34. Tinggal

Di masing-masing sisi meja makan itu, sebab perasaan mengganjal dan kebingungan aneh bercampur menjadi satu sebab permintaan untuk bertemu. Sepasang suami istri sibuk menyembunyikan kerutan di dahinya dengan senyuman, lain lagi putri semata wayangnya justru menghanyutkan kesedihan lewat ketegaran.

"Jadi, Luna mau bicarain soal apa ke Ayah sama Bunda?"

Pertanyaan itu, lantas diluncurkan oleh sang Bunda setelah beberapa waktu, mereka bertiga hanya saling duduk berdiam-diaman. Di kepala Luna, banyak muncul keraguan tentang apa perlu ia melakukan ini atau tidak. Namun, jika kembali diabaikan dan semua akan berlanjut tanpa ada perubahan, Luna rasa semua harus disampaikan sekarang juga.

"Hari ini, nilai ujian Luna turun drastis."

Topik tersebut Luna utarakan sebagai kalimat pembuka atas sesuatu yang bersifat membahayakan. Meski begitu, Ayah dan Bunda tidak seterkejut itu untuk menganggapnya selayak satu obrolan penting, seperti yang tadi Luna katakan. Mereka tentu tahu, Luna selalu bergengsi dalam hal akademik di sekolah. Namun, nilai yang turun tampaknya bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan sejauh itu karena bagaimana pun hasil yang diusahakan, Ayah dan Bunda tidak akan kecewa terhadap Luna.

"Ayah belum lihat nilai Luna karena belum dibagikan dari pihak sekolah. Tapi, kalau Luna merasa itu turun drastis, Ayah boleh tahu apa yang mengganggu di pikiran Luna sampai-sampai hasilnya nggak sebaik yang biasa Luna raih?"

Kalimat tanya Ayah yang seharusnya terkesan wajar dan biasa-biasa saja untuk dikeluarkan, justru menjadi jembatan yang tepat sasaran bagi Luna dalam menjelaskan. Pada dasarnya, sedari awal pokok pembicaraan Luna bukanlah tentang nilainya yang turun drastis, melainkan faktor penyebab yang menjadikannya sebuah kesalahan.

"Ayah, Bunda, bahkan sebelum sampai pada saat ini, sebenarnya dari dulu udah ada banyak hal yang mengganggu di pikiran Luna. Awalnya, Luna masih bisa tahan karena mungkin pertengkaran adalah satu hal yang wajar dalam urusan rumah tangga. Tapi, Luna nggak bisa berhenti untuk berpikir, mungkin ada yang salah di dalam rumah yang Luna tempati."

Raut terkejut pasi, tiba-tiba melanda di permukaan wajah Ayah dan Bunda. Rona lembut dan senyuman yang dibuat-buat itu seketika menegang sekian detik. Dalam waktu yang berjalan secara singkat, buru-buru Bunda membuat gerakan pertama untuk tersenyum dan mengeluarkan kekehan kecil demi menanggapi perkataan Luna.

"Luna suka dengar, ya? Kalau ada kalanya Ayah sama Bunda pernah berantem kecil-kecilan? Ayah dan Bunda minta maaf semisal suaranya ganggu pas Luna lagi belajar. Tapi, seperti yang kamu bilang, pertengkaran itu hal yang wajar, Luna. Apalagi di umur rumah tangga Ayah dan Bunda yang ke sekian. Terkadang, Ayah sama Bunda punya perbedaan pendapat tentang permasalahan di keseharian. Kamu juga pasti pernah begitu sama teman kamu, bukan?"

Pertengakaran kecil-kecilan, garis waktu yang disebutkan terkadang, serta hal-hal yang keliru disangkutpautkan, lagi-lagi Bunda mengemukakan kebohongannya tepat di depan muka Luna. Luna tahu bahwa setiap orang tua pasti ingin melindungi anaknya dari segala macam mara bahaya. Namun, sejak Luna masih kecil, mereka seharusnya lebih mengajari bahwa menjadi jujur untuk menghadapi permasalahan yang ada, merupakan tindakan yang perlu diutamakan, bukan? Sebab, semua orang pastinya tahu bahwa berbohong hanya memberikan ketenangan sementara lewat pelarian diri terhadap masalah. Yang mana, ujung dari perilaku itu hanya menimbulkan kecemasan yang berkepanjangan bukannya kebahagiaan.

