32. Hasil

Memasuki jam istirahat kali ini, lobi utama SMA Bina Bangsa sedang heboh dikerumuni hampir seluruh siswa-siswi dengan kecemasan yang melanda.

Tepat beberapa menit lagi, Monitor Keramat Bina Bangsa akan segera menyala untuk menampilkan urutan ranking sebagai hasil pencapaian belajar meraka di ujian tengah semester kemarin.

Beberapa kubu siswa tampak sibuk menggigit jari berusaha menenangkan hati, lain lagi bagi kelompok yang percaya diri, mereka hanya berdiri santai sambil memperhatikan hal-hal lain atau asyik bercengkerama di antara kerumunan teman-temannya. Bisa dibilang, satuan nilai, popularitas, atau seramnya amukan orang tua, bukanlah sesuatu yang dapat mengkhawatirkan mereka secara berlebihan. Mereka yakin makna internal seperti sejauh mana mereka berkembang dalam penguasaan setiap materi, mungkin lebih layak untuk dipikirkan daripada hanya memfokuskannya pada objektif besar semata.

"Sejak semester satu kelas dua kemarin, selalu, dibandingkan tau ranking gua sendiri, gua lebih penasaran siapa yang bakal duduk di peringkat pertamanya. Alfa apa Karin?"

Mendengar ucapan tersebut, Alfa yang tengah melipat tangannya di depan dada pun berdecak sambil menoleh kepada Farhan. Laki-laki itu berkata, "Mau gua atau Karina yang juara satu, semuanya nggak masalah. Intinya, gua sama Karina adalah pelajar terpintar di sekolah ini."

"Hah...." Zaki menghela napasnya panjang. Ia menepuk pundak Revo yang mencibirkan bibirnya di belakang Alfa. "Begini, ya, kalau rivalku adalah pacar kesayanganku. Nggak ada lagi, tuh, yang namanya saing-saingan."

"Yoi yang ada cuma sayang-sayangan doang nggak, Zak?" Dari arah samping, Tama pun merangkul bahu Zaki menggunakam sebelah lengannya. Laki-laki itu meringis begitu Zaki semakin cerewet membombardir Alfa dengan fakta bucinnya yang menyebalkan.

"Hahaha ... dulu mereka berdua berantemnya gimana, sih? Sampai pernah jadi musuh bebuyutan begitu?" Tama bertanya iseng sembari mengisi waktunya menunggu urutan peringkat tertampil di layar monitor.

"Wah, itu cerita panjang banget asli, Tam! Lo harus tau! Dulu Alfa sama Karin, tuh, ... ... ...."

Meski mata dan telinganya terlihat asyik mendengar betapa hebohnya Revo menimbrung untuk berbagi panjang cerita, Tama tak bisa berbohong bahwa pada kenyataannya, ia sendiri tengah merasa resah terhadap pembagian nilai dan ranking kali ini.

Sudah begitu lama, Tama memupuk kepercayaan dirinya sebagai murid nakal yang terbilang bodoh dan tak berguna. Apakah dengan situasi kali ini-di mana ia menerima banyak bantuan dan terdorong kembali untuk belajar, kesalahannya di masa lampau dapat mengalami perubahan? Atau justru, pembuktian Tama dalam berusaha hanya menghabiskan waktu teman-teman barunya karena hasilnya berujung sia-sia?

Gimana kalau lo memang nggak ada harapan, Tam? Lo nggak bisa terus menyusahkan dan ada di dekat mereka sampai entah kapan lo bertaruh untuk bisa atau nggak mengalami kemajuan, 'kan?

Dilanda banyak perputaran kalimat buruk dan kecemasan di dalam dadanya, Tama pun utuh tidak fokus memperhatikan percakapan yang terjadi di lingkar pertemanannya. Bola mata Tama lantas memindai ke arah sekitar untuk berdistraksi sejenak. Namun, layar monitor yang dominan gelap, ramai presensi orang-orang beserta suaranya yang tercerai berai, mendadak membuat perut Tama mual seolah ia ingin pergi saja tanpa melihat hasil belajarnya.

"Aduh, kayaknya di ujian kali ini gua kurang maksimal belajarnya, deh."

"Please, gua nggak mau ranking gua turun lagi."

"Sumpah, nilainya belum keluar aja gua udah takut banget bayangin reaksi Nyokap Bokap."

