13. Kontras

Sepetak gudang bekas yang terletak di belakang kediaman Melvin, sejatinya merupakan rumah kedua Tama yang sejak SMP lalu ia temukan secara tidak sengaja. Asal muasal mengapa Tama bisa mengenal Melvin, semuanya berawal dari pelarian Tama yang pada waktu sore tertentu, ia sering duduk sendirian berayun di satu lokasi taman bermain. 

Saat itu, besar dunia Tama tengah hancur untuk yang kedua kalinya. Tama kehilangan segala tempat, bahkan sekadar bersinggah diri. Namun, berkat uluran tangan Melvin yang menengadah tepat di depan lubang dadanya kala itu, luka Tama sanggup tertutupi walau tidak sempurna.

"Dateng-dateng main langsung selonjoran di sofa, kaki ditekuk ke atas, ditanya nggak dijawab. Ck, lama-lama tingkah badmood lo kayak mantan cewek gua pas lagi mens tau nggak?" 

Tentu, sekalipun kini ia sudah kenal dekat dengan Melvin, nyatanya Tama masih menjadi pribadi yang jarang bercerita. Setumpuk gumpalan aneh selalu mengganjal hati Tama setiap kali ingin mengutarakan rasa. Meski begitu, spesialnya Melvin jika dibandingkan teman-teman yang ia miliki di lingkup sekolahan adalah, Tama tidak pernah keberatan andai suatu waktu Melvin memaksanya untuk mencurahkan pemikiran yang terpendam. Bukan karena ia menghormati Melvin yang lebih tua 3 tahun dari usianya, melainkan Tama tahu Melvin tidak akan bersikap canggung atau pergi meninggalkan usai mendengar serba-serbi pahit kisahnya. 

"Pertama, gua nggak badmood. Kedua, suara lo yang kelewat berisik, lebih mirip karakteristik cewek yang lagi PMS, tuh?"

Alasannya, latar belakang Melvin—demikian anak-anak tongkrongan lain, mungkin lebih buruk ketimbang Tama. Separuh dari mereka, telah berkelana sendiri tanpa diurus oleh orang tua. Beberapa rela bekerja serabutan, sisanya menyambung hidup melalui cara apa saja.

Tama pikir, akibat keras pengalaman yang harus dijalaninya, Melvin jadi tahu bagaimana menanggapi runyam suasana hati Tama. Kilas resonansi yang Melvin suar ketika Tama berkeluh kesah, seolah-olah benar menyatakan pemahaman sehingga Tama yakin Melvin sungguh peduli kepadanya. 

"Nah, kalau lo udah mulai tengil balas omongan gua kayak begini, tandanya lo, tuh, lagi badmood! Tinggal ngaku aja susah amat, sih?" seru Melvin sembari membuang panjang kaki Tama ke sembarang arah. Ruang kosong yang terbuka langsung ia duduki dengan memegang setoples kacang di tangan kiri, sedangkan Tama berdecak membenahi posisi.

"Resek lo, Vin! Lagian lo kayak emak-emak aja masalah gua balas omongan lo apa nggak segala dibahas."

"Dih, kayak yang lo punya emak aja." 

"Bangs*t, candaan lo gelap, Anj**g!" Tama menyeringai kecil lalu menendang empuknya pinggiran pantat Melvin.

Satu keistimewaan tambahan, bersama Melvin pula, Tama merasa santai membicarakan hal-hal sensitif yang mengganggu di kehidupannya. Walau di sekolah Tama mempunyai sekumpulan teman-teman nakal yang barangkali bisa ia ajak bercerita, fungsi mereka tetaplah sebatas wadah untuk memberontak atau bersenang-senang saja. Namun—bagi Tama, tidak ada keintiman personal yang tertanam di dalamnya. 

Sering kali, mereka memercayai Tama dalam menyimpan berbagai rahasia pribadi yang lugas diutarakan. Namun, jika itu berlaku sebaliknya, Tama tidak yakin mereka dapat mengerti dirinya sedalam Melvin.

