06. Tanggung
Sejak perpisahan itu terjadi, suasana di meja makan tidak pernah bisa Tama nikmati kembali dengan senyum menyenangkan yang terpasang di sisi wajah. Terakhir, setidaknya Tama bisa berpura-pura mengukir lekuk tipis di bibirnya adalah sebelum ia menginjak bangku SMP. Kala itu, Tama pikir ia masih mempunyai tanggungan untuk menghibur hati ayahnya yang dilanda kehancuran—meski tidak saling berbalasan. Lain lagi sekarang, peran tersebut tampaknya telah tergantikan jauh lebih baik oleh keluarga barunya yang terbentuk sangat cepat.
"Putri, ikan salmonnya makan yang banyak itu. Kamu, 'kan, sedang dalam masa pertumbuhan. Biar nanti bisa semakin tinggi, ya?"
Jujur, ada kelegaan yang timbul di sekat jantung Tama sesaat ia mengetahui Ayah tidak lagi mendera penderitaan hebat akibat ditinggal Bunda sekian tahun lamanya. Binar bahagia yang dahulu ingin sekali Tama ukir demi sang ayah, kini tercipta begitu mudahnya lewat kehadiran Putri dan Lita—selaku ibu sambung. Meski demikian, butuh membagi ruang bersama pihak yang tak sepenuhnya sedarah membuat Tama agak risih walau ia tahu perasaan tersebut sangatlah kekanak-kanakan.
Setiap malam, ada ragam syarat perhatian yang terlempar dari sudut bangku ke tempat lainnya, seperti Lita mungkin akan bertanya seputar apakah pekerjaan Ayah di kantor berjalan baik-baik saja? Kemudian Ayah membalas dengan hangat seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan, lalu mereka berdua kompak berlanjut mengecek keseharian Putri dan mendengar serangkaian hal yang berhasil menyebabkan anak kecil itu tertawa bahagia. Di bagian yang selalu tak diindahkan, Tama hanya berperilaku jenaka apabila Putri melibatkannya ke dalam percakapan, tetapi jika tidak, ia terbiasa bungkam sekenanya.
Pembahasan topik mengenai dirinya bukanlah sesuatu yang diharapkan. Sebab andai itu terjadi, semua pasti lekat berisikan kekacauan yang memuakkan. Di tengah keluarga barunya yang sudah terbangun sepanjang 6 tahun ini, Tama tahu persis Ayah sangat berusaha untuk membangun situasi yang nyaman bagi kehidupan Putri serta Lita. Bekas kegagalan di rumah tangganya yang lalu, barangkali menyebabkan Ayah tuntas meredefinisikan tanggung jawabnya sehingga ia tidak mau mengulangi kesalahan apa pun. Namun—di mata Ayah, sayangnya masa pubertas Tama tidaklah sesuai dengan rencana pembenahannya.
"Abang, habis ini main ke kamar Putri dulu, ya? Putri mau ada teman ngobrolnya sebelum tidur."
Ajakan itu melambung cepat sesaat semua yang ada di ruang makan telah menghabiskan santapan malamnya. Jujur, kehadiran Putri merupakan sesuatu yang paling tidak Tama benci, tetapi ada kalanya Tama juga tidak menyukai sikap Putri yang cenderung menyerap dan meminta segenap perhatian. Mungkin, lantaran Tama menanggung banyak beban sendirian sewaktu kecil, ia jadi sedikit sensitif perihal kasih sayang.
"Putri main sama Bang Tamanya besok aja. Lagian Putri harus bangun pagi, 'kan, buat ke sekolah? Biar malam ini, gantian dulu Ayah yang mau pinjam Bang Tamanya."
"Yah, ya, udah, deh, kalau begitu. Tapi, Ayah janji, ya, besok nggak boleh ganggu Putri sama Bang Tama main?"
"Iya, Ayah janji," kata Dirga—sang ayah—mengelus puncak kepala Putri.
Sekilas, Tama memang tampak seperti anak laki-laki yang difavoritkan oleh seluruh anggota keluarga, tetapi percayalah Dirga tidak melakukannya demi itu. Serampungnya Lita beres merapikan meja makan dan membawa Putri masuk ke kamar tidur, raut hangat Dirga seketika luntur menyisakan hawa dingin yang menyusup ke sekeliling tubuh Tama. Alih-alih memecah beku, mereka berdua justru pandai memperburuk suasana dengan saling tidak berminat untuk bertukar pandangan.