"Betul, Luna. Semua yang kadang diributkan oleh Ayah dan Bunda bukan hal yang serius. Jadi, kamu nggak perlu khawatir soal itu, ya? Ayah sama Bunda baik-baik aja, kok. Rumah Luna baik-baik aja."

Mendengar kini Ayah sama jahatnya tega mengucapkan kalimat itu, getir di ujung lidah Luna lantas semakin tidak nyaman ingin melakukan perlawanan. Apa yang membuatnya menjadi seperti ini, Luna tidak mengerti mengapa jujur sejak hari itu sedang terbalik diajarkan sebagai suatu kesalahan. Sampai-sampai, saking lamanya doktrin tersebut dibenamkan, otak Luna secara tidak sadar dipaksa meyakininya hingga sekarang, Luna baru tergerak mengikuti kata hatinya.

"Kalau bukan karena Luna, udah dari lama aku mau cerai sama kamu." Seberat apa ucapan tersebut Luna tirukan di hadapan Ayah dan Bunda, rasanya, semua jauh lebih menyakitkan ketika Luna mendengar mereka mengatakannya langsung di malam yang teramat sepi itu. "Bunda ingat, 'kan? Waktu itu Bunda pernah bilang begitu ke Ayah?"

Terjerembab atas pertanyaan yang dilontarkan oleh putri semata wayangnya sendiri, Frada termenung menampilkan keterkejutan di wajahnya.

"Kalau bukan karena Luna juga, aku pun nggak akan pernah ragu untuk pergi tinggalin kamu dari dulu. Ayah juga pastinya ingat, 'kan? Balasan seperti apa yang Ayah bilang ke Bunda waktu itu?"

Begitu pula dengan Sandi, pria itu sama terkejutnya sampai-sampai mulutnya yang terbiasa menjadikan baik-baik saja, mendadak utuh membisu di depan sana.

"Ayah, Bunda, meski Luna tau kasih sayang kalian ke Luna selamanya nggak akan pernah hilang, tapi Luna bukan anak kecil yang nggak paham apa-apa tentang dunianya. Luna yakin, setiap semua dari kita pastinya tahu batasan wajar itu seperti apa. Kalimat yang Ayah dan Bunda saling tukar pada malam itu, bukan sesuatu yang bisa diucapkan ketika lagi bertengkar kecil-kecilan, 'kan?"

"Luna, Ayah bisa jelasin, waktu itu, Ayah sama Bunda cuma—"

"Yah, meski Luna banyak diamnya, bukan berarti Luna nggak tau apa aja yang bertahun-tahun ini sering Ayah sama Bunda bahas di luar kamar Luna. Dari Luna masih kecil, Ayah dan Bunda udah mengulang perdebatan itu berulang kali di dalam rumah meski bunyinya nggak selalu persis sama.

Walau awal semua itu terjadi karena adanya perbedaan pendapat seperti apa yang Bunda bilang, tapi sekarang semuanya lebih jelas terdengar kalau Ayah dan Bunda udah saling setuju akan suatu hal. Konflik selalu terjadi ketika ada hal yang nggak berjalan sesuai harapan. Tapi, semisal jalan keluarnya pernah terpikirkan di depan mata, apakah terlintas di benak Ayah dan Bunda buat mempertimbangkan mungkin hal itu akan membuat keadaannya jadi lebih baik untuk kalian berdua?"

"Luna, kamu bicara apa, sih, Nak?" Mengetahui eskalasi pembicaraan ini semakin berada di luar kendali, Frada pun memegang punggung tangan Luna untuk menyalurkan ketenangan. Meski begitu, binar kesedihan tampak begitu jelas menghantui bola matanya. "Kamu ... pasti cuma lagi frustasi aja sebab nilai kamu yang turun. Ayah dan Bunda nggak mungkin marah sama kamu hanya karena itu, Nak. Kamu capek dan bingung, jadi sekarang kamu banyak membicarakan hal yang bukan-bukan."

