kepalanya. Ia melirik Juan yang masih menahan sakit di beberapa area wajahnya. "Yang lebih bikin bingung adalah, gimana ceritanya anak teladan kayak lo bisa punya masalah ke sekelompok berandalan itu?"

Mendengar pertanyaan tersebut balik dilontarkan, Juan termenung sebentar. Berpikir, apa perlu ia menjelaskannya kepada Tama.

"Ya, kita juga nggak sedekat itu buat saling bagi rahasia, sih. Jadi, lo nggak perlu jawab pertanyaan gu—"

"Lo ... apa tau kenapa sejak awal gua nggak suka sama lo?" tanya Juan tanpa menoleh menghadap Tama, dingin.

Menanggapi hal tersebut, Tama memilih untuk tidak menjawabnya sebab nada yang Juan suarakan terdengar seperti sebuah kalimat retorika. Meski begitu, dalam hatinya Tama sedikit kesal karena seharusnya ia yang mengutarakan bentuk ketidaksukaan semacam itu terhadap Juan.

"Sebelum gua masuk SMA Bina Bangsa, gua cuma anak kampung biasa yang sekolah di tempat yang kurang terurus. Almarhum Bapak gua ... pas itu lagi sakit-sakitan, jadi gua nggak bisa sekolah jauh-jauh karena ibu gua berpikir, waktu beliau udah nggak banyak."

Menoleh ke arah Juan sejenak, Tama seutuhnya bungkam karena tiba-tiba, Juan menceritakan sesuatu yang bersifat sentimental.

"Nggak kayak kebanyakan anak Bina Bangsa, gua nggak lahir dari kalangan berada, tapi Bapak gua selalu dukung gua untuk tumbuh jadi anak yang pintar supaya gua bisa sekolahin adik-adik gua dan ubah nasib keluarga gua. Beliau mungkin bukan sosok orang tua yang sanggup tunjukin ke gua apa itu sukses. Walau begitu, semangat dia adalah alasan kenapa gua punya orientasi besar ke arah akademik."

Sembari menghela napas berat, Juan pun mendongakkan kepalanya melihat sisa-sisa hangatnya mentari yang sudah mulai turun ditelan kegelapan.

"Tapi, hari-hari itu nggak pernah mudah buat gua jalanin. Banyak anak di sekolahan gua yang dulu nggak bisa memahami bahwa untuk mencapai impian yang Bapak gua titipkan, gua harus terampil menjadi sosok yang cerdas. Jadi, setiap kali gua proaktif buat jawab pertanyaan guru atau arahin pengerjaan tugas kelompok, mereka malah bilang gua sok jago, bahkan sudutin gua ramai-ramai.

Gua selalu benci anak-anak kayak begitu. Makanya, sejak awal gua dapat impresi itu dari diri lo dan kita ada di satu kelompok yang sama, gua sulit kasih sedikit pun simpati ke lo," ujar Juan menatap Tama barang sebentar. Bibirnya ragu ingin mengucapkan kata maaf, tetapi pada akhirnya niat tersebut ia urungkan.

"Jadi, gerombolan yang tadi adalah teman lo di sekolah yang lama?" tanya Tama sembari mengangguk-anggukkan kepalanya, berusaha mengerti alasan Juan menjadi anak yang menyebalkan.

"Sebagian. Sisa dari mereka adalah anak-anak kaya begajul yang masih kesal gara-gara gua ambil jatah beasiswa yang seharusnya bisa mereka beli dengan uang. Mungkin, karena pada dasarnya mereka sama-sama nggak suka gua, ditambah sekarang mereka bersekolah di tempat yang sama, ada kalanya mereka sengaja ganggu gua kalau mereka lagi bosan.

Lo tau? Bagi anak miskin kayak gua, Bina Bangsa adalah tempat di mana semua keadilan untuk meraih pendidikan yang layak menjadi nyata. Maka dari itu, gua rasa selama gua hidup, akhirnya gua dapat kesempatan untuk berkembang sebaik yang gua bisa untuk wujudin harapan almarhum ayah gua."

Tersenyum sebentar, Tama pun memejamkan mata lalu menyenderkan punggungnya lebih nyaman ke belakang. Lewat satu pergerakan tersebut, Tama ingin melepas rasa bencinya terhadap Juan karena latar belakang yang dimiliki laki-laki itu cukup mengharukan untuk didengar.

"Jadi, gimana kelompokan lo sama si Kembar?" Berupaya memecah hening yang menjadi canggung akibat dibekap oleh rasa bersalahnya sendiri, Juan pun membuka topik pembicaraan baru seraya kembali mengenakan kacamatanya.

Mengingat dahulu pun Tama tidak pernah sekali saja mencari gara-gara terhadapnya, termasuk mempertimbangkan akar perseteruan itu adalah Juan sendiri yang memulainya, Juan semakin percaya bahwa Tama tidaklah seburuk yang ia bayangkan.

Hari ini, tanpa diminta, bahkan Tama tiba-tiba datang melibatkan diri untuk membantu sekaligus menegaskan ancaman untuk tak lagi datang mengganggu di ujung aksi berangasnya. Jika bukan karena Tama, mungkin sekali dalam beberapa bulan ia akan terus menghadapi sekelompok begajul itu sendirian. Juan sejatinya paham ia hanyalah orang pintar yang tidak pandai berkelahi. Kendati demikian, baru kali ini Juan mendapatkan bantuan untuk membela dirinya yang muak dengan arti penindasan.

