02. Posisi
Sebungkus batang cokelat yang memiliki berat bersih sekitar 65 gram itu, ia angkat tinggi sejajar garis matanya yang menghadap lurus mengudara. Sebelah lengannya yang tak berkesibukan, ia julurkan ke belakang kepala sebagai sanggaan bantal yang menumpu pose berbaringnya. Kudapan berbentuk persegi panjang tersebut tak luput ia amati sekaligus menjadi tameng atas pijar lampu yang bersinar di langit-langit kamar. Berulang kali, Tama mengerjapkan netra tak memahami apa yang sebenarnya terjadi lewat interaksi ganjil dengan sosok perempuan misterius siang tadi.
Menimbang wajah familiar angkatan akhir—yang sebetulnya separuh saja, bahkan tidak ia hafal semua, Tama merasa tidak pernah sekali pun bertemu gadis yang kini tengah terbayang dalam benaknya. Karakteristik siswi di SMA Bina Bangsa umumnya tampil mencolok dengan lagat modis, namun yang satu ini justru terkesan begitu lembut dan baik hati. Merujuk pada panggilannya yang langsung menyelipkan sapaan 'Halo' tanpa embel-embel sebutan 'Kak' di awal kalimat, Tama kira perempuan itu sama berstatus selaku senior tertua, seperti dirinya. Aksen asing yang seolah membuat Tama benar-benar baru melihatnya, mungkin didasarkan atas perbedaan rumpun kelas di mana Tama merupakan anak IIS, sedangkan ia—barangkali—dari MIPA. Wajar, bukan? Apabila Tama tidak mengenalnya? Lagi pula, ia ini anak pindahan.
"Kamu ... keadaannya baik-baik aja?"
Satu poin penting yang sebetulnya menyebabkan pikiran Tama tersita malam ini adalah, ia tengah dilanda kebingungan menafsirkan makna dari gaya lawan bicaranya yang terdengar aneh, tetapi sejalan dengan itu pula, Tama ikut terkunci di pusatnya. Sudah berapa tahun silam, Tama tidak mendapati pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Penuturan kata-kata sederhana yang bukan terkesan memaksa, melainkan tulus apa adanya sempurna membius Tama untuk sejenak utuh merenungkan kalimat tersebut dalam-dalam. Cara gadis itu memandang, raut wajahnya yang menempatkan perhatian, serta gestur tubuhnya yang berkomposisi tenang tak memberikan ancaman, mengakibatkan kesadaran Tama sempat terhipnotis hampir mengatakan hal yang tidak-tidak. Beruntung, ia bisa segera mengambil kendali diri dan berkata, "Keadaan gua, oke, banget, kok! Nggak lihat senyum gua lagi mengembang manis begini kayak gulali?"
Tama mengerutkan dahi. "Ada, ya, tiba-tiba orang datang tanyain kabar terus kasih cokelat gratis di siang bolong?" Ia mengingat momen di mana setelah mendapati jawabannya, perempuan tersebut malah mengangguk tipis lalu memberikan sebuah bungkusan berwarna ungu dari saku seragamnya.
"Untuk kamu. Semoga cokelat ini bisa bikin suasana hati kamu jadi lebih baik, ya. Aku duluan," ujarnya kala itu.
"Gila, padahal tadi siang gua cuma bercanda doang minta Bu Siska tanggung jawab kalau-kalau yang suka sama gua bakalan makin banyak. Progres jadi rajin aja belum gua mulai. Pesona gua sekuat itu?" Tama bersenandika. Ia bergumam menempatkan jemari telunjuknya di depan mulut. Kadar percaya dirinya barangkali sedang muncul ke permukaan. "Ya, nggak heran, sih, gua memang ganteng. Buat apa juga lo pikirin itu, Tam?" Sedetik kemudian, ia mengacak rambutnya berantakan.
Mungkin yang sejatinya ingin Tama ungkapkan adalah, ia sedikit menyesal tidak terburu mengucap sambungan balasan atau sekadar menanyakan nama dari sosok misterius terujuk. Tabiatnya unik sekali sehingga jejak impresi tersebut memunculkan sebersit penasaran Tama terhadapnya. Di luar itu, Tama pun bertanya-tanya kenapa dari sekian basa-basi yang sanggup diutarakan, perempuan itu harus memastikan perihal keadaan di awamnya pertemuan perdana mereka?
"Abang, Putri pusing banget! Lama-lama ini soal matematikanya bikin kepala Putri kayak mau meledak tau nggak! Kapan selesainya kalau begini terus?"
