21. Khawatir
Sore ini, sengat terik yang sudi membakar kulit sejak siang tadi, perlahan mulai dipadamkan oleh petang yang gemar melayurkan kehangatan. Beruntung, bagi siapa pun yang senang beraktivitas di luar ruangan, pergantian cuaca layaknya kini dapat menghindarkan mereka dari agenda berpanas-panasan.
Seperti halnya yang terjadi pada lingkup stadion SMA Bina Bangsa, lapangan tersebut sekarang tengah ramai dikerumuni senior laki-laki yang kompak niat menggelar turnamen sepak bola persahabatan. Seluruh skema pertandingan kelas XII telah selesai dilaksanakan. Sehingga, kini adalah waktu di mana masing-masing tim mulai mengatur strategi penggabungan.
Data pemain unggulan dan akumulasi skor kemenangan disebar melalui sosial media oleh panitia penyelenggara sebagai acuan memutuskan pilihan. Kelas yang secara umum mendominasi laga sementara terpampang nyata. Sebaliknya, pemain yang memiliki potensi besar, namun tidak dilengkapi komposisi tim yang baik juga terlihat di sana.
"Tam, lo oke, 'kan, kalau join sama mereka?"
Pertanyaan Revo mengalihkan atensi Tama. Laki-laki itu menyeka keningnya yang berkeringat menggunakan kain baju lalu mengangguk-angguk seolah tidak masalah akan keputusan tersebut. "Kenapa, nggak?"
Sesuai perkiraannya, lingkar persahabatan si kembar memang sangat solid menjalankan sesuatu bersama-sama. Belum sempat Tama selesai menilik performa tim lain, Vero dan Revo sudah menghasut anak-anak sekelasnya untuk bergabung dengan regu Alfa, Farhan, dan Zaki. Payahnya, mereka langsung setuju saja seakan latah mengambil kesempatan melebur dengan kelompok yang kuat. Katanya, sih, mereka bertiga merupakan komponen sakral yang berhasil memenangkan turnamen tahun sebelumnya. Alfa dan Farhan menjelma penyerang andalannya, sedangkan Zaki selaku gelandang tengah—yang baru Tama ketahui merupakan ketua ekskul taekwondo—sanggup menginisiasi strategi permainan secara sempurna.
"Oke, gua daftarin ke panitia, ya!"
Tama menghela napas panjang. Ia mengambil minuman isotonik dingin yang terkapar di rerumputan. Tak sengaja—usai membungkuk ke hadapan, pandangan laki-laki itu terpancar lurus menemukan Alfa yang duduk di bangku tribun depan. Anehnya, meski sejuk angin sedang menyelir ke setiap penjuru lapangan, di satu titik wajah Alfa tampak mengeruh kelelahan. Tidak seperti Tama yang harus menyelesaikan satu pertandingan sebelumnya, kepentingan Alfa di sini murni hanya untuk meramaikan jadwal penyatuan.
"Kenapa muka lo kusut? Di pertandingan berikutnya, gua nggak bakal menyesal, 'kan, karena udah terima tawaran sekelompok bareng kelas lo?" Akhirnya, memutuskan mendekati lelaki tersebut, Tama melontarkan kalimat sindiran sambil menunjukkan layar smartphone-nya. Ia bermaksud menyinggung tentang Alfa yang tak banyak mencetak gol di sepanjang pekan pertandingan sebelumnya, tetapi tentu semua cuma didasari dengan candaan semata. "Kayaknya orang-orang melebih-lebihkan performa lo?"
Alfa menautkan alisnya kepada Tama. Laki-laki itu memejamkan netra tak ingin memedulikan. Namun, ujung-ujungnya ia pun tak terima diremehkan. "Ini masih awal. Lo yang harus berhati-hati karena setelah pertandingan aslinya dimulai, spotlight top striker lo bakal gua yang pegang."
