Bab 3
Hari ini Ethan pulang lebih awal. Pekerjaannya selesai lebih cepat dan ia memutuskan untuk pulang. Kali ini, saat Ethan sudah berada di depan rumahnya, perasaannya lebih ringan. Mulutnya tersenyum kecil. Mungkin semua ini karena perubahan dalam hubungannya dengan Eliza. Kini
mereka lebih banyak berkomunikasi. Meski belum seperti pasangan lainnya yang mesra, tapi sudah merupakan kemajuan bagi mereka berdua. Terutama bagi Eliza yang
menjadi semakin semangat.
Ethan masuk ke dalam rumah. Mencoba mencari sosok istrinya. Ia tak menemukan di manapun. Ruang tengah tak ada. Di taman belakang pun tak ada. Akhirnya Ethan
memilih untuk melihat ke kamar.
Wanita itu terlihat berbaring di karpet tebal di dekat jendela. Ethan perlahan mendekat dan menyadari bahwa Eliza sedang tertidur. Di depan Eliza terdapat banyak kertas warna warni dan beberapa bintang terbuat dari kertas. Serta stoples yang sudah berisi origami bintang.
Ethan duduk di atas lantai. Memperhatikan Eliza tertidur
dengan kertas di tangannya. Sepertinya ia sedang membuat bintang ketika akhirnya tertidur pulas. Ia memandangi istrinya yang masih tidur. Meski hanya tidur, tapi Eliza tampak cantik. Wajahnya begitu putih mulus. Rambut panjangnya tergerai berantakan di karpet. Perlahan Ethan merapikan poni Eliza dan sentuhannya membuat Eliza terbangun.
Eliza membuka mata perlahan. Memandangi Ethan dengan masih mengantuk. Mengira ia bermimpi mengenai suaminya. "Hai." sapa Ethan tersenyum.
Eliza memgerjapkan mata. Ia terkejut melihat Ethan pulang cepat. Ataukah ia ketiduran?! Eliza bergegas duduk. 'Kau sudah pulang?!'tanyanya dengan raut wajah kaget.
"Ya. Aku pulang lebih cepat karena pekerjaanku sudah selesai."
Eliza merasa senang membaca jawaban Ethan. Biasanya pria itu akan pulang malam. Membuat Eliza cemas dengan kesehatannya. Tapi hari ini Ethan pulang lebih cepat.
Suaminya bisa rehat lebih banyak. Dan ia juga bahagia karena tak sendirian. Eliza tersenyum sambil
mengacungkan jempolnya.
Ethan memperhatikan origami bintang yang bertaburan di karpet. Lalu ia menatap Eliza. "Kau membuat ini?"
Eliza mengangguk. Ia merapikan bintang yang berserakan dan memasukkan ke dalam stoples lalu menutupnya.
"Aku baru tahu kau suka membuat origami bintang. Dan
kau membuat sebanyak ini?!"
Eliza tersenyum dengan wajah merona. 'Aku menyukai bintang. Dan ini untuk mengisi waktuku saja.'
"Kenapa kau memilih membuat origami bintang? Bukan yang lain?"
Eliza terdiam. Tampak ragu untuk menjawab sebelum akhirnya ia mengambil bukunya dan mulai menulis. Ethan membacanya setelah Eliza selesai dan menyerahkan
padanya.
'Ada mitos bahwa jika kita membuat 1000 buah bintang sambil berharap, maka harapan kita akan terwujud nanti.'
Mata Ethan membulat membaca 1000 buah bintang lalu ia mendongak menatap Eliza yang kembali merona. "Apa harapanmu?"
'Sebenarnya harapanku sudah terwujud.'
"Tapi bintangmu belum berjumlah 1000 bintang bukan?!"
Eliza menggeleng. 'Mungkin Tuhan mendengar doaku dan mengabulkannya.'
Ethan merasa penasaran dengan harapan Eliza. Eliza menggelengkan kepala. 'Perjalananku masih panjang, tapi aku yakin sebentar lagi semua harapanku akan terwujud karena kau sudah mau berbicara denganku.'
"Hah apa?!" gumam Ethan kembali tak paham. Ia memberi tatapan minta maaf pada Eliza.
Eliza hanya tersenyum kecil lalu kembali menulis di bukunya. 'Perjalananku masih panjang untuk mencapai 1000 buah bintang.'
Ethan membacanya dengan dahi berkerut. Seingatnya bahasa isyarat Eliza tadi sangat panjang, tapi tulisannya sedikit. Ia tak berani bertanya detail. Ethan hanya
mengangguk. "Kalau boleh tahu, apa harapanmu?"
