11. Bantuan
Sepanjang 3 hari sudah berlalu selaku tenggat yang telah disepakati bersama-sama, sebelum akhirnya agenda kerja kelompok benar-benar dilaksanakan. Dalam jangka waktu tersebut, masing-masing perorangan telah diberi amanah untuk terlebih dahulu memelajari materi secara mandiri agar jalannya diskusi nanti dapat berjalan dengan lancar.
Strategi itu, bisa dikatakan cukup efisien perihal meminimalisir banyak durasi yang terbuang serta memaksimalkan terkumpulnya ide-ide yang terbilang matang. Logikanya, semua yang telah belajar pasti menguasai topik-topik penting yang dibutuhkan dalam menyusun pengerjaan tugas, bukan? Masalahnya, apakah tiap-tiap pelajar memiliki kapasitas yang sama besar soal menyerap inti dari sumber bacaan?
"Hah? Lo berdua masuk jajaran ranking berapa tadi? Paralel sembilan sama sepuluh seangkatan kita?" seru Tama membelalakkan mata.
Total lembar bab buku sejarah yang dijadikan acuan pada tugas kali ini terdiri sekitar 30-an halaman yang berisikan macam-macam tragedi histori pasca kemerdekaan. Mau membacanya semingguan pun, bahkan Tama hanya sanggup memahami satu untaian peristiwa saja. Hitung-hitung, besoknya ia mungkin sudah lupa.
Menimbang Vero dan Revo ternyata menduduki salah satu peringkat berkategori paling pintar seantero rumpun jurusannya, Tama tidak heran mengapa kemarin lusa mereka begitu percaya diri mengajukan waktu sesingkat itu sebagai persiapan dalam belajar. Astaga, kenapa pula Tama tidak protes dan justru menyetujuinya?
"Ya, elah, Tam, malu kali didengar paralelnya anak MIPA? Jago hafalan doang, mah, apa dibandingkan yang expert soal hitung-hitungan?"
Mendengarnya, Zaki dan Farhan—kecuali Alfa yang tidak memedulikan—lantas mengalihkan pandangannya ke arah Revo. Permukaan dahi mereka tampak mengerut seolah keberatan sterotip tersebut digunakan untuk memuji rumpun MIPA secara sarkas.
"Terus, pura-pura minder buat sudutin anak MIPA. Bukan salah kita, dong? Kalau anak IIS suka dipandang sebelah mata? Atau kalau sampai satu dunia punya perspektif yang sama terkait itu, bisa jadi tingkat kesulitan di jurusan kalian memang nggak seberapa? Hafal-hafalan doang, sih, kecil, ya, nggak, Han?"
"Haha, tai, resek banget lo, Zak! Gua masih dongkol bisa-bisanya semester kemarin Nyokap kayak yang amaze banget ke lo pada, padahal ranking gua sama Vero lebih tinggi."
"Beda tipis, Rev, cuma angka satuan doang. Lagian, masalah utamanya, tuh, nyokap lo udah bosen dari orok banggain lo berdua. Ditambah pas puber anaknya semakin hiperaktif nggak karuan, gimana nyokap lo nggak pangling ketemu yang modelnya sekalem gua, Farhan, sama Alfa?"
"Kalem pantat lo kena oles minyak balsem? Farhan sama Alfa, sih, masih mending. Nah, lo?"
Celotehan itu kemudian terus memburai atas topik yang sebetulnya tidak terlalu Tama mengerti asal-usulnya bagaimana. Ketimbang memperdebatkan perkara rumpun mana yang pantas dipandang superior, sejatinya Tama lebih penasaran tentang Zaki, Farhan, dan juga Alfa masuk peringkat paralel urutan berapa.
Menurut Tama yang baru jalan 2 semester memasuki Bina Bangsa saja, sekadar bersaing memperoleh nilai tinggi itu sulitnya bukan main. Jadi, Tama agak syok apabila saat ini ia benar dikelilingi oleh manusia berotak mesin dari dua jurusan terpopuler.
"Memang lo bertiga masuk paralel berapa?" Akhirnya, pertanyaan itu Tama keluarkan juga di ujung percakapan yang berjalan. Ketiga laki-laki yang menjadi objek rasa penaran Tama pun memberikan segenap atensinya.
"Gua delapan belas," balas Zaki untuk yang pertama kali.
"Dua belas." Farhan melanjuti seraya memasang senyum tipis.