Mendengarnya, Tama terkekeh. Di laga permulaan antar kelas XII saat ini, Tama menjelma pusat perhatian baru sebab paling banyak membobol gawang. Mengakui ia merupakan seseorang yang sangat berbakat di bidang olahraga? Mungkin tidak sebegitunya, tetapi Tama sadar pengolahan daya kinsestesisnya jauh berada di atas rata-rata. Barangkali, saking terlalu lamanya Tama tak bermain bola sejak dikenai hukuman dan mengunci pergerakan sosialnya di Bina Bangsa, ia jadi kelewat bersemangat mengikuti permainan. Tak sadar, kumpulan tenaganya malah tersalur secara berlebihan.
"Bohong, tuh! Si Alfa cuma galau aja karena seminggu kemarin, Karin sibuk siapin lomba sampai jarang lihat dia main bola. Bisa-bisanya orang lagi tanding dia malah cemberut di tengah lapangan."
Tiba-tiba, dari arah samping Zaki datang menimbrung. Laki-laki itu mencebikkan bibirnya sengaja ingin meledek Alfa.
"Oh, besok berarti kalau pacarnya nggak datang lagi, gelar top striker-nya bakalan terus dipegang gua, dong? Gua doain aja apa? Supaya ceweknya Alfa sibuk lomba terus?"
Mendapatinya, Alfa langsung membelalakkan mata, sedangkan Zaki menggelak tawa. Bahu Tama seketika dirangkul Zaki seolah ia telah menganggap Tama selaku teman sepermainannya yang hobi menjahili Alfa sekarang.
"Ck, lo berdua resek!" Alfa mendengkus sebal seraya mengalihkan pandangan.
Menjengitkan alisnya kepada Zaki, Tama pun memberi kode bahwa sang target tampaknya sudah mulai kesal, padahal celotehan Tama masih jauh dari taraf menyebalkan. Alfa, sepertinya sangat sensitif jika membahas hubungannya dengan sang pacar ke dalam percakapan.
"We're just kidding, Fa. Kemarin itu perlombaan terakhirnya Karin, 'kan? Next time, dia pasti bakal datang, kok." Zaki yang sudah terbiasa menangani sikap merajuknya Alfa, lantas memilih duduk di sebelahnya.
Tama yang tetap memperhatikan dari posisi ia berdiri, anehnya merasakan sebersit kegusaran dari gestur Alfa yang terdiam sejenak sambil mengetukkan kakinya ke lantai.
Beberapa detik kemudian, Alfa berujar, "It's not that I want her to stop developing her skill just to see me playing football. It's just that, I want to spend the most time with her before we might be separated after graduation."
Kalimat tersebut, sontak membuat Tama dan Zaki utuh bungkam selepasnya. Di balik sikap Alfa yang kesannya begitu dimabuk cinta oleh Karin, ternyata lelaki tersebut menyimpan kekhawatiran besar tentang terjadinya perpisahan.
"Karin memang nggak berencana untuk daftar ke satu universitas yang sama bareng lo, Fa?"
"We haven't talked about that yet. I'm afraid of what might become."
Bergumam sebentar, Tama pun ikut duduk di samping kiri Alfa. Laki-laki itu menopang tubuhnya ke belakang menggunakan kedua permukaan tangan. Ia berkata, "Kalau lo simpan sendiri, justru bukannya bakal bikin lo semakin takut, ya?"
Alfa termenung. Keningnya mengerut tipis memikirkan sesuatu. Namun, perenungan Alfa kilat terbuyar sebab sejurus kemudian Zaki menyenggol lengannya.
"Tau, tuh. Gua kira lo udah lebih tegas buat mengutarakan keinginan lo."
"I'm trying okay? Meskipun selama ini gua selalu berusaha untuk menjadi lebih baik, bukan berarti sewaktu-waktu gua nggak bakal balik ke posisi itu lagi. Karina merupakan hal teristimewa yang terjadi di kehidupan gua setelah sekian lamanya. Don't you think it's normal for me to worry about my relationship with her? I don't want to hold her back, but also I don't want to lose her."