"Ayah tunggu di atas."
Sampai akhirnya, saat Dirga beranjak dari kursi duduk dan perlahan menaiki anak tangga begitu senyap, Tama pun menghela napasnya panjang persis mengetahui gelagat tersebut mengartikan apa.
"Ck, sial."
Berulang kali harus melewati pahitnya interaksi terhadap sang ayah tidak serta-merta membuat Tama mampu merasakan aman—walau sekarang setidaknya ia tidak lagi bergetar ketakutan. Selama Tama masih tinggal di rumah, otoritas akan kekal digenggam oleh ayahnya sehingga sewaktu-waktu tangguhnya keberanian Tama dapat terancam hanya dengan kuasa tersebut.
Jika di keseharian terjadi sesuatu yang salah, Ayah selalu bisa melakukan hal apa pun kepada Tama. Sebaliknya, meski kenyataannya Tama juga banyak dikecewakan atas sekian pilihan Ayah, Tama tidak pernah memiliki kekuatan untuk meluapkan itu, bahkan sejak dari kecil. Apakah keraguan Tama akarnya didasari akibat keseganan atau cinta, remaja laki-laki itu tidak tahu pasti. Namun yang jelas, apa yang semulanya menyebabkan Ayah sanggup menerobos batas tersebut masih sering hinggap menghantui pikiran Tama.
"Apa jendela kamar kamu harus Ayah teralis supaya kamu nggak bisa kabur lagi dari rumah?"
Pertanyaan tersebut tepat menyambut Tama yang baru saja masuk ke dalam kamar pribadinya. Pintu ruangan itu kemudian Tama tutup rapat agar suara perbincangannya dengan Ayah tidak terdengar ke lantai bawah. Mengenai upaya Ayah tentang membangun situasi yang nyaman bagi kehidupan Putri serta Lita, tentu Tama turut mendukungnya sepenuh hati oleh karena itu, ia senantiasa menjaga sisi buruk Ayah agar—setidaknya—Putri tak mengetahui.
"Tengah malam kemarin, Ayah tau kamu nggak ada di rumah. Mungkin nggak sekali ini aja kamu begitu setelah Ayah coba terapin aturan jam malam. Ayah pikir kamu bisa diatur meski cuma sebentar. Ternyata sikap berandalan kamu memang nggak bisa hilang, ya?"
Iya, ini masalah Tama yang pergi ke rumah Melvin kemarin malam. Semenjak ia membuat kesalahan besar di sekolahnya yang lalu, kemarahan Ayah jadi semakin meluap sampai-sampai Tama perlu dihukum selayaknya anak kecil yang dilarang menjelajahi dunia luar. Walau begitu, Ayah seharusnya adalah orang yang paling mengerti bahwa hukuman tidak akan mempan dalam memperbaiki kerusakan Tama.
"Terus Ayah penginnya gimana? Mau selamanya kurung Tama di sini sampai Tama mati kebosanan?"
Plak!
Tamparan itu lantas mendarat tepat di sebelah pipi kiri Tama. Permukaan tangan Ayah sejatinya cukup lebar dan kasar sehingga mau seberapa kali pun Tama menerima pukulan tersebut, kulit wajahnya selalu terasa seperti terbakar berkelanjutan.
"Dasar anak g*b*ok! Kamu pikir, Ayah melakukan ini tanpa alasan? Kamu itu baru aja ketahuan bawa narkoba ke sekolah, Tama!" Dirga memijat pelipisnya frustasi. Pria itu memejamkan netra sembari merundukkan kepalanya sedikit. "Bahkan kalau memang barang itu nggak kamu pakai, kamu tetap nggak mau jujur ke Ayah dari mana kamu mendapatkannya. Siapa yang mau jamin kamu kelayapan malam-malam bisa terhindar akan pergaulan bebas seperti waktu sebelumnya? Pakai otak kamu!"
Sambil mengencangkan rahangnya yang tergeser akibat tamparan tadi, Tama memilih bungkam tak menanggapi satu pun pernyataan tersebut. Alasan mengapa Tama dipindahkan ke SMA Bina Bangsa, sebetulnya adalah karena Tama memang pernah membawa narkotika golongan 1 di sekolah lamanya. Meski begitu, ia bukan melakukannya dengan sengaja melainkan seorang pengedar kenalan Melvinlah yang diam-diam memasukkan klip plastik berisikan bubuk heroin ke dalam tas Tama. Si bajingan itu niat memeras Tama selaku pundi-pundi uang langganan apabila berhasil mengubahnya menjadi pecandu berusia remaja.
