35. Eksplorasi
Seharian ini, suasana hati Tama rasanya sedang penuh diliputi oleh sesuatu yang bersifat kurang menyenangkan. Di dalam kelas, sering kali ia hanya termenung menopang dagunya sembari menghela napas panjang. Apa yang menyangkut di kepalanya, mungkin tidak secara penuh berkaitan dengan sikap Ayah kemarin. Walau kalimat dan respons Ayah yang tidak pada tempatnya masih meninggalkan sedikit bekas yang menyakitkan untuk Tama ingat. Namun, setelah ia mengirim pesan pada Melvin malam itu, sahabatnya tersebut berhasil menghibur Tama lewat sikapnya yang lucu dan menyebalkan.
Selang beberapa detik usai Tama menunggu balasan dari Melvin, laki-laki itu tiba-tiba langsung mengirim panggilan video demi memeriahkan suasana. Wajah Tama yang tadinya mengerut masam, seketika langsung tergambar ceria sesaat mendapati cengiran lebar Melvin di layar muka. Keterjekutan yang memekakkan, sorak bangga yang berlebihan, seluruhnya lepas Melvin lontarkan tanpa meragukan isi pesan Tama sama sekali.
Tentu, mendapati resonansi yang seutuhnya tergambar positif tersebut, Tama jadi terdorong untuk mengutarakan perasaannya tanpa menahan diri sedikit pun. Sekian cerita beserta tingkat antusiasmenya Tama keluarkan, sedangkan Melvin dengan senang hati turut mendengarkan.
Mau di hari ketika Melvin menemukannya menangis di taman bermain sekalipun sampai ke detik ini juga, Tama pikir kenyamanan yang ia peroleh saat berada di dekat Melvin tidak akan pernah berubah sepanjang masa. Tama yang menyedihkan, Tama yang emosional, dan Tama yang super cerewet, semuanya Melvin terima tanpa pengecualian. Kemarin malam, bahkan Tama lepas mengizinkan hatinya disembuhkan oleh Melvin selama berjam-jam. Andai saja mendekati ujung panggilan video tersebut, Melvin tiba-tiba tidak mengatakan hal yang berangsur membuat penghiburan tersebut menjadi sia-sia.
"Gua bilang juga apa, 'kan, Nyet? Walau lo itu bukan orang yang pintar-pintar banget, tapi lo itu punya sesuatu! Gua yakin kalau lo bergaul sama orang yang benar, masa depan lo bakalan lebih baik daripada lo nongkrong-nongkrong nggak jelas. Jadi, nggak usah sering-sering datang ke sini lagi, ya?"
"Nggak jelas lo Anj*ng. Kenapa belakangan ini lo suka ngomong begitu, sih? Lo mulai bosan main sama gua, ya, Vin?" ujar Tama bersenandika. Laki-laki itu mengusap wajahnya gusar sedikit menggerutu. Sebelah matanya ia pepatkan mengintip layar handphone yang menyala di meja.
Pengirim: Bu Siska
Tama, pas jam istirahat nanti mampir ke tempat Ibu sebentar, ya. Ada yang mau Ibu bicarain soal progres akademik kamu.
08.45 A.M
Satu perkara lagi yang menjadikan awut isi benaknya adalah, telah sejak tadi pagi, Tama tidak mengindahkan panggilan Bu Siska yang tidak lain tidak bukan, ingin membahas perihal sesuatu yang sialnya saat ini tidak ingin Tama bahas sama sekali.
Apa yang Ayah katakan kemarin utuh menyurutkan semangat Tama dalam mengartikan sebuah nilai. Melvin di sisi lain malah menggaris batas tepat setelah Tama berpikir, kemajuannya benar bisa membawa kebahagiaan bagi orang-orang di sekitarnya.
"Kenapa semuanya nggak ada yang beres begini, sih?" batin Tama merutuk kesal.
Dalam keheningan ia terjerembab dalam pikirannya, tiba-tiba atensi Tama teralih sebab seseorang menepuk pelan pundak kirinya. Tepat di samping, figur Farhan memenuhi pandangan Tama.
"Kayak yang merenung banget? Lagi sibuk mikirin apa?"
Saat ini, rombongan MIPA, yakni Alfa, Zaki, dan Farhan sedang bermain ke kelas Tama. Selepas UTS telah berakhir, entah kenapa kantin belakangan ini menjadi ramai sekali. Kelompok sekawanan tersebut pada akhirnya memutuskan untuk membawa makanannya ke dalam kelas. Utamanya kata Alfa, tempat itu terlalu bising sampai-sampai ia sulit sekali mendapatkan ketenangan.
