23. Sementara

Terlepas dari lelahnya beraktivitas seharian ini, Tama menyempatkan diri untuk mampir ke tempat Melvin sambil menenteng plastik berisikan dua kotak martabak asin. Rasanya, karena beberapa minggu belakangan banyak hal terjadi memenuhi kehidupannya, Tama jadi kesulitan mengatur skala prioritasnya. Namun, sosok menyenangkan yang terkadang bisa beralih menjadi motivator abal-abalannya tersebut, tentu tidak akan Tama lupakan.

"Martabak!"

Terkejut mendapati gerakan Melvin yang terlalu tiba-tiba, alis Tama sontak mengerut sinis. "Woy, pelan-pelan, dong!" Beruntung, ia sigap menarik bungkusan martabaknya ke belakang badan. Netra Melvin masih berbinar menantikan. "Minimal gua disambut dulu, kek? Udah kayak setan aja lo main asal serobot!"

Melvin terkekeh menanggapi keluhan Tama. Laki-laki itu sengaja mengusap-usap perutnya ingin menunjukkan bahwa ia sangat kelaparan. "Kelamaan, Nyet. Lagian lo mau gua sambut kayak gimana, sih? Salim tangan lo sambil bilang 'Alhamdulillah, suamiku udah pulang?'"

"Dih, najis, Vin," ujar Tama menggelak tawa. Pada akhirnya, ia menyerah lantas meletakkan bungkusan martabaknya ke atas meja. Seperti biasa, Tama pun langsung merebahkan tubuhnya santai di sofa kesayangan Melvin. "Jangan suka bercanda begitu, ntar kejadian repot lo."

"Astaga, sembarangan banget lo, Nyet!" ucap Melvin sembari mengelus dada kemudian ikut duduk di sebelah Tama. Kotak kuning itu pun ia buka sigap mengambil dua potong martabak sekaligus, lalu menuangkan saus ke permukaannya. "Lo, sih, yang duluan suka ngomong begitu! Jadi, ikut-ikutan, 'kan, gua?" 

Bibir Tama mengulas senyum tipis mendengar pembelaan tersebut. Adapun, mendapati Melvin sangat lahap memakan martabak bawaannya, membuat Tama merasa sangat senang. Di dunia ini, ada dua hal yang Tama ketahui paling disukai oleh Melvin. Pertama pecel ayam Bu Lasmi, selanjutnya martabak asin.

"Ngomong-ngomong ... tumben banget lo bawain gua makanan lagi? Uang jajan lo udah balik?" tanya Melvin menjengitkan alis. Mulutnya tidak berhenti mengunyah martabak.

"Nggak, Bokap masih kurangin jatah jajan gua. Tapi, berhubung gua anak yang rajin menabung dan tidak sombong, buat beli beginian nggak masalahlah dua minggu sekali."

Mendengarnya, rahang Melvin seketika melunak. Ia meneguk ludah kemudian meletakkan kembali potongan martabak yang ada di tangannya ke dalam kotak. "Nyet, lo mana boleh begitu!" keluh Melvin seraya menautkan alisnya tajam menatap Tama. "Kalau nanti lo jadi makin kurus gimana?"

Sejatinya, sebelum jajan bulanan Tama dikurangi habis-habisan lantaran dicurangi kasus narkoba, ia sering berbagi kepada Melvin entah itu berupa makanan atau uang secara langsung. Meja biliar bekas yang tersimpan di tempat ini, bahkan banyak ditambal oleh Tama meski pembeliannya berjudul patungan bersama-sama. Menimbang kondisi Melvin yang harus menghadapi dunianya sendirian sejak memasuki periode remaja, tentu membuat Tama merasa iba ingin memberikan segala.

Tak jarang, dahulu sebetulnya Melvin juga suka meminjam uang kepada Tama untuk biaya konsumsi pangan sehari-hari. Namun—di ujung waktu Melvin rutin menyicil sesuai takaran yang disanggupkan, Tama jelas tidak akan tega membiarkan Melvin terus membayar hutang dalam keadaannya yang teramat kesusahan. Di tengah mencukupi biaya kebutuhan sekolahnya yang mendadak terputus sejak ditelantarkan orang tuanya, Melvin terpaksa perlu membanting tulang demi menafkahi kehidupannya yang tinggal sebatang kara bersama sang nenek. Nahas, satu-satunya wali yang sedari kecil setia mengasuh Melvin tersebut turut meninggal pula sebab ditelan usia sekitar setahun yang lalu.