"Target gue tercapai nggak, ya, di ujian kali ini?"

Dalam diamnya, laki-laki itu berharap, andai saja ia dapat meminjam sedikit rasa percaya diri teman-temannya yang pintar dibandingkan tenggelam bersama ketakutan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Sungguh, Tama ingin meyakini bahwa ia sudah berusaha semaksimal mungkin jika dibandingkan hari-hari sebelumnya. Namun, mengingat di sekolahnya yang lama saja, ia selalu berada di urutan paling bawah, mendadak Tama merasa naif dan kecil membayangkan betapa tidak mungkin ia mampu bersaing apabila taraf akademiknya setinggi SMA Bina Bangsa.

"Ayo, Tam, masalah nanti jangan dipikirin dulu. Setidaknya, lo harus berani berdiri di sini untuk melihat hasilnya sendiri."

Berupaya mengambil alih pikirannya, Tama pun meneguk ludah seraya memejamkan mata. Begitu ia selesai menarik napas panjang demi menenangkan diri, matanya lalu tak sengaja bersambaran dengan Alfa yang entah sejak kapan sedang memperhatikannya secara tak mengenakkan.

Terkadang, Tama pikir Alfa itu sedikit mirip dengan Melvin soal pandangannya yang bersifat skeptis. Bedanya, Alfa cenderung diam dan hanya memperhatikan saja, sedangkan Melvin akan cerewet mengajaknya bicara atau menceramahinya banyak hal. Jadi, meski Tama tahu Alfa mungkin memiliki beberapa pendapat di kepalanya, seperti biasa Tama memilih tersenyum singkat demi menutupi kejanggalan tersebut.

Beruntung saja sedetik kemudian, jauh di seberang Tama menangkap presensi Luna yang tampaknya sedang kesulitan mencari posisi berdiri yang aman. Mendekati waktu munculnya urutan peringkat, lobi utama telah menjadi semakin ramai sehingga sembari mengambil kesempatan itu untuk menghindari Alfa, Tama memilih menghampiri Luna.

"Eh, Tam, lo mau ke mana? Ceritanya belum selesai, woy!" Menilik ke arah mana Tama berjalan, Revo menguar keluhan kepada teman-temannya sesaat Tama tidak berpikir panjang untuk mengejar Luna walaupun dirinya masih sedang berbicara. "Hah ... pasti, deh, itu anak satu aktif banget geraknya kalau ada Luna di sekitaran. Sama aja kayak si Alfa kalau udah masuk urusan cewek."

Mengabaikan kalimat Revo yang tak terdengar di belakang, Tama terus menerobos kerumunan hingga terkadang, beberapa orang mengaduh kesal sebab tertabrak tubuh Tama yang bergerak terlalu tergesa-gesa.

Sesampainya ia dekat di jangkauan presensi Luna. Laki-laki itu pun mengulas senyum paling cerianya seraya melambaikan sebelah tangan.

"Lu...!"

Mendengar khasnya panggilan tersebut, Luna menjengitkan alis sesaat mendapati kehadiran Tama di sisi. Sama seperti laki-laki itu, Luna juga menampilkan senyum yang paling cantik untuk menyambut pertemuan.

"Tama, gimana perasaan kamu? Biasanya, banyak orang mulai cemas setiap pembagian nilai mau diumumkan."

Tidak langsung merespons ucapan Luna, Tama sempat menoleh kanan dan kiri sejenak untuk mencari posisi yang lebih lengang agar Luna tidak perlu berdempatan dengan banyak orang. Laki-laki itu kemudian menarik tangan Luna sembari menerobos jalan untuk menempatkan perempuan tersebut di area yang lebih aman. Kira-kira, di dekat pot tanaman besar pada bagian kiri beranda, Tama menjaga Luna bersisian.

"Tadinya agak deg-degan. Tapi, kalau tungguin hasilnya bareng lo, kayaknya bakal nggak apa-apa." Entah dari mana, kalimat polos itu tiba-tiba keluar dari mulut Tama. Laki-laki itu menggaruk tengkuknya sesaat ia kembali tersadar bahwa di dekat Luna, ia senang sekali mengucapkan hal-hal yang berbau picisan.