"Oi, Han. Nggak mikir apa-apa, kok. Gua cuma masih kebawa ngantuk dari pelajaran Bu Yuliana tadi," balas Tama menyunggingkan senyumannya kemudian menempatkan atensinya kepada Farhan. Rasanya, ini kali pertamanya bagi Farhan mengajak Tama bicara berduaan.
"Sejarah, ya? Gua juga punya satu mata pelajaran yang selalu bikin gua ngantuk kalau di kelas."
"Hm? Lo?" Tama menerka-nerka. Kedua alisnya berjengit menanggapi. "Pelajaran apa?"
"Fisika," jawab Farhan sambil memainkan pensil yang ada di atas meja. Ia tersenyum tipis setelah mencoba menarik sesuatu di dalam kepalanya. "Nggak tau, ya? Yang salah itu gua atau cara ngajar gurunya yang kurang cocok sama gua, tapi karena itu, gua rasa perkembangan gua di akademik selalu stuck di situ-situ aja. Gua jauh dari Alfa atau siapa pun di atas gua yang otaknya bisa tergeneralisasi buat kuasain hampir semua materi."
Mendapatinya, Tama terdiam sebentar. Ia menghela napas panjang lalu menyenderkan punggungnya ke bantalan kursi. "Yah, mungkin salah satunya atau bisa jadi keduanya."
Membicarakan soal itu, Tama tentu memiliki pengalamannya sendiri untuk dikaitkan. Meragukan kemampuannya sendiri di sekitar orang lain atau sahabatnya yang jauh lebih hebat, Tama sudah lama melakukannya. Terjerembap di tempat tersebut sekian tahun membuat Tama cenderung terpuruk untuk sekadar memedulikannya. Namun, Tama tidak yakin apa Farhan sedang merasakan hal yang sama atau tidak. Sebab, satu sisi yang seperti ini tidak pernah Tama bayangkan akan datang dari seorang Farhan.
"Lo pernah minder sama Alfa atau siapa pun yang lo rasa jauh lebih jago daripada lo?" Pertanyaan itu, akhirnya Tama lontarkan sebagai tanda penasarannya.
Bergumam sebentar, Farhan pun menoleh menghadap Tama. "Pernah, tapi dalam taraf yang nggak terlalu berlebihan."
"Hm? Maksudnya dalam taraf yang nggak terlalu berlebihan?"
"Ya, perasaan itu cuma sepintas lalu aja," jawab Farhan memastikan. Matanya sempat terfokus sejenak memikirkan permasalahan. "Gua tau ada orang-orang yang sanggup melampaui gua dalam beberapa hal. Tapi, gua selalu berusaha untuk nggak terpaku soal masalah itu. Semacam, gua pikir, karena kita sama-sama manusia, fenomena itu berlaku sebaliknya juga."
Mendapati jawaban tersebut, dahi Tama mengernyit mendengarnya. Melihat reaksi Tama yang sepertinya masih membutuhkan elaborasi lebih lanjut, lantas Farhan melanjutkan kembali ucapannya. "Maksudnya, gua percaya setiap manusia punya kelebihan dan kelemahannya masing-masing, Tam. Ada hal yang nggak bisa gua capai sebaik mungkin, tapi orang lain kayak yang udah terlahir buat menguasai bidang itu. Dulu, gua pernah bertanya-tanya kenapa gua nggak bisa jadi juara satu, padahal gua rasa gua udah belajar sebaik mungkin. Kenapa orang lain bisa paham materi lebih cepat daripada gua, terus kenapa Alfa bisa pintar banget."
Sesaat memberi jeda tersebut, Farhan mendengus kecil seolah pikirannya tengah mengingat beberapa memori di masa lalu.
"Mungkin, gua nggak tercipta buat jadi juara kelas. Tapi, kenyataan itu nggak tiba-tiba bikin gua jadi putus asa buat terus belajar. Kalah dalam persaingan bukan berarti gua harus meninggalkan apa yang menurut gua penting buat dikejar, 'kan? Meski nggak masuk ke deretan yang terpintar, gua cukup puas atas nilai akademik yang gua dapat lewat usaha gua sendiri. Setidaknya, lumayanlah untuk nggak merasa terlalu rendah di tengah-tengah kehidupan anak SMA yang serba berkompetisi.
Karena semakin gua pikir kalau gua merasa nggak berdaya akan satu hal, maka semakin susah juga bagi gua untuk percaya sama diri gua. Hingga pada akhirnya, pertahanan yang gua bangun tersebut berhasil membawa gua untuk menemukan kekuatan gua sendiri."