Mendengar adanya keluhan bising dari arah serong kanan, Tama pun mengalihkan pandangan menuju entitas yang saat ini tengah mengerecutkan bibir sambil perlahan menenggelamkan wajah. Astaga, baru seminggu masuk sekolah dasar saja, adik kecilnya itu sudah mengeluh menggarap pekerjaan rumah yang tidak seberapa. Tama penasaran apa kabarnya di masa depan nanti, jika Putri—nama adik kecilnya tersebut—menemukan perhitungan macam aljabar, trigonometri, integral, dan segala teman biadabnya.
"Adik Abang kenapa, sih? Kok, merengut begitu?" ujar Tama menegakkan kerangka tubuh sembari menyimpan cokelatnya ke dalam saku. Ia mendekati Putri yang tampak kesusahan menyelesaikan PR. Wajar, sih, menimbang adiknya itu masuk lebih cepat 1 tahun.
"Iniloh, Bang, padahal baru aja kemarin Bu Nana tanyain Putri sama teman-teman sekelas kalau udah besar nanti mau jadi apa. Jelas-jelas Putri udah bilang kalau Putri mau jadi mermaid. Mana ada mermaid disuruh jawab soal matematika?"
Sempat terdiam sebentar, Tama lantas menghamburkan tawa begitu selesai memproses alasan Putri yang berada di luar penalarannya. Pikiran anak kecil terkadang berkesan unik sekali untuk sekadar dipahami. "Iya, juga, ya? Kayak nggak ada kerjaan lain aja, padahal mermaid, 'kan, bisa berenang menjelajahi samudera yang luasnya nggak terkira."
"Iya! Atau kalau udah bosan berkeliling, Putri bisa jadi princess mermaid di kerajaan laut!" balas Putri mengangguk antusias. Bola matanya membulat lebar menyalurkan ketertarikan yang teramat besar.
Seraya menumpu panjang lengannya di sudut meja belajar adik kecilnya tersebut, Tama bergumam singkat menimbang kira-kira alasan apa yang perlu ia utarakan demi menjembatani dunia fantasi Putri menuju realitas sebenarnya. "Keren juga cita-citanya, Putri. Tapi, gimana caranya Putri jadi princess mermaid kalau disuruh selesain soal begini aja, Putri udah menyerah? Salah satu tugas princess mermaid itu menolong penduduk di kerajaannya, 'kan? Pasti permintaan ikan-ikan di sana jauh lebih sulit dari sekedar soal hitung-hitungan ini."
Mata putri bergerak ke bawah setelahnya. Bocah kecil tersebut tampak merenung barangkali menyadari perkataan barusan ada benarnya juga.
"Mermaid yang suka Putri tonton di film itu juga berulang kali harus melewati banyak tantangan, 'kan, sampai akhirnya dia dinobatkan jadi princess yang baik? Sama kayak soal matematika ini, Putri perlu berusaha lebih kalau mau meraih cita-cita Putri. Mungkin Bu Nana sengaja kasih PR yang bikin kepala Putri sampai pusing banget. Diam-diam, Bu Nana lagi melatih Putri biar mirip princess mermaid yang pintar dan bisa diandalkan penduduk bawah laut nantinya."
"Tapi, Putri nggak terlalu paham kalau hitung-hitungannya ada dua simbol kayak begini," kata Putri memaparkan kesulitannya.
Tama menyisir buku halaman milik Putri. Dua simbol yang dimaksud bocah perempuan itu adalah pengoperasian dasar tentang pengurangan dan penambahan. "Susah juga, ya, tugas yang dikasih Bu Nana?" Sembari sedikit mengayunkan dagunya, Tama bergumam sebentar seolah-olah sedang berpikir keras hingga tak lama kemudian, ia pun menyempurnakan sikap selayaknya saudara laki-laki yang bisa menjadi tempat bergantung oleh adik kecilnya tersebut. "Beruntung, Putri punya kakak yang super keren kayak Abang. Mau Abang ajarin?"
"Mau!" jawab Putri membulatkan netranya memancakan binar pengharapan.
"Eits, tunggu dulu. Harus ada bayarannya, dong," balas Tama menawar kesepakatan.
"Emm ... bayarannya, nanti Abang boleh jadi prince mermaid di istana Putri, deh."
"Hm? Abang boleh jadi prince mermaid di istana Putri?" Tama mengulas tawa kembali. Ia mengusap puncak kepala adiknya tersebut lalu menurunkan garis rahangnya sejajar bibir Putri. "Oke, tapi harus ditambah cium pipi kiri Abang dulu tiga kali," katanya tak cukup puas lantas beralih mengalokasikan fokusnya untuk mengajari Putri setelah mendapat kecupan sayang yang diminta.