Zaki menghela napasnya panjang. Ia tidak bisa menyangkal kalimat tersebut. Meski ia dan pacarnya—Rania—sudah sepakat soal mendaftar ke kampus yang serupa, terkadang Zaki suka mengkhawatirkan apakah rencananya dapat berjalan lancar atau tidak. Semenjak menyadari fase remajanya akan segera beralih menyentuh awal kedewasaan, mendadak semua terasa begitu abu-abu untuk diraba.
"Lo kayaknya sayang banget, ya, sama pacar lo?" Dari arah samping, Tama menyambung percakapan yang tak ia sadari malah berubah menjadi serius.
Menanggapinya, Alfa berujar tandas."Of course I'am!"
"Iya, biasa aja balasnya. Gua, 'kan, cuma tanya," ucap Tama tercengir sambil menggelengkan kepala. Tampaknya, pertikaian batin itu cukup mengganggu ketenangan Alfa. Tama menimang-nimang apa yang perlu ia ucapkan agar sanggup meredakannya. "Fa, gua cuma mau mengingatkan sisa waktu di kelas tiga ini nggak banyak."
"Gua tau, gua udah bilang, 'kan? Itu yang bikin gua cemas belakangan ini?"
"Bukan, maksud gua, artinya daripada lo runyam sendiri memikirkan hal tersebut, mending lo buru-buru bilang ke cewek lo sekarang."
"What if she doesn't like my idea? Semester lalu, Karin sendiri yang minta membatasi jarak sama gua biar masing-masing punya kesempatan buat mengembangkan diri."
"Tapi, waktu itu lo belum punya kecemasan tentang waktu yang semakin menipis, jadi sekarang lo mau berlama-lama ada di dekat dia, 'kan?"
Sanggahan kalimat tersebut menghantam keruh pikiran Alfa. Kedua alis aki-laki itu tertaut melayu. "Apa itu bakal jadi pilihan yang tepat? Gua khawatir permintaan gua yang satu itu bakal membebani dan bikin Karina risih. Karena, belakangan ini gua merasa kalau ternyata gua sedikit ... posesif."
"Sedikit lo bilang? Astaga, Fa! Dari awal kadar posesif lo itu udah overdosis tau?" celetuk Zaki yang membuat Alfa kembali menajamkan raut wajahnya.
Tawa Tama terburai melihat interaksi antar dua sahabat tersebut. Selintas, senyum kecut Melvin ketika ia jahili mendadak terbayang di benak Tama. "Terserah, gua nggak tau, sih, ucapan siapa dari lo berdua yang paling benar. Tapi, memiliki perasaan untuk nggak mau kehilangan seseorang, menurut gua merupakan suatu keunggulan selagi implementasinya nggak berlebihan. Selama ini, lo pun udah banyak menahan diri, 'kan? Pacar lo pasti bangga punya cowok yang bisa mengerti keadaannya. Dan kondisi itu, perlu berlaku sebaliknya juga."
"Hm?" gumam Alfa membutuhkan elaborasi lebih lanjut.
Tama meneruskan, "Maksudnya, walau gua sendiri bukan cowok yang bisa berbangga atas pengalaman berpacaran yang gua miliki, gua yakin semisal lo berdua memang saling suka, cewek lo bakal senang bisa mendengar kekhawatiran lo. Karena dalam sebuah hubungan, sebenarnya yang paling menakutkan adalah nggak tau sama sekali apa yang sedang dipikirkan oleh pihak yang kita sayang. Menyadari ada yang diam-diam menyimpan derita itu sakit, apalagi kalau lo nggak diizinkan buat membantunya."
Bertepatan kalimat itu selesai diucapkan, selir angin tiba-tiba mendatangkan senyap yang menyapu ketiga tubuh remaja lelaki tersebut. Tama yang sedari tadi berbicara sambil menatap luasnya angkasa, lantas menoleh ke sebelah sebab Alfa dan Zaki tidak merespons omong kosongnya. Kedua teman barunya tersebut tengah memandanginya begitu serius.
Sial, apa ucapan Tama barusan terdengar aneh bagi mereka? Semua pasti gara-gara Melvin yang gemar mengatainya sensitif dan menceramahinya, seperti orang tua! Buru-buru, Tama melontarkan candaan demi mencairkan suasana. "Kenapa lo berdua lihatin gua begitu, sih? Naksir, ya?"