Dibandingkan Tama sendiri yang memang jatah jajannya cukup berkurang sejak dikenai hukuman, Melvin tentu lebih pantas mengonsumsi asupan gizi yang seimbang. Meski kelihatannya otot-otot di badan Melvin cukup menonjol, tetapi semata-mata itu semua terjadi karena ia rajin bekerja dari pagi sampai malam sehingga yang lebih pantas ditakuti sebab proporsi tubuhnya yang mengurus adalah Melvin sendiri bukannya Tama. Di dalam rumah, setidaknya Tama masih disediakan berbagai macam lauk-pauk bernutrisi lain lagi Melvin tidak tahu pasti kapan perutnya dapat terisi. 

"Udah, sih, santai aja. Sekali-kali lo juga perlu makan enak, Vin."

"Nggak begitu! Gua makan nasi dikecapin sama kerupuk udah enak, kok!" seru Melvin sedikit membentak. Ia lantas segera mengambil potongan martabak yang baru untuk dimasukkan ke dalam mulut Tama. "Nih, lo makan juga!"

"Vin!" Tama terlonjak menegakkan setengah badan. Lagi-lagi gerakan Melvin gesit sekali. Hampir saja ia tersedak. 

"Awas, ya, kalau lo begini lagi! Gua nggak mau lo beliin gua sesuatu kalau lo sendiri kekurangan!" kata Melvin sekilas memancarkan sedikit raut bersalah di wajahnya. Sedetik kemudian, ia mengubah topik pembicaraan untuk mengalihkan lajur pikirannya yang berantakan. "Terus daripada itu, kayaknya lo beli martabak ini buat merayakan sesuatu, ya? Nggak mungkin, 'kan? Tiba-tiba lo bawa alasan rajin menabung segala, padahal udah dari kapan lo nggak pernah kasih jajanan lagi ke gua?"

Mengenai hal tersebut, Tama memilih tidak menjelaskannya secara gamblang. Pada dasarnya, sejak semester lalu Tama sudah rutin menabung sisa uangnya khusus dihadiahkan untuk Melvin. Namun, berhubung sekarang semua serba terbatas, Tama tidak lagi melimpahkannya dalam bentuk makanan karena dianggap boros sehingga ia ingin memberi Melvin mentahannya saja. 

Untuk saat ini, nominal celengan Tama masih belum seberapa. Namun, apabila nanti telah membengkak sedikit, sebuah kejutan akan Tama rayakan di hari ulang tahun Melvin.

"Vin, satu hari aja. Lo bisa nggak, sih, berhenti skeptis sama gu—"

Tring

Mendadak, kalimat pembelaan Tama tertahan oleh nada dering dari ponselnya yang menyala. Layar tersebut menampilkan sinar yang menyoroti masuknya sebuah pesan. 

Pengirim: Revo (si kembar bontot)

Besok pada mau belajar bareng di rumah Alfa, nih. Lo ikut, ya? Persiapan ujian ceritanya.

06.58 PM.

Sialnya, sebelum Tama dapat mengambil smartphone-nya yang ia letakkan di atas badan, netra Melvin telah terlebih dahulu membaca isi pesan tersebut. Merasakan adanya keganjilan yang melekat di masing-masing benak, Melvin dan Tama sempat beradu pandang barang sejenak. Senyum Melvin kemudian melebar sekian senti. Tama yang sudah menduga apa yang akan Melvin katakan selanjutnya lantas memejamkan mata ditutupi sebelah lengannya yang terangkat. 

"Cie! Resmi udah punya teman baru, nih, Nyet?" seru Melvin antusias seraya menggoyangkan bahu Tama berulang-ulang. "Haha ... bacot banget lo kemarin sok-sokan bilang nggak mau berteman sama bocah polos! Ujung-ujungnya sahabatan juga."

"Ck, apaan, sih, Vin?" keluh Tama mulai risih dengan lagat Melvin yang terlalu heboh. Ia membenarkan kaus serta seragamnya yang melorot sebab ditarik kencang oleh Melvin.

"Udah begitu diajak belajar bareng lagi! Asli, gua nggak paham, sih, lo kebentur apa sampai tiba-tiba mau lepasin prinsip lo yang sok kehebatan itu. Yang pasti, ini harus dirayakan lebih dari sekadar makan martabak. Gua senang banget, Nyet, lo mau mau berubah begini! Akhirnya, lo serius mau jadi anak baik! Bentar, gua bikin cocktail ala-ala dulu."

