25. Damai

Tidak seperti biasanya, silau terik yang gemar membakar jarak pandangan Tama kala membuka pintu rooftop, tak cukup membuat matanya cukup terganggu pagi ini. Pasalnya, ketika Tama menoleh demi menyesuaikan fokus lensanya dalam menangkap rangsangan cahaya, ia sontak dipertemukan dengan sosok perempuan cantik yang sedang terduduk di sisi kirinya.

Kumpulan kertas berlaminating yang permukaannya tertulis macam-macam pertanyaan mengelilingi keberadaannya berhamburan. Entah apa karena cuaca hari ini lebih panas atau Luna memang sengaja ingin berlindung di bawah dinginnya bayang bangunan, bagi Tama rooftop akan utuh menjadi damai ketika presensi Luna ia temukan di sana.

"Lu? Lagi apa? Kok, duduk di situ?" Tak mau berdiam diri terlalu lama, Tama pun ikut merubuhkan tubuhnya di samping Luna. Kedua kakinya menekuk sebagai sanggaan atas lengannya yang terangkat. Tak lama kemudian, ia mengambil salah satu dari sekian potongan kertas yang bertebaran tersebut. Laki-laki itu bergumam menunggu jawaban dari Luna.

"Lagi coba belajar." Pada akhirnya, yang diajak berbicara pun membalas. Luna meletakkan kertas yang ia pegang lalu tersenyum menatap Tama. 

Dalam diamnya seraya mengangguk-anggukkan kepala, bulu kuduk Tama sempat merinding membayangkan bagaimana siswa-siswi SMA Bina Bangsa sangatlah serius menanggapi pekan ujian semester. Luna, bahkan memiliki metode belajarnya sendiri yang tidak terlalu Tama pahami mekanismenya bagaimana. Alih-alih datang ke rooftop untuk menenangkan diri—atas harapan besar yang baru dijatuhkan oleh Bu Siska—seperti dirinya, Luna justru mengusahakan yang sebaliknya di tempat ini.

"Perpustakaan lagi ramai banget, ya?" kata Tama mengalihkan inferioritasnya dengan membuka topik percakapan yang lain. Ia teringat akan ucapan Luna tentang ketidaksukaannya bertemu teman-teman yang ia kenal. "Gua belum ke sana lagi, sih. Tapi, menilik dari karakteristik anak-anak Bina Bangsa yang kelewat super menanggapi pekan ujian, itu tempat pasti bakalan penuh. Makanya, lo lebih pilih belajar di sini, 'kan?" 

Luna tersenyum tipis menanggapinya. Sebagian tebakan Tama benar bahwa pada dasarnya, ia merasa tidak nyaman untuk belajar di antara kerumunan yang agak sangsi mendapati keberadaannya. Sisanya lagi, seperti biasa, Luna hanya mengharapkan sebuah ketenangan. 

"Oh, sorry, gua terlalu banyak ngomong, ya? Kalau dengan adanya gua malah ganggu lo belajar, gua bisa keluar du—" 

"Nggak sama sekali." Refleks, Luna menggelengkan kepalanya. Perempuan itu merengkuh  kedua lututnya yang menekuk sembari menoleh menghadap Tama. "Justru, aku senang kamu ada di sini."

Mendengar jawaban tersebut, Tama menghela napasnya lega. Ia tahu pertanyaan tentang keberadaan dan dampaknya yang akan saling mengganggu atau tidak, sudah berulang kali ia bicarakan dengan Luna. Namun, konteks menghadapi ujian jelas merupakan sesuatu yang berbeda. Tama paham betul bagaimana orang-orang perlu serius dan terhindar dari berbagai macam gangguan agar dapat menyerap bacaannya dengan baik.

"Kamu tau? Terkadang rasanya aku lebih mudah belajar kalau berdiam di tempat yang nggak berisik dan cenderung menenangkan. Tapi, di satu sisi, suasana yang sepi juga bisa bikin aku nggak bersemangat buat melakukan sesuatu. Semacam, kalau ternyata pikiran aku lagi bercabang saat itu, semua kesendiriannya sanggup mengalahkan fokus aku untuk mencoba memahami materi."