Eliza terdiam. Wajahnya berubah merah padam. Ethan bisa merasakan Eliza menjadi gugup. Jari tangannya
memainkan ujung kaosnya. Perlahan tangannya terangkat dan agak bergetar. 'Harapanku membangun keluarga kecil dan bahagia bersamamu.'
Ethan kembali bingung. Ia hanya bisa menangkap kata bersamamu. Apa maksud Eliza harapannya adalah hidup bersama dengannya? Apa Eliza memang memiliki perasaan padanya?
'Aku akan menyiapkan makan malam.'
Ethan mengangguk dalam diam. Ia memperhatikan Eliza merapikan kertas dan memasukkan bintang ke dalam stoples. Lalu beranjak bangun yang Ethan yakini wanita itu akan segera sibuk di dapur. Ethan ikut berdiri dan memutuskan untuk mandi.
Keluar dari kamar mandi, Ethan menemukan baju kaos, celana serta pakaian dalam sudah siap di atas tempat tidur.
Eliza selalu menyiapkan pakaiannya sementara ia mandi. Dan apapun yang Eliza siapkan, selalu dipakai oleh Ethan tanpa keberatan ataupun protes. Seakan Eliza sudah paham dengan dirinya. Kali ini Eliza menaruh kaos berwarna putih dengan celana pendek hitam.
Ethan keluar dari kamar. Mencium aroma sedap masakan Eliza dari dapur. Ia pun segera menuju ke sana. Wangi harum itu membuat perutnya berbunyi keras minta diisi.
Ethan melihat Eliza sedang merapikan meja makan. Tampak hidangan makan malam sudah siap.
Eliza mendongak ketika menyadari kedatangan Ethan. Ia tersenyum.
'Sudah mau makan?'
"Ya, aku sudah lapar." sahut Ethan meringis.
Eliza tersenyum kembali. Ia memberi tanda pada Ethan untuk duduk. Seperti biasa Eliza mengambilkan makanan untuk suaminya. Lalu ia duduk dan mulai mengambil makanan untuknya sendiri. Pasangan suami istri itu mulai makan. Eliza melirik Ethan yang tampak lahap menyantap makan malamnya. Perlahan bibirnya tersenyum kecil dan ia merasa puas serta bahagia karena suaminya menyukai
makanannya.
Ethan mengambil botol sambal yang berada di ujung meja dan matanya melebar. "Wah sudah tinggal sedikit."
Eliza membelalakkan matanya dengan kaget. Ia tampak bersalah. 'Oh maafkan aku, aku lupa kalau sudah kehabisan saos sambal.....'
"Tidak apa. Aku akan membelinya nanti setelah makan malam."ujar Ethan. "Saosnya masih ada sedikit untuk menemani makananku. Tenang saja, Eliza."
Eliza mengangguk. Namun dalam hatinya ia merasa kecewa karena lupa. Ia merasa gagal dalam melakukan tugasnya sebagai istri. Tanpa sadar wanita itu menarik
napas.
Ethan menoleh padanya. Melambaikan tangan untuk
menarik perhatiannya. "Jangan kaupikirkan, oke? Ini hanya
saos sambal. Lihatlah, saosnya masih cukup untuk malam ini. Aku akan keluar sebentar setelah makan malam. Apa kau mau ikut?"
Eliza menatapnya dengan mata melebar tak percaya. 'Aku
boleh ikut?'
Ethan terkekeh. "Tentu saja boleh. Memangnya kau tahanan rumah?!"
Eliza tersipu malu. Kepalanya mengangguk dengan semangat. Hatinya sungguh bahagia. Pertama kalinya Ethan mengajaknya keluar. Meski hanya pergi ke swalayan, tapi Eliza merasa seakan mereka pergi kencan. Setelah enam bulan, hubungan mereka mengalami
kemajuan. Eliza kembali makan dengan semangat, sesekali melirik Ethan yang fokus lalu ia akan tersenyum kecil.
"Kau sudah siap?" tanya Ethan saat Eliza muncul di ruang tengah setelah membersihkan meja makan.
Eliza mengangguk lalu mengikuti Ethan dengan girang seperti anak ayam. Rasanya konyol tapi tak dapat
dipungkiri bahwa Eliza memang sangat bahagia bisa pergi keluar bersama Ethan. Eliza masuk ke dalam mobil dan mereka mulai melaju pergi. Swalayan yang mereka tuju
memang agak jauh dari rumah. Perjalanan mereka berlangsung hening. Eliza tak mau mengganggu Ethan yang sedang sibuk mengemudi. Maka tak ada percakapan di antara mereka saat ini. Ia menatap keluar jendela mobil.
