30. Perhatian

Selain daripada agendanya pergi bersama Tama minggu lalu, semua kesedihan yang terjadi di kehidupan Luna tidak ada yang berubah, bahkan pekan ujian kemarin menjadi minggu yang sangat buruk untuk Luna jalankan. Ayah dan Bunda semakin terbuka mengusung pertengkarannya, sedangkan isi kepala Luna sangatlah penuh untuk sekadar dapat fokus menimba materi di kelas.

Gejolak takut, cemas, dan tidak merasa aman bercampur padu menjadi satu sampai-sampai di waktu yang hening pun, berada di rumah seolah menjadi suatu kesalahan bagi Luna.

Mungkin, beban untuk memulai cerita dan mengajak orangtuanya duduk di satu meja yang sama membuat Luna teramat tertekan perihal mengungkap semua rahasia yang disembunyikan di rumahnya. Meski begitu, sepanjang minggu ini, Luna terus menguatkan diri agar pada akhirnya, ia siap memperlihatkan semua luka yang terpendam.

"Luna! Apa kabar?"

Dari arah pintu kelas, seorang perempuan yang mengenakan kacamata bulat mendadak menangkap atensi Luna yang sehari-hari terbiasa diam di kursinya. Seulas senyum pun sigap Luna tampakkan untuk menyambut presensi hangat yang datang mendekatinya. Tak secara sembarang, Luna dapat menampilkan sisi lainnya yang sedang tidak baik-baik saja.

"Karin, aku baik, kok. Tambah berkali lipat malah karena kamu udah ada di sini sekarang," ujar Luna menerima uluran tangan temannya. Ia melanjutkan percakapan. "Ngomong-ngomong, aku tau sedari dulu kamu itu orang yang bersemangat banget. Tapi, hari ini kamu kelihatan jauh lebih ceria daripada biasanya. Pasti gara-gara sebentar lagi kamu bakal lihat Alfa tanding bola, ya?"

Mendengar tebakan tersebut, Karin sedikit menundukkan kepala seraya mengulum senyumnya tak terelakkan. Ia berkata, "Lun, kalau yang itu, sih, udah pasti! Sekarang udah nggak ada perlombaan yang harus gue ikutin lagi jadi gue senang bisa bebas banyak-banyakin luangin waktu buat lihat Alfansa! Tapi, di luar itu, ini semua juga karena gue kangen banget sama lo, Luna! Udah berapa lama kita nggak ngobrol atau jalan bareng?"

Sejujurnya, Luna tidak bohong pada bagian di mana ia senang karena Karin menghampiri ke kelasnya sekarang. Agenda saling bertukar kabar sambil menonton turnamen sepak bola laki-laki yang diusung Karin bulan lalu, akhirnya berhasil diwujudkan hari ini. 

Sekian waktu yang Luna habiskan di sekolahan sering kali tidak pernah berkesan apa-apa sehingga Luna sangat menghargai apa yang Karin lakukan untuk menyambung nilai pertemanan yang mereka miliki.

"Sama Karin, dan aku ikut senang soal kamu yang sekarang udah bisa meluangkan banyak waktu buat Alfa. Pasti Alfa juga bahagia bukan main jadi prioritas utama kamu sekarang. Karena beberapa waktu belakangan ini, pas aku lewat ke kantin, aku sering lihat Alfa suka lirik-lirik ke arah kamu. Matanya kentara banget kalau dia kangen sama kamu."

"Ya, 'kan, Lun? Rania sama Namira juga sering banget bilang begitu ke gue. Dan lucunya, kalau kita ketemu, tuh, kadang dia kayak suka nahan diri begitu supaya nggak kelihatan terlalu kangen ke gue. Mungkin, Alfansa nggak mau bikin gue khawatir kali, ya? Supaya gua bisa fokus kejar perlombaan tanpa terganggu soal hubungan gue sama dia? Tapi, gue udah hafal, kok, soal semua tabiat Alfansa dan gue juga nggak bisa bohong kalau gue juga merasakan hal yang sama. Jadi, buat menghargai pengertian yang Alfansa kasih ke gue, gue suka manjain dia setiap kita jalan bareng. 