"Oh, ya?" Tama menjengitkan alis. Agaknya, apa yang Luna katakan barusan cukup bertentangan terhadap pola pikir Tama. Laki-laki itu termenung sejenak mengamati lanskap langit beserta kumpulan awan yang tersebar tipis di permukaannya.

Tentang suasana belajar yang paling baik itu sejatinya bagaimana, jujur Tama tidak terlalu mengerti. Dahulu, anak-anak pintar pula guru-guru di kelasnya suka memarahi Tama ketika mulutnya terlalu berisik bercengkerama dengan kawanan yang lain. Karenanya, memasuki pertengahan periode SMP, Tama lebih memilih sering membolos atau jika terpaksa harus menetap di kelas, ia akan tertidur pulas supaya tidak mengganggu murid yang serius ingin menimba ilmu.

"Gua juga nggak suka belajar sendirian. Selain karena susah atur fokus, kalau ada materi yang gua bingungin, gua nggak bisa tanya ke siapa-siapa dan itu bakal bikin gua tambah runyam sendiri. Ujung-ujungnya daripada gua frustasi terus-terusan pantengin soal-soal, ya, gua lebih pilih tenangin pikiran, misalnya jalan-jalan keluar atau cari tempat teduh kayak rooftop ini."

Bagi Tama yang pada dasarnya senang bersosialisasi, memiliki kelompok belajar adalah hal yang paling ideal untuk bisa memahami sumber bacaan. Namun, karena semua teman-teman di masa lalunya terlalu abai memperhatikan nilai, pula tidak ada satu pun dari anak-anak pintar yang mau mengajarinya, motivasi Tama terbiasa putus di tengah jalan setelah lelah mengkritisi serba-serbi kebodohannya.

"Tama, apa sekarang kamu lagi frustasi menghadapi pekan ujian?"

"Hm ... lumayan."

"Oh, aku bikin kamu teringat sama masalah itu, ya?" tanya Luna terlihat bersalah mendapati dirinya tengah belajar di hadapan Tama. Ia lantas merapikan kertas rangkumannya yang berserakan. "Maaf, harusnya tempat ini jadi zona tenang buat kamu. Aku nggak bermaksud untuk—"

"Lu, nggak begitu," celetuk Tama dengan cepat. Laki-laki itu menghela napasnya panjang masih melambungkan jarak pandangnya mengudara. Agaknya, ia dan Luna benar-benar memiliki kemiripan soal tidak mau mengganggu keberadaan entitas lainnya. "Justru, gua jadi berpikir, mungkin kebiasaan gua yang setengah-setengah dalam menghadapi pekan ujian itu sebetulnya salah. Bilangnya aja pengin tenangin diri sebentar, tapi ujung-ujungnya, gua keterusan dan malah mengabaikan kewajiban gua buat terus belajar memahami materinya."

"Tama, kamu tau, 'kan? Nggak ada yang salah dari membutuhkan waktu untuk beristirahat?"

"Gua tau. Tapi, semua orang di sini berusaha lebih keras dari apa yang pernah gua lakukan, Lu," kata Tama lantas mengakibatkan Luna utuh mengizinkannya berbicara. Tama melanjutkan, "Sama halnya kayak yang lo bilang barusan, walau kadang-kadang pikiran lo bisa runyam pas lagi belajar sendirian, kenyataannya lo masih mencoba untuk membaca kertas-kertas ini." 

Salah satu kertas laminating yang belum terambil oleh Luna, Tama apit kembali. Luna jelas memiliki metodenya sendiri untuk menyederhanakan rangkumannya. Sekilas, sekian perbandingan refleksi diri terhadap peserta didik yang lain mendadak terputar dalam benak Tama. Sekiranya, Tama pikir ia memang sangat kurang perihal berupaya. 

"Sekarang gua sadar masa istirahat dan strategi belajar perlu ditempatkan di porsi yang tepat kalau hasilnya mau sama-sama bagus. Jadi, buat kasus gua, gua bakal lepas hibur diri gua kalau ujiannya udah selesai nanti. Terus untuk masalah yang lo ceritain tadi, semisal lo lagi nggak bisa sendirian, mau coba pelajarin ini bareng gua?"