Tak lama kemudian mereka tiba di swalayan tujuan. Ethan memarkir mobil dan keluar diikuti oleh Eliza. Berdua berjalan menuju swalayan. Eliza melihat seorang pria dan wanita sedang berjalan bersama seperti mereka. Hanya saja pasangan itu saling bergandengan tangan, dan berbincang sambil tertawa. Tampak mesra dan hangat. Eliza merasa iri dengan pasangan tersebut. Ia ingin seperti mereka. Tapi Eliza tak berani berharap banyak. Ethan mau mengajaknya berbicara saja sudah merupakan kemajuan
baginya. Ia yakin Ethan mau membuka hatinya.
Eliza mengikuti Ethan mengambil kereta dorong. Lalu mereka berjalan melewati rak demi rak. Ethan mengambil botol berisi saos sambal. "Apa kau mau membeli barang
lain?"tanya Ethan menatap Eliza sambil menaruh botol ke dalam kereta.
Eliza mengangguk. Memberi gerakan tangan pada Ethan yang mengangguk mengerti lalu berjalan mencari rak yang di tuju. Sesekali mereka berbincang dengan Eliza yang
menggunakan bahasa isyarat. Ethan cukup terhibur belanja dengan istrinya. Setidaknya kini ia tak perlu repot mencari terutama untuk barang yang tidak ia pahami seperti
keperluan dapur.
Ethan bersandar pada kereta sambil memperhatikan Eliza yang serius memilih sayur ketika sebuah suara
menyapanya. Ethan menoleh.
"Megan?!"
"Hai Ethan......kita bertemu kembali."gumam Megan. Ia menoleh ketika menyadari seorang wanita mendekati mereka dengan sayur di tangan dan menatapnya heran.
"Ah Megan, kenalkan ini istriku, Eliza." tukas Ethan. Ia menoleh pada Eliza yang menatapnya dengan alis
terangkat dan berkata pelan, "Eliza, dia temanku, namanya Megan."
Eliza menoleh dan tersenyum pada Megan. Ia menggerakkan tangan mengucap salam perkenalan yang
mengundang tanda tanya dan terkejut pada wajah Megan. Megan menatap Ethan dengan wajah tak mengerti.
Ethan meringis. "Eliza tak bisa mendengar. Jadi ia berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Tapi Eliza pandai membaca gerakan bibir lawan bicaranya."
Megan menggumamkan oh. Ia mengulurkan tangan menjabat tangan Eliza sambil berkata, "Senang bertemu denganmu."
Eliza tersenyum. 'Kalian sudah lama berteman?'tanyanya pada Ethan.
Ethan terdiam sebelum berkata, "Ya. Kami pernah satu kampus saat kuliah." Ia tak mungkin berkata kalau mereka pernah menjalin hubungan dulu.
Ethan menatap pada Megan. Hari ini ia memakai gaun berwarna merah. Warna kesukaan Megan. Ia sendiri selalu menyukainya memakai warna merah. Membuat Megan tampak cantik dan berkilau. Ia merasa dadanya berdebar cepat.
"Kulihat kalian sedang berbelanja. Aku duluan ya, aku sudah mau pulang."
"Oh baiklah." sahut Ethan dengan sedikit kecewa.
"Bye..." gumam Megan melambaikan tangan pada mereka seraya tersenyum. Ia pun berlalu pergi. Megan sama sekali tak menduga akan kembali berjumpa dengan Ethan. Pria yang pernah ia cintai dan tinggalkan. Ethan tak berubah, bisiknya, malah ia semakin gagah. Tapi kini Ethan sudah menikah. Rasa perih menusuk hatinya melihat istri Ethan
yang cantik.
Mereka pun melanjutkan kegiatan belanja. Eliza kembali sibuk memilih barang sementara Ethan berdiri merenung. Pertemuannya kembali dengan Megan untuk ke dua kalinya menimbulkan perasaan ganjil. Tanpa rencana ia berjumpa lagi dengannya. Padahal kota tempatnya tinggal sangat luas, tapi kenapa ia memilih swalayan ini untuk berbelanja? Kenapa Megan memilih swalayan yang sama dengannya? Seakan mereka memang sudah berjodoh.
Ethan menggelengkan kepala. Hentikan pikiran bodohmu, kau sudah menikah, makinya dalam hati.
------
"Aku pergi dulu ya."