Alfa yang masih sibuk mengetik sesuatu di macbook-nya pun, sempat memungkasi aktivitasnya terlebih dahulu hingga kemudian, ia berujar tandas menjelaskan posisinya. "Satu."
Sejenak, rahang Tama yang bahkan sejak mendengar peringkat Zaki tadi sudah menganga ke bawah, lantas semakin terjatuh menyentuh titik maksimalnya. Jati dirinya selaku siswa pemalas tengah diserang tanpa unsur kesengajaan. Sekarang Tama sedang tersasar di mana, sih, sebenarnya?
"Dih, apaan satu? Orang kemarin lo habis dikalahin sama Karin," sergah Zaki tak terima Alfa mempunyai kesempatan untuk menyombongkan diri.
"Just for once! Biasanya gua yang selalu ranking satu!"
"Ya, tapi, tetap aja last time itu lo ranking dua!"
Sembari memicingkan matanya sinis menghadap Zaki, Alfa pun akhirnya kembali menyenderkan punggungnya santai ke bantalan sofa. Laki-laki itu mengalah. "Terserah. Selagi yang kalahin gua adalah pacar gua sendiri, gua nggak masalah."
"Najis!" Seperti biasa, Zaki langsung berlagak mual ketika Alfa mendalami mode bucinnya yang menyebalkan. Menurut Zaki yang pula memiliki pacar kesayangan, sikap Alfa itu tergolong lebay! Atau mungkin, ini perkara Zaki saja yang sebetulnya enggan berkaca diri.
"Tapi, asli, sih, gua nggak paham sama lo semua. Mau ada di peringkat kedua, masuk rumpun MIPA atau IIS, menurut gua prestasi kalian, tuh, keren-keren parah! Kalau gua pernah sekali aja nangkring di ranking paralel dua puluh besar, yakin, deh, gua bakal potong kambing buat syukuran sekomplek perumahan gua. Nggak, komplek sebelah rumah gua ajak juga, deh, biar hebohan sedikit," ujar Tama mengutarakan kekagumannya sambil dibalut candaan kecil.
Kini, Tama jadi mengingat alasannya tidak membantah usulan Vero dan Revo tentang 3 hari mempelajari buku sebanyak 30-an halaman. Tak lain dan tak bukan, adalah karena Tama tidak ingin menghambat pergerakan si kembar yang tampak bersemangat menyusun jadwal pengerjaan tugas, bahkan sejak hari pertama pembagian kelompok ditentukan.
Tama pikir perbedaan siswa rajin dan malas memang kentara dari situ. Setidaknya, berpura-pura menyanggupi standar si kembar mungkin merupakan hal yang dapat Tama lakukan agar dirinya tidak dinilai terlalu menyusahkan.
"Haha, kalau dipikir-pikir, ya, juga, sih. But, I also think, ranking, tuh, cuma sekadar urutan angka yang selamanya bisa berubah. Jadi, basically nggak ada yang perlu dilebih-lebihkan terkait itu. Yang terpenting, setiap harinya di sekolah kita selalu berusaha untuk memelajari sesuatu yang baru, bukan?"
Perkataan Farhan barusan, ajaibnya sanggup membungkus kesenjangan percakapan mereka yang memperdebatkan soal kadar kepintaran. Di luar itu, sesungguhnya Tama pun tidak membawanya secara personal karena Tama mengerti mereka hanya bercanda. Tingkat persaingan serta perspektif antara siswa unggul—layaknya mereka—dan paling suram—seperti Tama—tentu tidaklah sama. Oleh sebab itu, dibandingkan tersinggung Tama justru terkesima ingin menyanjung.
"Right, each and everyone of us has his own ability to excel at something, someday, and it's not defined solely by rank. Sewaktu-waktu ada di posisi atas atau bawah itu biasa. Tapi, pada konteks akademik, kalau di saat tertentu kita merasa kecewa dengan hasil pembelajaran kita, ranks could help us evaluate if it meant something to achieve," ujar Alfa netral menyempurnakan pemaparan.
Setelahnya, hampir seluruh laki-laki yang ada di ruangan itu pun bergumam merenungkan keadaan masing-masing. Dalam diamnya, mereka mungkin bertanya-tanya apakah selama ini usahanya mengejar peringkat sudah cukup memuaskan atau belum.
Alfa saja yang mendominasi rantai paralel MIPA cenderung mengakui bahwa bakat yang dimiliki perorangan itu, sejatinya unik dengan kadarnya masing-masing. Barangkali, mereka yang mempunyai potensi lebih di dalam atau luar bidang pendidikan murni perlu menyelaraskan fokusnya kembali untuk mengatur mana yang sudah sesuai takaran dan sebaliknya giat mengejar yang seharusnya butuh dimaksilkan.