Lagi, setiap melihat Tama mengukir senyum dan mengulurkan tangannya begitu lapang, sepi di hati Luna mudah terusir diliputi kehangatan. Perempuan itu masih terdiam memperhatikan Tama yang sibuk membulak-balikkan sisi kertas rangkumannya. Luna terkekeh kecil. 

"Tapi, sebelum kita mulai, boleh lo kasih tau dulu ini cara maininnya gimana?"

Demikian, jam makan siang Tama yang durasinya terpapar lebih panjang, kali ini ia gunakan demi menemani Luna belajar. Segala rencana tentang ia ingin menarik napas sebentar selepas bertemu dengan Bu Siska lalu pergi ke kantin untuk mengisi perut bersama kawanan barunya pun terlupakan begitu saja. 

Di sela-sela Luna menjelaskan tentang cara bermain yang sempat Tama ajukan, ia pula dibuat terpukau oleh niat belajar Luna yang rajin sekali merangkum soal-soal yang sering dikeluarkan selaku bahan ujian pada potongan kertas tersebut. Bagian depan merupakan baris pertanyaannya sedangkan sisi belakangnya menampilkan jawaban yang tepat.

Bagi Tama yang selama bersekolah tidaklah familier terhadap metode belajar praktis seperti ini, semua tampak begitu mengagumkan di matanya. Namun, setelah Tama menyadari betapa bodohnya ia sampai butuh menanyakan mekanisme kartu hafalan tersebut kepada Luna, Tama merasa cukup malu akan statusnya selaku siswa di Bina Bangsa.

"Karena judulnya belajar bareng, kita ganti-gantian, ya, bacain soalnya? Dimulai dari kamu dulu."

"Eh? Gantian? Maksudnya, gua cuma mau bantuin lo aj—"

"Tama, pelajarin ini bareng kamu, artinya kamu jadi bagian juga di dalamnya. Kita ganti-gantian, ya?" ujar Luna mengulang kembali kalimatnya sembari tersenyum.

Mendapati lembut pengucapan serta air wajah tersebut, tentu Tama tidak berkutik membantah adanya permintaan Luna. Entah ia yang keliru mengutarakan kalimatnya atau Luna yang salah mengartikan, Tama lantas menghela napasnya panjang kemudian merubah posisi duduknya menyila untuk berhadapan dengan Luna. "Ya, udah, kalau lo maunya begitu. Dimulai dari gua dulu, ya?"

Setelahnya, Tama pun mendiktekan soal-soal pada potongan kertas tersebut sesuai petunjuk yang Luna terangkan sebelumnya. Dari cerminan akan sosoknya yang terbilang rajin, Tama sudah menduga Luna merupakan seseorang yang pintar sebab perempuan itu dapat langsung mejawab pertanyaan Tama tanpa kesulitan.

"Sekarang kamu yang coba jawab pertanyaannya, ya?"

Diliputi suasana layaknya kini, sebetulnya mengakibatkan eksistensi Tama cukup terintimidasi. Orang-orang seperti Luna dan lingkup pergaulan si kembar, entah mengapa mengingatkan Tama pada hinaan yang pernah ia terima—dari anak-anak pintar—di masa yang lalu. 

Mungkin, efek kesenjangan itu sampai sekarang masih membuat Tama merasa begitu rendah diri. Buktinya, sesaat Luna mengambil salah satu potongan kertas yang telah Tama susun secara bertumpuk di permukaan, dada Tama sontak berdebaran dihantui perkiraan bahwa ia tidak akan mampu menjawab soal-soal tersebut.

Dan benar saja, bahkan baru di putaran pertama ia dan Luna saling melempar pertanyaan, Tama sudah terdiam hanya bisa bergumam sembari menggaruk pelipisnya. Sebelumnya, padahal Tama yakin ia pernah membaca materi itu dari catatan si kembar. Namun, otaknya ternyata tidak sanggup menyerap materi demikian sempurna.

"Lu, gua nggak tau jawabannya." 