Eliza mengangguk tersenyum sambil menggerakkan tangannya. 'Hati-hati di jalan.'
Ethan mengangguk. Ia berdiri dengan canggung. Perlahan mendekati Eliza yang menatapnya dengan bingung.
Dengan gerakan cepat Ethan mengecup dahi Eliza. "Bye...."gumamnya berjalan menuju mobil, meninggalkan Eliza ternganga kaget.
Eliza berdiri diam dengan jantung berdebar. Ia hanya diam memperhatikan mobil Ethan melaju pergi keluar dari rumahnya. Tangannya bergerak menyentuh dahi, tempat Ethan tadi menciumnya. Rasanya tak percaya, bisiknya.
Ethan mengecupnya! Bibir Eliza tersenyum lebar. Hatinya serasa terbang melayang. Ia sungguh bahagia sekali. Dengan langkah cepat, nyaris melompat-lompat, Eliza
masuk ke dalam. Ia bergegas menuju stoples berisi origami bintang. Diambil dan dipeluknya stoples itu. Lalu ia bergerak berputar sambil tertawa.
'Apa kalian tahu yang terjadi?! Ethan menciumku! Ia menciumku! Aku tahu semua ini pasti karena bantuan
kalian. Tidak sia-sia aku membuat bintang sambil berharap!'
Eliza begitu bahagia. Ia pun duduk dan meraih kertas panjang berwarna biru. Lalu mulai membentuknya menjadi bintang sambil mengingat kejadian tadi. Ia merasa hari ini
menjadi sesuatu yang penting dan berharga. Dengan mulut masih tersenyum, Eliza membuka laci. Ia mengambil buku diary. Membuka lembar yang kosong dan mulai menulis.
____
"Hei Ethan, kau bersiul?!!!"
Ethan menoleh pada Owen yang menatapnya dengan heran. "Kenapa? Apa aku tak boleh bersiul?"
"Ya! Sangat aneh melihatmu bersiul! Kau biasanya memasang wajah cemberut!"
"Sial kau!" seru Ethan meninju lengan Owen dengan kesal.
Owen terbahak keras. Ia menatap Ethan sambil masih terkekeh. "Jadi, ada apa denganmu?! Kulihat dari pagi kau berbeda dari kemarin."
Ethan menatap Owen sebelum beralih ke arah lain. Ia tersenyum kecil sambil mengambil secangkir kopi di atas meja kerjanya.
"Apa istrimu sedang hamil?!"
Pertanyaan Owen membuat Ethan tersedak kopi hingga cairan berwarna hitam itu menciprati meja kerja. Membasahi sebagian kertas laporan juga kemeja Ethan.
Owen tertawa keras melihat reaksi temannya.
"Sial kau, Owen!"maki Ethan kesal mengambil tisu dan mengelap kemejanya yang sudah basah. Lalu ia mencoba mengusap kertas. "Untung laporan ini masih bisa aku print lagi, Owen!"
Owen terkekeh. "Kenapa pula kau harus kaget seperti itu?! Jangan-jangan istrimu memang sedang hamil ya?!!"
"Tidak." sahut Ethan pendek.
"Lalu kenapa kau bertingkah seperti itu?"
"Itu bukan urusanmu."
Owen tertawa. "Aku yakin pasti ada hubungannya dengan istrimu ya?! Apa akhirnya kau mendapat jatah darinya?!"
Ethan mendengus. Memilih untuk tak menjawab dan kembali sibuk mengelap kertas yang basah.
"Ethan, jangan bilang kalau kau....kalau kalian belum
melakukan itu?!" desis Owen. Ethan masih diam tak menjawab. Owen menepuk dahi dengan tak percaya. "Kau serius?! Oh astaga, bagaimana bisa kau tahan?! Istrimu wanita yang cantik dan seksi!!! Kalau aku jadi suaminya, sudah kutunggangi setiap malam!!"
"Ngawur kau!"
Owen tertawa. "Aku serius, teman! Istrimu wanita yang cantik. Ia memiliki tubuh yang sempurna. Apalagi yang kau tunggu?!" ujarnya. "Kau masih belum bisa menyukainya?"
Ethan mendesah. Ia mengaruk tengkuknya. "Aku hanya menunggu waktu yang tepat..."
"Waktu yang tepat seperti apa sih?! Kalian sudah menikah. Wajar jika kalian bermain gulat setiap malam. Aku yakin Eliza pun menantikan hal itu."
"Sok tahu."
"Oh ayolah, aku mungkin memang belum menikah. Tapi aku tahu Eliza menyukaimu, Ethan. Aku bisa melihat dari tatapannya saat kalian menikah."
