01. Keadaan
Hiruk pikuk ruang guru di jam istirahat itu, sebagian tengah berjalan santai diisi banyak percakapan yang berkisar antara peristiwa menarik di keseharian, keluh kesah menangani peserta didik, atau sekadar melempar candaan demi menjernihkan asap pemikiran. Adapun, mereka yang tampaknya masih sibuk mengoreksi setumpuk lembar kertas di meja, mungkin memiliki pekerjaan tambahan sehingga harus rela menggunakan waktu luangnya.
Tidak seperti seluruh siswa-siswi yang mutlak diberi kebebasan perihal melakukan apa saja sepanjang 20 menit tersebut, satuan pengajar tentu mempunyai aktivitas yang beragam sebab tanggung jawab mereka selaku pendidik yang diharapkan. Menjadi penggerak kurikulum dalam membina sekolah elite, pastinya bukan tugas yang mudah mereka tekuni, misalnya tak cukup sampai di situ, seorang wali kelas yang dikenal paling susah mengeluarkan amarah, kini perlu menunjukkan taringnya sedikit untuk menegur sosok pemuda yang sebaliknya sangat gemar menebar kenakalannya. Bahayanya lagi, remaja laki-laki itu pandai berkelit membalas setiap nasihat yang mengkritik serba-serbi buruk perilakunya.
"Ya, ampun, Bu, namanya juga baru minggu pertama. Telat sekali-sekali nggak apa-apalah. Daripada Ibu buang energi buat bicarain hal ini terus sama Tama, mending Ibu minum tehnya aja, deh. Sayang tau, nanti manisnya hilang," katanya seraya menyunggingkan senyum tipis. Tanpa dipungkiri, paras cantik wali kelasnya itu memang terlihat masih muda mungkin hanya terpaut 10 tahun saja dengan dirinya.
"Tama, ayo, dong, bantu Ibu buat kurangin tingkat bandelnya kamu. Semester lalu, Ibu udah mengalah, loh, biarin kamu yang katanya pengin bersenang-senang dulu menikmati kehidupan SMA. Masa sekarang udah kelas dua belas mau begini terus? Kapan kamu serius?"
"Justru karena Tama 'sekarang udah kelas dua belas', bukannya malah tanggung, ya, Bu? Sebentar lagi, 'kan, mau lulus. Habis itu, mana bisa Tama nakal kayak begini?"
"Tama...."
Mendapati Bu Siska—wali kelasnya—menekuk bibir sembari memasang ekpresi wajahnya begitu pasrah, remaja laki-laki itu pun terkekeh kecil. Jujur, apa yang ia lakukan di tempat ini, sejatinya belum seberapa jika dibandingkan dengan rekor yang ia cetak di sekolah sebelumnya. Namun, Tama pula sanggup memahami maksud Bu Siska itu sebetulnya baik sebab ia pun menyadari kesalahannya. "Ya, udah, Tama janji nggak telat lagi, deh. Eh, jangan janji dulu. Kita pakai sistem percobaan aja gimana?"
"Percobaan?" tanya Bu Siska memicingkan mata.
"Iya, semacam testimoni dulu. Kata Pak Ahmad, kita, tuh, nggak boleh asal buat janji yang belum pasti bisa kita tepatin, Bu," ujar Tama seraya mengangkat tinggi kepalanya. Ia menilik keadaan sekitar hendak memastikan guru agama yang namanya saat ini tengah ia pakai demi mendukung siasat culasnya tidak mendengar percakapan tersebut. Andai ketahuan, kemungkinan besar ia akan kena marah lantaran menggunakan pesan moral dari kisah nabi untuk menutupi salah satu—atas segudang—pelanggarannya. "Jadi, daripada nanti Tama bohong lewat harapan palsu yang nggak tentu tadi, sebagai gantinya, Tama bakal berusaha, deh, supaya nggak telat lagi. Memegang komitmen justru lebih oke, 'kan?"
Mengamati siswanya yang paling istimewa kini sedang menarik garis bibirnya lebar sambil menjengitkan alis niat menawar kesepakatan, Bu Siska sontak mengembuskan napasnya lelah tak berkutik ingin menanggapinya kembali. Jujur, ini sudah yang kesekian kalinya ia termakan sikap Tama yang menjelma iblis licik tersebut. Namun, ia juga tidak tahu perlu berbuat apalagi karena Tama sangatlah susah dinasihati. "Benar, ya? Termasuk di dalamnya kamu harus rajin kerjain PR, nggak boleh bolos kelas, baju kamu dipakai dengan rapi, nilai kamu wajib naik, dan—"
"Eh, Bu, sebentar!" sela Tama terkaget-kaget. Remaja laki-laki itu membulatkan netranya. "Kok, jadi ketagihan begini?"
