15. Lelah
Suasana di sekitaran rumah, tiba-tiba tersusun hening ketika ringan langkah kakinya berjalan masuk ke dalam sana. Ribut yang samar-samar terdengar kala tubuhnya sempat terdiam sebelum membuka daun pintu, mendadak lenyap begitu saja seolah hadirnya tak pernah ada.
Sepasang orang dewasa yang ditemukan tengah berdiri berseberangan di sisi meja makan itu, responsnya cepat sekali menampilkan senyum terbaik ke hadapan. Jujur, ia senang apabila setiap hari dapat menerima hangatnya sambutan kepulangan tersebut. Namun, buruk situasi yang bertahun-tahun ini terus berkembang hingga ke titik yang tak mampu lagi menopang ia untuk tetap berharap, kini lepas membuatnya lemah, bahkan sekadar mengikuti lajur sandiwara.
"Luna udah pulang? Sampai rumahnya, kok, malam banget? Pasti di sanggar tadi keasyikan melukis lagi, ya?"
Bibir Luna mengukir garis manis niat membalas gestur Bunda yang langsung datang mendekati. Pipi kirinya bergerak maju hendak menerima kecupan halus yang terasa semu. Sekilas beberapa detik wajahnya bersentuhan dengan sang Bunda, ekor mata Luna menangkap gerak-gerik Ayah yang tengah menunduk sedang tangannya terlihat berat bertolak pinggang. Kacau pemandangan tersebut sengaja tidak Luna perhatikan lama-lama sebab Luna tahu Ayah berusaha sangat keras menyembunyikan binar kekalutan darinya.
Sungguh, bukan maksud Luna ingin nyaman untuk berpura-pura bersikap apatis, melainkan ia tidak sanggup apabila harus menambah kadar kekhawatiran Ayah jika ia memilih mengeluarkan protesnya nanti. Sebetulnya, Luna begitu benci membungkam diri. Namun, apa yang paling ia tidak sukai adalah membuat hati yang lain lebih tersakiti.
"Kamu udah makan?"
Luna mengangguk. Jemarinya menyentuh punggung tangan Bunda yang bertengger di sebelah bahu. "Maaf, Luna baru sampai rumah jam segini. Tadi, Luna sekalian makan malam dulu bareng Pelangi."
"Oh, begitu," balas Radha—bunda Luna—merespons seadanya. Ruas jemarinya yang kaku kini mulai beralih mengusap pipi sendiri. Tak lama kemudian, Radha menoleh niat memberi isyarat kepada Sandi—ayah Luna.
"Luna pasti capek, ya, seharian ini banyak banget aktivitasnya?" Sandi berucap sembari memasang raut cerianya di wajah. Gestur lelah yang sebelumnya tampak kental di netra Luna, mendadak hilang ditelan kebohongan. "Kalau memang kamu udah makan dan langsung mau tidur, nggak apa-apa masuk kamar aja. Biar makanannya Ayah sama Bunda yang beresin, ya?"
Sapuan tangan Ayah yang mengusap ke belakang kepala mengakibatkan Luna termenung sejenak. Semburat kasih sayang yang tersimpan di setiap jengkalnya tidak pernah lepas Luna rindukan. Hangat sentuhan tersebut seharusnya menghadirkan rasa aman di hati Luna. Namun, bayang kabur yang berkisar di antaranya malah menakuti Luna tiada kira.
Luna tahu sepanjang ia tinggal di rumah ini, Ayah dan Bunda tidak lekas berhenti mencintainya. Oleh sebab itu, andai sewaktu-waktu pertengkaran hebat benar-benar melenyapkan sumber kebahagiannya, Luna tidak tahu lagi dapat mencari penggantinya ke mana.
"Makasih. Kalau begitu Luna masuk kamar dulu, ya? Luna usahain besok pulang lebih cepat biar bisa ikut Ayah sama Bunda makan bareng. Besok gantian Luna aja yang beresin mejanya."