Bukan maksud Tama ingin merayu atau apa, Tama tidak pernah berpikir untuk mendekati Luna dengan cara yang seperti itu. Semuanya, murni karena di sekitaran perempuan tersebut, Tama terbiasa jujur mengeluarkan isi pikirannya.

"Begitu? Memang pengaruhnya ada di mana?"

"Hm?" gumam Tama menjengitkan sebelah alisnya. Ia memperhatikan Luna yang sedang menatap bola matanya.

"Maksud aku, apa yang bikin beda dari tungguin hasilnya keluar bareng aku dan bukan sama aku?"

"Ya ... beda aja," jawab Tama kini mulai menegakkan kerangka tubuhnya sembari perlahan mengacak rambut. Ia bingung menjelaskannya bagaimana. "Kayak yang lo bilang sebelumnya, orang-orang banyak yang cemas setiap pembagian nilai mau diumumkan. Biasanya gua nggak pernah begitu, tapi khusus hari ini gua adalah salah satu dari mereka.

Suara percakapan orang-orang yang berisik entah kenapa bikin gua semakin deg-degan. Tapi, pas lihat lo ada di kerumunan tadi, gua pikir dengan berada di dekat lo suasananya akan terasa lebih tenang kayak biasa kita ketemuan. Semacam, kalau pun apa yang gua takutin terjadi, keberadaan lo nggak mengancam gua untuk merasa takut atau dihakimi oleh apa pun. Maka dari itu, kalau gua tungguin hasil keluarnya bareng lo, gua bilang gua bakal nggak apa-apa."

Telah sepanjang itu mulutnya mengeluarkan kalimat penjelasan, sejujurnya Tama agak malu sehingga ia banyak menatap ke arah bawah dan samping kala mengucapkannya. Namun, sebab setelah dilirik Luna malah mengukir senyum tipis di wajahnya, laki-laki itu tetap berdiri tegap menunggu sebuah balasan.

"Kalau begitu, kita sama."

"Hm? Apanya yang sama?" Tama mengerutkan dahi bertanya-tanya.

"Kamu tau? Setiap pembagian peringkat di ujian semester sebelumnya, aku nggak pernah datang untuk melihat langsung aku ada di urutan ke berapa atau sebanyak apa akumulasi nilai yang aku dapatkan," ujar Luna mulai menjawab pertanyaan. Perempuan itu mendongakkan kepalanya memandangi LCD hitam yang tergantung di dinding lobi. "Alasannya, aku sadar bahwasanya aku nggak punya keinginan untuk kejar-kejaran menjadi yang terbaik, atau pernah merasa takut jikalau ada yang salah dari cara aku menanggapi pekan ujian. Tapi, kalaupun hal tersebut harus terjadi sekarang, aku pikir aku akan nggak apa-apa selagi aku lihat itu semua bareng kamu."

Kalimat itu, tiba-tiba Luna putus di tengah jalan ketika laki-laki itu tadinya mengira, ia akan mendapat jawaban yang terdengar jelas untuk diterima. Seperti biasa, Luna selalu menyimpan kesan misterius yang perlu membuat otaknya berpikir dulu memetakan arti sesungguhnya.

"Lu, jadi alasan lo datang ke sini sekarang adalah karena pilihan yang mana?"

Bagi Tama sendiri, tentu dua pertimbangan rancu yang sedang Luna hubungkan sudah menyangkut benar di kepalanya. Tama ingin memercayai bahwa pada semester ini, motivasi belajar yang baik tengah merasuki Luna, seperti dirinya. Namun, tubuh itu malah ia tundukkan sedikit layu seolah dari gestur memayungi tersebut, Tama ingin Luna tahu bahwa terlepas dari yang mana pun kebenarannya, ia akan menemani Luna menghadapi sesuatu yang mengganggu ketenangannya.

Sadar bahwasanya Tama sedang menaruh kepedulian yang terbilang besar, tentu Luna dengan senang hati mau membagi rahasianya kepada Tama. Hanya saja, ia butuh waktu sejenak untuk menjernihkan isi kepalanya sekarang. Tama adalah satu-satunya orang yang sanggup membuat Luna merasa nyaman dan percaya, tetapi sebelum sepatah kata keluar dari mulut Luna, monitor keramat bina bangsa telah lebih dahulu menyala menggemparkan seluruh isi lobi bersamaan.

"Apa pun hasilnya, kalau setelah itu lo butuh sesuatu, gua ada di sini, Lu."

