19. Cenderung
Sampai pagi ini, ruas persendian bahu serta otot punggung Tama masih terasa pegal sekali. Laki-laki itu mengangkat lengannya tinggi sembari memijat pundak seolah belum selesai dilanda keram.
Semalam, akhirnya Tama sontak disiksa habis-habisan oleh Putri yang menungganginya bak pion kuda-kudaan untuk mengitari luas kamarnya berulang-ulang. Beruntung, Tama menyayangi adik kecilnya itu. Walau kerangka badannya ini tergolong tinggi dan bidang, tidak berarti daya kerjanya bisa disejajarkan dengan kekuatan hewan, bukan?
"Hah ... pantat gua masih perih coba bekas ditepok-tepok si bocil? Kalau begini ... bentuknya jadi nggak seksi lagi, 'kan?" keluh Tama bersenandika sambil sesekali mengusap dan melirik setumpuk daging yang menempel di tulang ekornya. Khawatir, bagaimana jika di dalam sana tiba-tiba muncul sebuah ambeien?
"Nggak, tenang, Tam! Semua masih aman, kok," ujarnya kemudian mengembuskan napas singkat usai memastikan bokong kesayangannya tetap dalam keadaan prima. Ia menggusah rambutnya yang acak-acakan—baru bangun tidur, namun kesiangan.
Sesuai dugaan, kini kondisi kamarnya sangatlah berantakan. Sembari mengusap wajah lelah dan menghela napasnya begitu panjang, Tama pasrah mendapati saat matanya baru membuka tadi, Putri sudah tidak lagi tertidur di sampingnya. Anak kecil itu pasti langsung kabur tanpa rasa bersalah telah memporakporandakan ruangannya, seperti biasa.
"Ck, nanti aja, deh, diurusnya. Sekarang makan dulu." Memijat kepalanya singkat, Tama lantas berlaku abai menuruni anak tangga.
Seperti biasa, suasana pagi selalu terkesan malas untuk Tama Jalankan. Selain bekas kelelahan yang lekat menempel di waktu ini, berdiam di rumah selama 1x24 jam merupakan hal yang paling membosankan bagi Tama. Sebelum dikenai hukuman oleh Ayah, rutinitas libur Tama masih terselamatkan karena ia dapat berhibernasi dari pagi menuju sore, kemudian malamnya lanjut berkeliaran sepuasnya.
Namun, sebab kini pergerakannya hanya terkunci di satu tempat, keseruan akhir pekan entah kenapa mulai bergeser dari utuh menyenangkan, menjadi sesak dan menyebalkan ingin segera berganti hari. Salah satunya, tentu karena Tama sulit melebur dengan susunan keluarga barunya.
"Ini ada lagi yang belum sarapan?" Melintasi ruang meja makan, Tama menilik sisa kudapan yang tampak lezat untuk disantap. Meski semuanya sudah dingin, namun lidahnya tetap tergoda demikian tangannya pun sedikit terangkat menepuk perut.
"Udah, tinggal kamu aja yang belum makan." Lita—ibu tirinya—yang sedang terduduk asyik membuka sosial media pada sisi kiri meja, melirik sekilas menjawab Tama.
"Oke," ucap Tama mengambil piring untuk menampung lauk-pauk incarannya, kemudian sigap menempatkan posisi.
Walau kini Tama dan Lita tengah duduk bersebarangan, selepasnya mereka berdua memilih berdiam-diaman sibuk mengerjakan aktivitas masing-masing. Hal tersebut bukan mengartikan bahwa mereka saling membenci, melainkan Tama dan Lita seolah telah sepakat menentukan batas hubungan mereka secara profesional. Tidak ada keintiman, tetapi hanya bertindak sesuai kebutuhan.
Semulanya ketika Ayah membawa Lita pertama kali masuk ke dalam rumah, Tama kira hidupnya akan semakin sengsara bila harus tinggal bersama sosok ibu tiri yang terkenal kejam dan jahat, seperti pengisahan alur sinetron. Namun, usai sekian tahun Lita tidak pernah sekali pun mencari masalah atau bersinggungan terhadapnya, Tama mulai berpikir soal kehadiran wanita tersebut, sebetulnya tidaklah terlalu menyeramkan.
Sejujurnya, bahkan Lita membantu susunan rumah menjadi lebih teratur, misalnya kini meja makan rutin terhidang asupan nutrisi dan setiap sudut ruangan selalu tampak bersih nan rapi. Tama kagum terlepas dari stereotipe kurang lengkapnya pengalaman selaku ibu muda, Lita tetap dapat mengurus kewajibannya hampir sempurna, termasuk merawat Putri yang lahir di tahun pertama sejak menikah dengan Ayah.