Masing-masing sayap Tama telah terputus mematahkan tulang belikatnya, sedangkan milik Melvin hilang entah ke mana. Rekat hubungan Tama terhadap orang tua nyaris binasa lain lagi sedikit teman-teman di sekolahnya hanya mengalami keretakan berskala biasa. 

Di luar itu, dahulu sejatinya Tama mempunyai Angkasa yang jauh lebih mengenal dunianya dibandingkan Melvin. Namun, lantaran masa SMP adalah waktu di mana Angkasa tengah memasuki periode paling bersinarnya, Tama khawatir mendatangi Angkasa cuma akan memberi dampak buruk kepadanya. 

Untuk apa siswa jenius layaknya Angkasa bersahabatan dengan berandalan nakal, seperti Tama?  Angkasa jelas harus maju dan Tama tidak mau membebani laki-laki itu atas kondisi pribadinya yang semakin berantakan. Sayangnya, meski Tama telah berusaha menjauhi Angkasa sampai memasuki tingkat SMA, Angkasa terus tak mau meninggalkannya hingga kasus narkoba di sekolah yang lalu menjelma bukti nyata bahwa—tanpa perlu membuka diri pun—sifat kehadiran Tama otomatis mengontaminasi hidup Angkasa.

Dampak peristiwa kemarin benar-benar membuat Tama takut dalam menyambung ikatan pertemanan. Sekarang, bahkan Tama hanya berani bermain dengan Melvin yang—sudah pasti—tidak bakal ia rugikan sebab lelaki tersebut merupakan individu liar yang tidak terikat oleh pihak mana pun.

"Nyet, tujuan lo datang ke sini, tuh, cuma ada dua. Di antara lo pengin main gara-gara sumpek ada di rumah, kalau nggak, ya, lo mau curhat karena sebetulnya lo itu cowok yang sensitif!"

"Astaga, sikap skeptis lo kapan berhentinya, sih, Vin? Lo mau banget, ya, gua panggil Mamah Melvin?"

Terkejut membuka bola mata lebar-lebar, Melvin lantas melempar ampas kulit kacangnya ke dahi Tama. Lelaki itu tampak mengakhiri upayanya membujuk Tama bercerita. "Terserah lo!"  

Mengaduh sakit seraya mengelus permukaan jidat, Tama mendengkus jengkel sebab kini Melvin tengah memasuki mode diamnya. Percaya atau tidak, picik tingkah laku tersebut merupakan taktik andalan Melvin untuk memancing Tama melalui situasi hening yang membekap. Tama tidak nyaman Melvin yang kelewat cerewet mendadak pasif mengabaikan. Alhasil, Tama akan berbicara dengan sendirinya.

"Jadi, begini Mamah Melvinku sayang."

"Geli! Jangan panggil gua Mamah Melvin pakai sayang!" 

"Terus, lo maunya dipanggil apa? Papah Melvin berondong?"

Padat butiran kacang sekarang beralih menjadi senjata Melvin untuk menimpuk Tama. Laki-laki itu mulai menautkan alisnya memperingatkan.

"Iya, iya, Melvin aja nggak pakai panggilan tambahan," balas Tama menegakkan tubuhnya kemudian duduk di sebelah Melvin. Ia menghela napas sejenak sebelum mengungkapkan persoalan yang mengganggunya. "Lo tau, Vin? Nggak di sekolah negeri atau swasta yang elite sekalipun, kayaknya tempat belajar itu nggak pernah bersih dari orang-orang belagu yang hobi menindas sesamanya."

"Maksud lo?" 

"Ya, maksud gua nggak dari kalangan guru atau pelajar, pasti ada aja yang sok kehebatan terus merendahkan orang lain sesuka hati mereka. Mungkin saking puasnya merasa tinggi, mereka malas melihat ke bawah. Nggak tau aja dari sudut pandang yang lain, omongan mereka nggak pernah masuk di akal."

Mendengarnya, Melvin menelengkan kepala. Laki-laki itu belum menangkap apa yang sedang Tama bicarakan. Ia membutuhkan elaborasi lebih lanjut. 

