꒰05꒱ :: Begitu sulit.
Gojo berdeham, mengapit dagu juga membungkuk. Menatap diar mi bracelet yang terpajang di lemari kaca toko perhiasan.
“... Sensei juga ingin membeli itu buat Kouno-sensei?” tanya Megumi.
“Iya.” Gojo menegakkan tubuh. “Aku mau ini, dong,” katanya pada pelayan toko.
“Ha'i.”
“Memangnya dia akan suka?” ucap Megumi. Sebab sadar akan perbedaan selera pada tiap orang.
“Megumi meremehkan pilihanku?” balas Gojo.
“... Lupakan.” Anak remaja itu menghela napas. Beranjak pergi. Menyentuh pintu toko dan keluar dari sana.
“Seharusnya aku tak mengatakan itu—” Megumi membelalak. Spontan berbalik ke kanan dengan wajah penuh keterkejutan. Merasakan aura berat yang sungguh mengganggu dari arah sana, tapi langsung menghilang secepat kedipan mata.
Apa-apaan itu? Ia mengernyit. Giginya sedikit menggeletuk. “Apa Gojo-sensei menyadari ini?”
“Sadar soal apa?”
Megumi terkesiap. Menoleh, menemukan Gojo berdiri di belakang dengan pandangan lurus ke depan.
“Sensei jangan datang tiba-tiba kayak gitu?!” ucap Megumi jengkel.
“Hmmm ....” Gojo menyungging seringai. “Mereka ada di sekitar sini, ya?”
“Ha? Siapa?”
Gojo menatap sang anak murid. Lalu menepuk-nepuk kepalanya. “Beberapa orang yang bekerja sama dengan roh kutukan. Itu urusan Sensei, Megumi urus yang lain aja.”
“Oh.”
“Yaa! Fushiguro! Gojo-sensei!”
Gojo dan Megumi berbalik. Mendapati Yuuji dan Nobara melambai-lambai ceria serta membawa banyak paperbag.
“Mereka sudah selesai belanja, ya? Sensei juga, sih. Berarti sisa makan.” Gojo menghampiri kedua anak itu. “Ayo, Megumi.”
꒰꒰꒱꒱
“Daw.”
Seorang pria bersurai hitam berbalik dengan kursi putar. Netra hijau tampak fokus menatap lelaki berambut cokelat di hadapan.
“Saya di sini, Tuan Joon.”
Kouno Joon.
“Ya, aku tahu.” Joon mengetuk jari telunjuk di meja. Berirama. “Kau menemukan [Name]?”
“Dia pergi ke Korea satu hari setelah kita sampai.”
“Hmm ... kakek, ya?”
“Anda benar. Tuan Haruo yang meminta.”
Joon memutar kursi sedikit, menatap pemandangan luar lewat kaca jendela. “Kalaupun aku tahu di negara mana anak itu ... aku tetap harus mencarinya lagi.”
“Itu sebuah bentuk perlindungan untuknya.”
“Menyusahkan.” Joon menggigit bibir bawah. “Walau begitu, aku tetap ingin mencari dan menemuinya. Itu namanya cinta, 'kan?”
“... Anda benar.”
“Tapi ada satu masalah.” Joon menggigit jari jempol. “Bunga. Siapa yang mengirim buket bunga pada [Name] selama delapan tahun?”
Ia tahu setelah mendengar pembicaraan Daw dan [Name] lewat sambungan telepon waktu itu. Ditambah, beberapa penjelasan dari bawahannya ini.
“Lalu ... siapa lelaki yang mencari tahu soal itu dengan [Name]?” ucap Joon. Ia membelalak. Netra hijau tampak berkilat. Tertarik, tapi emosi di saat yang bersamaan.
“Anda ingin mencari tahu?”
“Tidak perlu.” Tangan Joon mengibas sekali. “Biarkan aku menikmati rasa penasaran ini.”
“Saya mengerti.” Daw mengangguk. “Jika Anda sudah selesai, saya undur diri. Permisi.” Ia berbalik, melangkah ke pintu.
“Daw.”
Pria itu berhenti jalan. Sedikit menoleh, menatap sang atasan. “Ya, Tuan?”
“Kau tak akan pernah mengkhianatiku, bukan?”
“Tidak akan pernah.”
“Bagus.” Joon mengangguk puas.
Ia menatap kepergian sang bawahan dengan tatapan tajam. Setelah pria itu menghilang dari pandangan, dia bersandar santai. Menghela napas panjang. Memutar kursi sepenuhnya menghadap jendela kaca. Menatap keindahan kota Osaka.
Ia menutup mata. “[Name] ....” Tangan kanan menutup hidung. Menghirup aromanya sensual. “[Name] ....”
Anak ini sudah gila.
“Kenapa menemuimu begitu sulit?” gumam Joon. Tangan kirinya mencengkeram sandaran lengan. “Terlalu banyak penghalang.”
Apa yang harus ia lakukan dengan para penghalang itu?
꒰꒰꒱꒱
Pukul 19.45.
Gojo melangkah keluar dari gang gelap menuju keramaian distrik malam. Sehabis menjalankan tugas, yaitu membunuh kutukan yang telah jadi penghuni lorong gelap selama beberapa hari.
“Menghabisinya cepat juga,” gumam Gojo. “Padahal aku mau main-main sebentar.” Seringai tersungging. “Kalau begini, sih, anak-anak muridku bisa mengatasinya.”
“Anda Tuan yang bersama nona [Name]?”
Gojo refleks berhenti. Segera berbalik, menemukan pria berambut cokelat berdiri tak jauh dari jaraknya.
Siapa? Gojo menilik orang itu dari bawah ke atas. Oh? Orang dari Thailand itu, ya?
“Kenapa kau mengajakku bicara?” balas si surai putih dengan nada tak bersahabat.
“Saya kebetulan lewat dan mengenali Anda,” jawab pria itu.
Daw.
“Oh.” Gojo berbalik. Menaruh tangan dalam saku. Hendak melangkah lagi.
“Kapan nona [Name] kembali?”
Gojo membeku. Tanpa berbalik berkata, “Apa yang membuatmu berpikir aku akan menjawab pertanyaanmu itu?”
“Saya hanya mencoba.”
“Entahlah. Kapan, ya?” Gojo mengapit dagu. Masih membelakangi lawan bicara.
“Anda punya hubungan apa dengan nona?”
Pria itu bungkam. Tak lama mengukir senyum miring dan berbalik. “Kau tidak tahu yang namanya privasi, ya?”
Daw mengerjap. “Saya pikir ... pertanyaan itu cukup umum untuk mengetahui hubungan antara pria dan wanita yang terlihat dekat?”
Gojo diam juga memasang ekspresi aneh. Apa yang ada di dalam kepala pria itu?
“Sudahlah. Tak ada untungnya bagiku untuk menjawab pertanyaan dari orang tak jelas sepertimu.” Gojo berbalik. Melanjutkan langkah.
Daw menatap kepergian pria itu dengan tatapan datar. Menghela napas. “Seharusnya aku tahu dia orang yang penuh waspada.”
Mengingat pertemuan pertama mereka, lelaki rambut putih itu menatap penuh peringatan ... dengan netra biru yang berkilat.
Alhamdulillah, aku udah sehat sekarang! Makasih doanya buat kalian semua 💞💞 semoga yang sempat sakit juga bisa cepat sembuh, yaa 💞💞
Ann White Flo.
3 September 202
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top