Alih-alih memperoleh kalimat ejekkan dan tatapan tak mengenakkan yang dicemaskan, Luna justru tersenyum tidak mengomentari kurangnya persiapan Tama sama sekali. Perempuan itu seketika membacakan jawabannya pelan-pelan agar Tama dapat mendengarnya secara jelas. Luna kemudian meminta Tama untuk mengulangi untaian kata yang ia ucapkan sampai laki-laki tersebut benar-benar hafal jika pertanyaan tersebut ia tanyakan kembali. Niat Tama yang semata-mata ingin menemani dan membantu Luna, lantas sungguh berubah menjadi belajar bersama.

Perasaan ini, seutuhnya terasa begitu berbeda terhadap pengalaman yang dahulu ia lalui di sekolah lamanya, tetapi juga sangat familier atas apa yang ditawarkan oleh lingkup pertemanan si kembar. Dalam benaknya, Tama mulai meragukan apakah semua orang pintar pasti memiliki sifat arogan yang berlebih? Mungkin, segalanya tidak bisa digeneralisasi sesederhana itu. Namun—yang pasti, menemukan variabel langka seperti ini, Tama tidak sama sekali ingin merusaknya.

"Oke, giliran lo lagi yang jawab, ya."

Menyisihkan sisi inferioritasnya di depan Luna yang kini Tama tahu perempuan itu tidak akan mempermasalahkan nilai kebodohannya, permainan pun terus ia lanjutkan hingga tumpukan kartu rangkuman Luna selesai dihabiskan. Dari sejumlah sepuluh pertanyaan yang tersisa untuk masing-masing pihak, Luna sanggup menjawab benar sembilan butir di antaranya, sedangkan Tama cukup kaget dapat menguasai lima soal menuju akhiran.

Selama prosesnya, setiap Tama berhasil menjawab satu pertanyaan secara benar, laki-laki itu selalu berseru dan mengepalkan tangannya heboh seolah hal tersebut merupakan suatu pencapaian besar. Luna yang memperhatikannya secara langsung lantas ikut tersenyum membayangkan hal yang sederhana untuknya, ternyata bisa terasa begitu membanggakan bagi pribadi lainnya.

Bagaimana cara Tama dapat menikmati kegiatan belajar dengan menyenangkan, semua tampak indah di surutnya mata Luna.

"Hah ... baru pertama kali ini di jam istirahat, gua malah belajar." Usai bertepuk tangan pula atas kehebatan hafalan Luna yang nyaris mendapatkan hasil sempurna, Tama pun menyerahkan kembali setumpuk kartu hafalan yang sudah dirapikan ke tangkupan jemari Luna. Laki-laki itu balik menyenderkan punggungnya pada sisi tembok. Kepalanya mendongak menikmati pemandangan.

"Tama, apa kamu pernah berpikir kalau belajar sebetulnya merupakan sesuatu yang menyenangkan buat kamu?"

Tiba-tiba, pertanyaan yang Luna ajukan sempat mengakibatkan Tama merenung sebentar. Laki-laki itu pun berucap, "Sesuatu yang menyenangkan dari belajar baru gua rasakan sekarang dan sisa waktu di masa sebelumnya nggak pernah sama sekali, Lu. Alasan gua selalu main keluar di saat pekan ujian datang itu, karena gua sering berpikir mau seberapa keras gua berusaha, semua bakal berujung sia-sia."

Sesaat interaksi di antara keduanya menurun kembali menjadi lebih damai, deru angin yang menyelir di sela-sela permukaan kulit pun terasa lebih tajam dan sejalan dengan itu pula, percakapan yang tersambung turut semakin terbuka menunjukkan kerentanan. 

"Gua kira, mengabaikan semuanya dengan bersenang-senang di saat itu adalah pilihan yang paling tepat. Tapi, di ujung hari, gua selalu menyesal pas nilai dan ranking udah keluar. Kayak, kenapa kemarin gua malah main seharian? Dan ... kalau misalnya gua memang nggak peduli sama ujian, kenapa semuanya bikin gua jadi kepikiran?"

Seraya mendengarkan, Luna menyenderkan kepalanya menyamping pada permukaan lengan yang memeluk masing-masing lutut. Ia menimang-nimang ada berapa dilema yang dahulu pernah Tama sesalkan, hingga sekarang laki-laki itu sangat sangsi menanggapi kebebasannya.

