09. Warna
Tidak seperti biasanya—di waktu istirahat kali ini, Tama benar-benar tidak berkeinginan pergi ke rooftop melainkan hanya duduk di kursinya sembari membaringkan tubuh ke atas meja. Isi kepalanya sedang cukup berantakan karena laki-laki itu belum siap apabila ia memutuskan untuk keluar kelas nantinya, mendadak ia bisa berpapasan dengan Luna.
Ungkapan tersirat Tama tentang mereka dapat saling berbagi keluh kesah pagi itu, agaknya terdengar terburu-buru jika ditilik kembali. Dirinya dan Luna baru saja berkenalan, bukan? Tama merasa terlalu sembrono menunjukkan sisi sensitifnya begitu mudah, padahal perilaku tersebut jarang sekali ia tampilkan pada siapa pun.
Di sisi lain, respons Luna yang tak menjawab kecuali menorehkan senyum cerahnya kala menanggapi penawaran tersebut, bahayanya tak kunjung berhenti membuat jantung Tama menggebu tak karuan. Bayangan rasa takut, antusias, ketertarikan, dan segala macam variasinya serempak mengerubungi hati Tama, seperti ia baru saja menemukan satu kawanan sejenis, namun ia sendiri masih tak yakin akan kebenarannya.
Maksud Tama, dia ini laki-laki bandel, serampangan, biang permasalahan, sedangkan kelembutan Luna adalah segala hal yang terpaut berkebalikan. Bagaimana jika seharusnya, mereka tidak berkenalan?
"Kita bisa saling berbagi. Sesuatu ... yang sanggup buat hari kita terus baik-baik aja."
Celaka, Tama sedang mengalami krisis kepercayaan diri lantaran kesan Luna terlampau cepat menggiring percakapan mereka ke arah yang bersifat personal. Terlalu lama berkelana sambil terus mengobati lukanya secara mandiri, menyebabkan Tama terlampau rentan perihal mengikis tembok pertahanannya. Menurut Tama, bekas goresan yang tinggal di dalam sana merupakan sebuah kecacatan besar oleh karena itu, Tama cenderung menampilkan sisi jenakanya saja sebagai sisa pesona ke dunia luar.
Syarat kepedulian adalah esensi yang terbilang langka muncul di kehidupan Tama. Jadi, ketika Luna tiba-tiba memberikan itu tanpa ia minta, Tama mudah terpikat—sekaligus cemas bagaimana ia sanggup memproteksi diri tanpa menggunakan topeng andalannya.
"Luna itu jago banget soal melukis! Semua yang dia gambar di kanvasnya terlihat bernyawa kayak ... lo tau, 'kan? Kalau di pameran, penikmat karya suka terpaku ke bingkai tertentu buat memahami inti pesan atau emosi yang disampaikan senimannya? Nah, Luna punya sentuhan itu! Kuas dia semacam medium bercerita walau gue sendiri kurang paham, sih, tafsirannya gimana. Karena setiap ditanya tebakan gue artinya benar atau nggak, Luna selalu bilang per orangan bebas memilki interpretasinya masing-masing. Ketimbang dingin, Luna, tuh, lebih ke cewek misterius yang keberadaannya sehangat bunga matahari! Unik, 'kan?"
Ya, pembicaraannya dengan Pelangi di kafe petang itu memperjelas dugaan Tama bahwa Luna bukanlah sosok yang sembarang mau membagikan perasaan, seperti dirinya. Namun, kilas simpatik yang muncul ketika Luna mendapati Tama termenung di pertemuan pertama mereka maupun Tama yang memergoki tangisan Luna di pinggir arboretum belakang, barangkali telah membentuk sebuah pengecualian bahwa entitas yang serupa tidak baik-baik saja, boleh saling mengungkapkan makna atas gambar dirinya masing-masing.
Di mata Tama, spektrum cerah milik Luna tetaplah cantik meski tampak pucat di beberapa titik. Tama penasaran apa yang Luna pikirkan tentang kombinasi warnanya yang cenderung gelap dan memekatkan.
"Oke, berhubung syarat pembentukan kelompok pada kali ini dibebaskan, silakan kalian diskusi sendiri mau bareng siapa. Isinya maksimal tiga orang, ya! Jadi, pas semisal dihitung dari jumlah anak di kelas kita. Kalau udah, langsung tulis ke depan."
Daripada itu, seruan ketua kelas yang mengimbau agar segera menyusun anggota perihal tugas sejarah—yang ia tidak tahu detailnya bagaimana—membuat kepala Tama semakin pusing mendengarnya. Agenda mencari-cari rekan di Bina Bangsa sangatlah ketat sehingga tipe pelajar yang dianggap pemalas—seperti Tama—tidak mungkin mendapat tempat untuk disisakan.
Di sekolah sebelumnya, sifat supel dan besar energi Tama dinilai cukup dibutuhkan dalam urusan logistik, misalnya membeli dan mengangkut barang, merakit atau mengoperasikan alat prakarya, serta membuat suasana kelompok menjadi lebih menyenangkan. Lain lagi di Bina Bangsa, kuasa otak begitu diandalkan karena tipe tugasnya sendiri banyak mementingkan kerincian materi dan disampaikan berbasis presentasi digital.
Tak heran, jam istirahat yang seharusnya memberi ketenangan sontak dipenuhi keributan demi merekrut teman yang mampu diajak bekerja sama. Mereka semua tampak bersemangat dan berdedikasi. Tama lupa kapan terakhir kali ia merasakan hal tersebut selama mengenyam bangku pendidikan.
