22. Terbuka
Menjelang berakhirnya petang di hari ini, tubuh Tama rasanya letih sekali, tetapi sejalan dengan itu pula, ia merasa senang sekaligus lega telah membuang tenaganya secara menyenangkan. Titik peluh masih berjatuhan membasahi kening dan tubuhnya. Tama meregangkan otot-otot lengannya sembari sesekali mengetukkan kaki di sepanjang langkahnya menuju halaman depan. Di sebelahnya, ada Zaki dan si kembar yang turut menemani selaku sesama pengguna kendaraan beroda dua. Alfa dan Farhan sudah terlebih dahulu memisahkan diri sebab parkiran mobil terletak di area belakang.
"Nggak kerasa udah mau UTS aja. Masuk kelas tiga, tiba-tiba semua jadi berjalan serba cepat nggak, sih?"
Ucapan Zaki mengambil alih atensi Tama. Laki-laki itu mendongakkan kepalanya memikirkan sesuatu yang tak pasti. Ia tidak membaur ke dalam percakapan yang kemudian disambung oleh Vero dan Revo.
Tadi pagi, Tama baru menyadari pada kenyataan bahwa sebentar lagi ujian tengah semester akan segera dimulai. Meski ia sudah banyak dibantu oleh Vero dan Revo terkait pemberian rangkuman materi, pengalaman di masa lalunya membuat Tama teramat ragu apakah ia mampu membuat perubahan di ranah akademik. Sejatinya, Tama tidak pernah membenci agenda belajar, tetapi ia tidak menyukai berlangsungnya pekan ujian. Sebab terlepas dari buruk atau baik nilai yang ia terima, semua usahanya selalu sia-sia di mata orang dewasa.
Kalimat merendahkan, sakit hukuman fisik, serta hal-hal lainnya yang bersifat menyesakkan selalu membuat Tama tidak percaya diri akan kemampuannya. Tama tentu mempunyai kemauan untuk berkembang. Namun, segala perlakuan kasar yang ia dapatkan cenderung mengakibatkannya mudah berhenti di tengah jalan.
"Persiapan belajar lo gimana, Tam? Rangkuman yang gua sama Revo kasih membantu, 'kan?"
Jujur, Tama tak tahu apakah ia sungguh terlahir berotak bodoh atau tidak. Sebelum berkenalan dengan lingkar persahabatan si kembar, Tama terbiasa memercayai apa saja yang orang-orang dewasa katakan mengenai dirinya. Ia itu tidak lebih dari sekadar pembuat onar yang terlampau menyusahkan. Namun, berkat hadirnya teman-teman pintar yang baru ia kenal di Bina Bangsa, Tama mulai meredefinisikan kembali terkait statusnya sebagai pelajar. Jikalau bahkan ia memang tidak pintar serta memiliki kesulitan belajar, bukan berarti semua harus dipasrahkan dan berhenti begitu saja, bukan?
"Santai, ini rangkuman boleh gua fotokopi sekalian, 'kan? Lumayan pas ujian bisa gua jadiin contekan di kolong meja."
"Lah, mana bisa begitu anjir! Lo nggak boleh curang kalau mau dapat nilai bagus!"
Mendengarnya, Tama tergelak. Ia lalu merangkul pundak Revo sambil menampakkan giginya yang berbaris rapi menghadap Vero. "Ver, adek lo gampang banget dikibulin, sih?" katanya kemudian beralih mengacak rambut Revo. "Gua bercanda doang, Rev. Tenang aja, catatan yang lo kasih nggak akan gua sia-siain. Gua bakal serius belajar, kok."
Benar, teman-teman barunya ini merupakan kalangan berkualitas. Cara kotor yang dahulu Tama pikir dapat menghindarinya dari hari-hari kelam, kini tidak mungkin ia lakukan lagi jika niat membuat perubahan yang berarti. Jantung Tama pun berdegup kencang karenanya. Ia merasa bersemangat, tetapi takut jikalau ia tidak bisa menjamin apa-apa, seperti di sekian urutan waktu sebelumnya.
"Tam! Jangan suka acak rambut gua kayak anak kecil!" keluh Revo mencebikkan bibir, sedangkan Tama malah bersikap semakin jahil menjulurkan lengannya. Meski setengah tindakan tersebut ia lakukan demi mengalihkan rumit pemikirannya, Tama tidak menyesal telah menerima tawaran pergaulan si kembar.
Di tengah pertengkaran kecil tersebut, tiba-tiba atensi Tama tercuri oleh hadirnya seorang perempuan yang sedang terduduk menunggu jemputan dekat area gerbang sekolah. Pergerakan Tama pun seketika terhenti yang lantas membuat bingung Vero, Revo, dan Zaki. Usai ketiga remaja tersebut mengikuti arah pandang Tama, barulah mereka paham kenapa.
"Tuh, 'kan? Gua bilang juga apa! Tama lihatin Luna, tuh, tatapannya persis kayak pemburu!" bisik Revo seraya menyikut pinggang Vero dan Zaki berbarengan.