Usai tawaran tersebut Tama sampaikan tanpa mengandung sedikit pun beban, demikian Luna dapat utuh berdiri dengan tenang untuk melihat urutan ranking yang terpapar keluar di hadapan. Jujur, ini bukan tentang nilai dan peringkat yang tak seberapa menarik perhatiannya. Namun, jika ke depannya ada hal buruk lain yang mendatangi kehidupannya, Luna merasa lega mengetahui kenyataan bahwa Tama bersedia ada ketika ia membutuhkan.

"Makasih, Tama. Aku berdoa semoga kamu dapat nilai yang harapkan."

Tak membalas baiknya ucapan yang Luna berikan, Tama pun ikut memperhatikan ke arah depan karena ia pikir, saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan selain melihat hasilnya bersama Luna. Lalu, Tama pula sebetulnya tidak terlalu mengerti tentang apa yang tengah Luna khawatirkan. Tama memandang peringkat dan nilai sebagai ajang pembuktian dirinya, tetapi Tama ragu hal itu berlaku serupa bagi Luna.

"Mampus! Ranking gua turun jauh banget!"

"Gila, susah banget tembus ranking di Bina Bangsa."

"Ya, Tuhan, ini udah kelas tiga, tapi nilai gua nggak berkembang."

"Gimana caranya gua tembus PTN kalau ranking di sini aja jelek banget?"

"Mau nangis. Gua udah nyangka hasilnya bakal jelek. Tapi, nggak separah ini."

Beberapa keluhan lantas terdengar dari siswa-siswa yang mewakili deretan peringkat terbawah. Dalam sistem monitor keramat bina bangsa, tentu mendapati nama yang terpampang di awal kemunculan adalah sesuatu yang paling tidak diharapkan. Sebagaimana tampilan tersebut terus berlanjut menuju deretan pertengahan, jantung Tama terasa semakin berdebaran, bahkan pundak dan lehernya mendadak kaku di tempat.

Di benak laki-laki itu, ada banyak hal yang sedang ia pikirkan secara serempak, seperti benarkah ia terlepas dari jeratan menduduki peringkat sepuluh terbawah sebagaimana biasanya ia dapatkan? Kemudian, sejauh mana sebenarnya nama ia diletakkan dalam peringkat Bina Bangsa?

"Tama! Ranking lo naik berapa itu anjir!"

Sepanjang dirinya termenung mendapati kenyataan tersebut, mendadak tubuh Tama terasa terguncang karena dari arah samping, tiba-tiba Revo datang sambil tercengir merangkul bahunya. Nama Tama terletak di kisaran 150 besar yang kira-kira, hasil belajarnya di semester kali ini berhasil membuat dirinya naik menggeser seratus peringkat lainnya.

"Rev, ini SMA Bina Bangsa nggak pernah kebanjiran, 'kan?"

"Hah? Maksud lo?"

"Ya, kali aja kabel monitornya korslet gitu, jadi nama gua ketuker sama yang di atas."

"Si Anjir! Mana ada yang begituan? Lo harus percaya itu hasil dari usaha belajar lo sendiri, Tam!"

"Lo semua jangan lupa gua juga ikut ajarin dia soal hitung-hitungan."

"Dih, gaya banget lo, Fa! Lo, tuh, setiap ngajarin orang udah kayak modelan guru killer tau!"

"Wah, congrats, ya, Tam! Kerja keras lo terbayar juga akhirnya!"

"Gimana? Semuanya nggak sesusah itu, 'kan, pas udah lo coba? Ntar kalau lo mau, gua bagi catatan gua lagi, deh, dari yang kelas sepuluh."

"Gua juga, panggil aja kalau lo mau minta diajarin tentang hitung-hitungan."

Diikuti sambutan teman-teman yang lain dari belakang, perasaan mengganjal yang tadi sempat bersemayam di dada Tama lantas terangkat begitu ringannya sebagaimana senyum kecil tiba-tiba terukir spontan di sudut bibirnya.

"Hahaha! Lo semua kenapa pada begini, sih? Gua harus sesenang apa punya teman-teman pintar kayak lo pada yang bantuin gua?"

