24. Figur
Di dalam padatnya ruangan yang terisi hiruk pikuk kesibukan para guru, seperti biasa Tama terduduk santai di hadapan meja Bu Siska sambil mengetukkan kakinya ke muka lantai. Punggungnya, bahkan tidak ia tegakkan sopan justru akrab menyenderkannya ke bantalan kursi. Sejatinya, Tama ingin mengatakan bahwa hubungannya dengan Bu Siska itu cukuplah dekat layaknya teman lintas usia, tetapi status wanita tersebut selaku wali kelas mengharuskannya mengevaluasi gerak-gerik Tama tiada kira.
Sebetulnya, Tama tidak mempunyai masalah terhadap kepribadian Bu Siska yang terkesan peduli dan pengertian. Namun, segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan interogasi antara guru dan siswa, tidak pernah sekali pun membuat Tama merasa nyaman. Tama tahu ia masih jauh terlepas dari sifat urakan. Oleh karenanya, menanggapi panggilan Bu Siska yang sepertinya ingin membahas terkait masa percobaan Tama untuk berubah di awal semester waktu itu, Tama sedia bersikap cengengesan demi menghindari keseriusan janji yang diam-diam tengah ia usahakan.
"Tama, kamu tau, 'kan? Sebentar lagi ujian tengah semester mau dimulai. Gimana persiapan belajar kamu?"
Mendengarnya, Tama tercengir singkat. Remaja laki-laki itu sempat melirik sekilas ke arah lain sebelum kemudian fokus menatap sang guru. "Muka Bu Siska, tuh, sebenarnya nggak ada kesan galaknya sama sekali tau. Tapi, kalau doyan tanya-tanya begini, Tama jadi merinding sendiri."
Seperti biasa, Bu Siska sudah tidak heran mendapati jawaban konyol tersebut. Bibirnya tadi ingin menekuk sebal, tetapi siswanya yang spesial terlanjur menangkal kekesalannya.
"Iya, beruntungnya telinga Tama masih berfungsi, kok. Tama tau kalau pekan UTS sebentar lagi bakal dimulai," ujar Tama melanjutkan. Dalam lubuk hatinya, jujur Tama ingin menambahkan bahwa setelah sekian lamanya—sejak hari kelam itu, ia tengah giat belajar berkat bantuan teman-teman barunya. Namun, Tama selalu ragu mengungkapkan intensinya untuk maju pada orang-orang yang bersemangat menaruh harapan. Takut semua berakhir omong kosong belaka dan ujung upayanya tetap menghasilkan kekecewaan.
"Ibu dengar, katanya kamu udah punya kelompok belajar baru, ya, sekarang?"
Mendadak, mata Tama membelalak. Alis remaja laki-laki itu berjengit mendapati kalimat wali kelasnya. "Hah? Bu Siska kata siapa?"
"Hem ... kata siapa, ya? Di sekolah ini, 'kan, Ibu punya banyak mata-mata," ujar wanita tersebut niat menjahili keterkejutan Tama. Ia menopang dagunya antuasias di atas meja. "Jadi, benar kamu udah punya kelompok belajar baru, ya, sekarang? UTS besok bisa naik betulan, dong, nilainya?"
"Jangan terlalu berharap begitu," balas Tama seraya menekuk raut wajah. Jemarinya bergerak asal di pegangan kursi. "Tama udah bilang, 'kan? Semua masih masuk masa percobaan?"
Bu Siska tersenyum. Dibandingkan seutuhnya pantas dicap selaku biang onar, siswanya yang bernama Pratama Kaiden Adnan menurutnya hanya sedang tersesat dan menjalani masa pemberontakan. Yang ia tahu mengenai latar belakang kehidupan remaja lelaki tersebut hanyalah, orang tua Tama mengalami perceraian dan mungkin bekas lukanya masih tersisa sampai sekarang.
Di mata Bu Siska, ayah Tama sebetulnya merupakan orangtua yang baik sebab setiap pertemuan antar wali murid dan guru diadakan, pria tersebut selalu menitip pesan untuk membimbing dan menjaga Tama dari kenakalan. Entah apa yang membuat Tama demikian sulit diatur, Bu Siska tidak terlalu mengerti seluk-beluk kondisi keluarganya.
Semester lalu, sebenarnya Tama sudah diurus oleh departemen konseling yang lebih ahli dalam mengintervensi kasus siswa bermasalah. Namun, setiap pertemuan dijadwalkan, Tama selalu kabur atau jika pada akhirnya ia terpaksa memasuki ruangan, remaja laki-laki tersebut hanya akan menjawab sekenanya saja sambil menutupi rahasianya melalui candaan ringan.