Seperempat perederan malam sebelum waktu menghantarkan jam tidur Putri yang membentang teramat panjang—namun tidak berlaku bagi Tama—itu, lambat laun diisi dengan akrabnya interaksi antara hubungan kakak dan adik yang berbagi setengah darah beraliran serupa. Sesekali, saat Putri mulai berkeluh kesah lagi atas kesulitannya memahami materi, Tama sedia membuat suasana balik menjadi hangat dengan candaan atau kalimatnya yang mendorong Putri agar terus bersemangat. Ketika pengerjaan soal matematika dasar itu sudah sampai pada ujungnya, Putri pun bersorak gembira yang lantas diselingi oleh hebohnya kalimat pujian Tama. Agenda belajar yang sebenarnya tak memiliki konteks untuk dimegahkan tersebut demikian tertutup penuh kemeriahan.
"Abang, makasih, ya, udah bantu Putri kerjain soal matematikanya. Pantas aja kalau di rumah, Putri jarang lihat Abang kerjain PR. Pasti gampang banget, deh, buat Abang selesain tugas dari bu guru makanya Abang belajarnya nggak lama kayak Putri. Nanti, semisal Putri ada kesulitan lagi, Abang ajarin Putri kayak tadi, ya?"
Lewat pernyataan itu, isi perut Tama sempat tergelitik sebab apa yang Putri bicarakan barusan terdengar sangat polos sekaligus sarkastis secara bersamaan. Boro-boro mengerjakan, tahu bahwasanya ada PR untuk besok saja, sudah berbuah keajaiban bagi Tama yang hampir menyerah meletakkan kepeduliannya pada nilai akademis. Faktanya, bukan jarang terlihat, melainkan Tama memang tidak giat belajar di dalam maupun luar sekolah. Meski begitu—walau kenyataannya bertolak belakang, berlagak menjadi contoh yang baik untuk adiknya sendiri tidak masalah, bukan? Kelewatan andai sebatas melakukan pengurangan atau penambahan saja, Tama tidak bisa.
"Bayarannya cium pipi kanan Abang empat kali berarti buat selanjutnya."
"Oke, nanti Putri kasih bonus cium pipi kanan Abang lima kali, bahkan!" ucap Putri sembari menampilkan deretan gigi susunya.
Selang beberapa detik Tama berniat ingin menghibur lewat topik percakapan baru, suara daun pintu rumah yang tiba-tiba terayun kencang malah mengambil atensi Putri begitu saja. Bocah perempuan itu langsung berlari meninggalkan Tama—dengan rahangnya yang setengah menganga—kala menyadari sang ayah telah pulang bekerja
"Buset, main kabur aja, tuh, bocah. Pelan-pelan, Putri," ujar Tama memperingati adik kecilnya yang bergerak sangat cepat. Ia menggeleng singkat.
"Ayah, kok, pulangnya malam banget, sih, hari ini?"
"Oh, ya? Habis tadi Ayah mampir dulu buat beli boneka baru buat kamu."
"Boneka baru? Asyik! Putri mau lihat, dong!"
Melalui celah pintu yang terbuka, samar-samar Tama dapat mendengar Ayah melontarkan kalimat penenangnya untuk meredam protes Putri kemudian. Sempat melirik sekilas—dari kejauhan, Tama pun bisa melihat Ayah tengah menggendong Putri sambil menenteng plastik putih ke ruang keluarga. Kotak mainan itu lalu dikeluarkan Putri dari bungkusnya, sedangkan Ayah tampak tersenyum memperhatikan.
Intensi Tama yang berawal hanya mengintip barang sejenak, lantas berlanjut sekian detik mengamati sikap Ayah yang berubah 180° di hadapan puteri kesayangan. Saking lamanya mengulur waktu, kontak mata yang tidak diinginkan tersebut bahayanya justru hadir saling mempertemukan. Hangatnya sorot mata Ayah sekejap memudar seolah malas menangkap presensi Tama di peredaran. Tahu bagaimana menempatkan posisi, Tama pun keluar menutup kamar Putri rapat-rapat lalu berlaku abai naik ke ruangannya sendiri yang terletak di lantai atas. Dalam diamnya yang terlampau sering ia sembunyikan, terkadang sebersit pemikiran gemar melintas di benak Tama tentang mengapa dua anak yang berbagi darah dari ayah yang sama, bisa diperlakukan demikian sepenuhnya berbeda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top