"Tama ... kamu, tuh, udah mau lulus. Masa komitmen kamu cuma sekadar nggak bakal telat datang ke sekolah doang? Menuruti peraturan itu hal yang dasar, loh! Kalau sampai detik ini kamu masih belum bisa mengatur kewajiban kamu selaku pelajar, yang ada kamu bakal repot sendiri pas masuk kuliah nanti."
"Kuliah masih lama, Bu Siska. Tama, 'kan—"
"Nggak!" ujar Bu Siska tegas sembari menggelengkan kepala. Ia sudah tidak mampu menangguhkan toleransinya. "Pokoknya, ide percobaan kamu tadi bakal ibu anggap satu paket! Ibu bakal pantau terus perkembangan kamu."
Mutlak dikalahkan, Tama lantas menyenderkan punggungnya pada bantalan kursi sambil menekuk bibirnya sebal. Raut remaja laki-laki itu sontak mengeruh mengalihkan pandangannya ke arah samping. Sesekali, tangan kirinya bergerak singkat mengacak rambut panjangnya yang berantakan. Aksi merajuknya tengah dijalankan.
"Pastinya, ini nggak bernilai cuma-cuma. Kalau kamu berhasil, Ibu bakal kasih kamu hadiah. Gimana?" tanya Bu Siska memancing Tama yang jelas terlihat berat menerima keputusan.
"Oke, Bu Siska bisa kasih Tama uang 1 miliar?"
"Nggak begitu juga, Tama...." Besar simpatik Bu Siska seketika menurun drastis mendengar celotehan Tama yang sempat-sempatnya malah menyempil di antara kebesaran hatinya. "Tapi, apa yang Ibu berikan mungkin dapat membantu kamu untuk memperoleh sejumlah uang yang kamu inginkan. Tergantung gimana kamu menggunakannya, sih. Intinya, sesuatu yang berguna buat masa depan kamu."
"Bu Siska sok misterius, nih." Seraya mengelus permukaan dagunya, remaja laki-laki itu melempar tatapan skeptis.
"Ibu serius, Tama. Nilai keberfungsiannya berbanding lurus dengan upaya kamu untuk berubah. Ibu berani jamin, kalau kamu bisa memperbaiki dan mengembangkan potensi kamu semaksimal mungkin, ini akan bermanfaat banget."
Merespons binar Bu Siska yang tiba-tiba berlagak jadi antusias, Tama menghela napasnya panjang kebingungan. Remaja laki-laki itu mengusap tengkuknya halus tidak menyangka obrolan ini justru berlangsung sangat serius, padahal tadinya Tama hanya ingin menanggapi panggilan Bu Siska dengan candaan saja tanpa menciptakan kesepakatan apa-apa. "Oke, deh, kalau begitu. Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, 'kan?" Namun, melihat Bu Siska membulatkan bola matanya di hadapan, ia lantas tak memiliki pilihan kecuali berpura-pura menuruti.
"Akhirnya, hari ini datang juga," ucap Bu Siska meringankan beban di pundaknya seolah persetujuan Tama barusan sungguh mahal untuk diperoleh. Faktanya, jalan 2 semester ia menjabat selaku wali kelas seorang Pratama Kaiden Adnan, remaja laki-laki itu memang sukar dikendalikan. "Iya, kamu boleh lanjut istirahat sekarang. Jangan lupa sama komitmen yang udah kita buat, ya? Ibu nggak sabar, deh, ketemu versi rajinnya kamu. Ibu yakin, kamu pasti bisa!"
"Ya, terserah Ibu kalau percayanya begitu," balas Tama sekilas tampak tak acuh kemudian tercengir mengangkat tubuhnya dari kursi. "Tapi, kalau dengan transformasi ini yang suka sama Tama jadi semakin banyak, Bu Siska tanggung jawab, ya?" sambungnya cepat meninggalkan ruang guru sambil menyimpan sebelah tangannya ke dalam saku. Sengaja mengabaikan keluhan Bu Siska yang terdengar menguar selepasnya.
Serempak diserbu sinar mentari yang merambat begitu tajam kala ia keluar dari kantor tertutup tersebut, Tama sempat merentangkan ruas jemarinya agak silau melawan terik yang membakar pandangan. Walau SMA elite pindahannya ini penuh dilingkupi fasilitas canggih dan prasarana yang memadai, satu kelemahan yang paling menonjol adalah denah lingkungan terbukanya terlampau gersang untuk sekadar ditelusuri. Bagi Tama yang pada dasarnya aktif berkeliaran, hal ini merupakan suatu hambatan besar sehingga ia tidak sanggup menongkrong di sembarang tempat.