Mereka bilang, ada pemahaman semacam kita tidak bisa memaksa memberikan pertolongan jika seseorang tersebut tidak siap atau menolak untuk dibantu. Alhasil, penjagaan Tama dilepas kembali pada Bu Siska sembari memantau jika suatu saat nanti remaja laki-laki itu mulai terbuka terhadap bantuan konselor pendidikan.
"Iya, masih percobaan. Tapi, walau judulnya begitu, bukan berarti setiap bagian kecil dari progresnya harus diabaikan. Kamu setuju, 'kan, Tama?"
Dada Tama bergemuruh mendengarnya. Remaja laki-laki tersebut mengalihkan pandangan. Sial, kenapa Bu Siska jadi semakin menekannya? Seharusnya, hari itu ia langsung kabur saja dan tidak menanggapi permintaan Bu Siska soal menggarap perubahan. Sentuhan kecil semacam ini, agaknya mengingatkan Tama terkait kegagalannya menimba harapan guru-guru baik di masa lampau. Meski saat ini Tama sudah memiliki niat untuk menjadi lebih giat, Tama tetap merasakan cemas jika Bu Siska niat membahasnya secara terbuka.
"Terserah Bu Siska aja. Tama udah kasih peringatan, ya, pokoknya," kata Tama menghela napas panjang.
Menelaah sisi psikologis mungkin bukanlah bidang keahlian Bu Siska. Namun, wanita itu tau Tama tidak benar-benar abai terhadap kehidupannya sebagai pelajar. Di satu waktu menjelang ujian akhir semester lalu, Bu Siska pernah mendapati Tama terdiam di kelas—menggaruk kepalanya frustasi—berusaha memahami sumber buku bacaan. Beruntungnya, peristiwa itu bukanlah sebuah kebetulan sebab di hari-hari berikutnya, Tama mengulangi pola yang serupa.
Walau nilai ujian Tama berujung tidak seberapa adanya, semua guru juga tahu tekad seorang murid dalam belajar merupakan hal yang terpenting untuk diperhatikan. Maka dari itu, Bu Siska mau mengambil peran yang kedua kalinya selaku wali kelas Tama—terlepas kelakuannya yang sangat sulit diajak kerja sama.
Tentu, Bu Siska menyadari ada semacam tembok yang sengaja dibangun Tama secara kokoh demi menepis segala bantuan yang ingin ia berikan. Meski begitu, setidaknya Bu Siska yakin ia telah mendapatkan hati Tama. Sebab percaya atau tidak, siswanya tersebut memiliki kebiasaan unik untuk menyebut dirinya langsung sebagai 'Tama' ketika berbicara dengan orang-orang dewasa yang ia sukai.
"Ibu kira kamu sok jual mahal aja nggak pernah mau terima tawaran belajar bareng Ibu di semester lalu. Taunya kamu pengin berkelompok sama teman sebaya, ya?"
"Bu Siska!" seru Tama terkaget-kaget. Sadar bahwasanya ia telah bersikap berlebihan, remaja laki-laki itu lantas memperhatikan keadaan sekitar sebab lantang suaranya yang menguar. Sejurus kemudian, Tama menautkan alis. Ia berbisik hendak menjelaskan pembelaannya pada Bu Siska. "Tama nggak begitu, ya!"
Melihatnya, Bu Siska terkekeh kecil. Astaga, baru kali ini, sepertinya kuasa permainan dapat ia pegang sepanjang menghadapi siswa bandel tersebut. Ah, hari yang indah. "Gengnya Alfa, ya? Jangkauan sosial kamu bagus juga bisa berteman dengan mereka. Isinya anak-anak pintar semua, tuh," tanya Bu Siska kembali seraya mengamati gerak-gerik Tama yang terlihat gengsi mengacak rambutnya.
Tama tahu di dalam kelas, interaksinya terhadap Vero dan Revo sering terekspos, tetapi ia tak menyangka Bu Siska benar-benar mengawasinya hingga sejauh itu. Tidak, Tama tidak merasa keberadaannya cukup penting untuk diperhatikan. Ini pasti karena popularitas geng Alfa yang disebut berisikan anak-anak pintar.
Di lingkup Bina Bangsa, lingkar pertemanan tersebut tentu menjadi pusat perhatian kalangan guru-guru sehingga banyak dari mereka mulai mempertanyakan kenapa Tama yang notabenenya adalah seorang siswa berandalan, bisa bergabung dengan kelompok berbakat.