"Bulan depan Tante Rina mau menikah. Kamu mau ikut ke acaranya? Biar bareng Putri nanti."
Menanggapi pertanyaan tersebut, Tama menggeleng singkat. Tante Rina merupakan adik dari sanak keluarga Lita. "Nggak, di rumah aja."
"Oh, oke, Ayah kamu juga nggak ikut. Katanya semalam, lagi ada proyek yang nggak bisa ditinggalin."
Tama mengangguk-angguk sebagai respons. Baginya dan Lita, ajakan pergi tersebut bukanlah sekadar basa-basi biasa. Lebih tepatnya, Lita sedang menyiratkan akan datangnya hari di mana Tama dan Ayah ditinggalkan berdua di rumah ini. Sesuatu yang mungkin lewat hilangnya kehadiran Lita dan Putri, Ayah pun tak punya alasan untuk menahan diri apabila Tama berbuat ulah.
Lita, sejatinya tahu Ayah suka berperilaku kasar terhadap Tama. Saat masa pemberontakan Tama tengah bermula di periode SMP lalu, Lita merangkap saksi soal Ayah yang tak segan bermain fisik dan mengatai Tama teramat kasar. Namun, kembali pada alasan mengapa Tama dan Lita seolah telah sepakat menentukan batas hubungan mereka secara profesional, hal itu dikarenakan, Lita tidak pernah melibatkan dirinya untuk menengahi kekejian tersebut.
Seluruh reaksi pasif itu, sepenuhnya Tama memahami bahwa Lita cuma berupaya menciptakan situasi yang aman demi kelangsungan hidupnya sendiri, Putri, serta keharmonisan rumah tangganya yang baru. Pada dasarnya, perilaku Ayah kepada Putri dan Lita memang berbeda 180 derajat—utuh bersikap bak tulang punggung keluarga yang baik—lain lagi di mata Tama, sosok andalan semacam itu sudah hilang sejak lama.
Tama lega Lita merupakan sosok wanita cerdas yang tahu bagaimana caranya menempatkan diri. Adapun, keputusannya yang mengabaikan Tama selaku variabel liar bawaan Ayah, sangatlah wajar untuk terus diterapkan.
Tring
Pengirim: Revo (si kembar bontot)
Besok sore ada kualifikasi terakhir sekalian matching tim buat turnamennya. Jangan lupa bawa jersey atau kaus ganti, ya!
11.23 PM.
Tiba-tiba, nada dering serta layar ponselnya yang otomatis menyala, sontak menarik atensi Tama. Ia lantas membaca pesan yang tertera di situ setelah pas sekali beres menghabiskan sepiring makanannya.
Penerima: Revo (si kembar bontot)
Kalau gua nggak ikut main boleh pakai baju cheers aja nggak buat semangatin lo pada?
11.23 PM.
Pengirim: Revo (si kembar bontot)
Cowok umbar baju seksi itu hukumnya pamali, Tama! Aurat lo bukannya bikin semangat malah undang birahi setan nanti! Lo mau? Besoknya ekskul jurnalis keluarin headline berita semacam, 'Viral! Turnamen sepak bola Bina Bangsa berujung ladang kesurupan masal'?
11.24 PM.
Refleks menutupi wajahnya menggunakan sebelah tangan, Tama terpaksa menahan semburan tawanya di hadapan Lita. Ia hendak mengirim satu emotikon rolling on the floor dan tanda jempol untuk membalas pesan Revo sebelumnya, namun gelak suara yang menyambar lebih kencang di ruang keluarga menginterupsi niatnya.
"Haha ... Ayah cemen banget! Putri menang terus, loh, dari tadi! Memang, ya, umur nggak bisa bohong. Tenaga Ayah nggak ada apa-apanya dibandingkan Putri!"
Di sana, Putri dan Ayah baru saja memasuki ruang keluarga setelah tampaknya, mereka baru selesai bermain di taman depan.
"Enak aja! Ayah, tuh, masih kuat tau? Kamunya ini yang energinya kebanyakan. Sumber cadangannya dari mana, sih? Di sini? Atau di situ?" kata Ayah jahil sambil menggelitiki perut Putri.
Bocah itu terpingkal-pingkal menangkis tangan besar Ayah hingga posisi duduknya turun merosot ke permukaan sofa. "Hahaha, berhenti, Ayah! Putri geli!"
