28. Impas
Per hari ini, pekan ujian tengah semester pada akhirnya telah selesai dilaksanakan usai hampir dua minggu lamanya berlalu, para murid SMA Bina Bangsa tengah bergempur membuktikan hasil belajarnya.
Di waktu yang masih pagi sebab jadwal terakhir hanya berisikan satu mata pelajaran, lingkup sekolah terukur ramai sekal dikerumuni siswa-siswi yang serempak dapat pulang lebih cepat. Mayoritas dari mereka mungkin ingin langsung beristirahat setibanya di rumah walau beberapa masih ada yang terlihat sibuk berdiskusi membuka buku pelajarannya untuk mengecek jawaban yang benar. Sisanya yang tampak riang berkumpul bersama teman-teman, tentu memiliki caranya sendiri perihal melepas penat dengan menghibur diri ke suatu tempat.
Bagi Tama yang pula dari jauh hari sudah mempunyai janjinya sendiri, buru-buru laki-laki itu sigap menuju parkiran motor selepas menumpuk lembar ujiannya demi menjumpai Luna yang ia suruh menunggu di depan gerbang. Hari ini, ia cukup senang karena agendanya pergi bersama Luna tidak bertabrakan oleh acara bermain dengan kelompok si kembar.
Waktu senggang Alfa dan Zaki kebetulan sudah dipesan oleh masing-masing pacarnya, lain lagi Farhan harus mengurus keperluan bisnis studio fotonya. Kemudian untuk Vero dan Revo? Sampai tadi mereka masih sibuk membuka catatannya demi memperdebatkan jawaban siapa yang paling benar, sedangkan Tama paling tidak bisa mendengarkan hal tersebut di kala pekan ujian baru selesai dikerjakan. Alhasil, rencana bermain mereka pun dipindahkan ke besok hari.
"Keluar bareng Luna, hari ini gua mau keluar bareng Luna!" ujar Tama bersenandung seraya mengendarai motornya keluar dari parkiran. Kepalanya sedikit bergoyang ke sana kemari membayangkan betapa serunya hari ini akan menjadi.
Entah kenapa, sejak bangun tadi pagi Tama merasa sangat senang dan bersemangat, padahal pekan ujian biasanya selalu terasa hambar nan membosankan. Mengetahui Luna mau pergi bersamanya memang merupakan suatu hal yang baru, tetapi binar kepuasan bahwa tampaknya ia telah menjalani ujian kali ini dengan cukup baik, agaknya turut menyumbang kebahagiaan di dada Tama.
"Lu...!"
Lantas melihat presensi Luna yang sedang duduk di bangku halaman depan, seulas senyum pun langsung menghiasi sudut bibir Tama teramat riang. Tadinya, jari kiri Tama hendak menekan tombol klakson untuk menarik atensi Luna. Namun, ia mengurungkan niat barangkali Luna akan kaget jika diperlakukan seperti itu.
Kebiasaan, sekarang ini, 'kan, Tama sedang menjemput seorang perempuan, bukan laki-laki berandal layaknya seorang Melvin.
"Gua kelamaan nggak? Udah tungguin dari tadi?" kata Tama membungkukkan badan hendak mendorong motornya mendekati Luna. Laki-laki itu masih memasang ekspresinya ceria.
"Nggak, aku baru banget keluar, kok." Luna membalasnya serupa.
"Sip. Pas, ya, berarti," ucap Tama kemudian melepas kaitan helm yang terikat di salah satu setang motornya. Ia menyerahkan benda tersebut ke hadapan Luna setelah menepuk bagian atasnya. "Ini, pakai dulu biar kepalanya aman."
"Hem? Helm kamu harum banget."
"Hehe, iya, dong. Itu udah gua cuci bersih dulu karena bakal lo pakai."
"Padahal aku bisa bawa helm sendiri dari rumah, Tama. Aku jadi nggak enak karena repotin kamu terlalu banyak."
"Santai aja. Masa, iya, gua biarin lo berat-berat bawa helm sendiri?" tanya Tama dengan sebelah alis yang berjengit. "Selagi gua yang bawa motornya, semua tanggung jawab ada di gua."