Beranjak sekilas pandangan, Melvin langsung berlari menuju area dapur. Ia membuka kulkas untuk mengambil beberapa bahan dasar minuman. Mengintip senyum Melvin yang mengembang begitu cerita dari posisi duduknya, Tama mendengus kecil tak ayal bebas melepas gengsi akan kemajuannya yang dipedulikan oleh Melvin.

Kepala gua kebentur omongan lo yang sok keren, Vin. Nggak apa-apa, 'kan? Kalau gua mau coba belajar dengan giat dan berteman bareng orang-orang lurus kayak yang lo bilang? batin Tama berharap.

"Vin, kok, cocktail, sih? Gua, 'kan, udah nggak minum alkohol!"

Mendapati protes tersebut, Melvin menepuk jidatnya. "Oh, iya, gua lupa! Maksud gua mocktail bukan cocktail, hehe." Barisan giginya terpampang rapi dari caranya tercengir.

 Ya, bicara soal alkohol, terkadang Melvin menyimpan persediaan tertentu di lemari pendinginnya. Walau Melvin sendiri sebetulnya sangat kekurangan soal uang, ada kalanya ia masih sempat membeli barang-barang tersebut guna meredakan keruh pikiran. Seorang laki-laki dan gaya pengelolaan emosinya saat benar-benar bersusah payah sendirian memang cenderung tak logis di satu titik. Sukar memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi masih bisa bergaya untuk menyanggupi sebotol minuman keras—walau dengan harga termurah.

Mesk demikian, Tama tidak menyalahkan Melvin atas perkara yang satu itu. Sebab, dahulu pun Tama sering berlaku serupa akibat terjerumus dalam gelapnya penjara kehidupan. Uang Tama banyak dikeluarkan selaku agenda pelipur lara yang bersifat sementara. Namun, kini mengetahui segala cara tersebut hanyalah sebuah fana yang tak sanggup menyembuhkan keadaan, sekarang Tama berharap sekian kebaikan akan datang menyertai kehidupannya maupun Melvin perlahan-lahan.

Penerima: Revo (si kembar bontot)

Bebas, gua bisa kapan aja asal jangan diajarin Alfa kalau masalah hitung-hitungan. Doi galak banget bawaannya :(

07.00 PM

"Nyet, es batunya lo mau seberapa?"

"Tiga biji aja, Vin. Lo tau, 'kan? Gua harus jaga pita suara gua," balas Tama sambil pura-pura menggosok lehernya.

Melvin terkekeh menanggapinya. "Dikira lo penyanyi kondangan apa pakai jaga pita suara segala? Nggak berkah, tuh, pernikahannya kalau lo yang isi acara."

"Omongan lo, Vin, lo kira mereka undang dedemit kalau gua yang jadi biduannya?"

"Ya, takut aja umur pernikahan mereka jadi nggak panjang kalau ada lo, Nyet."

"Si A*ji*g! Apalagi kalau ditambah lo, ya, Vin? Bisa-bisa pengantinnya lepas tanggung jawab semua itu main kabur pas udah punya anak."

"B*ngs*t! Bawa-bawa kisah hidup gua segala lo, Nyet!"

Gelak tawa kemudian terburai dari bagaimana Melvin dan Tama saling melempar sebuah candaan. Kalimat berisi ejekan sarkastis sudah biasa mengelilingi persahabatan mereka yang sejak kecil telah dijejalkan oleh pahitnya hubungan keluarga.

Pada satu sisi, ketika hening terbentuk kembali sebab Melvin sibuk mencampur bahan dasar minumannya, Tama utuh termenung menyenderkan kepalanya tepat di bantalan sofa. Seluruh perubahan yang gemar diusung secara positif oleh beragam pihak sebaya, belakangan ini tak lepas membuat Tama merasa resah apabila terlalu cepat berpuas diri. Tama enggan bersikap seolah mampu menjamin berbagai macam hal jika faktanya ia belum dapat membuktikan apa-apa.

Menyisir pada seorang sahabat yang mendadak melintas di benaknya, Tama berpikir perjalanannya masih cukup panjang untuk memperbaiki kerusakan yang ia buat di masa lalu. Walau begitu, tekadnya yang sudah bulat ingin Tama yakini sanggup menitih jalannya ke arah yang benar. Harap saja semua uluran tangan yang diterima mampu ia berdayakan sepenuhnya.

Sa, tunggu gua sebentar lagi, ya? Cukup sampai di mana gua bisa meyakinkan diri kalau gua bakal jadi teman yang baik buat lo, ungkap Tama dalam hatinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top