꒰01꒱ :: Hari keberangkatan.
“Hatiku jadi berat banget.”
Kouno [Name] menghela napas panjang. Lantas melirik ke kiri, menemukan pria surai putih menjulang tinggi sedang bersedekap dan bersandar pada kap mobil. Ia menyungging senyum, lantas memeluk pria itu.
Sang kekasih. Gojo Satoru.
“Jaga dirimu baik-baik, ya,” ucap [Name] melepas pelukan.
“Aku yang harusnya ngomong kayak gitu, sih.” Pria itu membungkuk, menarik [Name] dan menyatukan bibir mereka.
Sang gadis menjengit senang tanpa melepas tautan. Lantas melingkarkan kedua tangan di leher Gojo. Membalas ciuman itu, meskipun ia tak bisa mengalahkan dominasi si pria.
Gojo mengusap benda kenyal itu dengan lidah, kemudian mengisap dan menggigit kecil. Mendorong belakang kepala [Name] menggunakan tangan kanan untuk memperdalam tautan bibir.
Gojo berbalik tanpa melepas ciuman, membaringkan [Name] dengan pelan ke atas kap mobil.
“INI MASIH PEMBUKAAN, ELAH. PAMAN NANGIS, NIH?!”
Tautan bibir mereka lepas. Dengan bersamaan menoleh ke asal suara. Menemukan Haruto berdiri juga memasang wajah tangis yang dibuat-buat.
[Name] bangun dan turun dari kap mobil. “Apa kita sudah mau pergi?”
“Iya.” Haruto mengangguk. Menyudahi akting.“Kita harus cepat.”
“Oke.” [Name] menoleh. Menatap Gojo penuh keramahan, juga mengusap wajah pria itu dengan pelan. “Aku pergi, ya. Bye-bye.” Ia mencubit pipinya.
“Oh ... oke.”
“Nomor ponselku udah disimpan, 'kan?”
“Jangan ingetin.” Gojo mendecih. Jengkel rasanya, kenapa dari dulu tidak menyimpan nomor ponsel [Name] hingga ia kesulitan kemarin?
[Name] tertawa. “Baiklah. Aku pergi, ya.” Lalu melangkah menjauh sambil menyeret koper.
Namun, tangan kanan gadis itu ditahan.
“Cuma seminggu?” tanya Gojo langsung.
[Name] menoleh, memberikan senyuman lebar. “Seminggu.”
“....” Gojo melepas tangan [Name]. Membiarkan gadis itu melangkah menjauh mengikuti pamannya.
“Aku akan menghubungimu kalau sudah sampai, kok!” Gadis itu melambai sembari jalan.
Gojo menatap punggung sang gadis yang mulai mengecil dalam pandangan, perlahan hilang di tengah kerumunan. Selama beberapa saat ia membeku, bahkan tidak bernapas.
“G-Gojo-san ....”
Ijichi. Orang yang sejak tadi berdiri di belakang dan menyaksikan interaksi sang atasan bersama si gadis. Ia mengusap tangan. Merasa agak segan dan takut melihat ekspresi dan aura yang dikeluarkan Gojo.
“Antar aku pulang, Ijichi.” Gojo melangkah ke pintu tepat di mana kursi penumpang berada.
“O-oh! Baik!” Ijichi buru-buru masuk ke bagian kursi pengemudi.
Di sisi lain. [Name] berada di dalam pesawat bagian first class. Menghela napas panjang dan bersandar malas. Perasaan berat hati memenuhi dada. Ia tak sanggup rasanya melihat wajah sang pria, bahkan makin tak enak saat lelaki itu menahan tangannya.
“Aku nggak mau pergi ...,” gumamnya.
“Hiks! Paman juga nggak mau ninggalin Jepang, ueueue.”
[Name] menoleh. Menemukan sang paman tengah memegang tisu dan mengelap air mata palsunya. Gadis itu juga ikutan pura-pura terisak. “Aku nggak mau ninggalin Satoruu.”
“Kita kabur aja, yuk,” balas Haruto.
“Jangan, deh.” [Name] tersenyum. “Aku mau melihat Paman dijodohkan dengan gadis rambut pendek itu.”
“Aah, anak itu, ya?” Haruto membuang tisu sembarangan dan bersandar. “Dia memang cantik dan imut, sih. Tenang juga orangnya.”
“Cocok buat Paman yang petakilan!” [Name] tepuk tangan.
“Tapi ....” Haruto bungkam. Merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah keraguan. “Paman belum melupakan masa lalu, sih.” Ia tersenyum.
“Ah ... sayang sekali.”