Dan sumpah! Kalau gue udah begitu, Alfansa langsung berubah jadi gemasin banget! Astaga, Luna! Lo tau, 'kan, seberapa besar usaha gue buat kurangin tingkat kebucinan gue ke Alfansa sejak semester dua kelas sebelas kemarin? Kayaknya per detik ini semua tembok yang udah gue bangun bakal runtuh sehancur-hancurnya, deh, karena Alfansa bilang, dia mau terus ada di dekat gue sepanjang sebelum masa kelulusan nanti."

"Ya, ampun, Karin ... kamu sama Alfansa lucu banget, sih? Aku bisa bayangin bakal sedekat apa kalian mulai detik ini," ujar Luna menempatkan sebelah permukaan tangannya ke depan mulut. Perempuan itu tertawa kecil menanggapi cerita Karin yang kembali dimabuk jamuan kasmaran.

"Oh, ya, lo tau nggak kalau belakangan ini circle-nya Alfansa juga ketambahan satu personil baru? Kalau nggak salah namanya Tama? Dia anak IIS juga, 'kan, sama kayak lo? Gue pernah ngobrol sekali sama dia dan anaknya lucu plus asik banget! Lo kenal, Lun?"

Mendapati nama tersebut diucapkan, seketika Luna menjengitkan alis sebab bayangan laki-laki tersebut mendadak terlintas di benaknya. Bagaimana laki-laki itu melebarkan senyuman, serta cara lelaki tersebut memperlakukan dirinya sejak awal hingga kini mereka semakin dekat berkenalan, agaknya membuat hati Luna terasa sedikit merekah seolah bunga-bunga yang ada di dalamnya tengah bermekaran.

"Iya, aku kenal dia."

"Kenal dan cukup dekat?"

"Mungkin ... bisa dibilang begitu?"

"Wah, pas banget! Di turnamen kali ini dia juga setim sama kelasnya Alfansa. Hah ... pasti seru parah, deh, lihat mereka berdua main! Ayo, Lun, kita ke stadion sekarang! Sekalian cari jajan sama spot yang oke gitu."

Tentu, Luna tahu Tama ikut berpartisipasi dalam turnamen sepak bola kali ini. Namun, informasi tentang Tama berada di satu tim dengan Alfa merupakan hal yang baru untuk Luna dengar. Tiba-tiba, keinginan Luna untuk datang ke stadion menjadi berkali lipat lebih tinggi sebab ia pula ingin melihat aksi Tama bermain di lapangan.

"Iya, ayo, kita ke sana sekarang, Karin," balas Luna menerima uluran tangan temannya.

Dengan tak sabar mengkoordinasikan langkah kakinya agak cepat, Karin pun membawa Luna keluar kelas sambil membicarakan apa pun yang ia miliki di kepala.

Sorak canda tawa saling menanggapi percakapan, penantiannya akan segera menemui Tama di lapangan, serta perasaan nyaman berada di dekat seorang teman, lantas membuat hati Luna yang hari ini begitu hampa kembali menjadi hidup berdekapan.

Terkadang, Luna membayangkan andai ia tidak memegang beban yang begitu berat terkait rumah dan berefek besar perihal menguras energi serta pikirannya, apakah ia bisa menikmati masa SMA-nya dengan tenang sembari merasakan indahnya persahabatan? 

Suasana di petak lapangan stadion sore ini sedang ramai dikerumuni oleh sekelompok laki-laki. Pada sudut area tertentu, masing-masing membentuk sebuah lingkaran sebagai batas antara regu satu dan yang lainnya. Dalam jangkauan sempit yang ditangkap melalui rangkulan tangan tersebut, mereka sedang membahas strategi tentang bagaimana caranya mengalahkan tim lawan dengan serius. Dan di saat diskusi itu telah berakhir, sang ketua dari tim seberang pun turut memimpin sorak semangat demi membakar api yang berkobar di dalam dada setiap anggotanya.