"Begitu?" Mendengarnya, Luna terkekeh kecil. Tampaknya, hari ini merupakan puncak di mana ia benar-benar tidak bisa menolak apa pun yang Tama tawarkan. Sejak dari beberapa hari yang lalu, laki-laki itu sangat ceriwis perihal ingin menyediakan ini dan itu. "Makasih, ya. Helmnya aku pakai."
Mengamati benda tersebut mulai menutupi separuh kepala Luna, Tama hanya tercengir saja mendapati rambut panjang Luna yang sontak terhambur berantakan. Luna sepertinya tidak terbiasa menaiki motor. Perempuan itu, bahkan sekarang tengah kesusahan mengancing tali pengaman helmnya.
"Bisa nggak? Sini gua bantu."
Merasakan jemari Tama datang mendekat, Luna pun berhenti bersusah diri dan membiarkan laki-laki itu membantunya. Dari jarak tersebut, tak sengaja fokus Luna malah teralihkan mengamati bola mata Tama yang terfokus tepat di depannya. Alisnya yang mengerucut saat ia sedang serius ternyata lihat sangat menawan lalu dalam hitungan detik yang berlalu secepat itu juga, senyum Tama yang menghangatkan rasanya tidak pernah bosan Luna perhatikan.
"Dah, aman. Ayo, naik."
Sembari menopang sebelah kaki lebih kuat, Tama pun mencodongkan tubuhnya ke sisi kiri untuk menurunkan pijakan motor agar Luna mudah naik ke belakangnya. Sadar luna masih ragu memulai langkahnya, Tama juga ikut memiringkan lebar bahunya supaya Luna bisa berpegangan mengamankan gerakan.
"Udah enak belum duduknya?"
"Iya, makasih udah bantu aku naik. Maaf, aku kikuk banget. Aku nggak biasa naik motor yang tinggi kayak begini sebelumnya."
"Hahaha, biasa dibonceng motor bebek, ya?"
"Iya," jawab Luna seraya menilik ke sekitaran. Tatapannya mendadak sedikit ragu. "Tapi, Tam."
"Hm?"
"Ini jalan motornya nggak bakal seram kayak yang di lomba balap itu, 'kan?"
Sontak, Tama dibuat tergelak oleh tingkah Luna yang menggemaskan. Tama tahu Luna itu seorang perempuan yang lemah lembut. Namun, ia tidak menyangka Luna bisa jadi khawatir hanya karena ia ajak berkendara menggunakan motor sport-nya. "Gua udah bilang, 'kan? Selagi gua yang bawa motor, semua tanggung jawab ada di gua?" tanya Tama menilik ke belakang menghadap Luna. "Itu termasuk keselamatan lo juga. Cuma kalau lo mau, nanti gua bisa coba bawa kebut sedikit buat nikmatin angin di jalanan. Nggak sampai yang bahaya juga. Gua jamin asik, kok! Gimana?"
Karena sorot mata Tama kini terlihat begitu terang dan menyala, Luna lantas mengangguk yakin ingin memercayai, bahwa bersama Tama semua akan jadi menyenangkan. Perlahan, jari-jemari Luna pun mengapit ke kain seragam Tama.
"Lu," panggil Tama terkekeh lagi. "Kalau pas saatnya nanti gua ngebut beneran, pegangan lo wajib lebih kenceng dari ini, ya?"
"Iya?" Kedua alis Luna berjengit. Refleks, ia langsung menarik seragam Tama lebih erat dari sebelumnya. "Segini udah, oke?"
Ya, ampun, betapa lucunya luna. Tama ingin mengisengi Luna lebih lanjut, tetapi laki-laki itu tidak mungkin tega membuat Luna takut ketika berada di boncengannya.
"Oke, kita berangkat, ya!" Sesaat Tama yakin bahwa Luna sudah siap ia bawa pergi, Tama pun sigap menarik gas motornya berkendara. "Waktunya kita jalan-jalan!"