Belajar itu tentu merupakan proses yang panjang. Namun, jika segalanya dilihat melalui ucapan Farhan sebelumnya, mungkin memang tidak ada yang salah pula bila tak sepenuhnya menjadi menonjol pada kategori tertentu. Asal di setiap waktunya, mereka selalu berupaya dalam mengingat dan menerapkan sesuatu yang berguna.
"Baru kumpul udah dibikin kontemplasi aja otak gua. Pusing kelas tiga kebanyakan ikut seminar motivasi. Mending sekarang kita kerjain tugas dulu, habis itu lanjut makan-makan plus main serial game Xbox barunya Alfa. Setuju?"
"Gaskan!"
Usulan menyenangkan Zaki, lantas disambut meriah oleh kompaknya teriakan Vero dan Revo, sedangkan Farhan sigap mempersiapkan alat tulisnya. Tanpa diminta, Alfa selaku tuan rumah langsung mengambil gadgetnya untuk membuka aplikasi layanan antar makanan.
"Eh, biar gua aja yang pesan minumnya." Merasa tidak enak lantaran banyak menumpang, Tama yang tidak sengaja mengintip hal tersebut kemudian berinisiatif melengkapi kekurangan. Tetapi, sayangnya kilas tatapan Alfa memberi kesan tak mengizinkan.
"Udah, anggap aja lagi ditraktir Alfa karena dia keseringan ranking satu. Nanti kalau lo kebetulan achieve sesuatu yang menurut lo penting buat dirayakan, baru gantian lo yang beliin. Nggak lo doang, sih, kita semua begitu," kata Vero menyarankan dari sisi samping.
Mayoritas anak pintar yang Tama kenal, pada dasarnya senang menyombongkan atau membanggakan diri di depan kerumunan. Namun, lingkar pertemanan si kembar agaknya memegang konsep yang sedikit berbeda mengenai itu. Ketimbang menyudutkan posisi orang lain agar dirinya tampak lebih tinggi, mereka cenderung santai memercayai semua mempunyai kesempatan yang sama rata.
Sekilas, Tama merasa kebodohan yang ia miliki tidak seutuhnya wajar dijadikan bahan olok-olokan. Entah kenapa, terkhusus orang pintar yang tahu caranya bersikap, kini terlihat keren di mata Tama.
"Tam, kita mulai juga, yuk?"
"Oke."
Sore ini, Tama tengah berada di kediaman super mewahnya seorang Alfa yang tak ia sangka, ternyata keluarga laki-laki itu benar-benar kaya raya. Sebagaimana biasanya, setiap kali Tama berurusan dengan si kembar, mereka selalu menghubungkan Tama dengan tiga teman dekatnya tanpa konteks apa pun. Sebetulnya, Alfa, Zaki, dan Farhan memang mempunyai tugas kelompok yang harus dikerjakan juga, sih, hari ini. Akan tetapi, Tama tetap heran mengapa orang asing seperti dirinya malah sering dibawa bergabung, padahal Vero dan Revo dapat mengajaknya berkumpul ke tempat lain secara terpisah.
"So, kita mau langsung brainstorming aja buat tentuin topik analisisnya?"
Mendengar pernyataan pembuka itu, Tama pun langsung menyetujuinya karena jelas ia tidak memiliki usulan lain di kepala. Diawali dari Revo, satu per satu mengutarakan gagasannya soal beberapa kisah sejarah yang menarik minat mereka. Pertimbangan yang kritis, di sisi lain juga menyenangkan untuk didengar mengambil antusias Tama bahwa kesan peristiwa masa lalu sangatlah patriotik. Ketika Tama membacanya di buku, padahal perjuangan para pahlawan tidak terbayang senyata itu. Penghantaran cerita si kembar, agaknya bukan sekadar mengulang hafalannya, melainkan turut menyisipkan berbagai sudut pandang pribadi yang mampu memperluas jangkauan persepsi Tama.
"Kalau lo, Tam? Kira-kira interest ke background history yang mana dan kenapa?"