"Sudahlah, ini urusanku. Sebaiknya kau kembali bekerja!" tegur Ethan.
Owen berdiri. "Dan jangan lupa beritahu aku jika Eliza sudah hamil!"serunya seraya berjalan keluar.
Ethan hanya bisa menggelengkan kepala. Ia sedang mencari dokumen di laptop ketika mendengar ponselnya bunyi. Ethan melihat nama mamanya tertera di layar ponsel. Ia pun meraih dan segera menjawabnya. "Halo ma...."
"Ethan, bagaimana kabarmu?"
"Baik, ma. Mama sendiri bagaimana?"
"Mama rindu sama kalian! Bagaimana kabar Eliza? Kapan
kalian akan mengunjungi mama? Bagaimana jika hari Sabtu ini, Ethan?"
Ethan menarik napas mendengar pertanyaan mamanya yang sangat banyak. "Eliza baik, ma. Kami memang belum sempat karena aku sibuk."
"Jadi, bagaimana hari Sabtu ini?"
"Baiklah."
"Bagus. Mama akan masak banyak untuk kalian. Oya, apa Eliza sudah ada tanda-tanda?" tanya sang ibu.
"Tanda?" tanya Ethan balik dengan tak mengerti. "Tanda apa, ma?!"
"Ah kau ini, apa Eliza sudah hamil?!"tukas allison tak sabar.
Ethan kembali nyaris tersedak. "Hm...kurasa....belum, ma."gumamnya. Ia mendengar mamanya menarik napas kecewa. "Ma, sudah dulu ya. Aku harus kerja. Kita bicara lagi hari Sabtu nanti."
"Ya...baiklah.... Jaga kesehatan kalian ya."
"Ya, ma." sahut Ethan sambil mematikan hubungan telepon
mereka. Ia menaruh ponsel seraya mendesah. Pertanyaan itu selalu membuatnya gugup. Yah wajar saja jika semua orang menanyakan apakah Eliza sudah hamil. Mereka
sudah menikah selama enam bulan lebih. Dan Eliza belum menunjukkan tanda akan segera mengandung. Tentu saja, karena mereka belum melakukan malam pertama.
Sentuhan yang Ethan lakukan baru mencium dahinya tadi pagi. Ethan yakin tindakannya itu pasti membuat Eliza salah tingkah. Ethan masih ingat bagaimana wajah Eliza yang merah padam saat ia berangkat kerja tadi. Eliza terlihat manis karena reaksinya itu.
Perhatian Ethan segera teralihkan saat terdengar suara ketukan pintu. "Masuk!" serunya.
Pintu terbuka menampakkan anak buahnya. "Selamat siang, pak. Aku mau memberikan laporan mengenai iklan produk baru yang sedang kita pegang."
"Baiklah. Apa kau sudah menemukan model yang cocok, Mike?"
Pria bernama Mike masuk dengan map di tangannya. "Ya, aku sudah menghubungi manajernya. Mereka tertarik bekerja sama dengan kita. Ini laporan mengenai modelnya."
Ethan menerima map dari tangan Mike lalu membukanya. Matanya langsung melebar melihat foto seorang model wanita yang tertempel di dalam map. "Megan?!"
"Bapak mengenalnya?!"
Ethan berdehem. "Ya, kami pernah satu kampus. Ia menjadi seorang model sekarang?!"tanyanya masih kaget.
Megan tak mengatakan apapun saat kemarin bertemu. Ya, tentu saja karena ia tak menanyakan kabarnya kini. Ethan mengerutkan dahi. Apa semua ini hanya kebetulan Megan
akan bekerja sama dengannya? Ataukah wanita itu tak tahu kalau Ethan bekerja di sini?
"Bagaimana, pak, apa bapak setuju? Kalau bapak tak masalah, aku akan segera menghubungi manajernya dan mengerjakan semua."
Ethan terdiam berpikir. Proyek mereka harus segera dikerjakan, dan jika mencari model lain, akan memakan waktu lagi. Ia tak mungkin menolak. Tapi apa semua akan
baik saja jika Megan bekerja sama dengannya? Mereka akan sering bertemu. Bagaimana dengan perasaannya?!
"Pak?"gumam Mike yang bingung melihat atasannya hanya diam sambil memandangi foto model itu.
Ethan tersadar. "Hmmm...baik, lanjutkan kerjamu, Mike."
"Siap, pak!"sahut Mike seray mengambil dokumennya kembali dan melangkah keluar meninggalkan Ethan dengan pikirannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top