Jika ada yang bertanya apakah Tama benar-benar bersih dari penyalahgunaan obat-obatan keras? Jawabannya, tentu tidak. Di masa kelamnya atau ketika Tama sedang memasuki fase paling kalut, ia pernah memohon kepada Melvin—yang Tama ketahui, laki-laki tersebut mempunyai akses—untuk memberinya sebuah barang guna mengatasi riuhnya suasana hati. Walau demikian, Melvin paham betul maksimal yang mau Tama terima hanyalah kandungan aktif diazepam selaku psikotropika golongan 4 agar efek ketergantungannya masih sanggup ditoleransi. Heroin yang memuat zat adiktif tinggi tidaklah menjadi pilihannya sebab Tama mempunyai batasan perihal tidak menghancurkan hidupnya pada taraf tertentu.
Terakhir, mau sampai kapan pun Ayah mendesak terkait dari mana Tama memiliki akses menuju obat-obatan terlarang tersebut, Tama akan selalu enggan menjawabnya secara jujur karena jika, iya, penyelidikan Ayah pasti langsung terhubung ke lingkup bekas tongkrongan tersembunyinya—termasuk kediaman Melvin—dan segera tempat pelarian Tama bakal hilang selamanya. Melvin dan kawan-kawan yang lain tidaklah patut dipandang selaku kambing hitam sebaliknya si pengedarlah yang harus disalahkan lantaran telah menyelundupkan sampel berbahaya tanpa diminta. Sayangnya, tingkat agresitivitas Ayah tidak mungkin sanggup membedakan itu sehingga kala ditanyakan, Tama setia melontarkan kalimat seperti, "Tama nggak kenal pengedarnya siapa. Asal ketemu aja di pinggir jalan."
"Sekali lagi kamu ketahuan melanggar peraturan, Ayah janji akan berhenti atur kehidupan kamu. Nggak ada jam malam, kunci motor kamu Ayah balikin sepenuhnya, terserah kamu bebas mau melakukan apa," ucap Dirga penuh penekanan lalu keluar melewati bahu Tama begitu beratnya.
Sekilas, pernyataan pelepasan tali kekang yang mengikat pergerakan Tama—sejak 1 semester lalu—seharusnya terdengar melegakan. Namun, di sisi lain ungkapan barusan juga berarti Ayah telah selesai memedulikannya. Sampai detik ini, bahkan Tama masih tidak mengerti apa yang sebenarnya ia harapkan dari sang ayah. Andai di satu waktu dibandingkan memarahinya Ayah justru tulus mempertanyakan apa yang sejatinya menyebabkan Tama perlu bersentuhan dengan obat penenang, apakah situasinya akan berganti?
"Ayah belum jawab pertanyaan Tama tadi. Sebetulnya, Ayah pengin Tama gimana?" katanya bermonolog usai sang ayah utuh menghilang dari peredaran.
Mengalihkan pandangan ke arah samping, presensi Tama serempak dilucuti oleh gantungan cermin berbentuk persegi panjang setinggi badannya. Dalam pantulan tersebut, dengan jelas Tama dapat melihat sosok remaja laki-laki yang sesungguhnya amat terluka, tetapi gagah penampilan fisiknya sanggup menutupi semua jejak tersebut.
Semburat rona merah bekas tamparan ayahnya masih membekas di pipi kiri. Panasnya sudah hilang memang, tetapi tekanannya tidak mau beranjak terus merambat ke dasar palung hati. Dahulu, saat pertengkaran itu terjadi dan Tama terpaksa melihatnya langsung untuk yang pertama kalinya, bayang di benaknya tidak bisa berhenti memikirkan apa yang sejatinya Bunda rasakan selepas menerima peluapan emosi Ayah. Beruntung, tidak lama setelah itu, Bunda cepat pergi meninggalkan rumah.
Walau Tama sendiri sebenarnya tidak siap akan keputusan tersebut, ia cukup senang Bunda tidak perlu mengalaminya secara berulang. Biar kini, sakitnya Tama gantikan hingga entah kapan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top