Tama tersenyum tipis. Tanpa disadari, ia terbius menikmati hangatnya jalinan interaksi tersebut. Selang beberapa waktu kemudian, Lita yang diam-diam memperhatikan juga, lalu ikut bergabung meramaikan keseruan antar suami dan buah hati kesayangannya. Ayah dan Putri tentu menyambut Lita begitu ceria lantas mengakibatkan suasananya semakin berderai kebahagiaan.
Lagi-lagi—sebab terlampau lama mengamatinya, secarik perasaan aneh kembali menggerogoti dada Tama tanpa diminta. Sampai sekarang, mungkin ia masih tidak mengerti definisi keluarga ideal itu implementasinya bagaimana. Tetapi, komposisi ayah, ibu, dan seorang anak yang kini tengah saling membagi dan menerima kasih sayang tersebut, entah kenapa terlihat sangat selaras di mata Tama. Pas jika mengecualikan presensinya di dalam sana.
"Hah, berhenti buat semua jadi terlalu sensitif, Tam." Tama mendengkus pelan seraya mengusap wajahnya secara halus. Ia ingin segera naik memasuki kamar, namun gejolak emosi yang mengganjal di ruang hatinya butuh ditenangkan barang sejenak.
Perlahan, Tama pun menarik napasnya panjang berupaya membuang kesedihan yang merangkak dari lubang dasar hatinya, kemudian meneguk segelas air agar biang kegelisahannya itu balik tenggelam ke dasarnya.
Tiba-tiba, ia jadi teringat Luna dan kondisi rumahnya yang pula tidak baik-baik saja. Bagaimana, ya, keadaan perempuan itu di tempatnya? Apakah orang tua Luna juga sudah berpisah lama? Atau sedang dalam tahap menuju ke sana?
Penerima: Vero (si kembar sulung)
Ver, lo punya nomor Luna?
11.32 PM.
Bergumam, mengetukkan jemarinya ke permukaan meja, Tama menghapus kembali pesan tersebut. Rasanya, ia ingin bisa berbicara lagi dengan Luna dan menghibur perempuan itu secepatnya. Namun, meminta kontak melalui pihak kedua serta menyambung percakapan lewat telepon, sepertinya kurang elok untuk dilakukan.
Terlepas dari sebesar apa kekhawatirannya, kini mengetahui perempuan itu mempunyai luka yang teramat membahayakan, Tama pikir ia butuh menghargai privasi Luna alih-alih bertindak terburu-buru. Tentu, kepercayaan Luna sedia ia raih selambat apa pun jika memang itu yang diperlukan.
Sebab di fase mana pun yang sekarang tengah Luna alami, Tama sanggup meyakini pasti situasi tersebut tidak akan pernah membiarkan kehidupan Luna dapat berlangsung dengan tenang, apalagi di dalam rumah.
Merujuk keterkaitannya pada Tama, pemandangan sepanjang 6 tahun ini di mana Ayah selalu tampak bahagia bersama Putri dan Lita—kecuali berada di dekatnya, cenderung membuat laki-laki itu rutin berpikir bahwa satu-satunya yang salah di rumah ini hanyalah ia seorang.
Sialnya, Tama tidak mampu mengelak pernyataan tersebut karena keluarganya sendiri tidak pernah mengatakan soal alasan kenapa ia bisa jadi sekacau ini, barangkali berakibat dari dampak perceraian yang diterimanya sewaktu kecil.
Tak luput memperhatikan menu sarapan yang baru selesai ia buat, sepintas senyuman manis terus mengembang lebar di bibirnya. Meliputi area sekeliling, sisa margarin, taburan meses, dan susu cair yang tumpah berhamburan, turut menyertai keberadaannya sebab kurang lihai memoles makanan secara rapi. Permukaan konter yang pagi ini ia kotori serempak diabaikan kecuali terfokus mengangkat piringnya sejajar dada.
Telah seminggu kemarin, ia mencari resep praktis yang tampil di internet lalu bersusah payah mengumpulkan bahan sendiri dengan membelinya ke minimarket. Walau tidak sempurna, roti bakar yang ia bikin hari ini, sepertinya terlihat lezat untuk disantap sebelum memulai aktivitas kerja. Perutnya, bahkan ikut keroncongan mengamati makanan yang menggiurkan tersebut, tetapi ia mencukupkan semua sampai membasahi kerongkongannya saja kemudian menunggu seseorang yang ia nanti datang ke dapur. Selintas waktu berlalu, kebetulan yang dicari pun kemudian keluar dari kamarnya.
"Ayah! Lihat, nih, Tama habis bikin apa?" Pertanyaan pancingan itu melambung sesaat kehadiran ayahnya tertangkap di lensa mata. Anak lelaki tersebut menampilkan barisan giginya untuk menunjukkan binar antusiasme. Namun, ucapannya ternyata tidak diindahkan yang lantas ia bergerak mendekati sang Ayah barangkali suaranya kurang dapat didengar.