"Ya, mungkin dulu gua menyerah terlalu cepat. Semisal gua nggak berhenti dan lanjutin terus, barangkali gua baru bisa tau hasil sesungguhnya dari usaha gua itu gimana. Sama kayak gua yang awalnya pesimis bisa jawab pertanyaan dari kartu yang lo buat, ternyata pas mendekati akhiran, gua bisa jawab lima soal dengan benar."

Luna terdiam menanggapinya. Ia ingin menyanjung atas keberhasilan Tama menjawab lima pertanyaan tersebut, tetapi takut kalimatnya justru berbalik menyinggung sebab Luna sendiri tidak mengetahui soal tolak ukur pencapaian Tama.

"Jujur, gua nggak berekspektasi yang terlalu gimana, sih, buat ujian nanti. Tapi, melihat semangat belajar lo barusan, gua jadi sadar kalau gua nggak mau lagi mengulang kesalahan yang lalu. Ketenangan yang sedari dulu gua cari, mungkin bukan yang bersifat sesaat dan instan kayak melarikan diri. Tapi, lebih ke pas gua lihat daftar ranking itu, mau baik atau buruk hasilnya, dengan tenang gua bisa bilang kalau gua udah mengusahakan yang terbaik. Gua rasa lewat itu nggak akan ada penyesalan yang datang menghantui gua di ujung hari."

"Begitu?" ujar Luna ikut melambungkan netranya memindai langi-langit angkasa. Ia melanjutkan, "Aku suka."

Dua kata tersebut, responsnya sigap menyerap atensi Tama secepat angin berlalu. Kedua alis laki-laki itu berjengit. "Hm? Suka apa?"

"Konsep pemikiran kamu barusan. Aku suka," ucap Luna lagi, berupaya menjelaskan.

Tama mendengus kecil mentapati jawaban tersebut. Laki-laki itu kembali melempar pandangannya ke arah depan. "Kalau lo sendiri, apa yang lo harapkan di pekan ujian kali ini, Lu?"

"Apa yang aku harapkan?" Luna bergumam. Helai rambut panjangnya lembut tertiup angin seiring ia masih menimbang kalimat balasannya. "Mungkin, aku mau coba merealisasikan ide yang kamu bilang sebelumnya. Lepas menghibur diri kalau ujiannya udah selesai nanti."

"Maksudnya ... lo mau pergi main?"

Pertanyaan Tama tidak Luna balas dengan segera. Perempuan itu mengembuskan napasnya perlahan. "Sejenak melupakan baik atau buruk hasil yang akan didapat selesai pekan ujian berlangsung, teman-teman yang lain biasanya selalu merayakan jerih payah belajar mereka dengan pergi karaoke bareng, bersantai di kafe sampai larut malam, atau melakukan kegiatan lainnya yang menyenangkan. Untuk sekali, kayaknya aku mau coba merasakan itu."

"Lu...."

Meski Tama tahu, Luna cuma sedang mengutarakan harapannya yang sederhana, entah mengapa kalimat tersebut terjamah begitu memilukan di hati Tama. Sialnya, Luna masih saja sempat tersenyum sembari memeluk kedua lututnya yang tampak rapuh. Kesedihan itu, alhasil Tama tangkup sendiri sebab lagi-lagi Luna membungkus lukanya rapat seolah sepinya bukanlah suatu masalah.

Dalam benak, Tama bertanya-tanya telah berapa lama Luna berjalan mengitari dunianya sendirian. Mungkin, cerita di masa lalu Tama yang senang mengasingkan diri dan menutupi keberadaan baik di sekolah maupun rumah tidak apa-apanya dibanding Luna. Baik atau buruk lingkup pergaulannya, Tama masih dikelilingi lingkar pertemanan, tetapi Luna justru sebaliknya.

Hawa suram yang menguncup di sekujur tubuh Tama lantas mendorong naluri laki-laki itu ingin bergerak memeluk Luna. Namun, Tama paham betul akan batasan yang dimilikinya.  

"Pergi karaoke, main ke kafe, atau hal apa pun yang intinya menyenangkan, ya?" Tama menganggukkan-anggukkan kepalanya seolah memikirkan sesuatu. Beruntung, ia sanggup menyeimbangkan kestabilan diri untuk balik menghibur Luna. Suasana yang sebelumnya terasa dingin, lantas berubah kembali menghadirkan kehangatan. "Oke, kebetulan gua juga belum punya rencana apa pun selesai ujian nanti. Berhubung kita sama-sama nggak ada agenda, lo mau jalan bareng gua?"