Menutup percakapan dengan senyum khasnya yang terbilang lembut, tanda izin meninggalkan lantas Luna sematkan kepada Ayah dan Bunda untuk kemudian masuk ke dalam zona pribadinya. Tas yang tersampir di kedua bahu pun Luna letakkan ke sisi ranjang lalu duduk memandangi kanvas besar yang tersandar ke papan lukis di sudut ruangan. Karya terbaru yang Luna buat di kamarnya adalah sebuah coretan abstrak berkomposisi cat minyak berwarna hitam kemerahan.
Jika gambar tersebut berusaha ditilik lebih dalam, sebetulnya goresan kuas Luna membentuk bisingnya asap jeritan yang barangkali cuma Luna seorang yang mengerti. Sebentar lagi, hanya menunggu sekian detik saja, apa yang tertunda sebelumnya akan datang menghampiri kembali. Luna bersiap melindungi luka hati.
"Bagus, ya? Putri semata wayang kamu baru aja pulang, terus tiba-tiba kamu suruh dia masuk kamar? Kamu, tuh, kayak yang malas lihat Luna tau nggak? Seharusnya kamu bantu aku ajak ngobrol dia, kek? Atau tanya keseharian dia begitu?"
"Kamu, tuh, cara berpikirnya bagaimana, sih? Luna itu capek! Dia butuh istirahat bukan diajak ngobrol!"
"Luna kelihatan capek mungkin karena dia tau kalau kita baru aja bertengkar tadi! Kamu kira ini nggak berat buat Luna? Dia butuh kita, Sandi! Luna perlu kasih sayang kita sebagai orang tuanya! Kamu udah janji, 'kan? Untuk setidaknya jaga sikap itu di depan Luna? Dengan tingkah kamu barusan yang secara nggak langsung minta Luna masuk kamar, kamu seolah pengin kasih jarak yang semakin lebar ke Luna tau nggak?"
"Radha! Kontrol suara kamu! Sikap kamu yang selalu sentimentil begini justru jadi hal yang paling bisa bikin Luna semakin kacau! Kalau Luna dengar bagaimana? Kamu, tuh, memang suka nggak mawas diri, ya!"
"Tanpa aku bersuara pun, barangkali Luna udah tau hubungan kita nggak akan pernah membaik, Sandi. Luna itu anak yang perasa! Kita nggak mungkin terus-terusan membodohi Luna dengan bersikap sekadarnya begini. Luna butuh kepastian dari kita! Dan itu cuma bisa Luna dapatkan kalau kita mau terbuka sama dia!"
"Udah! aku capek ribut sama kamu sekarang! Kita bicarain lagi nanti."
"Bicarain lagi nanti? Kapan, Sandi? Kamu nggak bisa terus lari dari masalah kayak begini! Kamu pikir cuma kamu doang yang capek di sini? Aku juga, Sandi!"
Intens perdebatan tersebut seiring berjalannya waktu semakin kabur untuk didengar. Derap langkah kaki yang samar-samar bergerak menjauh memberi pertanda bahwa kedua orang tuanya tengah berpindah ke tempat lain.
Luna menjatuhkan kepalanya tunduk pada permukaan kanvas nan lebar perlahan-lahan. Lentik jemarinya yang lesu berupaya memegang sisi bingkai demi menahan raganya tetap berpijak dari segala emosi yang beterbangan. Persis kata Bunda, sandiwara ini memang sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya demi menutupi kebenaran. Meski awalnya, tentu Luna memakan semua kebohongan itu tanpa pertimbangan.
Pertama kali pertengkaran Ayah dan Bunda terjadi, sejatinya dimulai sejak Luna menduduki akhir bangku SD. Namun, Luna kecil berusaha tidak terlalu memandang keributan tersebut sebagai sesuatu yang membahayakan. Sampai di satu malam, secara tidak sengaja Luna menemukan perbedaan kental dari bagaimana Ayah dan Bunda terbiasa mengatur keras suara dan menajamkan ekspresi wajahnya.