Jika dilihat dari segi cakupan yang lebih luas, Tama tahu peringkatnya yang sekarang masih belum seberapa untuk bisa dibanggakan. Namun, melihat reaksi mereka yang dapat menghargai perubahan kecil itu, Tama merasa semua upaya belajarnya menjadi berarti akibat dukungan dari teman-temannya.

Di sisi lain, Luna yang mengamati kehangatan interaksi tersebut dari dekat, lantas ikut mengukir senyuman tahu semua berakhir baik untuk Tama. Ketika laki-laki itu usai bercengkerama kemudian beralih memperhatikan dirinya, Luna pun memberikan kalimat manis demi merayakan pencapaian Tama.

"Tama, walau sebelumnya aku nggak pernah tau target seperti apa yang kamu pasang di semester kali ini, tapi aku selalu yakin kalau kamu pasti bisa. Selamat, ya, atas kemajuan yang kamu peroleh. Aku harap kamu nggak ragu lagi atas kemampuan yang kamu punya. Kamu orang yang hebat, Tama."

"Lu...." Meski sorakan dari teman-temannya adalah hal yang pertama kali membuat dadanya terasa penuh, tetapi nilai ucapan Luna selalu membekas di tempat yang khusus bagi Tama. "Apa ini gara-gara lo habis doain gua, ya, tadi? Makanya ranking gua jadi naik pesat?"

Mendengarnya, Luna terkekeh kecil. Mungkin, Luna sudah terbiasa akan sikap Tama yang senang memutar topik percakapan menjadi candaan ketika sulit memproses kalimat pujian mengenai baik personalisasi dirinya.

"Aku serius, Tama...."

"Hehe, iya, iya...."

"Hah? Itu gua nggak salah lihat?"

"Lah, kok, bisa, sih, ranking-nya jadi segitu? Dari dulu nggak pernah keluar sepuluh besar, loh."

Namun, tak lama kemudian ketika kebahagiaan itu berlalu, kerumunan lobi tiba-tiba kembali menjadi ramai lagi oleh bisik-bisik sebab kejadian yang tak pernah mereka duga.

Mendadak, semua orang jadi memperhatikan ke mana dirinya sedang berada dan itu membuat Tama kebingungan. Kedua netra Tama pun melirik ke sekitar untuk mencari penjelasan. Namun, ke mana mata teman-temannya mengarah berhasil menjelaskan segalanya.

Di sana, pada layar monitor ranking yang terus berlanjutan, ada satu nama yang biasa muncul di urutan sepuluh besar, turun drastis menempati deretan tujuh puluh-an. Apa yang Tama ketahui tentang Luna hanyalah, mungkin perempuan itu merupakan salah satu siswa yang rajin, tetapi Tama tidak tahu bahwasanya Luna sepintar itu.

Mengenai ucapan sebelumnya tentang Luna yang tidak terlalu menganggap penting soal pengejaran ranking atau khawatir akan mendapat nilai buruk, kini menjadi jelas sekarang. Lewat percakapan orang-orang di sekitar, Tama pikir Luna tidak pernah merasa demikian karena perempuan itu selalu bisa menjaga kebutuhan akademiknya dengan baik.

"Lu?"

Alis Tama mengerut memindai reaksi Luna. Laki-laki itu tidak mengerti apa yang Luna pikirkan tepat saat ini juga. Di satu sisi, Tama tahu Luna tampak menimbang suatu perkara, tetapi pada waktu yang bersamaan, Luna tak memudarkan senyumannya seolah sedihnya tak ada.

"Aku nggak apa-apa, Tama. Sebelumnya, aku udah bilang, 'kan? Selagi ada kamu di sini, rasanya mungkin jadi nggak seburuk itu."

Diam-diam, di balik kerumunan yang teramat besar, seseorang sedang menabur pendapat tentang apa yang mungkin menjadi penyebab kemunduran nilai Luna.

Di sekitar teman-temannya, mulut itu berkata bebas seakan-akan disetujui oleh sekian banyak pihak. Opini yang ia berikan pada dasarnya logis. Hanya saja, sesuatu yang bernilai umum tersebut sejatinya tidak pernah ia buktikan secara nyata.

"Lo tau, 'kan, nilai Luna itu yang paling stabil di antara kita semua? Gua rasa ini terjadi karena beberapa hari belakangan, Luna banyak main sama cowok berandalan itu. Ya, udah nggak heran, 'kan? Lingkungan buruk itu pengaruhnya gimana?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top