"All right! Let's give our best to win this game, Boys!"

"Yeah! Let's win the game!" seru semua berbalasan menanggapi pesan sang ketua kemudian tersebar merata ke posisi masing-masing sesuai peran.

Seharusnya, mereka semua sudah siap melawan regu sebelah dengan antusias sekarang. Namun, sang ketua sendiri yang tadi bersikap paling tegas dalam membentuk motivasi anggotanya malah tertangkap sedang murung selepas memindai seluruh bangku penonton. 

"Ini anak kenapa lagi, sih?" Berhubung pertandingan belum dimulai, Tama pun mendekatinya sebagai sesama penyerang utama. Laki-laki itu menyikut lengan temannya ingin menanyakan keadaan. "Woy, Fa! Kenapa tiba-tiba mellow begitu muka lo?"

Alfa menoleh merespons kedatangan Tama. Laki-laki itu menggeleng pelan sembari menunduk memejamkan mata. "Karina belum datang," ujar Alfa mengerutkan alisnya layu. Ia tampak sedih seolah tengah menitih harapan besar yang entah akan terwujud atau tidaknya. "Kemarin dia udah janji mau lihat gua main bola, tapi gua nggak lihat dia ada di bangku penonton sekarang." 

"Ah, soal pacar lo, ya?" Tama pun mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti kemudian ikut membantu Alfa memindai kerumunan di bangku penonton. Meski lensa matanya sudah ia fokuskan ke sana kemari, presensi perempuan tersebut memang tidak dapat ia temukan di mana-mana. "Mungkin, dia telat sedikit?" ujar Tama akhirnya berusaha menenangkan.

Alfa menghela napas sejenak ingin memercayai perkataan tersebut benar adanya. Kendati wajah itu belum seutuhnya kembali ceria, Alfa menguatkan diri atas apa yang baru saja Tama ucapkan. "Ya, mungkin dia telat sedikit."

Lantas sambil menepuk pundak temannya tersebut, seulas cengiran tipis Tama tampakkan demi menghibur suasana hati Alfa. "Santai, Bro. Kalau pacar lo udah janji, gua yakin dia pasti bakal datang."

"Yeah, she will come. Thanks, Man," ujar Alfa mengangguk seraya balas menepuk punggung tangan Tama.

"Tam! Si Alfa kenapa?" Tiba-tiba dari arah depan, dua sahutan yang terungkap berbarengan menarik atensi Tama dan Alfa secara bersamaan. Vero dan Revo yang sibuk mengganti peran Farhan—sebab laki-laki itu ikut berpartisipasi dalam pertandingan bola—untuk mengambil dokumentasi kegiatan, tampak kebingungan mengapa Tama terlihat sedang menghibur Alfa, padahal pertandingan sebentar lagi mau dimulai.  

"Biasa ... si Alfa lagi cariin pacarnya," 

"Oh ... lagi cariin pacarnya," ujar si kembar begitu lazimnya menanggapi jawaban tak mengagetkan dari Tama.

Sempat ingin ikut menertawai, Tama tahu kadar bucin Alfa terkadang sangat mengasyikkan untuk dijadikan sebagai bahan candaan. Namun, selintas menoleh memperhatikan Alfa, raut laki-laki itu mendadak kembali menjadi terganggu seolah sedang berpikir apakah permasalahannya ini patut dihiraukan atau tidak.

"Ver, Rev, kalau lo berdua nanti lihat doi-nya Alfa di bangku penonton, langsung kabarin, ya?"

Berdasarkan apa yang Zaki ceritakan sebelumnya, Tama tahu bahwa semangat Alfa dalam bermain bola belakangan ini sangat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya kehadiran sang pacar. Meski Tama tidak terlalu mengerti mengapa hal tersebut menjadi begitu penting untuk Alfa, Tama pikir Alfa pasti memiliki alasannya sendiri sehingga Tama hanya perlu menghargai perasaan itu.