Telah sekian lama Luna menjalani pekan ujian, tidak pernah satu pun di antaranya pernah Luna rayakan dengan cara bersenang-senang dengan teman-temannya. Sanggar melukis merupakan satu-satunya tempat di mana Luna dapat menemukan ketenangan, tetapi pergi bersama Tama mulai detik ini mungkin akan menyimpan kesan kebahagiaan tersendiri bagi Luna.
Sedari minggu lalu, ia dan Tama sudah selesai menyusun destinasi bermainnya yang mayoritas berisikan atas pilihan Luna. Sejatinya, Luna juga ingin tahu Tama hal-hal seperti apa yang Tama sukai, tetapi ketika berulang kali Luna menanyakan pendapat kepadanya, laki-laki itu hanya menjawab, "Ke mana aja gua oke asal orang yang gua bawa juga senang sama tempat itu."
Meski Tama telah berkata seperti itu, tentu Luna tetap menyimpan kekhawatiran barangkali Tama akan bosan jika hanya mengikuti kemaunnya. Namun, di sepanjang tadi mereka berkeliling ke kebun binatang serta danau di tepian kota, keceriaan yang Tama keluarkan tidak meluntur sedikit pun, justru laki-laki itu selalu punya cara untuk menikmati dan mengusung topik obrolan yang menyenangkan.
Segala macam agenda seperti memberi makan dan mengelus puncak kepala hewan, lalu jalan-jalan menghirup udara segar, semuanya Tama ikuti dengan penuh keriangan sehingga bersamanya, Luna tidak merasa salah telah memilih destinasi hiburan yang cukup berbeda dari kebanyakan remaja lainnya.
Adapun, di kala Luna tengah fokus memindai alam dan hewan-hewan yang terlihat di sekitarnya, beberapa kali Tama juga merangkap sebagai fotografer dadakan yang kerap tersenyum lebar kemudian mengacungkan jempolnya saat Luna menyadari dirinya sedang menjadi objek tangkapan gambar. Kata Tama, mau diambil dari sudut mana pun, Luna selalu tampak cantik jadi laki-laki itu tak bisa menahan diri untuk tidak melakukannya.
"Gimana, lo suka nggak sama pemandangan di sini?"
Sepulangnya dari danau tepian kota, entah Tama sengaja menyesuaikan selera kepada Luna atau ia memang menyukai sesuatu yang berbau alam juga, laki-laki itu pada akhirnya mengajak Luna untuk memutar jalan sebentar mengitari kawasan hutan lindung tak jauh dari situ.
"Tama, pohon-pohon di sini tinggi dan rindang banget!"
"Iya, 'kan? Udaranya juga sejuk. Beda banget sama suasana kota yang panas dan berdebu."
Kepala Luna mengangguk pelan menyetujui. Netranya masih tak lepas mendongak mengamati pemandangan alam di sekitar. Tama benar, suasana ini sangat berbeda dari lingkup perkotaan. Segalanya terasa segar dan membebaskan.
Kendati sebelumnya Luna sudah sering melihat gambar-gambar wisata alam melalui medium internet, sebetulnya Luna baru pertama kali ini merealisasikannya bersama Tama. Namun, menimbang sedari awal Tama rasanya sudah hafal jalan dan tidak kaget dengan destinasi permintaan Luna, Luna pikir laki-laki itu telah beberapa kali bermain ke lingkup seperti ini.
"Kamu sering ke sini sama teman-teman kamu, ya?"
"Hm? Nggak sering juga, sih. Sekali-sekali aja kalau lagi pengin cari udara segar." Tama bergumam menjawab pertanyaan Luna. "Terus nggak bareng teman-teman gua juga. Biasanya gua sendirian karena anak-anak jarang yang hobi jalan-jalan liat pemandangan kayak begini."
"Oh, begitu? Terus pas aku usul untuk datang ke sini kemarin, kenapa kamu nggak bilang kalau kalau kamu udah pernah dan suka datang ke sekitaran area danau juga?"
"Loh, gua udah bilang, 'kan? Gua pasti oke sama tempat yang lo suka?"
"Oke sama tempat yang aku suka, dengan kamu yang benar-benar suka sama tempat itu artinya beda, Tama."