Betapa semua terasa lucu dan menyebalkan, Juan bahkan kesulitan untuk menangani satu orang yang ia targetkan sebelumnya. Namun, meski sudah bertempur mengalahkan lima orang lainnya, Tama masih memasang tubuhnya dan melayangkan satu tinjuan terakhir untuk menghabisi sang pemimpin yang paling Juan benci dari kumpulan orang kaya tersebut.

"Ya, mereka semua teman yang baik. Mungkin, bahkan ini jadi pengalaman kelompokan terbaik yang pernah gua rasain selama di sekolah."

Mendengarnya, Juan menyunggingkan senyum tipis. Ia merasa lega untuk setidaknya, ia tidak salah menitipkan Tama pada si Kembar. "Baguslah kalau begitu. Pada akhirnya, si Kembar bisa jaga omongannya sendiri."

"Hm? Maksud lo?" Beralih menatap Juan, Tama mengernyitkan dahinya tidak mengerti.

Juan menjawab, "Banyak orang nggak sebijak itu untuk peduli sama kekurangan tiap-tiap anggotanya, atau bersusah payah buat kasih motivasi supaya mereka mau gerak. Pas di hari pembagian kelompok presentasi sejarah, gua sengaja ajak si Kembar untuk join bareng gua buat pastiin mereka benar-benar tau apa konsekuensinya untuk satu kelompok sama lo.

Lo lambat dan membantu lo adalah hal yang menyusahkan. Maka dari itu, gua mau siapa pun yang jadi kelompok lo nanti, paham betul harus apa ketika berhadapan sama lo. Karena pada akhirnya, kalau pun si Kembar bakal mundur setelah dengar pendapat gua tentang lo, gua yang harus tanggung jawab angkut lo ke tim gua. Walau sebanyak apa pun gua bakal anggap lo nggak berguna, setidaknya gua bisa bayar itu dengan menjamin lo bakal dapat nilai bagus."

Selintas pandang, Tama memperhatikan bahwa dengan raut datar yang tampil di raut Juan, sedikit pun nada bercanda tidak terdengar dari cara Juan menyampaikan kalimatnya. Entah kenapa, mungkin karena pula alobar senja hampir habis meniup keringatnya, pandangan Tama terhadap Juan mulai berubah secara keseluruhan. Pada dasarnya, Juan itu tetaplah orang yang menyebalkan, Meski begitu, Tama akhirnya dapat menerima maksud perilaku Juan berlaku demikian. 

"Lo mengingatkan gua sama sahabat gua, namanya Angkasa," kata Tama ikut mendongakkan kepala. Seulas senyum tipis tak terasa tergaris begitu ia memperkenalkan sosok tersebut kepada Juan.

Dahulu, satu-satunya orang pintar yang sanggup Tama kagumi hanyalah Angkasa yang meski dengan segala kelebihan kognitifnya, sobatnya itu tetaplah berhati mulia. Namun, setelah bertemu dengan si Kembar, Alfa, Farhan, maupun Zaki, Tama pikir setiap orang pintar yang ia temukan memiliki karakteristiknya masing-masing mulai dari yang paling baik hingga jahat sekalipun. Dan Juan berada tepat di tengah-tengah batas tersebut. 

"Maksud lo, dia mirip gua?"

"Nggak, dia jauh lebih kalem dan nggak resek daripada lo."

Berdecak sebentar, Juan kemudian langsung menekuk wajahnya kesal. Tama tertawa.

"Tapi, lo berdua punya satu latar belakang cerita yang cukup mirip. Dari kecil, Angkasa juga suka di-bully, tapi, walau begitu, dia nggak pernah berhenti untuk bangkit jadi orang yang paling pintar di sekolah. Sama halnya gua memandang Angkasa, terlepas dari apa pun yang lo alami di masa lalu lo, gua bangga lo bisa jadi diri lo yang sekarang. Mereka yang suka ganggu lo itu nggak penting. Gua harap, lo benar-benar bisa wujudin harapan almarhum Ayah lo suatu saat nanti."

Tak siap mendapati lontaran kalimat tersebut, pupil mata Juan mengecil kala memperhatikan riangnya wajah Tama saat mengucapkan kalimat tersebut. Tak disangka, satu kata bangga yang ia harap bisa dengar kembali dari mulut sang Ayah, justru disebutkan oleh seorang asing yang begitu ia sangka negatif pada semester sebelumnya. Tiba-tiba, rasa permusuhan Juan terhadap Tama cepat melebur menjadi sesuatu yang sulit untuk Juan pertahankan. Lantas, tak ingin merusak karakternya yang tegas sebagai remaja terintegrasi, Juan pun membenahi letak kacamatanya lalu beranjak pergi sembari mengangkat tasnya ke punggung.

"Ya, kalaupun gua adalah Angkasa yang saat mengalami masa-masa sulit itu gua bisa punya teman kayak lo di samping gua, mungkin gua bakal terus berterima kasih sampai sekarang."

"Woy, mau ke mana lo, Ju!" sahut Tama terperanjat karena Juan bergerak meninggalkan. "Lo tau, 'kan? Belum telat buat kita untuk jadi teman?"

"Jangan berharap terlalu banyak. Kita nggak lagi bonding cuma karena kejadian sepele kayak begini."

"Ba*gs*t," umpat Tama sembari tercengir mendengarnya. Ia menggerakkan ibu jarinya untuk membersihkan darah segar yang masih sedikit keluar dari sudut bibirnya. Seharusnya, kini Tama buru-buru mengejar Juan sembari merangkul bahunya dari belakang. Namun sialnya, Tama masih kehabisan tenaga akibat bekas perkelahian sebelumnya. "Gua baru tau kalau lo anaknya keren juga, Ju," lanjut Tama samar dari kejauhan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top