"Eh, pas banget. Karin baru masuk, tuh, dari pintu gerbang selatan." 

Lantas, mendengar Revo mengucapkan hal tersebut, sontak Alfa langsung mengalihkan pandangannya untuk menemukan presensi sang pacar. Melihat Karin tengah berjalan sembari menenteng beberapa makan dan minuman, wajah laki-laki itu seketika berubah begitu cerianya sesaat apa yang ia tunggu datang juga pada akhirnya. 

Seulas senyum lebar refleks menghiasi wajah Alfa, sedangkan alisnya tidak lagi bertaut menghilangkan kesan keruh seutuhnya.

"Karina!" Dengan lantangnya, seruan tersebut lalu Alfa lepaskan untuk menangkap perhatian sang pacar. 

Karin yang beruntungnya dapat mendeteksi suara Alfa, lantas merekahkan senyumannya sembari memberikan semangat yang Alfa idam-idamkan.

"Alfansa yang semangat mainnya, ya! For whatever the result is, I'll always be your number one supporter!

Mendengar ucapan manis tersebut, Alfa terdiam sejenak seperti sedang terkena mantra. Lain lagi, wajahnya terasa panas tak terkira. Laki-laki itu pun menatap Tama sebentar seakan membagi sebuah isyarat kemudian berlari kecil ke arah depan. Ia memberikan perintah kepada para pemain gelandang tengah karena ia pikir, kini ia harus tampil keren di hadapan sang pacar yang akhirnya bisa datang melihatnya bermain dengan mencetak gol sebanyak-banyaknya. "Lo semua nanti sering-sering oper bolanya ke gua, ya!"

"Hah ... dasar. Itu anak ada-ada aja." Sembari menggelengkan kepalanya, Tama mendengus geli —untuk yang kesekian kalinya—mendapati sikap Alfa berubah 180° di hadapan sang pacar. Sore ini, sepertinya Tama harus mengalah dan memberikan perannya sebagai penyerang secara penuh demi memenuhi keinginan Alfa yang mampu ia pahami maksudnya. 

"Loh, Luna datang juga? Tumben banget dia mau nonton pertandingan sepak bola?"

"Lah, iya, juga. Kayak, ini pertama kalinya?"

"Hm?" Tak sengaja menguping percakapan si kembar yang terbiasa berbicara dengan suara yang keras, Tama pun menolehkan kepalanya sekali lagi ke arah pintu gerbang selatan untuk memastikan kebenarannya.

"Lu?"

Di sana, Luna yang sedang merapikan rambut panjangnya ke sisi belakang telinga membius perhatian Tama tak terelakkan. Sejurus kemudian, mata mereka saling bertemu. Sejak ia mengantarkan Luna sampai ke depan halaman rumahnya hari itu, Tama semakin memendam sebuah perasaan aneh semacam ia selalu menantikan pertemuannya lagi dengan Luna secara tidak sabar.  

"Tama, kamu yang baik mainnya, ya?"

Kendati ucapan tersebut hanya dibisikkan dari jauh oleh Luna, kira-kira Tama dapat memahaminya lewat gestur dan rona khawatir yang Luna sampaikan di ujung sana. Dada Tama tiba-tiba terisi penuh. Semua yang biasanya terasa kosong dan berlubang anehnya selalu bisa Luna ramaikan meski hanya dengan kehadirannya semata.

"Oke, Lu!" ujar Tama mengangkat jempolnya ke atas seraya menampilkan barisan giginya yang berjajar rapi membahagiakan.

Tama kira, sore ini sepertinya ia tidak jadi akan memberikan perannya secara penuh kepada Alfa. Maksudnya, sama selayaknya Alfa, Tama juga harus tampil semaksimal mungkin di hadapan Luna, bukan?

"Woy, lo semua! Oper bolanya ke gua juga!" seru Tama berlari ke depan yang lantas membuat Vero dan Revo saling terdiam bertatap-tatapan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top