"Sama, Lu! Soalnya sejak kita ketemu di rooftop waktu itu, gua punya feeling yang kuat kalau selera kita kayaknya nggak jauh beda buat suatu hal tertentu. Makanya, gua bisa percaya diri ngomong begitu kemarin."
Mendengarnya, Luna terkekeh kecil. Ia tidak tahu arti dari kalimat Tama bisa ditafsirkan dengan cara yang seperti itu.
"Nah, mumpung jalannya sepi, kalau motornya gua bawa ngebut sekarang, lo nggak apa-apa nggak?"
"Hem?" Kedua alis Luna berjengit. "Dari tadi kita belum ngebut?"
Sontak, Tama tergelak mendapat perkataan Luna. "Astaga, Lu, ini lima puluh kilometer per jam aja nggak ada, loh. Ngebut yang gua bilang ke lo itu cuma setaraf pelannya sehari-hari gua aja."
"Tama?" Mata Luna mendadak melotot mendapatinya. "Kamu biasa sengebut apa memang?"
"Mau coba?" kata Tama sambil tercengir menoleh Luna.
Perempuan itu tergugu lalu menggenggam kain hoodie Tama sangat erat.
Merasakan pakaiannya yang tertarik ketat ke belakang, Tama pun tergelak. "Hahaha, Lu! Lo lucu banget, sih?" Ia mendengus kecil kembali melirik Luna. "Gua bercanda doang, kok. Tapi, ini beneran mau gua kebutin sedikit biar anginnya makin kerasa. Berani?"
Luna terdiam sebentar. Sedetik kemudian, ia mengangguk menunjukkan keyakinan. "Iya, aku mau coba apa pun yang menurut kamu seru buat dilakukan."
"Wah, Lo juga bisa begitu, ya?" ujar Tama bersiap mengganti kopling motornya. Ia bersuara memastikan keputusan Luna. "Lo percaya sama gua, 'kan?"
"Iya, aku tau kamu bawa motornya nggak bahaya. Aku cuma perlu pegangan sama kamu kayak begini, 'kan?"
"Betul, kapan pun lo takut, lo boleh kencengin aja pegangan lo ke gua atau peluk gua juga nggak masalah. Kalau gua terlalu ngebut, lo bisa bilang nanti. Gua mulai, ya?"
Sejalan berakhirnya kalimat tersebut, Tama pun memulai akselerasi motornya untuk berkendara dengan kecepatan yang lebih tinggi. Tinggi dalam artian kadarnya sudah diturunkan sesuai taraf seorang Luna.
Tepat di belakang, ragu-ragu Luna pun membungkukkan tubuhnya sampai menyentuh punggung Tama. Kursi motor Tama terbilang sangat tinggi sehingga Luna khawatir sewaktu-waktu ia dapat kehilangan keseimbangan badannya. Namun, setelah beberapa detik ia beradaptasi terhadap keadaan, Luna pikir ia telah menyimpan ketakutannya secara berlebihan.
Mau itu kebut atau pelan sekali pun, Luna rasa Tama benar-benar memegang perkataannya soal ia akan membawa motornya dengan sangat berhati-hati. Di luar itu, deru angin yang kini melaju tertiup ke arahnya lebih kencang, agaknya membuat Luna jadi paham kenapa Tama bersemangat sekali ingin mengajaknya berkendara di atas batas kecepatan rata-rata.
Berpacu dengan adrenalin jantungnya yang berdetak lebih kencang, seketika seluruh beban pikiran Luna serempak dibawa terbang mengudara seolah keberadaannya dapat dikaburkan barang sejenak. Semua tampak begitu bebas sampai isi kepala Luna bisa terlepas dari kesan yang selalu menceraiberaikan.
"Gimana, Lu? Seru nggak?"
Sempat di benak Luna terlintas pula, andai apa yang Tama alami jauh lebih memberatkan dibandingkan serat kehidupannya, Luna tidak heran Tama pernah berkendara sendiri seperti ini sebelumnya. Demikian mengetahui hal tersebut, Luna teramat senang apabila hari ini ia dapat menemani Tama jika laki-laki itu turut menganggapnya serupa.