Mengenai cara bicara dan pemikirannya yang serba seimbang, Tama punya impresi pasti bahwa Farhan adalah orang yang seperti itu. Mungkin, Farhan memang tidak terlalu mencolok seperti halnya Alfa, tetapi entah dari bagaimana cara laki-laki tersebut membawa dirinya terhadap suatu permasalahan, Tama bisa tahu bahwa Farhan merupakan remaja yang sangat hebat.
"Terus, apa kekuatan yang lo temuin itu, Han?"
"Beberapa hal, salah satunya fotografi?" jawab Farhan sembari melirik Tama sebentar. "Sejak SMP gua selalu mencari-cari kelebihan gua ada di mana dengan mengikuti berbagai macam eksktrakurikuler. Sampai akhirnya, gua rasa memegang kamera dan menangkap objek di depannya adalah hal yang paling gua sukai dan bisa untuk gua kuasai. Memenangkan perlombaan sampai tingkat nasional dan jadi ketua ekskul di Bina Bangsa, mungkin merupakan wujud pembuktian gua terkait hal tersebut. Semua nggak selalu berputar di zona akademik walau itu jadi fokus utama selama kita masih berstatus sebagai pelajar. Terkadang kita dibingungkan akan persoalan tersebut sampai-sampai kita lupa ada banyak bidang bakat lainnya di luar itu."
"Hah ... sial. Kalimat lo bikin gua menyesal bukan main, Han," ucap Tama perlahan ikut menggusah rambutnya, sedangkan raut Farhan menampakkan kilat kekeliruan setelahnya.
"Hah? Sorry, gua ada salah ucap, Tam?"
"Bukan, justru karena apa yang lo bilang tadi benar semua, gua jadi menyesal karena banyak melakukan kesalahan. Dari dulu, gua nggak pernah serius ikutan ekstrakurikuler. Cuma beberapa minggu datang ke pertemuan, habis itu gua keluar buat main atau melakukan hal lain yang gua suka. Ya, sebatas anak serampangan yang hobinya keluyuran."
Tidak pernah terbayangkan oleh Tama, bahwa beberapa orang sibuk mengikuti ekstrakulikuler bukan sekadar untuk mengisi waktu luang dan beraktivitas bersama teman saja. Namun, pada sebagian lainnya, formalitas itu benar-benar mereka gunakan dalam mencari serta meningkatkan kemampuan diri mereka.
"Ah, lo, Tam, gua kira gua salah ngomong apaan." Farhan menghela napas sejenak mendengarnya. Ia terlihat lega. "Maksud gua, cari pengalaman itu juga nggak harus terpaku dari apa yang difasilitasi sekolah, 'kan? Apa yang benar dan salah, bukan didefinisikan berdasarkan apa yang gua bilang sebelumnya. Banyak belajar buat kita jadi lebih pintar, sedangkan sering eksplor ke sekitar bikin daya tahan tubuh dan kemampuan bersosialisasi kita jadi lebih kuat dibandingkan yang lainnya. Kepribadian lo dan sudut pandang lo tentang dunia, bahkan bisa dikembangkan ketika lo bertemu dengan macam-macam orang dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Dengan diri lo yang sekarang, gua yakin, lo pasti juga memperoleh sesuatu dari apa yang dulu lo temukan di luar sana. Jangan terlalu meremehkan pengalaman apa aja yang udah pernah lo lalui dan ambil kesimpulan tentang nilainya dari situ, Tam. Sesuatu yang serampangan mungkin nggak selalu menghasilkan yang sifatnya serampangan juga. Buktinya termasuk Luna, bahkan lo bisa bikin anak-anak yang lain nyaman dalam waktu dekat. Bagaimana reaksi orang di sekitar dan ada perubahan hal baik apa yang lo terima sepanjang umur lo bertambah, itu yang lebih menandakan perkembangan, bukan? Barangkali, kekuatan lo lagi tumbuh di area itu."
Sejujurnya, Tama agak sedikit bingung kenapa Farhan tiba-tiba membawa nama Luna di dalam sana. Namun, seberapa kecil itu menyentil di telinganya, pikiran Tama lebih terfokus pada kalimat terakhir yang Farhan sebutkan. Membahas terkait potensi diri, nilai, dan lain hal sebagainya, sejak kecil Tama selalu berpikir bahwa tidak ada hal yang lebih baik dibandingkan menjadi anak pintar yang jarang membuat masalah. Yang mana, keduanya merupakan kebalikan Tama secara pasti.