"Apa guru-guru yang lain suka gosipin Tama sejak Tama sering main sama gengnya Alfa?" ujar Tama tiba-tiba mengeluarkan sedikit kewaspaaannya. Mendadak, kecemasannya tentang takut membawa pengaruh negatif kepada mereka yang bernilai baik kembali hinggap dalam diri. Namun, Tama segera tersadar untuk mengambil kendali emosinya. Jadilah, ia menutup inti kalimatnya tepat di ujung serat lidah. "Tama bakal berusaha buat nggak bikin susah mereka."
"Loh, kenapa kamu bilang begitu?" tanya Bu Siska menjengitkan alis. Ia rasa, Tama cukup menampilkan beberapa reaksi yang berbeda dari biasanya hari ini. Sesuatu yang Bu Siska percayai barangkali remaja laki-laki itu tengah berupaya membuka diri, tetapi progres tersebut masih perlu dipupuk pelan-pelan. "Yang namanya pertemanan itu nggak ada yang saling menyusahkan Tama."
Seutuhnya, pernyataaan tersebut terdengar seperti kebohongan besar di telinga Tama. Remaja laki-laki itu tentu bisa menceritakan panjang pengalamannya pada Bu Siska terkait hal tersebut. Namun, ia tidak mungkin melakukannya. Mengorek masa lalu hanya akan membuat segalanya menjadi semakin sulit. Tama ingin fokus terhadap niatnya menambal semua kesalahan.
"Buktinya, sekarang Ibu perhatiin jatah bolos kelas kamu udah mulai berkurang, ya, walau di beberapa waktu masih suka kabur. Kamu itu...." Bu Siska menggelengkan kepala. "Ibu kadang pusing dengar keluhan guru-guru lain. Tapi, Ibu juga senang karena belakangan ini beberapa dari mereka ada yang mulai sadar akan perubahan kamu.
Entah ini karena efek pertemanan atau bukan, mungkin ketimbang memakai kata menyusahkan, persepsi kamu terhadap pergaulan harus dirubah menjadi saling menguntungkan. Bukan tanpa alasan, gengnya Alfa mau menerima kamu di dalamnya. Sebab, kontak sosial itu nggak bakal terbentuk kalau nggak ada kebermanfaatan yang bisa dipetik buat sesamanya. Jadi, kamu nggak menyusahkan siapa-siapa, Tama. Dan Ibu sangat menunggu kemajuan baru kamu yang lainnya."
Mendapatinya, Tama tercelus. Belakangan ini, ia sudah cukup kewalahan memproses kalimat positif yang disuguhkan Melvin, Luna, atau hangatnya lingkup pergaulan yang ditawarkan si kembar. Dorongan yang ia dapat dari cakupan teman sebaya, mungkin bisa Tama toleransi, tetapi sesuatu yang diucapkan oleh orang dewasa masih terdengar begitu ganjil baik di hati maupun telinganya. "Bu Siska kenapa jadi suka ngomong yang aneh-aneh, sih, sekarang? Nggak cocok tau," kata Tama tak sadar pipinya telah bersemu padam. Laki-laki itu mencebikkan bibir.
"Ya, ampun, Tama. Ternyata kamu bisa begini juga, ya?" ujar Bu Siska terkekeh melihat reaksi menggemaskan yang Tama keluarkan.
Ya, pada akhirnya, Tama tetaplah sesosok anak laki-laki yang membutuhkan banyak perhatian di usianya. Mungkin, campur tangan langsung dari orang dewasa masih terlalu sulit untuk menggapai banyak rahasia yang melatarbelakangi tindak kenakalan Tama. Menanggapi masa perkembangan remaja adalah periode yang paling membingungkan karena cirinya yang cenderung menutupi diri terhadap figur dewasa. Meski demikian, Bu Siska yakin sentuhan teman sebaya sanggup menjembatani kebutuhan tersebut. Asal intensinya dapat terbentuk dengan baik, biar hangatnya persahabatan yang merakit potongan luka Tama perlahan-lahan.
"Bu, kalau nanti progres Tama nggak secepat itu bisa berubahnya, Bu Siska jangan marah, ya?"
Keruh pertikaian yang terjadi sore ini, begitu membuat kesal seorang guru pembimbing olimpiade yang kebetulan tengah siaga menghentikan jalannya perkelahian. Ia membawa peserta didiknya duduk berhadapan di dalam kelas. Jam pulang sudah cukup lama berkumandang sehingga ruang konseling telah kosong ditinggalkan. Yang tersisa di sekolah kini hanyalah sekumpulan murid dan para penanggung jawab yang mengikuti kegiatan ekstrakulikuler.