Di sisi lain, Tama masih terpaku dalam posisi berdirinya. Kalimat yang Revo ucapkan tidak ia dengar sebab berbagai macam emosi sedang mengisi lubang hatinya. Tama tidak tahu persisnya sejak kapan, Luna mulai menaruh efek yang besar terhadap dirinya
"Lo bertiga balik duluan, ya. Gua mau ke sana dulu," ujar Tama tercengir enteng lalu meninggalkan Vero, Zaki, dan Revo—yang tercengang menganga—di tempat.
Laki-laki itu berlari kecil mendekati Luna. Sejujurnya, ia masih kesulitan memproses apa yang menyebabkan jantungnya berdetak lebih cepat ketika melihat Luna di depan mata. Yang pasti sesederhana bahwa ia tengah menyimpan ketertarikan khusus, seperti apa yang dikatakan Farhan di kantin waktu lalu, mungkin tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Sebab dibandingkan murni dilanda kasmaran, perasaan cemas, takut, dan sedih turut mengerubungi dada Tama sesaat menangkap presensi Luna.
Menurut Tama, Luna bukan sekadar primadona yang mampu membuat kaum laki-laki saling berebut mengejarnya. Pandangan Tama mengenai Luna, tentu jauh lebih rumit daripada itu. Sesuatu tentang Luna membangkitkan kesan yang terasa dekat dan familier, tetapi Tama masih belum mampu memecahkannya.
"Lu...!"
Mendapati panggilan singkat yang sengaja dibuat panjang dan menggemaskan tersebut, Luna menoleh ke sumber suara. Sekitar 5 meter dari posisi duduknya, Luna menemukan seorang laki-laki tengah tersenyum sambil melambaikan sebelah tangannya. Cerah sapaan tersebut mengakibatkan Luna turut melekuk garis manis di bibirnya. Entah kenapa, aura laki-laki itu selalu memancarkan kehangatan.
"Lagi tunggu jemputan?" kata Tama setelah berhasil menghampiri Luna lalu ikut duduk di sebelahnya. Wajahnya terlihat antusias ingin mengajak Luna berbicara, tetapi tak lama kemudian ia malah menggeser pantatnya jauh ke pinggiran tembok. Tama baru sadar sekujur tubuhnya sedang basah akan keringat. Khawatir ia mengeluarkan bau yang menyengat, jadilah Tama menyenderkan punggungnya di situ sembari aman menghadap Luna.
"Iya. Kamu habis main bola, ya?" tanya Luna menerka dari lelahnya penampilan Tama.
Laki-laki itu mengangguk. "Ya, begitulah. Ini kali pertamanya gua ikut turnamen bola di sini. Ternyata seru juga."
Luna merapikan rambut panjangnya ke belakang bahu. Terkadang—karena pada dasarnya Luna jarang memedulikan jangkauan sosialnya, ia lupa bahwa Tama merupakan siswa pindahan. "Oh, ya? Aku ikut senang kalau begitu. Melihat sepertinya sekarang kamu udah nggak terlalu menghindari pertemanan, semua memang nggak seburuk itu, 'kan?"
Tama mendengus kecil seraya mengalihkan pandangannya ke samping. Luna benar. Semua memang tidak seburuk yang dahulu ia bayangkan. Setidaknya, untuk sekarang. Jujur, Tama masih bingung dengan cara apa ia dapat membalas setiap kebaikan yang ia terima. Sebab menurut Tama, nilai pergaulan itu hubungannya harus bersifat dua arah.
"Masih terlalu cepat untuk memastikan kebenarannya, Lu. Cuma gua rasa, nggak ada salahnya buat mencoba," ujar Tama mengacak pelan rambutnya yang lembab, sedikit malu-malu. "Gua masih menganggap diri gua itu sebetulnya buruk. Tapi, berkat ucapan lo kemarin, gua jadi penasaran apa gua benar-benar menyimpan kebaikan di mata yang lain." Laki-laki itu kini melemparkan pandangannya ke belakang. Ia memperhatikan Zaki, Vero, dan Revo yang tengah melaju ke parkiran motor.
"Mungkin kamu masih ragu, tapi aku yakin teman-teman kamu pasti bahagia bisa berkenalan sama kamu," balas Luna mengikuti arah pandang Tama. Perempuan itu mengukir senyuman yang menenangkan. "Soal kamu yang punya banyak sisi menyenangkan, aku nggak bohong, Tama. Semoga, perlahan kamu sanggup menyadari seberapa baiknya kamu di mata yang lain."
"Lu...." Lembut gestur dan perkataan itu, entah kenapa membuat hati Tama terasa hangat. Tama tidak mengerti bagaimana kalimat baik Luna mampu memengaruhi emosinya kian beterbangan. Dadanya terasa sempit, tetapi bukan karena terimpit sesak melainkan terisi sejumlah harapan.