"Begini, tadi gua iseng main bola bareng rekan sekelompok gua. Anaknya memang nggak terlalu jago, sih, makanya sekali itu gua ikut gabung biar dia nggak minder di lapangan. Nah, selesai tanding, tiba-tiba satu orang dari tim sebelah jelek-jelekkin rekan sekelompok gua itu bilang dia cupu segala macam. Lah, si anj**g nggak sadar regu dia udah gua bantai 4-3? Tol*l banget nggak bisa menerima kekalahan malah turunin derajat orang! Kalau bukan gua lagi menahan diri, udah gua bikin mampus asli!"   

Mendengarnya, Melvin terkekeh kecil. Ia memijat pangkal hidungnya singkat yang lantas membuat Tama risih menunggu balasan. "Oh, jadi, Pratama Kaiden Adnan udah punya teman, nih, ceritanya?"

"Ck, basi banget, sih, lo?" Tama melengos. Ia sudah menduga komentar Melvin pasti tidak berbobot dan berbau picisan. "Gua nggak berteman sama bocah polos kayak begitu."

"Oh? Nggak berteman, tapi, kok, ujung-ujungnya lo peduliin juga?" ujar Melvin kembali membelah kulit kacang menjadi dua. Ia sengaja mendiamkan Tama sebentar agar lelaki tersebut dapat menata pikirannya. "Jawab jujur pertanyaan gua. Jadi, masalahnya lo cuma kesal aja sama mereka yang sok kehebatan itu atau sebenarnya lo nggak suka teman baru lo dihina orang lain?"

Jemari Tama mengusap dahinya yang mengerut kental. Laki-laki itu membuang muka sengaja tak memberi sebuah tanggapan.

"Lo, tuh, suka bikin semuanya ribet tau nggak? Seorang ekstrovert kayak lo mana tahan menyendiri di sekolahan? Lo butuh teman baru, Nyet. Terima kenyataan itu."

"Vin, jangan jadi alasan gua perlu mengulang pernyataan gua. Lo paham, 'kan? Prinsip gua gimana?"

"Halah ... lagi-lagi masalah prinsip. Hidup lo kaku banget kayak pentungan hansip," ujar Melvin menghela napasnya panjang. Sekilas, ia menggaruk pelipis hendak menyampaikan sesuatu. "Nyet, kalaupun lo memang murni anak nakal, lo nggak mungkin punya rasa takut bakal bawa pengaruh buruk ke anak-anak lain. Lo sendiri pernah bilang, 'kan? Arah pandangan kita merupakan satu hal yang membedakan antara lo dan gua? Artinya, kalau lo nggak bisa terima konsekuensi tersebut kayak gua, mungkin dari awal lo memang bukan anak bandel."

"Terus, kalau gua bukan anak bandel, mana mungkin gua bergaul sama orang kayak lo?"

"Si anj*ng! Bukan itu maksud gua!" Melvin mencebik. Laki-laki itu mulai frustasi meluruskan kusutnya penalaran Tama. "Sadar nggak, sih? Semenjak lo kenal gua, tingkah lo semakin liar! Justru karena lo bergaul sama orang kayak gua, hidup lo jadi nggak benar."

"Vin, jangan ngomong yang aneh-aneh."

"Gua membicarakan fakta, Nyet. Selama lo bergabung di tongkrongan ini, gua nggak pernah kasih lo apa pun kecuali pengaruh buruk yang lo sebut sebelumnya. Asal dulu kita nggak ketemu, lo seharusnya—"

"Vin, dengar omongan gua," kata Tama menegaskan nada suara. Sorot matanya kian menajam ingin menampik bualan Melvin. "Kalau waktu itu lo nggak samperin gua, barangkali keadaan gua lebih hancur dibandingkan sekarang! Orang-orang di luar sana nggak pernah ada yang mau menerima buruk keberadaan gua! Sebaliknya, hadir lo dan anak-anak yang lain memberi ruang buat gua menjadi diri sendiri. Di sini, gua merasa aman. Jadi, semisal lo mau bawa soal resiko tentang dampak lo ke perilaku gua, seperti yang lo bilang malam itu, gua udah gede dan semua keputusan ini adalah gua yang tanggung!"