"Iya, Tama, aku suka naik motor sama kamu! Kira-kira kalau aku minta motornya dibawa lebih kebut sedikit lagi bolehkah?"
Di satu kafe tertentu sebagai destinasi terakhir perjalanan Luna dan Tama kali ini, mereka berdua sedang mengistirahatkan diri niat mengisi tenaga setelah hampir setengah hari menghabiskan waktu bersama-sama.
Selain jalanan sepi nan menyejukkan di kawasan hutan lindung, mungkin kafe ini merupakan satu-satunya hal yang dipilih Tama dalam jadwal kegiatan yang ia buat dengan Luna. Makanan favorit apa yang Tama ingin incar dari tempat ini, pada dasarnya tidak ada. Tama hanya berusaha semaksimal mungkin mencari restoran yang sekiranya akan Luna sukai menurut rekomendasi Alfa dan juga Zaki—yang ia tebak pasti mempunyai banyak pengalaman soal berkencan. Lingkup yang nyaman, menu yang lengkap dari hindangan kecil sampai besar, semua persis memenuhi ekspektasi Tama untuk menyempurnakan agendanya di hadapan Luna.
Tentu, Luna dapat memahami usaha Tama untuk membuatnya merasa nyaman menikmati waktu santai sore kali ini. Luna sungguh menyukainya. Namun, satu hal yang tidak laki-laki itu ketahui—dibanding menitikberatkan pada tempatnya, jujur Luna lebih senang karena saat ini orang yang ada di dekatnya adalah Tama. Di samping itu, cara makan Tama yang sedikit berantakan tidak lepas membuat Luna mengulas senyum karena lelaki tersebut jadi terlihat lucu di matanya.
"Tama, coba ke sini sebentar."
"Hm?" gumam Tama membalikkan sendok dan garpunya usai menghabiskan makanan. Ia memajukan wajahnya sedikit mendekati Luna.
"Ada saus di sudut mulut kamu. Aku izin bersihin dulu, ya?"
Tama terdiam merasakan jari lentik Luna yang berlapis tisu, menyentuh sudut bibirnya.
"Udah bersih sekarang."
"Ah." Tama mengalihkan pandangan. Wajahnya sedikit memanas. Ia tidak mengantisipasi gerakan Luna yang terlalu tiba-tiba, sehingga sekarang ia hanya bisa mengacak rambutnya kebingungan. "Gua kayak anak kecil, ya?"
Mendengarnya, Luna terkekeh pelan. Ia menggeleng singkat menjelaskan. "Bukan begitu. Aku tau kamu lapar dan capek setelah seharian tadi udah boncengin aku terus. Wajar kalau kamu makannya bersemangat banget."
"Bersemangat banget?" Alis Tama bertaut memikirkan maksud dari perkataan tersebut. Tidak, apakah dirinya barusan meninggalkan impresi yang lebih buruk dari sekadar makan seperti anak kecil kepada Luna? "Lu, gua makannya nggak kayak orang rakus, 'kan?"
"Nggak, Tama, kamu nggak kayak anak kecil dan nggak kelihatan rakus juga," ucap Luna tersenyum kembali. "Aku malah suka lihat orang yang punya nafsu makan bagus kayak kamu. Entah kenapa semua hidangannya jadi terasa dua kali lipat lebih enak aja kalau bareng kamu."
Tama menghela napasnya panjang. Laki-laki itu tahu betul Luna sangat pintar dalam mengolah setiap kalimatnya. Beberapa waktu belakangan ini, rasanya Tama jadi begitu memperhatikan penilaian Luna terhadapnya. Namun, jika memang begitu adanya, Tama cukup puas ia bisa membuat Luna makan banyak hari ini.
"Tapi, Tama."
"Iya?"
Hening yang tercipta sejenak membuat Tama sempat bertanya-tanya apa yang ingin Luna katakan kepadanya. Perempuan itu sedikit menunduk dengan tatapan yang agak sulit untuk diartikan. Meski begitu, tak lama kemudian netranya yang indah kembali menerangkan sinarnya sembari melukis garis manis tepat di lekuk bibir tersebut. Tama harap, ia benar-benar dapat meringankan beban Luna ketika berada di dekatnya.