Dan begitulah, apa yang keluar dari mulut Frada justru tidak ada yang berkaitan pada tempatnya. Frada tanpa sadar memberi argumen yang keluar dari jalurnya seolah Frada sendiri tak kuat hati untuk berani membalasnya.

"Bunda, yang perlu Bunda mengerti adalah, tolong pahamin betapa sulitnya bagi Luna untuk membicarakan hal yang bukan-bukan ini setelah Luna udah berusaha memendamnya sampai bertahun-tahun lamanya."

"Luna," ucap Frada sedikit tercekat di ujung tenggorokannya. "Obrolan ini ... kita hentikan saja, ya, Nak?" lanjutnya tampak berupaya membendung pecahan air mata.

"Kalau Luna berhenti sekarang, lalu mau sampai kapan, Bunda? Sampai kapan semua harus ditahan hingga kita semua sesakit ini? Kenapa kalau memang rumah Luna baik-baik aja, Luna nggak pernah punya kesempatan untuk jujur sama perasaan Luna sendiri? Ayah dan Bunda seharusnya menjadi sosok yang paling dekat dengan Luna di rumah ini, 'kan? Luna pengin kita semua terbuka dan begitu pula dengan Ayah dan Bunda antar satu sama lain. Tapi, kalau Ayah sama Bunda terus bohongin Luna begini, Luna harus bagaimana? Luna harus dapat ketenangan itu dari siapa?"

Menimbang pembahasan ini tak lagi dapat terelakkan, dalam hatinya, Sandi pun sebetulnya tahu pada suatu hari nanti, semua kebohongan itu tidak lagi dapat terbendung selamanya. Tentang apa yang Frada katakan tentang Luna itu merupakan anak yang peka, sejatinya adalah benar. Meski begitu, membayangkan semua fakta di balik pertengkaran tersebut terungkap di depan Luna tetap menjadi hal yang teramat Sandi khawatirkan sebab Sandi menyayangi putrinya sedalam itu.

Diamnya Luna bukan berarti tidak tahu apa-apa. Sandi merasa bodoh pernah berpikir bahwa menutupi semua itu dari Luna, akan membantu putri semata wayangnya itu untuk mengurangi rasa sakit. Siapa sangka bahwa di balik sandiwara yang terus menyiksanya tersebut, Luna lebih pandai memainkannya dibandingkan ia dan Frada sendiri.

"Luna, Ayah dan Bunda takut kalau kita saling jujur sama perasaan kita sendiri, akan terjadi sesuatu yang berdampak buruk sama kamu."

Mendengar secara perlahan, tembok yang Luna harapkan dapat luntur dari kedua orangtuanya lantas meluruh dari mulut sang Ayah, Luna menarik napas sejenak. Terlepas dari nyatanya pengakuan yang tidak diharapkan tersebut, timbul perasaan lega ketika Luna mendengar salah satu dari kedua orangtuanya berkata jujur di hadapannya. 

"Setiap waktu yang Luna laluin di hari-hari Luna, Luna selalu berpikir kalau Luna adalah penyebab kenapa Ayah dan Bunda nggak bahagia. Andai sebaliknya, Ayah dan Bunda beranggapan bahwa dengan mengikuti keinginan hati kalian hanya akan membuat Luna jadi sengsara, Ayah dan Bunda perlu tau kalau Luna nggak pernah lebih menderita daripada sekarang.

Sejak Luna mendengar Ayah dan Bunda ribut pertama kali, kemudian Luna harus tinggal sama Nenek mengetahui Ayah dan Bunda sebenarnya mulai memutuskan pisah ranjang, hingga sekarang Ayah dan Bunda bawa Luna lagi masuk ke dalam rumah yang amannya cuma dibentuk buat Luna seorang, hidup Luna nggak pernah utuh tenang barang sehari pun, Yah."

Sembari melepas kacamatanya, Sandi menunduk sebentar merenungkan beberapa hal di kepala. Telah sesering apa ia menghadapi masalah dalam rumah tangganya bersama Frada, dadanya tidak pernah seberkecamuk ini mengetahui kenyataan bahwa putri semata wayangnya justru terluka tinggal di dalam rumah yang ia ciptakan.