Dasar keras kepala! Melvin harap, Tama menyadari seberapa kontras ucapannya barusan jika dikembalikan terhadap prinsipnya sendiri. Dari awal Melvin menemukan bocah SMP yang pada kala tertentu gemar menangis di ayunan dekat tempat tinggalnya itu, Melvin sudah tahu kalau sebetulnya Tama cuma kesepian dan membutuhkan seorang teman yang mampu diandalkan. 

Berbicara soal takut membawa pengaruh negatif, sayangnya Melvin benar-benar seorang berandal yang sulit belajar meminimalisir kesalahan. Mengetahui Tama sangatlah memedulikan hal kecil, seperti sebab dan akibat terjalinnya efek pertemanan, Melvin paham betul Tama itu anak yang baik sehingga jalur kehidupan mereka berdua jelas tidak sejalan. 

Egois ketetapan Melvin yang tak segan merusak kehidupan orang lain, mengingatkan sekilas peristiwa di masa lalu tentang Melvin tidak bisa membiarkan Tama menempel di sisinya lagi. Tama tidak mungkin mengerti tentang definisi menjadi nakal layaknya Melvin. Bagi remaja itu, barangkali label tersebut hanyalah tempelan yang berfungsi menutup luka batinnya ke dunia luar.

"Tapi, lo yang sekarang pun nggak cukup terlihat bahagia, Nyet," ujar Melvin memangku sikunya di atas lutut. Meski Melvin tahu betapa buruknya ia pernah melukai Tama, ia serius ingin Tama menemukan titik sejahteranya. "Lo bilang, kita semua mengharapkan sesuatu yang lebih baik daripada kondisi kita yang sekarang, 'kan? Walau kondisi keluarga lo yang cacat nggak bakal bisa diubah lagi, gua harap lo nggak menutup diri atas kesempatan baik yang dapat lo terima. Jangan terlalu keras memaksakan diri lo untuk selalu jadi anak yang bandel. Lo juga boleh belajar dengan giat atau berteman bareng orang-orang yang lurus, Nyet. Nggak ada yang melarang lo buat melakukan itu."

Merasakan permukaan tangan Melvin berulang menepuk lebar punggungnya, dada Tama langsung bergemuruh hebat seolah emosinya yang terpendam serempak bangun bersepaian.

"Udah mau jam delapan. Gua nggak bisa lama-lama di sini karena kemarin gua ketahuan balik pagi sama bokap. Gua pulang dulu," kata Tama segera beranjak sembari menyampirkan hoodie abunya yang terkulai di sisi sofa ke samping bahu. Peraturan malam yang diterapkan Ayah menjelma alasan Tama untuk memutus alur percakapan.

Sejatinya, inilah yang menyebabkan Tama malas bercerita kepada Melvin. Mungkin karena umurnya yang lebih tua, bijak ucapan Melvin terkadang tepat mengenai lubuk jantung Tama tanpa syarat. Tama benci merenungkan banyak hal, apalagi jika sampai mengakibatkan tembok pertahanannya harus terguncang hilang keseimbangan. 

"Kebiasaan, 'kan? Kalau dibilangin main cabut aja? Sana lo balik! Jangan sering-sering mampir ke sini! Gua bosan lihat tampang galau lo!" ujar Melvin mengeluh, namun sempat jahil menampar pelan bokong Tama. "Cari lingkup pergaulan yang lebih sehat, Nyet! Gua yakin lo bisa!"

Mendengkus berat lalu beralih memejamkan mata, Tama mengabaikan senyum cerah Melvin untuk kemudian keluar mendekati kendaraan bermotornya. Laki-laki itu tidak berucap banyak selain menekan klaksonnya sebagai tanda berpamitan.

Tin!

Setelah presensi Tama hilang dari peredaran, lekuk garis di sudut bibir Melvin pun memudar seutuhnya. Melvin paham dirinya ini seorang munafik. Meski demikian, ia boleh menebus sedikit dari sekian besar dosanya, bukan? 

"Sorry, Nyet, gua gagal jadi anggota keluarga yang lo harapkan. Rumah lo bukan di sini." 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top