"Aku berterima kasih karena kamu udah mau ajak aku jalan hari ini," kata Luna spontan menyisipkan banyak ketenangan di dada Tama. Laki-laki itu tentu mempunyai kekhawatirannya sendiri soal apakah Luna bahagia atau tidak sepanjang jalan bersamanya. "Untuk ... kamu tau? Dengan segala macam hal yang terjadi belakangan ini, kamu yang mau meluangkan waktu buat pergi dan main sama aku, semuanya sangat membantu."
"Mau meluangkan waktu? Membantu?" Refleks, Tama mendengkus mendengar ungkapan tersebut. "Ya, ampun, Lu, gua berasa kayak relawan aja di depan lo," katanya sambil tercengir lalu memajukan badannya menghadap Luna. "Gua nggak berusaha meluangkan waktu, tapi gua memang pengin pergi sama lo. Apa yang kita lakukan di sini, itu bukan semata-mata buat lo doang. Gua juga senang lo mau keluar bareng gua hari ini. Bahkan, gua harap ke depannya kita bisa jalan lagi tanpa mengandalkan perayaan berakhirnya ujian."
Sekilas, di dalam hati Luna seperti tumbuh sebuah benih yang membuat sesuatu pada dirinya menjadi hidup kembali. Mungkin karena Luna sudah cukup lama terputus dari kontak sosialnya, ia cenderung berpikir bahwa adalah hal yang berat bagi orang-orang untuk tulus mendekatinya. Semua jarak dan penolakan yang Luna berikan, terkadang bisa terasa memberatkan. Namun, dengan Tama semua tidak begitu, bukan? Sebab, Luna yakin sekali Tama dapat menghargai nilai kerapuhannya lebih dari yang sanggup ia bayangkan.
"Oke, ayo kita jalan keluar lebih sering lagi ke depannya," ucap Luna kemudian kepada Tama. Meski Luna tidak melepas semua kalimatnya karena Tama tampaknya ingin Luna bersikap santai, ia tetap berterima kasih orang yang menawarkan bait kebahagiaan itu adalah Tama.
Di sisi lain, mengetahui ia bisa tersenyum bersama Luna sama cerahnya di penghujung sore hari ini, Tama pikir sekarang bukanlah waktu yang buruk untuk benar-benar berpisah dengan Luna. Tentu Tama masih ingin berbicara dan berlama-lama di dekat Luna. Namun, ia tidak mungkin membawa Luna keluar hingga larut malam, bukan?
Tama tidak mau bersinggungan dengan aturan yang Ayah ciptakan dan Tama ingin menghormati etikanya dalam menjaga seorang perempuan.
"Gua bayar dulu, ya, kalau begitu. Lo tunggu di depan aja."
Demikian, karena tadi Luna sudah bersikeras untuk membayar tiket masuk kebun binatang dan akses menuju area di sekitaran danau, kini gantian Tama yang memaksa ingin mengakomodasi biaya makanan di restoran. Membiarkan Luna membelikannya sesuatu jujur agak terkesan sedikit aneh bagi Tama karena biasanya ia yang selalu mentraktir jika sedang keluar bersama perempuan. Namun, karcis yang saat ini masih ia simpan di dalam sakunya, mungkin akan Tama simpan lebih lama karena secara tidak langsung benda tersebut merupakan hadiah—kedua setelah cokelat—dari Luna.
Tepat di halaman depan kafe, Luna yang sedang menunggu sesuai arahan Tama pun memindai ke arah langit sebab gerimis mulai melanda membasahi permukaan aspal. Jika Luna lari sekarang menuju parkiran, mungkin ia tidak akan terlalu kebasahan, tetapi Luna tidak mau meninggalkan Tama sendirian.
Usai beberapa menit berlalu laki-laki itu akhirnya keluar menghampiri Luna, titikan air pun turun lebih besar yang tidak lama lagi akan berubah menjadi hujan.
"Tama, gerimisnya jadi deras."