"Hm? Gua?" gumam Tama tak mengantisipasi pertanyaan itu akan ditujukan ke arahnya. Sambaran tersebut mengakibatkan lidah Tama terasa kaku tak terbiasa menyusun kalimat berbobot layaknya si kembar. Kenyataannya, bahkan Tama tidak terlalu memahami apa yang ia baca tiga hari sebelumnya. Satu-satunya untaian kejadian yang ia coba hafal begitu keras, seolah lenyap begitu cepat dari dalam benak. Tatapan menelisik Vero dan Revo yang terus menunggunya berbicara, demikian semakin membuat Tama gugup tak karuan.
"Gua ... sama, kok!" ujarnya beralasan sembari tersenyum tipis lalu menggaruk tengkuknya pelan-pelan. "Menurut gua, ide lo berdua tadi udah yang paling top! Gua ikut aja, hehe."
Sontak, mendengarnya Vero dan Revo saling melempar pandangan. Sorot kebingungan tampak kentara meliputi netra kedua laki-laki itu.
"Lo yakin, Tam, nggak mau keluarin ide-ide yang ada di kepala lo? Nggak harus sama juga nggak apa-apa. Santai aja, kita bisa tentuin topik akhirnya bareng-bareng nanti. Yang penting, sekarang kita saling share pendapat masing-masing dulu. Semua masukan itu berharga."
Lagi, ada sebersit kelemahan yang dahulu begitu Tama lazimkan, kini oleh si kembar justru digenggam erat bersisian. Setiap kali, kapan pun kerja kelompok diadakan, pemikiran Tama tentang suatu materi tidaklah pernah diprioritaskan. Rekan-rekan di sekelilingnya mungkin sepakat beranggapan, apa yang ada di otak Tama tidaklah berisi sampai-sampai gilirannya bersuara selalu dilewatkan.
Sejak kecil, masalahnya Tama menyadari ia mengalami kesulitan dalam belajar. Maka dari itu, ketika guru-guru mewajibkannya berpartisipasi mengerjakan tugas bersama teman-teman yang lain, Tama terbiasa mengikuti arus saja seraya berharap kehadirannya tidaklah membebankan. Apa yang dibutuhkan di sana, Tama usaha sediakan untuk mengganti daya otaknya yang kurang. Misalnya, jika kenyamanan interaksi mulai menurun, Tama bakal mencairkan suasana menggunakan jiwa komedinya. Lalu, apabila ada yang memerlukan cakupan tenaganya, Tama sigap memasang badan demi memastikan semua tidak kelelahan.
"Sorry, sebetulnya, keseluruhan bab di buku itu belum selesai gua baca. Gua baru di ujung pembahasan soal ideologi yang pertama."
"Oh, astaga. Gua sama Revo yang sorry kalau begitu. If you don't mind, sebelumnya, lo ada kendala buat memahami materinya nggak?"
Karenanya, saat kini Vero dan Revo justru memperhatikan hal kecil yang pantas diremehkan dari bodohnya seorang Tama, laki-laki itu agak bimbang ingin memposisikan dirinya bagaimana. Tidak bisakah? Kecenderungan padamnya di area buah pemikiran lantas diabaikan saja? Namun, di sisi lain, terkadang Tama merasa lelah terus direndahkan sehingga sewaktu-waktu, ia pernah menantikan ada seseorang yang mau memahami tingkat kesukarannya.
"Gua ... rada lambat aja kalau masalah beginian," kata Tama tercengir tipis terlampau malu mengungkapkan. "Tapi, pakai ide lo berdua pun gua setuju banget asli! Pendapat gua nggak penting, nggak bakal berguna juga. Tungguin gua selesai kuasain semua materi cuma bikin kita buang-buang waktu nanti."
Meski begitu, Tama sendiri sudah tidak memercayai ia sanggup membuktikan apa-apa. Menitipkan harapan pada seseorang seperti dirinya, hanya akan menyusahkan mereka yang mau berbaik hati memberikan pengertian. Sebab kembali lagi berdasarkan buruk pengalamannya, perubahan Tama sangatlah tidak menjanjikan.
"Tenang, tanggal presentasi kita masih lama. Justru, maksud kita pengin mulai kelompokannya lebih awal, memang sengaja buat mendeteksi kekurangan masing-masing lewat pertemuan pertama ini, 'kan? Jadi, sisa waktunya bisa kita manfaatin untuk memastikan semua memaknai objektif pembelajarannya," ujar Vero meringis sembari menepuk bahu kiri Tama.
Rangkulan serta ucapan yang bermaksud mau membantunya itu, entah kenapa membius tubuh Tama serempak kaku menanggapi penerimaan. Dibandingkan menghina atau mewajarkan kebodohannya, sikap Vero dan Revo sedari tadi terus mengikis pertahanan Tama.