"Luna tau Ayah dan Bunda sering berantem setiap malam. Luna tau Ayah dan Bunda berusaha keras buat bikin Luna nggak terdampak sama pertengkaran itu. Tapi, mau sepercaya diri apa dunia bilang bahwa kasih sayang orang tua terhadap anaknya itu nggak ada bandingannya, Ayah dan Bunda jangan pernah lupa bahwa sebagai anak, Luna juga merasakan hal yang serupa.

Luna sakit, Luna ingin bantu, tapi Luna merasa nggak berdaya. Luna ingin mengurangi beban kalian, tapi Luna nggak bisa apa-apa. Semua yang Luna kasih, semua yang Luna kejar, semua jadi nggak ada maknanya. Karena besar bahagia Luna adalah untuk bahagianya kalian. Yang ironisnya, mau seberapa besar Luna berusaha, Luna tau segalanya nggak mungkin sanggup membuat keadaan rumah jadi kembali baik-baik aja. Ayah, Bunda, kalau memang menutupi semua ini adalah yang terbaik buat Luna, kenapa Luna selalu bertanya-tanya bagaimana bisa fungsi seorang anak menjadi nggak seberguna ini di depan kalian?"

"Luna, maaf, Ayah dan Bunda udah jadi orang tua yang gagal buat kamu." Tak lagi dapat membendung tangisannya, Frada terisak sembari mendekatkan tubuhnya kepada Luna.

"Bunda, sekalipun, Luna nggak pernah beranggapan kalau Ayah dan Bunda gagal buat besarin Luna," ucap Luna menepuk punggung tangan bundanya yang bersandar di bahu sebelah kanan. Ia melanjutkan, "Luna mengerti dengan jelas bahwa kasih sayang yang kalian beri ke Luna itu tulus. Dari kecil, Ayah dan Bunda juga udah jagain Luna sampai sekarang Luna bisa tumbuh dengan baik seperti sekarang.

Meski begitu, tolong jangan jangan cuma berpikir tentang bagaimana keadaan Luna, tapi juga bagaimana soal Ayah dan Bunda. Rumah ini seharusnya jadi tempat tinggal kita bersama, bukan? Luna bukan satu-satunya anggota keluarga yang harus dibahagiakan, melainkan kalian juga. Karena mau sebesar apa pun kita berusaha, tempat pulang itu nggak akan berarti tanpa benar-benar mempertimbangkan hati Luna, Ayah, dan juga Bunda."

Jembatan sambung yang ditenun dari setiap kalimat itu, Sandi tidak pernah merasa lebih malu menyadari bahwa putri semata wayangnya tumbuh menjadi pribadi dewasa lewat cara yang paling tidak diinginkan olehnya selaku orang tua. Setiap apa yang Luna katakan, Sandi tidak habis pikir bagaimana pertimbangan yang terdengar penuh kasih itu dapat muncul dari mulut dan kepalanya. 

Mungkin, di luar perkiraan Sandi sendiri, Luna lebih banyak merasa sehingga dari setiap luka yang Luna terima, Luna mampu memikirkan apa yang lebih adil dari yang selama ini ia tawarkan sebagai kepala keluarga. Jadi, untuk menutupi setiap kekurangannya,  Sandi pun memberi pelukan tulusnya sebagai wujud perlindungan dari apa yang Luna maknakan untuk melingkupi seluruh anggota keluarganya.

"Luna nggak minta Ayah dan Bunda untuk berpisah. Luna cuma minta Ayah dan Bunda memikirkan masa depan seperti apa yang kalian inginkan. Apa pun keputusan yang Ayah dan Bunda pilih, Luna pengin kalian tau bahwa Luna nggak akan pernah membencinya sejauh apa pun itu. Karena apa yang mau Luna lihat hanyalah, Ayah sama Bunda bisa bahagia," ujar Luna menutup pembicaraan, menyadari betapa sesaknya untuk berbohong meski itu untuk yang terakhir kalinya di hadapan Ayah dan Bunda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top