Seraya memperhatikan gerak-gerik Luna, Tama bergumam singkat bagaimana caranya menangani situasi tersebut karena tampaknya Luna tidak ingin kebasahan.
Menilik pakaiannya sebentar, ide sembarang lantas terlintas di benak Tama yang lalu laki-laki itu pun melepas seragamnya sehingga menyisakan kaus hitam polos sebagai satu-satunya pakaian yang mampu membungkus diri.
"Kita jalan pakai ini ke sana gimana?" ujar Tama menjengitkan alisnya kepada Luna. Seragam putih tersebut ia bentangkan ke atas membentuk sebuah payung yang rasanya bisa melindungi Luna dari tetesan air hujan.
"Tama kamu nggak dingin?" tanya Luna sedikit terkejut dengan apa yang Tama lakukan. Netranya memancarkan sebersit kekhawatiran.
"Nggak, kok. Gua suka dingin. Lagian nanti kita nanti bakal pakai jas hujan juga, Lu. Lo nggak perlu khawatir gua bakal terjang hujan cuma kaosan doang."
Namun, senyum lebar Tama yang tampil setelahnya berhasil meyakinkan Luna. Luna tahu karakteristik dirinya dan laki-laki itu memang berbeda. Luna harap, ini bukan semata-mata karena Tama sedang berusaha lebih untuk melindunginya.
"Kita ke sananya lari sedikit biar nggak kebasahan banget, ya."
"Lari?"
"Iya, lari. Bajunya biar gua yang bentang supaya luas buat jadi penutup kepala," kata Tama melayangkan seragam putih tersebut di sekitaran juluran lengannya.
Mendongak ke atas sebentar, Luna pikir seragam Tama memang cukup untuk dapat melindungi mereka berdua. Ia pun mulai memperhatikan langkahnya usai memastikan hal tersebut. "Oke, kita lari sekarang?"
Mendapati Luna mengangkat kecil kedua kakinya secara bergantian, Tama terkekeh kecil. "Lucu banget, sih, Lu?"
"Iya?"
Sayangnya, ucapan tersebut terlalu lirih sehingga ketika Luna kembali mendongak untuk menghadap Tama, laki-laki itu hanya menggeleng sambil lurus menghadap depan.
"Siap, ya, di hitungan ketiga, kita lari bareng-bareng."
Sambil menghitung urutan ancang-ancang, netra Tama terus memperhatikan Luna yang sedikit ragu ingin memijakkan kakinya di atas genangan air. Tama rasa, Luna bukan sedang ketakutan atau apa, tetapi barangkali, ini kali pertamanya bagi Luna untuk menerobos hujan karena sama seperti saat ia membonceng Luna siang tadi, bola mata Luna kembali memancarkan sebersit ketertarikan layaknya ia ingin mencoba keseruan tersebut.
"Satu, dua, tiga! Ayo, Lu!"
Demikian dengan berakhirnya perhitungan tersebut, Tama dan Luna pun sama-sama berlari menembus hujan yang tiap detik berlalu rasanya semakin deras saja menerpa tubuh. Meski begitu, di sepanjang perjalanan tersebut Luna malah tertawa dan hal tersebut membuat Tama ikut tergelitik pula menyuarakan kebahagiaannya.
Langkah Luna sebetulnya cukup pendek apabila dibandingkan dengan jejang kaki Tama. Laki-laki itu, bahkan nyaris tidak berlari melainkan hanya berusaha mengikis jaraknya bersama Luna dengan berjalan secara cepat. Tama berupaya meringankan beban tubuhnya agar tidak tercipta cipratan di setiap sepatunya hendak berpijak, sedangkan seragam sekolahnya terus Tama bentangkan demi melindungi Luna dari kebasahan.
"Tama, kita udah sampai." Sembari mengusap-usap lengannya untuk mengusir hawa gelugut, Luna tersenyum simpul merasakan sensasi aneh yang menyetrum tubuhnya sehabis berlari menerjang hujan. Permukaan kulitnya basah sedikit, tetapi mendengar suara rintik hujan di sekitaran dan berlari bersama Tama yang berada di dekatnya, ternyata dapat membuat Luna senang hanya dengan sesederhana itu.