"Ver, kita coba metode video based learning aja. Kali si Tama bukan tipe yang hobi baca? Nanti sekalian kita sambung review sambil jalan."
"Nah, asyik, tuh. Bilang ke Alfa coba, Rev."
"Roger that."
Selepas menampilkan gestur hormat, Revo pun langsung menghampiri keberadaan Alfa yang tampak sibuk mengerjakan beberapa tugas dalam satu waktu. Laki-laki yang memiliki aura tajam itu kemudian mengangguk singkat menandakan perizinannya.
"The Young Master has given his permission, let's go!"
Merespons tingkah antusiasme terebut, Vero lantas menarik lengan Tama untuk membawanya ke satu ruang khusus di sudut rumah Alfa. Sepetak luas berkonsep bioskop berukuran mini, menjelma destinasi si kembar entah apa yang ingin mereka tunjukkan di dalam sana.
"Sini, Tam." Seraya menunggu Revo mengoperasikan sinyal nirkabel ke TV LED berukuran besar, Vero menepuk bantalan sofa di sebelah kirinya selaku tempat duduk Tama. Laki-laki yang mengenakan aksesoris gelang hitam polos itu tak banyak berkomentar kecuali menuruti perkataannya.
Layar proyektor di hadapan, kemudian menyala menampilkan video dokumenter peristiwa masa lalu. Jujur, Tama sempat kebingungan dari mana si kembar mempersiapkan semua bahan ajar ini begitu cepat. Barangkali, tidak seperti Tama yang hanya mengandalkan referensi buku utama, Vero dan Revo rajin mencari sumber tambahan pula untuk memperluas pemahamannya. Tama malu jika alasannya tidak menguasai materi, turut dipengaruhi karena ia tidak maksimal dalam berusaha.
"Lo yakin gua nggak bikin kita buang-buang waktu? Kalau dengan adanya gua malah bikin lo berdua jadi terhambat, mendingan gua—"
"Tam, jangan merasa begitu. Kita ini satu kelompok. Udah seharusnya kita saling bantu supaya seluruh anggota memperoleh hasil pembelajaran yang sama. Gua sama Revo senang, kok, membagi ilmu kita. Asalkan, lo mau serius juga ikutinnya."
"Betul, santai aja sama kita. Gua percaya lo bisa menguasai materinya kalau udah ketemu waktu yang pas dan pakai metode belajar yang sesuai. So, to begin with, kita berdua bakal bantu lo review dulu, oke?"
"Hm? Ya, terserah lo berdua aja kalau begitu," balas Tama ragu-ragu lalu beralih ke arah depan.
Diiringi penjelasan Vero dan Revo di setiap reka adegan penting, fokus Tama pun terjerat mengamati karya sinematik yang berjalan. Ramai untaian kata yang sulit ia kaji di buku pelajarannya, mendadak terangkum semudah itu melalui ulasan si kembar.
Sebetulnya, Tama tak tahu apakah ia pantas menerima jalan pintas tersebut atau tidak. Tetapi—satu hal yang pasti, Tama cukup menikmati alur kegiatan ini. Dukungan tulus serta kecakapan Vero dan Revo, agaknya memotivasi Tama dalam mengejar ketertinggalannya. Setelah sekian lama, memelajari sesuatu rasanya memunculkan nilai guna untuk Tama gapai.
"Ngomong-ngomong, Ver, Rev, gua boleh tanya?"
Sekilas—meski tak ia ungkapkan, mendapatkan ketertarikannya kembali nyatanya turut menggores luka ganjil di dada Tama. Sayangnya, lelaki tersebut begitu pasif dalam menelusuri apa yang menyebabkannya putus asa di sekian persoalan. Selaku siswa SMA, seharusnya Tama tidak setengah-setengah perihal menempuh pendidikan. Sebenarnya, mulai sejak kapan, ya, Tama kehilangan semangat belajarnya?
"Lo berdua ... kenapa mau percaya sama gua?"
Sebersit konflik yang diangkat pada bilik ruang guru itu, perlahan semakin memanas akibat seorang siswi yang merasa jawaban ujiannya telah diintip dan disebarluaskan, sedang meledak-ledak mengeluarkan amarahnya.
Tepat di sampingnya, berang ekspresi remaja laki-laki yang dituduh sebagai pelaku utama, lalu saling berbalasan membela diri karena sumpah, ia tidak tahu-menahu mengenai hal tersebut. Alasan tidak masuk akal seperti urutan duduknya yang bersisian dengan si korban saat ujian semester tengah berlangsung, tentu tidak dapat dijadikan bukti yang kuat bahwasanya ia merupakan biang dari buruknya aksi menyontek.