"Hem? Jalan sama kamu?" Air wajah Luna, sekilas menampakkan raut kebingungan dan syarat ragu yang begitu kentara kala mendengar tawaran tersebut. 

Baru menyadari makna ucapannya barusan, Tama lantas ikut tergugup menelan ludah. Sial, apa secara resmi ia tengah mengajak Luna jalan berduaan?

"Ya ... kalau lo mau aja, sih." Terlanjur mengutarakan, Tama pun memutar bola matanya ke arah lain sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sesekali, ia melirikkan netranya ke sebelah sebab penasaran atas jawaban Luna. Perasaan canggung ini membuatnya tidak nyaman. Apa perempuan itu akan menolaknya?

"Aku mau."

"Iya?"

"Jalan sama kamu. Aku mau."

Mendapati persetujuan itu, Tama sontak membusungkan dadanya sambil menahan cengir malu-malu. Sesuatu di dalam perutnya, entah kenapa terasa gatal sehingga paru-parunya perlu mengambil napas panjang demi menangkal semburat ganjil tersebut.

"Oke," kata Tama lantas mulai berani menghadap Luna. Laki-laki itu tersenyum jahil. "Tapi, kita jangan pergi karaokean, ya? Suara gua kayak ibu-ibu lagi lahiran soalnya. Ntar, orang-orang pada salah paham lagi dikira ada kamar bersalin di tempat karaoke."

"Tama...." Celotehan tersebut, tentu membuat Luna lepas menghamburkan tawa kecilnya. Ia berujar menanggapi candaan. "Kamu ada-ada aja. Ya, udah kita nggak usah karaokean. Kasihan, nanti orang-orang keganggu dengar suara kamu ditambah aku." 

"Wah, Lu, suara lo jelek juga?" 

Luna mengangguk. Kekehan Tama yang langsung menyembur, spontan membuat Luna menyambung tawanya bersama-sama. Di tengah gejolak keceriaan yang terburai membesar itu, Tama pun berupaya menyanyikan lagu seriosa demi menunjukkan betapa buruknya pita suara yang ia miliki kepada Luna. Payahnya, baru tiga detik Tama membuka mulut, resonansi sumbang yang ia keluarkan di permulaan not langsung mengakibat Luna semakin tergelak tak terelakkan.

"Ah, kebanyakan makan gorengan kayaknya gua. Pas baru lahir suara gua bersih, kok, sumpah, deh, Lu."

Entah mengapa, sekadar mengamati bibir manis Luna dapat melengkung tipis di antara jari-jemarinya yang menutupi, Tama senang sekali. Sesuatu di dalam dadanya mendadak berdebaran, tetapi sebelum Tama mampu mengolah perasaan tersebut, bel tanda masuk kelas tiba-tiba berbunyi menantikan perpisahan.

"Yah, udah bel aja," ucap Tama menghela napasnya panjang. Laki-laki itu terdiam sebentar bermaksud menunggu Luna pergi turun terlebih dahulu. Namun, beberapa detik berlalu, perempuan tersebut tidak bergerak sedikit pun untuk merapikan barang bawaannya.

Tama yang bingung akan situasi kini lantas bergumam sembari mengangkat sebelah alisnya. Ia bertanya pada Luna, "Lu, nggak masuk kelas?" 

Deru angin yang bertiup menjadi satu-satunya suara yang mengisi pendengaran Tama saat ini. Luna terlampau sibuk memandangi dahan pohon besar yang menjulang tinggi dari laman arboretum di depannya. Sudut terpencil dari sorot mata itu kembali menjadi sendu.

Mendapati hal itu kembali, Tama tadinya sudah siap ingin menjulurkan tangannya untuk menarik atensi Luna. Namun, perempuan itu terlanjur menoleh seraya mengulas senyumannya. Maka, bersamaan dengan gestur lembut tersebut, Luna meminta satu hal lagi kepada Tama. "Tama, boleh aku tinggal di sini sama kamu lebih lama?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top