"Lo nggak kebasahan, 'kan, Lu?"
"Nggak, Tama. Justru aku baru tau tanpa payung ternyata kita bisa tembus hujan tanpa harus ada yang kebasah ... an?"
Sempat Luna mengira karena ia berhasil terhindar dari hujan, Tama pula berhasil melindungi dirinya menggunakan seragam yang ia bentangkan cukup tinggi di atas Luna. Namun, ketika perempuan itu berbalik menghadap Tama, seketika keceriaan itu meluntur begitu saja mengetahui bahwa rambut dan pundak Tama bersimbah terkena tetesan air.
"Haha ... lo tipe orang yang selalu sedia payung sebelum hujan, ya?" ujar Tama sepele sembari mengusap dan mengacak rambutnya yang basah.
Entah kenapa, Luna merasa jengkel, padahal ia jarang mendalami emosi semacam itu. Namun, melihat Tama masih bisa tersenyum di kala kondisinya yang begitu, agaknya cukup mengganggu ketenangan Luna yang sempat percaya bahwa seragam tersebut akan Tama bentangkan baik untuk menutupi kepala mereka berdua.
Mungkin, Luna juga marah pada dirinya sendiri yang terlalu asyik berlari ke depan sampai luput memperhatikan ke arah mana seragam tersebut Tama pegang di sepanjang perjalanan. Tubuh dan juluran tangan Tama terbilang tinggi untuk seukurannya, sehingga tidak secara otomatis Luna dapat merasakan keberadaan Tama. Kendati begitu, Luna tidak mau menjadikan hal tersebut sebagai alasan mengapa ia tidak menilik sebentar untuk memastikan keadaan Tama sebelumnya.
"Tama, gimana bisa kamu lindungin aku dari hujan, tapi nggak dengan diri kamu sendiri?" Lantas, seraya mengambil sapu tangan dan tisu dari dalam tasnya, Luna pun berjinjit kecil untuk menyeka, rambut, wajah, dan leher Tama yang basah akan air hujan.
Tama yang terlonjak kaget karena kembali merasakan tangan Luna menyentuh permukaan kulitnya, lalu tergugu sedikit berusaha menelan ludah, tetapi selanjutnya ia hanya diam mengizinkan Luna berbuat apa pun yang saat ini sedang perempuan itu lakukan. "Lu?"
Sorot kekhawatiran yang bersembunyi di balik netra Luna, tentu tak lepas Tama perhatikan juga dari jarak yang sedekat itu. Betapa cantiknya wajah Luna, lembut pergerakan tangannya yang mengelilingi penglihatan Tama, semua mengakibatkan Tama melanglang buana ke dalam dunia yang tak Tama ketahui mengapa sekarang dadanya terasa berdebaran tidak karuan.
"Jangan begitu lagi. Kalau habis ini kamu sakit gimana?"
Ucapan bertanda peringatan, tetapi turut dibungkus dengan nada yang selalu terdengar lembut itu membangunkan Tama dari kebingungannya. Laki-laki itu tahu Luna sedang menyiratkan makna ketidaksukaan, tetapi Tama bersikukuh bahwasanya ia tidak melakukan sedikit pun kesalahan.
Bagi Tama, perempuan seperti Luna harus semaksimal mungkin ia lindungi oleh sebab itu, Tama hanya menggaruk tengkuknya sembari mengalihkan pandangan ke arah lain untuk membalikkan perkataan Luna. Bagaimana cara Luna memberinya nilai kepedulian dan perhatian, tentu membuat Tama keberatan untuk menuruti apa yang Luna perintahkan.
"Nggak bakal sakit. Lo bisa pegang omongan gua."
Karena menurut Tama sendiri, kehadiran Luna berserta pernak-perniknya yang selalu mendekap hatinya menjadi hangat, semua sudah melampaui kata cukup dari apa yang dapat Tama terima dalam hidupnya.
"Apa yang lo lakukan sekarang, ini juga bentuk perlindungan lo ke gua dari hujan, 'kan? Karenanya, seharusnya kita impas, Lu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top