"Angkasa, kamu kenapa nggak langsung pulang, sih? Kok, bisa selesai bimbingan kamu malah berantem di tengah lapangan?"
Remaja laki-laki itu menautkan alis. Ia berseru mengutarakan alasannya, "Saya nggak mungkin diam aja lihat sahabat saya dipukul sama anak-anak yang lain, Pak! Mereka main keroyokan tadi. Saya nggak mau Tama dibuat babak belur!"
Mendengarnya, guru tersebut menggelengkan kepala. Ia melirik sinis kepada siswa satunya lagi yang menjelma penyebab murid kesayangannya harus terlibat perkelahian. Meski melawan lima orang sekaligus, ia berani menjamin si pembuat onar tersebut tidak akan kalah.
"Kamu tau, 'kan? Sebentar lagi perlombaan kamu bakal dimulai? Kalau gara-gara ini kamu sakit gimana?"
"Saya nggak bakalan sakit," ujar remaja laki-laki itu membela diri. "Tapi, semisal begitu pun jadinya, saya nggak menyesal telah memilih melindungi sahabat saya daripada ikut perlombaan."
Helaan napas panjang terdengar dari cara pria tersebut merespons sebuah balasan. Ia menyerah. Murid kebanggaannya itu memang keras kepala menanggapi arti pertemanan.
"Ya, sudah, ini pereda nyerinya kamu bawa semua. Habis ini kamu langsung pulang, ya? Lukanya jangan lupa diobatin," ujarnya memberi seplastik bongkahan es serta sebotol obat merah yang diambil dari UKS kepada perserta didik andalannya.
Sambil menerima pemberian tersebut, ternyata remaja laki-laki itu tak kunjung melanjutkan langkahnya pergi ke luar kelas. Ia masih termenung di sana, menunggu sobatnya ikut berjalan bersisian. "Tama, ayo, pulang bareng."
Sudah menduga hal ini akan terjadi, pria itu lalu beranjak menepuk kedua pundak peserta didiknya. "Kamu duluan aja, Angkasa. Bapak masih mau bicara sama Tama."
"Tapi, Pak, Tama nggak bisa saya—"
"Nggak apa-apa, Sa. Lo duluan aja."
Melihat ke samping kiri hendak mengonfirmasi sebuah balasan, remaja laki-laki itu akhirnya terpaksa menyetujui selepas memberi satu persyaratan. "Gua tunggu di depan gerbang, ya?"
"Oke."
Dengan itu, siswa kebanggaan yang menuai banyak prestasi tersebut lalu mengangkat kakinya berat keluar kelas.
Ruangan pun seketika lengang diisi keheningan oleh dua eksistensi yang bertolak belakang. Remaja laki-laki itu menopang dagunya abai, sedangkan sang guru kembali menghela napasnya panjang kelelahan.
"Tama, kamu tau, 'kan? Seberapa terikatnya Angkasa sama kamu?" katanya mulai menuntut sebuah percakapan. "Bapak nggak akan tanya kenapa lagi-lagi kamu berkelahi di lingkup sekolahan. Yang Bapak pedulikan cuma satu, tolong jangan libatin Angkasa di setiap kekacauan yang kamu buat."
Sederhana kalimat itu, entah kenapa terdengar begitu menyakitkan dan masuk akal untuk diterima. Remaja laki-laki tersebut merasa terluka, tetapi juga tidak berdaya dalam menengahi keputusan. Alasan ia berkelahi, sebetulnya karena ada segerombolan anak-anak jahil yang terlebih dahulu mengganggunya. Mereka membawa topik soal ayahnya yang menikah lagi, kemudian menakut-nakutinya bahwa ia akan segera dilupakan. Sial saja di tengah pertikaian, sobatnya malah terjun ikut-ikutan.
"Kamu pasti tau, 'kan? Jejak prestasi Angkasa sebesar apa belakangan ini? Andai kamu benar-benar menganggap dia sebagai sahabat, tolong jangan bikin susah Angkasa. Setidaknya, kalau kamu masih mau berhubungan sama dia, coba tekan perilaku kamu yang selalu memicu keributan. Masa depan Angkasa terlalu berharga buat mengurus hal-hal yang kurang baik, Tama. Kamu yang sekarang cuma akan menghambat perkembangan dia."
Mendengar penuturan tersebut, remaja laki-laki itu lantas terdiam mengalihkan pandangan. Binar matanya layu memandangi langit senja yang tampak muram melewati celah jendela kelas. "Iya, saya mengerti, Pak," jawabnya pasrah di ujung pembelaan.
Bertanya-tanya, mulai sejak kapan hadirnya mengandung makna kerusakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top