"Tam, kita baru berdua, nih. Lo belum ada kelompok, 'kan? Ikut bareng kita mau nggak?"
Tak disangka ada yang menawari permintaan untuk bergabung, kepala Tama langsung mendongak menjatuhkan tudung hoodie abunya yang menutupi seluruh rambut. Tama kira orang bodoh mana yang berminat mengajaknya masuk ke dalam kelompok. Lagi-lagi si kembar.
"Dibandingkan gua, lo nggak mau cari yang lebih—"
"Rev, Ver, kelompok lo berdua belum lengkap, 'kan? Gua join ke situ, ya?"
Sesaat, rahang Tama mengatup cepat kala Juan—si ketua kelas—tiba-tiba menyerobot percakapan dari arah depan. Lelaki berkacamata itu menyentuh masing-masing bahu si kembar.
"Oh, iya, sih. Tapi, kita barusan mau ajak Tama tadi."
"Begitu?" Ada sepercik tatapan sinis dari bagaimana Juan menangkap kalimat tersebut. Ekor matanya sempat melirik ke bawah singkat seolah dari posisi berdirinya, Tama yang duduk di kursi tengah ia rendahkan. "Ikut gua sebentar, yuk?" Tak lama kemudian, Juan membawa Vero dan Revo ke sisi pintu kelas.
"Ck, padahal udah lalu. Dia masih aja," ujar Tama menaikkan alisnya tinggi memantau pergerakan Juan.
Selaku siswa nakal, Tama tidak kaget apabila anak-anak rajin atau pintar semacam Juan tak menyukai keberadaannya. Selepas menginjak masa pubertas, meski sejatinya Tama tidak pernah mengganggu, pasti ada saja teman sekelas yang anti terhadapnya. Mereka yang memiliki pola pikir cenderung kaku dan agak kritis, seperti otoritas orang dewasa, mungkin telah mengetahui lebih dahulu bahwa sosok urakan layaknya Tama tidaklah pantas didekatkan.
Dari kejauhan—lewat gerak-gerik Juan yang berkesan persuasif, Tama tahu persis lelaki itu bermaksud mengontaminasi pikiran si kembar perihal betapa buruknya apabila mereka harus sekelompok dengan Tama. Barangkali tentang Tama yang tidak mau berkontribusi, Tama yang hanya akan menyusahkan pengerjaan tugas, atau hal lainnya yang Juan pandang sepihak ketika ia pernah satu tim bersama Tama di kelas XI kemarin.
Sejujurnya, Tama kesal dan ingin menampik seluruh impresi negatif yang serempak Juan tumpahkan kepadanya. Bagaimana pun juga, Tama mempunyai pembelaan. Namun, sebab pengalaman ini telah ia rasakan sebanyak berulang kali, bahkan sejak SD, Tama belajar menyadari bahwa boleh jadi ia memang kurang berkompeten sehingga Juan—atau teman pintar lainnya yang sejenis—selalu memandang ia sebelah mata.
Tama paham ia lambat, sedangkan mereka kelewat cepat. Setidaknya, walau ia direndahkan, keputusan bijak Juan berarti benar agar si kembar tidak lagi menaruh minat untuk terus mendekatinya selaku inang yang merugikan.
"Tam."
Usai berbicara dengan Juan, Vero dan Revo lantas kembali menghampiri kursi Tama. Raut wajah mereka tampak sedikit menekuk seperti buru-buru ingin mengambil keputusan. Setelah ini, Tama bisa menduga si kembar akan membuat alasan ramah-tamah basi karena tidak jadi mengajaknya sekelompok sebab terpengaruh ucapan Juan. Sumpah, Tama akan menerimanya dengan berlapang dada.
"Gimana? Lo, oke, nggak gabung sama kita? Tiga detik lo nggak jawab, langsung gua tulis di papan tulis, ya?"
"Hm?" Tama bergumam. Penawaran yang berbunyi konsisten tersebut mengagetkan Tama sampai-sampai ia tidak sempat bersuara.
"Oke, udah tiga detik. Deal, ya, lo bareng sama kita? Let's go, Rev, kita tulis nama kelompoknya."
Sebuah kata bermakna tunggu sebentar tertahan di ujung lidah Tama. Laki-laki itu tergugu jerat di antara ia cukup senang ada yang memercayainya selaku rekan kelompok atau takut keberadaannya hanya akan memperlambat kerja si kembar. Meski begitu, Vero dan Revo terlanjur menuliskan namanya tepat bersanding di urutan pertama pada permukaan papan tulis sehingga Tama tidak mampu berbuat apa-apa.
Dari depan sana, kedua laki-laki yang berperawakan nyaris serba serupa itu, kemudian meringis sambil mengacungkan jempolnya seakan berkata, "Lihat, Tam! Kita bertiga sekelompok!". Tama yang merasa gengsi lantas menutup sebelah wajahnya menggunakan permukaan tangan agar ia tampak netral atas apa pun keputusan si kembar.
Di sisi lain, Juan yang masih berdiri dekat pintu masih mengamatinya dengan aksen tidak suka. Walau Tama tidak tahu apa yang sebenarnya Vero dan Revo pikirkan sampai mengabaikan peringatan Juan, Tama tetap bertekad ia tidak akan melibatkan diri terhadap si kembar lebih jauh daripada ini.
Iya, hingga pengerjaan tugas kelompok selesai saja. Tama tahu diri seberapa buruk nilai yang dimilikinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top