Mungkin, dampak berkelanjutan dari ketakutan Luna tampak sangat kentara kala itu. Jadi, memasuki awal periode SMP, Luna sengaja dititipkan tinggal di rumah nenek dengan alasan Ayah dan Bunda perlu mengurus sesuatu sehingga Luna lebih baik menetap bersama seseorang yang dapat mengurusnya setiap hari. Hanya untuk sementara, janjinya. Yang lantas karena Luna kelewat percaya semua akan berjalan baik-baik saja, Ayah dan Bunda terlena baru membawanya pulang tepat di hari kelulusannya.
Jujur—mengalaminya sendirian tanpa mengetahui banyak hal, Luna ingin sekali bertanya apa yang terjadi di kehidupan Ayah dan Bunda sekitaran 3 tahun itu. Tetapi, Luna teramat sungkan sebab tidak mau mengungkit perihal yang kurang menyenangkan di saat Ayah dan Bunda selalu tersenyum setiap mereka bertemu tatap muka. Lagi pula, kembalinya Luna ke rumah hari itu berhasil meyakinkannya bahwa sebersit perdebatan dahulu tidak seburuk yang ia bayangkan. Setidaknya, untuk beberapa bulan ke depan.
Ketika Ayah dan Bunda merasa Luna tidak ada di rumah atau terlelap di bawah percik sinar rembulan, diam-diam ternyata mereka masih gemar melempar sambaran lewat isi kalimat yang meremangkan. Awalnya titah tersebut berbisik pelan, halus mengetuk pintu kamar Luna sampai kemudian waktu mengembangkan suaranya cukup keras untuk membangunkan Luna dari tidurnya. Luna tidak menyangka mimpi indahnya benar-benar habis usia, tergantikan oleh nyaring bunyi pecahan kaca yang sewaktu-waktu ikut terliput di balik pertengkaran Ayah dan Bunda.
Mungkin, satu penegasan Ayah yang sebelumnya menyisipkan makna tentang kelelahan bukan sembarang bentuk basa-basi biasa. Sebaliknya, Ayah sedang menyiratkan fakta bahwa semua memerlukan rehat dari sandiwara keluarga harmonis yang melelahkan. Terus-menerus memaksakan diri, membuat segalanya tidak lagi berjalan sesuai harapan. Akibatnya, Ayah dan Bunda kini gagal menutupi hubungannya yang pupus mengalami perkembangan, sedangkan ketegaran Luna mulai meluntur menampakkan kekacauan.
Rasanya tindak kepura-puraan ini turut menyeret Luna jadi lebih sering berbohong pula, bahkan perihal ia yang telah makan malam bersama Pelangi. Luna lapar dan bukannya bergerak mencari kudapan, setetes air malah jatuh membasahi pelupuk netranya.
Luna bingung mengapa ketika tubuhnya begitu kekurangan cakupan tenaga, ia masih harus repot-repot mengarungi dadanya yang teramat sesak. Tangannya yang menggenggam sisi kanvas lantas terlepas menggantung sayup ke muka udara.
Tadi, bilang Ayah pada Bunda, Luna butuh istirahat. Namun, Luna tidak mengerti bagaimana caranya bisa terlelap andai setiap datang ke rumah, bayang orang tuanya yang terus bertengkar setia menghantui di pikiran. Demikian, sebab Luna sepenuhnya memahami kehadiran senyum palsu mereka hanyalah untuk melindunginya, Luna semakin terbebani akan sakit yang perlu Ayah dan Bunda tanggung di sepanjang hari mereka hidup bersama demi dirinya.
"Ayah, Bunda, apa sekarang udah saatnya Luna melepas kalian untuk pergi?" ucap Luna terisak kembali membasahi lukisannya yang telah kering. Berpikir, mungkin orang tuanya sudah terlalu lama berusaha. Kini, waktunya Luna yang kuat memperjuangkan kebahagiaan mereka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top