"Alah, jujur aja, deh! Kalau bukan kamu, terus siapa yang bisa lihat kertas ulangan aku? Selama ini, 'kan, kamu atau anak-anak yang duduk di belakang nggak pernah dapat nilai bagus! Pasti semuanya dimulai dari kamu!"
"Eh, lo nggak usah asal bacot, ya! Jangan sok mentang-mentang lo ranking satu!"
"Tama! Jaga mulut kamu!"
Akibat penegasan sosok guru di seberang, remaja laki-laki itu terpaksa meredam emosinya yang terkayuh berkeliaran. Garis rahangnya mengetam kencang menyalurkan amarah.
"Pak, Anda nggak lihat reaksi anak Anda sendiri bagaimana? Sudah SMP, kalau salah, ya, diajarkan caranya meminta maaf! Ini udah jelas ketahuan curang, masa masih sempat melawan? Bahasanya juga nggak sopan!"
Sayangnya, argumen buta yang sangat menyudutkan ini tidak memberinya kesempatan untuk berlaku tenang sedikit pun. Remaja laki-laki itu benar-benar tidak terima wali murid dari pihak oposisi ikut menyerangnya tanpa batas. Terlebih, sikap guru yang sepatutnya netral menengahi perkara, setelahnya seolah menyuruh Tama agar segera mengaku apabila ingin masalahnya cepat selesai.
"Kalau tuduhan ini nggak bisa diterima, sekarang lebih baik kamu menjelaskan sesuatu, Tama. Tapi, andai memang semuanya benar, Ibu pikir ini waktunya kamu berkata jujur. Menampik sebuah kesalahan seperti ini bukanlah perilaku yang bisa ditoleransi, Tama."
Dalam hatinya, remaja laki-laki itu ingin sekali berkata bahwa ia telah habis-habisan belajar demi mendapatkan nilai bagus pada ujian semester kali ini. Meski begitu, panas yang merasuki dirinya sempurna merusak segala niat untuk meluruskan kesalahpahaman. Sedari tadi, setiap apa yang keluar dari mulutnya hanya berupa kalimat pertahanan yang bersifat kasar dan tidak mengenakkan. Tampaknya, ia membutuhkan pertolongan seseorang untuk menggantikannya menghantarkan kebenaran.
"Ayah."
Lantas mengalihkan pandangan ke sebelah, remaja laki-laki itu refleks memegang tangan ayahnya yang diminta ikut duduk mendampingi. Walau saat ini hubungan mereka sedang tidak baik-baik saja, ia tetap meyakini Ayah merupakan satu-satunya sosok yang mau melindungi keberadaannya.
Alasan ia belajar mati-matian kemarin, sejatinya didedikasikan untuk merebut hati sang Ayah sebab belakang ini, pria itu sangat sibuk memperhatikan wanita asing yang menjelma kebahagiaan barunya. Sungguh—meski sejak dahulu ia sudah sering diabaikan, pengalaman yang terjadi sekarang tetaplah kali pertamanya ia merasa terancam sampai takut kehilangan posisi di mata Ayah. Fokus membaca materi merupakan kesulitan utamanya. Tetapi, khusus Ayah tercinta, ia rela bersusah payah.
"Tama, nilai ulangan yang semalam kamu banggakan ini, semua kamu dapatkan dari hasil menyontek?"
Mendengarnya, remaja laki-laki itu tercelus. Apa yang ia harapkan keluar dari mulut Ayah, ternyata tidaklah sesuai dengan yang terbayang dalam benak. Sepertinya, mau seberapa keras ia berupaya, segalanya masih saja berujung sia-sia.
"Ayah pikir, kamu serius mau berubah. Di saat sekali ini Ayah minta kamu untuk bisa bekerja sama, kenapa kamu malah semakin mengacau, Tama?"
Batinnya, lagi-lagi terluka. Berkat aksi payahnya yang terdiam tak memberikan sedikit pun kalimat pembenaran, pasang mata di seluruh ruangan itu kini utuh mengambil kesimpulan bahwa dirinya memang melakukan kecurangan.
Mengapa, ya? Mudah sekali bagi orang-orang untuk menganggapnya selaku beban? Jika, bahkan sosok pahlawannya saja enggan memihak ketulusannya, lantas kepada siapa ia harus setia berpegangan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top