Sontak, Zaki memegangi perutnya seolah ingin muntah, sedangkan Alfa memijat keningnya sembari memejamkan mata. Tama tergelak mendeteksi kilat perubahan ekspresi tersebut.
"Jangankan gua sama Alfa, lo didandanin jadi banci pun om-om nggak bakal ada yang mau, Tam! Tipe body lo itu cowok banget! Nah, kalau Alfa masih mungkin. Pas SD, soalnya dia pernah dibilang imut-imut sama guru-guru. Asal sekarang hobi olahraga sama galaknya dikurangin sedikit aja, pasti—"
"Zak! Lo mau cari mati, ya?!" Mendadak, tahu masa kelamnya tengah diumbar tanpa aba-aba, Alfa langsung memiting leher Zaki dan membengkap mulutnya rapat-rapat.
Tama yang tadinya ingin melebur di antara keseruan tersebut, terpaksa harus menahan tawanya sesaat netra tajam Alfa bergerak mengancam untuk tidak memperpanjang bahasan. Laki-laki itu benar-benar menyeramkan! Namun, pernyataan Zaki tentang masa lalu Alfa yang berkebalikan membuat Tama begitu penasaran bagaimana fase pubertas mengubah dinamika seorang Alfa.
"Tam! Ke sini sebentar, dong!"
Mendadak, panggilan tersebut mengalihkan atensi Tama. Di seberang sana, Vero tengah melambaikan tangannya yang menggenggam secarik kertas bertabel rapi. Mungkin, ada kepentingan data dirinya yang butuh dicatat ke dalam situ. Sebab, sepanjang Tama bersekolah di Bina Bangsa, setiap pengelolaan kegiatannya selalu diatur secara terstruktur dan ruwet secara bersamaan.
"Gua ke sana dulu, ya?" ujar Tama seraya berdiri menepuk bahu Alfa dan meninju tangan Zaki. Permintaan Vero demikian menjelma alasan Tama untuk meninggalkan dua sobat karib tersebut. Namun, sebelum utuh memutus kontak, Tama sempat menghadap Zaki demi memancing perkara yang tertunda. "Oh, Zak, cerita kecilnya Alfa yang imut-imut tadi jangan lupa kasih tau gua, ya? Di belakang aja, biar si Alfa nanti nggak—"
"Berisik! Buruan pergi lo sana!" sela Alfa hendak menerjangkan kaki jenjangnya, tetapi tidak mengenai Tama lantaran laki-laki itu sigap berlari sambil cengengesan.
Zaki pun tidak berkutik memburaikan tawanya lalu mengacungkan jempol kepada Tama. Melihatnya, Alfa mengembuskan napas kasar mempertanyakan kenapa ia malah terpicu emosi oleh tindak kekanak-kanakan tersebut.
Sesaat suasana yang lebih damai tenang meliputi di antara keduanya, Alfa dan Zaki lantas sama-sama termenung memikirkan hal yang urung dikeluarkan sebelumnya.
"Lo tau, Fa? Gua nggak percaya Tama jujur tentang pengalamannya berpacaran. Apa yang dia bilang tadi, it's really deep, Bro. Sesuatu yang nggak mungkin diucapin sama orang awam. Barangkali, dia memang playboy yang suka berburu cewek kayak yang waktu itu Revo bilang. Cuma, karena di satu waktu dia membuat kesalahan yang begitu besar, makanya dia jadi tobat sekarang?"
Alfa tidak langsung menanggapi asumsi tersebut. Laki-laki itu mendongakkan kepalanya memandang langit senja yang sebentar lagi akan dibenamkan oleh ketidakpastian malam. Entah kenapa, resonansi kalimat Tama seperti dapat Alfa pahami sepenuhnya. Samar-samar terasa nyata, tetapi tidak jelas apa benar membagi cetakan yang serupa.
"I don't think it is. Gua percaya basis cinta yang dia rujuk memang bukan dari konteks berpacaran. His words are too personal. Perhaps it was coming from something else."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top