"Ck, ada-ada aja." Satu perkara lain yang turut mengganggu pikirannya sepanjang menyusuri beranda lantai dua, kini Tama sedang dilanda konflik batin lantaran telah membohongi Bu Siska—yang notabenenya Tama anggap baik. Jujur, ia tidak peduli dengan komitmen atau apa pun itu yang merujuk pada kata perubahan. Menurutnya, semua rutinitas yang ia lakukan sehari-hari sudah sempurna memberikannya ketenangan dan kebahagiaan. Lagi pula, seutuhnya Tama bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindak keputusannya sendiri. Ia heran sekali kenapa mereka yang gila menegakkan nilai ketertiban, harus ikut campur menengahi perilakunya yang serampangan. Menimbang faktanya merekalah yang memaksa, jangan salahkan Tama andai pada akhirnya ia perlu menipu untuk sekadar membebaskan diri.
"Versi rajin, ya? Kenapa, sih, guru-guru obsesi banget sama kata itu?" Sebagaimana ia memutuskan untuk berhenti sejenak menopang tubuhnya pada pembatas semen menggunakan juluran permukaan lengan, monolog itu pun masih terus berlanjut. Netranya melirik ke arah bawah mengamati beberapa siswa-siswi ada yang betah membaca buku di sela waktu istirahatnya. Menyisir ke sisi kanan, ruang lab yang berdekatan dengan perpustakaan tampak ramai dikerubungi muda-mudi yang bersemangat melakukan eksperimen atau sekadar mengerjakan tugas kelompok bersama. Tama tidak dapat membayangkan apa jadinya jika ia benar-benar menjelma salah satu dari mereka. Karakteristik mayoritas populasi pelajar SMA Bina Bangsa, sungguh bertolak belakang dengan sifat Tama.
"Hah ... sejak kapan hidup gua jadi membosankan begini, ya?" katanya menghela napas berat seraya menekuk alisnya dalam. Garis matanya menutup tipis mulai tak antusias menikmati alur keseharian. Dahulu, padahal rasanya ia cukup mudah mencari kesenangan. Tetapi, itu hanya sekilas perkiraannya saja, sih. Tama malas membandingkan masa lalu dan sekarang. Sebab sekian urutan peristiwa di antaranya, ada hal yang tidak ingin Tama ingat.
"Permisi."
Tak sadar ada yang memanggil dari belakang, Tama pun membalikkan badan tak lupa segera bersiap mengondisikan ekspresi wajahnya yang tadi terlihat murung, kembali tergambar ceria. Namun, belum sempat senyum kecilnya terulas, mendadak lidahnya justru kelu terbius oleh kehadiran perempuan yang mengusung percakapan. Gesturnya sopan sekali melipat tangan ke arah bawah. Tama, bahkan perlu menelan ludah sebentar sebelum mengucapkan balasannya, "Iya? kenapa?"
Satuan detik pun berlalu dihiasi kekosongan. Anehnya, perempuan tersebut tidak langsung menjawab yang lantas membuat Tama mengerutkan dahinya tipis kebingungan. Laki-laki itu menggaruk pelipisnya singkat salah tingkah menolehkan kepala ke samping kanan. Tama rasa, ada sesuatu yang aneh dari cara perempuan itu memandangnya. Iris netra yang tampak begitu cantik tersebut, seolah sedang membelah sekat jantung Tama entah perumpamaan itu terdengar nyata atau tidak.
Dari awal ia tersendat memampang mimik mukanya secara leluasa, Tama pikir presensi lawan bicaranya memang kelewat tidak biasa. Aura perempuan itu sukar dideskripsikan melalui kata demi kata hingga pada akhirnya, sebuah pertanyaan lanjutan terlontar keluar dari pelafalan bibirnya yang mengalun begitu lembut. Hangat, tetapi pula menusuk.
Tanpa persiapan, Tama pun sempurna tercemplung ke dalam kolam emosinya yang gelap tak berdasar. Alasannya, kalimat itu sudah terlalu lama tidak terjamah di kehidupan lelaki tersebut. Pertemuan pertama ini, menggaris bekas lewat konsep yang tidak begitu ia mengerti. Tama bingung harus menjawabnya bagaimana.
"Kamu ... keadaannya baik-baik aja?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top