Tiba-tiba, Tama jadi mengingat kembali soal Luna dan rumahnya yang entah seperti apa kabarnya sekarang. Selintas saat Tama melihat Luna di seberang tadi, tatapan perempuan itu cenderung kosong dan muram di beberapa titik. Olehnya—bukan tanpa alasan, Tama selalu berusaha mengeluarkan energinya yang super ceria ke hadapan Luna.
Di mata Tama, Luna jauh menyimpan banyak rasa sakit dan sepi yang dibiarkan tertumpuk sendirian. Dibandingkan Tama, mungkin Luna lebih pantas mendapatkan seorang teman untuk menghiasi hari-harinya. Kehadiran Luna pasti akan membawa setangkup kebaikan bagi siapa pun yang berada di dekatnya. Sebaliknya, Tama masih jauh berseberangan.
"Kalau dipikir-pikir, kayaknya gua belum pernah jujur soal keadaan gua ke lo."
"Hem?" Luna bergumam. Ia menelengkan kepala lantaran raut wajah Tama tampak memudar sesaat mengucapkan kalimat tersebut.
"Lu, hari-hari gua sebetulnya nggak pernah baik-baik aja selama di Bina Bangsa. Bukan cuma di sekolah, sih, di rumah juga," ujar Tama merasa berat sehingga butuh menundukkan sedikit kepalanya. Ia tidak terbiasa terbuka mencurahkan isi hatinya. Namun, entah mengapa semua terbilang berbeda di depan Luna. "Tapi, sejak gua kenal dan bicara sama lo, pelan-pelan gua punya keinginan untuk membetulkan apa yang salah di hidup gua. Mungkin, karena dulu gua banyak menyimpan semuanya di kepala gua sendiri, segalanya jadi terkesan membingungkan."
Luna termenung. Ini kali pertamanya Tama berlaku jujur soal memaparkan keadaan. Sepintas kalimat terkait rumah laki-laki itu yang turut menyumbang kontribusi perihal keadaannya yang tidak baik-baik saja, berhasil mengejutkan batin Luna. Ternyata, Luna masih belum banyak mengetahui tentang seorang Pratama Kaiden Adnan.
"Lu, lo masih ingat, 'kan? Penawaran gua soal kita yang bisa saling berbagi waktu itu?" kata Tama mulai mendongak sambil mengangkat sebelah alisnya. Ia menghela napas panjang. "Gua pikir, awalnya agak picik memang gimana tiba-tiba gua mengucapkan hal tersebut, sedangkan gua sendiri masih ragu buat jujur sama lo. Tapi, lewat pengakuan gua barusan, gua harap semua kebohongan gua udah terbayar. Sepenuhnya, gua percaya lo nggak bakal laporin tempat persembunyian gua atau rahasia yang gua punya. Karenanya, semisal ada sesuatu yang mengganggu di pikiran lo juga, lo boleh cerita ke gua, Lu. Tentang rumah atau hal apa pun, gua akan ada di sana."
Petang itu, disusupi gradasi langit jingga yang semakin sendu dimakan lembayung, Tama menyempurnakan janjinya yang dahulu masih diselingi kewaspadaan. Meski belum tahu banyak tentang seluk-beluk kehidupan laki-laki itu, Luna paham keikhlasan dalam membuka diri merupakan sesuatu yang sangat mahal untuk ia terima dari seorang Tama.
Menimbang masing-masing sudah membeberkan kilas inti rahasia terbesarnya, sekarang Luna pikir kawanan penyendiri ini bisa mulai silih berganti memercayai. Walau ke depannya nanti akan ada cerita yang teramat sakit bila dirangkai secara berulang, mungkin semua memang pantas untuk didengar dan dibicarakan.
Luna berterima kasih di ujung rumahnya yang segera hancur berantakan, Tuhan sempat mengirimkan seorang Tama dalam hidupnya.
"Makasih, Tama. Semua akan aku ingat-ingat ke depannya," ujar Luna tersenyum tipis, merasa damai di tengah kesulitannya.
Melihat binar kecantikan yang memancar cerah di wajah Luna, pipi Tama pun mendadak bersemu panas sedangkan tenggorokannya terasa serat. Laki-laki itu berdeham singkat melayangkan netranya ke pulasan langit berwarna ungu. "Ya, itu harus banget lo ingat."
Tanpa disadari, jauh di seberang pos satpam, ada seorang ketua Patroli Keamanan Sekolah sedang mengamati dengan sinis jalinan interaksi tersebut. Meski pernyataan cintanya yang tersirat sudah pernah ditolak sebelumnya, laki-laki itu masih pantang menyerah untuk mendapatkan hati Luna.
Dalam benaknya, ia begitu mempertanyakan mengapa Luna bisa merasa nyaman di sekitar siswa pindahan yang dilabeli selaku biang onar tersebut. Cemburu di hatinya terlanjur menguasai negatif pikiran.
Entah apa hubungannya laki-laki tersebut dengan Luna, ia dapat memastikan bahwa Luna jelas tidak pantas bersanding di dekatnya. Laki-laki itu tidak mengandung kebaikan. Luna harus jauh-jauh dari inti kerusakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top