"Tama bikin roti bakar, loh, buat Ayah! Jadi, pas Ayah datang ke kantor nggak akan kelaparan nanti," katanya tetap bersemangat pula keceriaannya tidak sekalipun pernah memadam.
Ayah masih diam saja membasuh wajahnya yang terlihat kusam, sedangkan bau alkohol menguar tajam dari badannya. Kacaunya kondisi Ayah yang berlarut sejak beberapa tahun silam, mungkin merupakan pemicu kenapa anak laki-laki itu berusaha sekali ingin memperbaiki keadaan.
"Ayah nggak lapar. Kamu aja yang makan rotinya," ujar Ayah pada akhirnya merespons setelah sepintas kilat melirik bocah tersebut beserta piring makannya yang ditangkup teramat bangga.
"Tama bisa bikin lagi, kok, nanti. Ini dimakan sama Ayah aja. Tama sengaja bikin untuk Ayah."
Tawaran itu lagi-lagi dibiarkan hening oleh Ayah yang sibuk menumpu tangannya di sisi wastafel sambil sesekali memijat kening. Percakapan ini terlalu dini untuk ia terima sehingga terkesan mengganggu di telinganya. "Ayah nggak pengin makan, Tama. Nanti Ayah bikin sendiri kalau mau."
"Tapi, Ayah mana sempat siapin sarapin sendiri? Biasanya, 'kan, Ayah selalu buru-buru kalau mau berangkat kerja. Sedikit aja, ya? Atau Tama bagi setengah biar kita makan berdua?"
Sorot kesedihan tampak mengental melapisi netranya. Bocah tersebut tidak ingin ayahnya berangkat ke kantor dengan keadaan yang kurang baik, seperti biasa. Setidaknya, kehadiran ia di sini harus mampu meringankan beban Ayah atau seminimalnya menanam kehangatan di dalam rumah. Sebab, walau sehari-hari ia selalu memasang wajahnya terlampau ceria, Ayah masih saja terbawa muram ke mana-mana. Ia bingung perlu berbuat apa.
"Mau, ya? Tama potongin, nih. Enak, loh, Tama jamin Ayah pasti suk—"
Prang!
"Kamu dengar nggak, sih, Ayah tadi bilang apa? Ayah nggak pengin makan Tama! Kalau kamu nggak mau juga, lebih baik dibuang aja rotinya!"
Seruan kencang diselingi hentakan tangan Ayah yang menghempas piringnya jatuh ke lantai mengakibatkan anak laki-laki itu tersentak di posisi. Sang Ayah mendengkuskan napasnya sangat kasar kemudian berbalik meninggalkannya sendiri di dapur.
Pecahan keramik tersebar ke sekitaran. Dilanda ketakutan yang teramat besar, bocah tersebut sempat terdiam sejenak sebelum kesadarannya segera memerintahkan untuk membereskan kekacauan itu. Tak sengaja di sela-sela agenda pembersihan karena geraknya terlampau ceroboh, potongan tajam yang luput dari penglihatannya berhasil merobek telapak kakinya cukup dalam.
"Ah!" keluhnya mengaduh sakit. Setetes darah mulai tembus mengaliri permukaan kulitnya. Anak kecil itu terduduk memegangi anggota tubuhnya yang terluka. Anehnya, setelah diraba-raba, goresan yang baru ia dapatkan itu ternyata tidak seberapa perih dengan sesak yang meliputi rongga dadanya.
"Ayah, Tama salah, ya?"
Jujur, perutnya sendiri, bahkan tak pernah terisi setiap datang ke sekolah. Maka dari itu, mengetahui Ayah tega menyia-nyiakan pemberiannya yang khusus dibuat dengan penuh kasih sayang, seharusnya kini ia menangis tersedu-sedu. Sayangnya, perasaan itu tidak mudah ia akui karena satu dan lain hal, ia pikir Ayah lebih pantas merasa sedih dibandingkan dirinya.
Lantas meratapi roti bakar itu terkapar di bawah meja, kesan bahwa ia merupakan anak yang tidak berguna malah merasuki kabut pemikirannya tiada kira. Sarat hatinya mulai pesimis akan kenyataan bahwa mau sekeras apa ia berusaha, mungkin kebahagiaan Ayah memang tidak terpaut pada kehadirannya.
Ia bukanlah anak yang menyenangkan bagi kedua orang tuanya. Pantas Bunda pun rela pergi meninggalkannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top