Guru-guru serta orang dewasa sering mengecam Tama terkait perkara itu, sehingga Tama tidak pernah belajar tentang menimba percaya dirinya. Sebaliknya, tahun-tahun panjang yang Tama lalui, membuat ia cenderung tertempa untuk selalu menganggap dirinya rendah dan tak pernah yakin terhadap kekuatannya.
Setelah mengetahui satu hal lainnya mengapa ia begitu takut menanggapi perubahan dari Farhan, Tama turut menyadari bahwa menjadi hebat mungkin juga bukan tentang seberapa lama rasa percaya diri ada di dalam hati manusia, melainkan bagaimana perihal membangun pondasi itu sendiri.
Orang seperti Farhan, bahkan juga pernah mempertanyakan di mana kelebihan dirinya sebelum ia mahir melakukan sesuatu. Semua memang harus dicari serta dikembangkan, dan Tama tidak henti-hentinya dikejutkan bagaimana sebuah penafsiran kalimat benar-benar bisa mempengaruhi segalanya. Mendekati ujung waktunya menduduki kelas tiga SMA, Tama pikir ia banyak belajar mengenai sudut pandang baru mengenai jati diri dan dunianya di Bina Bangsa, meski itu pula masih membuatnya takut barangkali ia telat memulai segala langkahnya.
"Han, apa ke depannya gua masih punya waktu buat kembangin kemampuan gua, ya? Maksud gua, kemampuan praktis kayak yang lo dan Alfa punya. Sesuatu yang buat gua percaya kalau gua mahir buat mengerjakan sesuatu."
"Seklise apa pun kalimat ini, tapi percaya sama gua kalau nggak ada yang namanya telat dalam memulai. Di kuliah nanti, ntar lo juga bakal temuin banyak kesempatan yang memungkinkan lo untuk eksplor lewat organisasi dan sebagainya," Farhan berucap seraya tersenyum kemudian bergumam sebentar. Raut ramah yang biasa tergambar di wajah laki-laki itu perlahan luntur sejenak. Ia menimbang sesuatu. "Atau ... berhubung tiba-tiba kita jadi bahas ini, lo mau coba sesuatu yang bisa jadi itu adalah kelebihan lo sekarang?"
"Hm? Maksud lo?"
"Gua baru ingat. Kebetulan gua lagi cari satu orang buat jadi model pakaian jualan sepupu gua. Lo mau coba ikutan nggak?"
"Apa? Model?" tanya Tama menjengitkan alis, tak menduga arah datangnya penawaran Farhan.
"Iya, model. Gua pikir lo punya postur badan yang bagus dan tampang lo juga oke. Kalau lo gua bawa ke sana, sepupu gua pasti setuju kalau lo punya sisi yang fotogenik."
Mendengarnya, Tama tercengir sembari mengalihkan pandangan. Ketika dihadapan publik ia bersikap memuji penampilannya sendiri, sering kali Tama hanya bercanda saja. Namun, ketika ada orang lain yang secara jujur mengatakan hal tersebut, Tama suka salah tingkah menanggapinya. "Ya, kali, Han. Lagian gua nggak pernah coba jadi model sebelumnya selain selfie-selfie alay kalau ada temen yang ngajak aja."
"Haha kualitas foto lu sebatas selfie alay aja, Tam?" balas Farhan merespons secara jenaka. Ia melanjutkan, "Makanya, kalau mau, nanti kita coba seberapa jauh kualitas diri lo di depan kamera. Skala distro sepupu gua juga masih terbuka banget sama wajah-wajah baru, kok. Jadi, lo santai aja, pasti nanti diarahain asal lo mau coba dan belajar. Gimana?"
Tampak termenung sebentar, isi kepala Tama saat ini agaknya sedang terporak-poranda dengan kesempatan yang datang terlalu tiba-tiba. Sebagaimana Farhan sanggup menilai itu sepanjang mereka berkenalan, apa yang sejak kecil membuat Tama nyaman terhadap dirinya sendiri, mungkin memang tampilan fisiknya serta bagaimana ia bersosialisasi di sekeliling orang-orang. Tama masih rancu menanggapi kenyataan bahwa ada hal-hal selain kemampuan otak yang mampu dibawa lebih jauh.
Jika memang, kedua hal yang ia miliki tersebut bisa dimanfaatkan ke bentuk taraf yang tak pernah ia duga, setidaknya Tama harus mencoba untuk melihatnya, bukan?
"Han, bener, ya? Lo tawarin gua ini karena lo ngakuin kalau gua ganteng?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top