꒰꒰꒱꒱
Gojo duduk dengan malas. Membeku, tampak melamun. Agak bosan rasanya. Ruangan pribadi miliknya pun tiba-tiba terasa begitu sepi, walau sejak dulu suasananya selalu sunyi seperti ini.
Namun, setelah sang gadis pergi, semua kesunyian itu mulai terasa.
“Aah, menyebalkan.” Gojo menyandar malas. “Apa yang harus kulakukan setelah ini, ya?”
Dia sudah terbiasa melakukan sesuatu bersama [Name]. Jadi, setelah gadis itu tidak ada di samping, ia jadi pusing sendiri.
Ternyata, keberadaan gadis itu begitu berarti.
Suara ketukan pintu terdengar. Gojo mempersilakan orang yang mengetuk itu buat masuk.
“Yaa, kalian kenapa ke sini?” tanya Gojo ceria pada anak-anak kelas satu. Muridnya.
“Kami cuma mau bertanya, kok. Itu soal misi yang Sensei berikan pada kami,” ucap Megumi yang berdiri paling ujung.
“Oh? Mau tanya apa?”
Nobara mengerjap, sadar akan sesuatu yang menarik di pergelangan tangan sang guru. “Eh? Sensei?!” Ia membelalak.
“Huh? Nobara kenapa?” tanya Gojo.
“ITU GELANG SOURCERIY, BUKAN?!” teriaknya sembari menunjuk lengan kiri Gojo.
“Ohh? Iya, sih. Terus?”
“Kau kok heboh banget, sih, Kugisaki?” tanya Yuuji heran.
“ITU GELANG MAHAL, TAU. CUMA GELANG DOANG TAPI UANG BELANJA KITA GAK CUKUP BUAT BELI!” Nobara menunjuk-nunjuk pergelangan Gojo.
“Hee?” Pria itu menyungging seringai. “Ini pemberian [Name], sih.”
“Ha?! Jadi, [Name]-sensei yang kasih?”
“Ah, sudahlah.” Megumi mendorong pelan Nobara, menyingkirkan gadis itu agar tak berisik lagi. “Kita belum bertanya apa-apa soal misi nanti.”
“Kau itu nggak asik, Fushiguro?!”
Gojo menatap gelang itu sembari tersenyum. Perasaan penuh bunga singgah di dada. Bahkan sampai mengabaikan Megumi yang sedang bicara.
“Jadi, Sensei. Kita sebaiknya harus gimana?” tanya Megumi.
“Oh, itu gampang. Kalian coba pikir sendiri dulu, setelah menemukan cara, silakan tanya ke Sensei lagi.” Gojo berdiri. “Aku mau pergi, sampai jumpaa~”
꒰꒰꒱꒱
“Kakeek~”
“Kyaa~ [Name] kita udah pulaang~”
[Name] memeluk pria tinggi agak kekar yang tengah mengenakan setelan jas. Sang kakek. Bernama Kouno Haruo.
“Aku kangen Kakek,” ucap [Name] dengan nada senang sembari melepas pelukan. “Gimana keadaan Kakek? Baik-baik aja, 'kan?”
“Kakek baik-baik aja.”
“PAPAAA~ KAU NGGAK RINDU ANAK TAMPANMU INI?” Haruto berlari sembari merentangkan tangan dengan wajah riang.
“Oh, baguslah kau pulang. Gadis yang kumaksud ada di dalam.”
“Eh?” Haruto berhenti berlari. “Papa nggak asik, deh. Aku baru sampai, lho?” Ia mengernyit.
Haruto tertawa. “Mumpung anak itu punya sedikit urusan denganku! Jadi, dia kuminta untuk menunggumu datang. Bukankah kau pernah menolongnya dulu?”
“Haha ... itu sudah lama sekali.” Haruto menatap hal lain. Tanpa senyuman. Hanya ada raut dingin.
Dan Haruo menyadari itu.
“Aku masuk, ya. Lagi capek banget soalnya.” [Name] menyeret koper. “Kalian bicara aja dulu. Dadah!”
Haruo menatap kepergian sang cucu. Setelah anak itu menghilang dari balik pintu, ia melirik Haruto masih dalam posisi yang sama. Membeku. Dengan aura yang tak mengenakkan.
“Sampai kapan kau mau seperti itu?” tanyanya.
Aku bakal sedikit menulis soal kisah cinta Abang Haruto di cerita ini, sedikit doang kok. Soalnya cerita untuk dia belum jadi.
Daan maaf ya, kalau Haruto dan Haruo namanya nyaris mirip 🤣 yah, anak dan bapak.
Ann White Flo.
29 Agustus 2022.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top